3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan Tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. HTI yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan (Departemen Kehutanan 2010). Sejak awal tahun 1990-an pembangunan HTI dilaksanakan secara besarbesaran melalui pelibatan investor swasta dengan sebagian besar pendanaannya didukung oleh Dana Reboisasi (DR). Pengembangan HTI dilatarbelakangi oleh kondisi kesenjangan antara kapasitas industri perkayuan dengan pasokan bahan baku kayu yang pada waktu itu hanya mengandalkan dari kayu hutan alam. Jenis tanaman HTI yang dibudidayakan pada umumnya jenis kayu cepat tumbuh (mangium, sengon, eucaliptus, dan gmelina). Pada saat itu pembangunan HTI ditargetkan seluas 6 juta hektar, dengan perkiraan pada waktu panen akan mampu mendukung kebutuhan industri bersama-sama kayu dari hutan alam. Usaha hutan tanaman bertujuan untuk menghasilkan produk utama berupa hasil hutan kayu guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan bahan baku industri perkayuan, meningkatkan kualitas lingkungan melalui kegiatan reboisasi, untuk memperluas kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Kriteria areal usaha hutan tanaman (Departemen Kehutanan 2009): 1.
Areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/atau areal yang akan dialihfungsikan menjadi kawasan hutan produksi, serta tidak dibebani hak-hak lain.
4
2.
Topografi dengan kelerengan maksimal 25%. Pada kelerengan antara 8% 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah.
3.
Penutupan vegetasi calon lokasi usaha hutan tanaman berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak.
4.
Terdapat masyarakat di sekitarnya sebagai sumber tenaga kerja.
5.
Tidak dibenarkan melakukan penebangan hutan alam yang ada di areal usaha hutan tanaman, kecuali untuk pembangunan sarana dan prasarana dengan luas maksimum 1% dari seluruh luas areal usaha.
6.
Bagian-bagian yang masih bervegetasi hutan alam, di-”enclave” sebagai blok konservasi. HTI mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dalam hal jumlah dan
luasan total. Peningkatan jumlah HTI dari tahun ke tahun ditampilkan dalam Gambar 1, sedangkan peningkatan luasan total HTI dari tahun ke tahun ditampilkan pada Gambar 2.
Sumber: Statistik Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009
Gambar 1 Grafik perkembangan jumlah HTI.
5
Sumber: Statistik Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009
Gambar 2 Grafik perkembangan luas HTI. Berdasarkan data sampai dengan Bulan Desember 2009, jumlah IUPHHK-HTI sebanyak 206 unit (SK definitif) dengan areal seluas 8.702.030 hektar yang tersebar pada 20 provinsi dan SK Sementara sebanyak 25 unit dengan areal seluas 484.860 hektar (Departemen Kehutanan 2009). HTI menggeser peran hutan alam dalam hal produksi kayu bulat seperti pada Gambar 3:
Sumber: Statistik Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009
Gambar 3 Grafik produksi kayu bulat berdasarkan sumbernya
6
2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) Sengon dalam bahasa latin disebut Paraserianthes falcataria (L) Nielsen termasuk famili Mimosaceae, keluarga petai-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut (Atmosuseno 1998): 1.
Jawa: jeunjing, albasia (Jawa Barat); sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah) dan sengon sabrang (Jawa Tengah dan Jawa timur); jing laut (Madura)
2.
Sulawesi: tedehu pute
3.
Maluku: rawe, selawoku merah, seka, sika, sika bot, bai wagohon, wai atau wikie
Meskipun memiliki banyak nama, tetapi dalam bahasa Indonesia yang paling sering digunakan untuk nama pohon ini adalah sengon. Hidayat (2002) menambahkan bahwa pohon sengon yang berukuran sedang sampai besar, tingginya dapat mencapai 40 m dan tinggi batang bebas cabang 20 m. Pohon sengon tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda dan bulat agak lurus. Diameter pohon dewasa bisa mencapai 100 cm atau lebih. Tajuk berbentuk perisai, jarang, selalu hijau. Daun majemuk, panjang dapat mencapai 40 cm, terdiri dari 8-15 pasang anak tangkai daun yang berisi 15-25 helai daun. Sengon termasuk jenis yang cepat tumbuh tanpa memerlukan tindakan silvikultur yang rumit dan berkembang dengan baik pada tanah yang relatif kering, agak lembab, bahkan di daerah tandus. Di daerah tropis seperti di Indonesia dapat tumbuh dengan baik pada tanah-tanah yang lembab dengan tipe iklim A, B dan C menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (Griffoen 1954 dalam Alrasjid 1973). Kecepatan pertumbuhan jenis ini ditunjukkan dengan produksi kayunya yang dapat mencapai 156 m3 per hektar pada saat berumur enam tahun (Alrasjid 1973) Dalam skala industri pemilihan sengon sebagai salah satu jenis pohon yang diprioritaskan untuk pengusahaan HTI merupakan suatu pilihan yang tepat. Sengon dapat dipanen pada umur yang relatif singkat yaitu 5-8 tahun setelah tanam sehingga sangat menguntungkan untuk diusahakan dalam skala besar seperti pengusahaan HTI (Atmosuseno 1998). Pembangunan HTI dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku bagi industri perkayuan di Indonesia. Salah satu jenis tanaman yang banyak ditanam di
7
HTI adalah sengon. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menanam sengon antara lain sebagai berikut: 1. Masa masak tebang relatif pendek 2. Pengelolaan relatif mudah 3. Persyaratan tempat tumbuh tidak rumit 4. Kayunya serbaguna 5. Permintaan pasar terus meningkat 6. Membantu menyuburkan tanah dan memperbaiki kualitas lahan (Atmosuseno 1998). Biaya pembangunan akan lebih ringan pada jenis pohon yang tumbuh cepat atau berotasi pendek seperti sengon ini. Hal ini disebabkan adanya Cash Flow masuk dari hasil penebangan yang segera dapat mengurangi biaya yang telah dikeluarkan (Atmosuseno 1998). Pohon sengon merupakan pohon yang sebaguna. Mulai dari daun hingga perakarannya dapat dimanfaatkan untuk beragam keperluan. Bagian yang memberikan manfaat ekonomi paling besar adalah batang kayunya. Tidak mengherankan jika saat ini banyak kalangan pengusaha yang bergerak dalam bidang perkayuan beramai-ramai mengusahakan sengon sebagai bahan baku industrinya (Atmosuseno 1998).
2.3 Kelayakan Finansial Menurut Kadariah et al. (1999), analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Dalam analisis finansial yang diperhatikan ialah hasil untuk modal saham (equality capital) yang ditanam dalam proyek, ialah hasil yang harus diterima oleh para petani, pengusaha, perusahaan swasta, suatu badan pemerintah, atau siapa saja yang berkepentingan dalam pembangunan proyek. Hasil finansial sering juga disebut “private returns”. Menurut Husnan dan Suwarsono (2000), ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam aspek keuangan yaitu: (1) aktiva tetap, (2) modal kerja dan (3) sumber dana untuk modal kerja dan investasi aktiva tetap. Aktiva tetap
8
dibagi ke dalam dua bagian yaitu: aktiva tetap berwujud dan aktiva tetap tidak berwujud. Aktiva tetap berwujud terdiri dari tanah dan pembangunan lokasi, bangunan dan perlengkapan, pabrik dan mesin serta aktiva lainnya. Sedangkan aktiva tetap tidak berwujud terdiri dari biaya pendahuluan dan biaya sebelum operasi. Istilah modal kerja bisa diartikan sebagai modal kerja bruto atau modal kerja netto. Modal kerja bruto menunjukkan semua investasi yang diperlukan untuk aktiva lancar yang terdiri dari kas, surat-surat berharga (kalau ada), piutang, persediaan dan lainnya. Modal kerja netto merupakan selisih antara aktiva lancar dan utang jangka pendek. Aktiva lancar adalah aktiva yang hanya memerlukan waktu pendek untuk berubah menjadi kas, yaitu kurang dari satu tahun atau satu siklus produksi (Husnan dan Suwarsono 2000). Sumber dana yang dibutuhkan untuk membiayai aktiva tetap dan modal kerja dapat berasal dari milik sendiri, saham, obligasi, kredit bank, leasing dan project finance. Pihak perusahaan harus mencari kombinasi sumber dana yang mempunyai biaya terendah dan tidak menimbulkan kesulitan likuiditas bagi proyek atau perusahaan yang mensponsori proyek tersebut selama jangka waktu pengembalian dan penggunaan dana. Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analisis aliran kas yang didiskonto (Darusman 1981). Tujuan menganalisis aspek keuangan dari suatu studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, seperti ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus (Umar 2002). Dalam analisis finansial terdapat kriteria kelayakan investasi. Menurut Gittinger (1986) menyebutkan bahwa dana yang diinvestasikan itu layak atau tidak akan diukur melalui kriteria investasi itu Net Present Value, Net Benefit Cost Ratio, dan Internal Rate of Return.
9
NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya (Kadariah et al. 1999). Kriteria yang digunakan dalam menilai suatu proyek adalah bila NPV positif berarti menguntungkan dan NPV negatif menunjukkan kerugian (Soekartawi 1996). Jika NPV > 0 maka proyek tersebut dapat diterima. Jika NPV = 0 maka proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of capital. Jika NPV < 0, proyek ditolak artinya ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek (Kadariah et al. 1999). IRR adalah tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Besarnya tingkat bunga yang menjadikan NPV = 0 itulah yang disebut IRR dari suatu proyek. Kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek ialah bila IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku (IRR > i) (Soekartawi 1996). Jika nilai IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah sebesar 0 artinya proyek dapat dilaksanakan. jika IRR < social discount rate, berarti NPV < 0 maka proyek sebaiknya tidak dilaksanakan (Kadariah et al. 1999) BCR adalah rasio manfaat terhadap biaya. Rasio ini diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya. Suatu proyek dapat dikatakan bermanfaat apabila nilai manfaat (B) lebih besar dari biaya (C) yang dikeluarkan. Kriteria yang dipakai untuk menyatakan suatu usaha tani memberikan manfaat kalau memiliki nilai BCR > 1 (Soekartawi 2002). Menurut Kadariah et al. (1999), jika nilai BCR > 1 berarti NPV > 0 suatu proyek layak untuk dijalankan. Sedangkan jika BCR < 1 maka suatu proyek tidak layak untuk dijalankan.