BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gender Gender adalah kodrat perempuan yang secara perlahan-lahan tersosialisaiskan secara evolusional dan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin merupakan konsep yang kurang tepat. Mansour Fakih (1996) dalam bukunya menyebutkan bahwa konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum lakilaki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Lebih lanjut Mansour Fakih (1996) menjelaskan bahwa pada zaman dahulu kala di suatu suku tertentu perempuan lebih kuat dari laki-laki tetapi pada zaman yang lain dan di tempat yang berbeda laki-laki yang lebih kuat. Juga, perubahan bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Di suku tertentu, perempuan kelas bawah di pedesaan lebih kuat dibandingkan kaum laki-laki. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.
8
Senada dengan Mansour Fakih, Wiliam-de fries (2006) dalam bukunya yang berjudul Gender Bukan Tabu (Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi) mengemukakan Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Gender bukanlah perempuan ataupun lakilaki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang memakai tato di badan dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Wiliam-de fries (2006) juga menambahkan bahwa gender juga berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas sedangkan saat ini dianggap hal yang baik untuk perempuan aktif. Pertanyaannya sekarang, apakah Gender melanggar kodrat? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa kita analisa dari rangkaian pertanyaan berikut: 1. Apakah Gender berkaitan dengan ciri-ciri biologis manusia? 2. Apakah Gender bersifat tetap dari waktu ke waktu? 3. Apakah fungai Gender tidak boleh berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya? 4. Apakah fungsi Gender tidak bisa dipertukarkan? Jika jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah TIDAK, maka jelas bahwa Gender tidak melawan kodrat. Peran Gender tidak akan mengubah kodrat manusia, 9
tidak mengubah jenis kelamin, tidak mengubah fungsi-fungsi biologis dalam diri perempuan menjadi laki-laki dan tidak juga dimaksudkan untuk mendorong perempuan mengubah dirinya menjadi seorang laki-laki, ataupun sebaliknya. Pengertian yang lebih kongkrit dan lebih operasional dikemukakan oleh Nasarudin Umar (1999) dalam bukunya yang berjudul Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur-an, yang mengemukakan bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberi identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain-lain antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat yang didasarkan pada rekayasa sosial. Lebih lanjut Nasarudin Umar (1999) menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.
2.2 Peran Gender Peran gender menurut Myers (1996) dalam Nauly (2002) merupakan suatu set perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan. Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta jangka waktu menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender kita. Berdasarkan pemahaman itu, maka peran gender dapat berbeda di antara satu masyarakat dengan
10
masyarakat lainnya sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, dapat berubah dan diubah dari masa ke masa sesuai dengan kemajuan pendidikan, teknologi, ekonomi dan sebagainya, dan dapat ditukarkan antara laki-laki dengan perempuan. Hal ini berarti, peran gender bersifat dinamis. Berkaitan dengan hal tersebut, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut: (1) Peran produktif (peran di sektor publik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. (2) Peran reproduktif (peran di sektor domestik), adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, membantu anak belajar, berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, membersihkan rumah, mencuci alat-alat rumah tangga, mencuci pakaian dan lainnya. (3) Peran sosial adalah peran yang dijalankan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan, untuk berpartisipasi di dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong royong dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
yang
menyangkut
kepentingan
bersama
(Sudarta, 2004). Menurut Vitayala (1995) dalam Hastuti (2004), dalam era globalisasi yang diiringi dengan daya saing ekonomi yang semakin rumit,kesulitan mencari pekerjaan, dampak rekayasa dan desiminasi inovasi alat kontrasepsi, bentuk-bentuk keluarga akan menjadi sangat kecil. Maka prospek dan pengembangan citra peran perempuan dalam abad XXI, akan berbentuk menjadi beberapa peran yaitu:
11
1. Peran tradisi, yang menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi. Hidupnya 100 persen untuk keluarga. Pembagian kerja jelas perempuan di rumah, laki-laki di luar rumah. 2. Peran transisi, mempolakan peran tradisi lebih utama dari yang lain. Pembagian tugas menuruti aspirasi gender, gender tetap eksis mempertahankan keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggung jawab perempuan. 3. Dwiperan, memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia; peran domestikpublik sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau keresahan. 4. Peran egalitarian, menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian laki-laki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan 5. Peran kontemporer, adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kesendirian. Meskipun jumlahnya belum banyak, tetapi benturan demi benturan dari dominasi laki-laki yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan akan meningkatkan populasinya. Menurut Frieze (1978) dalam Nauly
(2002), peran budaya pada
perkembangan peran gender yang dimulai dengan peran yang mendikte pengkategorisasian dan penggeneralisasian dalam proses kognitif seorang anak. Selanjutnya melalui berbagai alternatif, model budaya juga menyediakan suatu daya dorong dalam perubahan skema kognitif seseorang. Peran budaya ini dimulai dari keluarga, dimana anak mengamati adanya perbedaan perilaku pada keluarga ke dalam sistem kategorinya. Pada skala yang lebih besar, struktur dan organisasi sosial, misalnya struktur keluarga dalam suatu masyarakat merupakan sumber data dimana seorang anak mempergunakannya untuk
12
membentuk stereotip peran gender. Jadi aspek-aspek budaya dari suatu masyarakat mendikte perilaku seseorang melalui model peran anak yang pertama. Selain itu budaya juga mendikte perilaku dari model-model peran yang diproyeksikan dalam setiap kenyataan pada jaringan media. Karakter TV, memerankan stereotip budaya. Media massa menunjukkan konsekuensi dari pelanggaran norma-norma gender, menggambarkan hadiah bagi yang conform (menyesuaikan diri) dengan norma gender dan hukuman bagi yang melakukan penyimpangan. Teman-teman sebaya anak juga menyingkapkan informasi budaya yang sama, budaya mempengaruhi perilaku dari model teman-teman sebaya. Budaya juga mempengaruhi responsrespons orang lain terhadap anak. Dimana kemudian respons masyarakat secara luas juga memberikan masukan sebagai dasar dari stereotip anak (Frieze 1978 dalam Nauly 2002). Kesimpulannya menurut Frieze (1978) dalam Nauly (2002) bila anak berhadapan dengan pola-pola stimulus sosial, ia akan membentuk suatu stereotip gender yang conform dengan stereotip yang ada pada masyarakat tersebut. Namun, bila terdapat model yang tidak sesuai dengan pola stereotip yang ada pada masyarakat tersebut, anak akan memiliki alasan untuk bertanya tentang kebenaran stereotip dan menyesuaikan skema peran peran gender yang dimilikinya. Jadi dalam hal ini budaya berinteraksi dengan perkembangan kognitif dalam perolehan peran gender. Melalui perilaku model-model dan melalui respon-respon terhadap anak, budaya memberikan masukan sensoris yang menyajikan dasar dari stereotip gender pada anak.
13
2.3 Persepsi Terhadap Kesadaran Gender Persepsi adalah inti dari komunikasi. Sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Hal ini jelas tampak menurut Cohen (1994) dalam Mulyana (2001) bahwa persepsi didefinisikan sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal serta pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana. Ahli komunikasi lain (De vito, 1997) mendefinisikan persepsi sebagai proses dengan mana seseorang menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indranya. Persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang diserap dan apa makna yang diberikan kepada seseorang ketika orang tersebut mencapai kesadaran. Louisser dan Poulos (1997) dalam Mugniesyah (2005) mengemukakan lima tipe jenis/bias yang mempengaruhi persepsi, dan dua diantaranya adalah stereotip dan harapan. Stereotip diartikan sebagai suatu proses penyederhanaan dan generalisasi perilaku individu-individu dari anggota kelompok tertentu (etnis, agama, suku bangsa, jenis kelamin, gender, pekerjaan, dan lain sebagainya). Stereotip digunakan pada saat kita sedang menilai seseorang, juga digunakan oleh individu dalam berkomunikasi dengan maksud untuk humor, perlakuan diskriminatif bahkan pelecehan, yang seluruhnya akan menghasilkan pengaruh negatif terhadap hubungan antar manusia (komunikasi interpersonal). Faktor-faktor internal bukan saja mempengaruhi atensi sebagai salah satu aspek persepsi, tetapi juga mempengaruhi persepsi diri seseorang secara keseluruhan, terutama penafsiran atas suatu rangsangan. Menurut Mulyana (2001) adalah agama,
14
ideologi, tingkat intelektual, tingkat ekonomi, pekerjaan dan cita rasa sebagai faktorfaktor internal yang jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu realitas. Subakti (1994) dalam Munandar (1994) mengartikan kesadaran gender sebagai kesadaran akan konstruksi sosial gender yang mengatur alokasi peranan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan harapan yang diletakkan baik pada laki-laki maupun perempuan. Jang Mutalib (1994) dalam Munandar (1994) juga menekankan bahwa kesadaran gender tidak hanya berfokus pada peranan perempuan saja, tapi juga pada peranan laki-laki, dan selalu melihat bagaimana keduanya saling terkait dan saling mengisi. Kesadaran gender yang tinggi menurutnya menunjukkan kemampuan analisis mengidentifikasi masalah-masalah ketimpangan gender yang tidak begitu jelas dari permukaan, sehingga memerlukan pengkajian dan analisis untuk mengungkapkan pola ketimpangan dan diskriminasi gender. Kesadaran gender mengisyaratkan tingkat penyadaran gender yang tinggi dalam melihat masalah-masalah perempuan dalam pembangunan yang menyangkut kesadaran bahwa hambatan yang dihadapi perempuan bukan terutama yang disebabkan oleh kekurangan diri mereka melainkan karena sistem sosial yang mendiskriminasikan mereka. Diskriminasi itu tidak dilakukan secara sadar oleh lakilaki terhadap perempuan tetapi merupakan dampak dari sosio-kultural yang membentuk pola perilaku dalam masyarakat sehingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Gender sebagai kesadaran sosial adalah perbedaan sifat dan peran posisi lakilaki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial dan bukan takdir tuhan (Mufidah, 2002). Menurut Agusni (2005) perlu disadari kesadaran gender (gender awareness) tidak dapat sekaligus dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat. Penyadaran
15
gender perlu waktu untuk terjadinya perubahan pola pikir dan tingkah laku, sehingga diperlukan kesabaran dan ketekunan untuk mengubah nilai dan kebiasaan masyarakat. Senada dengan hal tersebut, Vitayala (1995) dalam Hastuti (2004) menyatakan bahwa kesadaran gender berarti laki-laki dan perempuan bekerja bersama dalam suatu keharmonisan cara, memiliki kesamaan dalam hak, tugas, posisi, peran dan kesempatan, dan menaruh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik yang saling memperkuat dan melengkapi.
2.4 Mahasiswa Susantoro (2003) dalam Rahmawati (2006) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur antara 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Susantoro(2003) dalam Rahmawati (2006) menjelaskan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan obyektif, sistematis, dan rasional. Lebih lanjut Kartono (1985) dalam Rahmawati (2006) menjelaskan bahwa mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain: 1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia. 2. Yang karena kesempatan di atas diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
16
3. Diharapkan dapat menjadi “daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi”. 4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.
2.5 Mata Kuliah Gender dan Pembangunan Kuliah merupakan kegiatan yang membedakan pendidikan formal dan non formal (Suwardjono, 2005). Sedangkan Mata Kuliah Gender dan Pembangunan adalah mata kuliah elektif yang diasuh oleh Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang menjelaskan konsep gender, perkembangan kajian gender dan pembangunan, isu-isu gender dalam pembangunan, penelitian berorientasi gender, serta gender dan perubahan sosial (IPB, 2008).
2.6 Kerangka Pemikiran Mengacu pada tinjauan teoritis, persepsi terhadap kesadaran gender adalah pandangan terhadap kesadaran akan konstruksi sosial gender yang mengatur alokasi peranan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan harapan yang diletakkan baik pada laki-laki maupun perempuan. Mahasiswa adalah seorang individu yang telah mengalami sosialisasi individu. Menurut Berger & Luckmann (1990), sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota masyarakat. Proses sosialisasi primer yang dialami mahasiswa terjadi dalam lingkungan keluarga dan mengalami proses internalisasi akan norma
17
dan nilai sosial. Internalisasi dalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya, sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna secara subyektif bagi diri individu itu sendiri (Berger & Luckmann 1990). Mahasiswa mengalami internalisasi nilai dan norma sosial melalui ajaran orang tuanya lewat peran dan fungsi dirinya di dalam keluarga. Sebagai contoh proses internalisasi, mahasiswa laki-laki yang di rumahnya tidak pernah disuruh oleh orang tuanya melakukan kegiatan mengepel, memasak, dan mencuci akan menjadi individu yang memahami bahwa laki-laki tidak boleh mengepel, mencuci, memasak. Hal tersebut selanjutnya akan melekat kuat di dalam pikiran mahasiswa laki-laki bahwa tugas mengepel, memasak, dan mencuci merupakan tugas untuk perempuan karena di dalam keluarganya yang biasa melakukan kegiatan tersebut adalah pihak perempuan. Peran orang tua dalam menginternalisasi pemahaman mahasiswa sangatlah kuat sehingga tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat penghasilan orang tua sebagai sosialisasi primer menjadi faktor-faktor yang dianggap berhubungan dengan pembentukan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. Tiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur sosial yang obyektif dimana ia
menjumpai
orang-orang
yang
berpengaruh
dan
yang
bertugas
mensosialisasikannya (Berger & Luckmann 1990). Mahasiswa dilahirkan dari suatu struktur sosial yang obyektif yaitu dilahirkan dengan memeluk suatu agama, memiliki suku bangsa, dan memiliki jenis kelamin yang semuanya itu dapat mempengaruhi dan mensosialisasikan pemahaman mereka. Sebagai contoh, mahasiswa yang lahir dari suku batak akan mengalami proses sosialisasi yang kuat
18
bahwa laki-laki sangat berperan penting di dalam setiap kehidupan. Hal tersebut selanjutnya akan membentuk suatu pemahaman mahasiswa bahwa laki-laki merupakan pihak yang lebih penting atau hebat dibandingkan pihak perempuan. Pemahaman mahasiswa tersebut tidak terlepas dari lingkungan keluarga yang selalu menginternalisasi kuat di pikirannya mengenai nilai-nilai akan suku bangsa yang harus dipatuhi dan dikerjakan. Oleh karena itu, baik suku bangsa, jenis kelamin, dan agama merupakan faktor yang terjadi dalam sosialisasi primer khususnya dalam lingkungan keluarga yang turut juga berhubungan atau mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. Sosialisasi sekunder adalah setiap proses berikutnya yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger & Luckmann 1990). Mahasiswa setelah mendapat sosialisasi primer melalui keluarganya juga mendapat proses sosialisasi berikutnya (sekunder) melalui hubungan pertemanan, kegiatan organsisasi yang pernah diikutinya, dan juga interaksi dengan media massa. Melalui sosialisasi sekunder, mahasiswa memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan peranannya. Sebagai contoh, mahasiswa laki-laki yang mengikuti kegiatan organsisasi yang dipimpin oleh seorang perempuan akan memperoleh pengetahuan baru bahwa perempuan dapat juga menjadi pemimpin atau ketua organisasi. Mahasiswa mendapatkan banyak pengetahuan baru yang dapat mengubah pemahaman atau pemikirannya. Oleh karena itu, sosialiasi sekunder yang dalam hal ini kegiatan organsiasi, hubungan dengan teman, dan interaksi dengan media massa merupakan faktor yang berhubungan dengan persepsi mahasiswa teehadap kesadaran gender.
19
Dalam sosialisasi sekunder, keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak diperoleh (Berger & Luckmann 1990). Sebagai contoh, untuk dapat memahami kesadaran gender, mahasiswa harus terlebih dahulu mengetahui konsep gender dan kesadaran gender yang salah satunya didapatkannya melalui mengikuti mata kuliah gender. Nilai mata kuliah gender dan indeks prestasi kumlatif adalah salah satu bagian dari mengikuti mata kuliah gender yang merupakan suatu tahap belajar dalam sosialisasi sekunder. Intelektual mahasiswa yang telah mengikuti Mata Kuliah Gender dan Pembangunan akan mempengaruhi persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. Hal tersebut berdasarkan pada ungkapan Mulyana (2001) menyatakan bahwa agama, ideologi, tingkat intelektual, tingkat ekonomi, pekerjaan dan cita rasa sebagai faktorfaktor internal yang jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu realitas. Mata Kuliah Gender dan Pembangunan merupakan sebuah sosialisasi sekunder yaitu suatu proses yang memberikan pengetahuan baru kepada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah tersebut mengenai konsep gender. Hasil dari mengikuti Mata Kuliah Gender dan Pembangunan adalah nilai mutu dan indeks prestasi kumlatif. Oleh karena itu, nilai mutu dan indeks prestasi kumlatif merupakan faktor yang berhubungan dengan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender Mengacu pada hasil sintesis konsep dan teori yang telah dikemukakan di atas maka persepsi peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender diduga berhubungan dengan sosialisasi primer (jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat penghasilan orang tua) dan sosialisasi sekunder (tempat tinggal, kegiatan organisasi, interaksi
20
dengan media massa, hubungan dengan teman, nilai mutu gender, dan indeks prestasi kumulatif)
Dengan demikian, faktor-faktor yang berhubungan dengan persepsi
mahasiswa terhadap kesadaran gender adalah sosialisasi primer dan sekunder yang dialami oleh mahasiswa. Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, hubungan antar variabel dalam penelitian ini dituangkan ke dalam suatu diagram sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Faktor Sosial 1. Sosialisasi Primer Jenis Kelamin Agama Suku Bangsa Tingkat Pendidikan Orang tua Pekerjaan Orang Tua Tingkat Penghasilan Orang Tua
Persepsi Mahasiswa Terhadap Kesadaran Gender ( Alokasi Peranan, Hak, Kewajiban, Tanggung Jawab, dan
2. Sosialisasi Sekunder Kegiatan Organisasi Interaksi dengan Media Massa Hubungan dengan Teman Tempat Tinggal Nilai Mutu Gender Indeks Prestasi Kumulatif
Harapan)
: Berhubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Persepsi Mahasiswa Peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan Terhadap Kesadaran Gender.
2.7 Hipotesis Penelitian Agar penelitian lebih terarah sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian dan mencapai tujuan penelitian maka dirumuskan hipotesis penelitian.
21
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara sosialisasi primer mahasiswa (jenis kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan tingkat penghasilan orang tua) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara sosialisasi sekunder mahasiswa (tempat tinggal, kegiatan organisasi, interaksi dengan media massa, hubungan dengan teman, nilai mutu gender, dan indeks prestasi kumulatif) dan persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender.
2.8 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Jenis Kelamin yaitu identitas biologis mahasiswa yang terbagi atas dua kategori, yaitu perempuan dan laki-laki. 2. Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Agama terbagi atas lima kategori, yaitu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. 3. Suku bangsa adalah preferensi etnik mahasiswa yang ”diwarisi” dari etnik salah satu atau kedua orang tuanya, dibedakan ke dalam kategori: Batak, Minangkabau, Jawa, Sunda, Tionghoa, dan etnik lainnya. 4. Tempat tinggal adalah tempat mahasiswa tinggal selama mengikuti mata kuliah yang terbagi atas dua kategori yaitu tinggal di kost/kontrakan dan tinggal di rumah orang tua/kerabat.
22
5. Hubungan dengan teman yaitu kedekatan hubungan mahasiswa dengan teman-teman yang dimiliki oleh responden. Hubungan dengan teman diukur dari dua pertanyaan (Lampiran 1, No. 11 & 12) yang kemudian jawaban diberi skor dan dikategorikan menjadi: biasa saja (skor 1-2) dan dekat (skor 3-5). 6. Kegiatan organisasi adalah keikutsertaan mahasiswa dalam suatu kegiatan organisasi diluar kegiatan kuliah. Kegiatan organsasi diukur dari jumlah kegiatan yang diikuti responden yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu: sedikit ( < 4 kegiatan) dan banyak ( ≥ 4 kegiatan). 7. Interaksi dengan media massa yaitu media massa yang sering digunakan oleh responden untuk memperoleh hiburan dan atau mencari informasi, baik media cetak seperti koran, tabloid, majalah, maupun media elektronik seperti televisi, radio, dan internet. Interaksi mahasiswa dengan media massa dikategorikan menjadi: rendah ( ≤ 2 media massa), sedang ( 3 sampai 4 media massa), dan tinggi ( ≥ 5 media massa). 8. Nilai mutu Mata Kuliah Gender dan Pembangunan adalah nilai yang didapat setelah mengikuti Mata Kuliah Gender dan Pembangunan. Nilai mutu dikategorikan menjadi: tinggi (A), sedang (B dan C), rendah ( D dan E). 9. Indeks prestasi kumulatif merupakan nilai bobot rata-rata perkredit dari sejumlah semester yang sudah diambil sampai pada suatu saat dan dihitung sebagai rata-rata dari jumlah semua perkalian nilai bobot suatu matakuliah dengan bobot kredit mata kuliah dibagi oleh jumlah
23
bobot kredit mata kuliah dari semua mata kuliah yang diambil seorang mahasiswa sampai pada saat tertentu. Indeks prestasi kumulatif dikategorikan menjadi: rendah (ipk < 2,75), sedang (ipk 2,75 – 3,50), tinggi (ipk > 3,50). 10. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh kedua orang tua mahasiswa baik ayah maupun ibunya; dibedakan ke dalam tiga kategori: tingkat pendidikan rendah (tidak sekolah dan SD), sedang (SLTP dan SMU), dan tinggi ( Diploma dan Sarjana). 11. Pekerjaan orang tua adalah mata pencaharian yang dimiliki oleh orangtua baik ayah maupun ibu mahasiswa. Dikategorikan sebagai berikut: 1. Tidak Bekerja
2. PNS
3. Guru/dosen
4. TNI/Polri
5. Buruh
6. Swasta
7. Pedagang
8. Lainnya
12. Tingkat penghasilan orang tua adalah jumlah uang dalam rupiah yang dihasilkan oleh orang tua mahasiswa setiap bulan. Penghasilan orang tua diukur berdasarkan penggabungan penghasilan ayah dan ibu responden setiap bulan, yang dikategorikan menjadi: rendah ( < Rp. 1.000.000), sedang ( Rp. 1.000.000 sampai Rp. 5.000.000), dan tinggi ( > Rp. 5.000.000) 13. Alokasi peranan adalah pembentukan karakter tertentu yang biasanya ditujukan kepada jenis kelamin tertentu dan skor alokasi peranan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
24
1. Rendah
: 7 ≤ Skor ≤ 16
2. Sedang
: 17 ≤ Skor ≤ 26
3. Tinggi
: 27 ≤ Skor ≤ 35
14. Hak adalah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengakses sesuatu dan skor hak dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu 1. Rendah
: 4 ≤ Skor ≤ 9
2. Sedang
: 10 ≤ Skor ≤ 15
3. Tinggi
: 16 ≤ Skor ≤ 20
15. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh seseorang, berkaitan dengan peran yang dijalaninya dan skor kewajiban dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Rendah
: 4 ≤ Skor ≤ 9
2. Sedang
: 10 ≤ Skor ≤ 15
3. Tinggi
: 16 ≤ Skor ≤ 20
16. Tanggung jawab adalah keadaan wajib yang harus ditanggung atas segala sesuatu/akibat yang berkaitan dengan peran/perbuatan yang dijalaninya, dan skor tanggung jawab dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: 1. Rendah
: 4 ≤ Skor ≤ 9
2. Sedang
: 10 ≤ Skor ≤ 15
3. Tinggi
: 16 ≤ Skor ≤ 20
17. Harapan adalah keinginan yang ditujukan kepada jenis kelamin tertentu berkaitan dengan peran yang dijalaninya, dan skor harapan dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
25
1. Rendah
: 4 ≤ Skor ≤ 9
2. Sedang
: 10 ≤ Skor ≤ 15
3. Tinggi
: 16 ≤ Skor ≤ 20
18. Persepsi mahasiswa peserta Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender yaitu pandangan mahasiswa yang telah mengikuti Mata Kuliah Gender dan Pembangunan terhadap kesadaran gender, yang diukur melalui alokasi peranan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan harapan yang dilekatkan baik pada laki-laki maupun perempuan yang berlaku di masyarakat dan tidak mengandung unsur kesetaraan gender. Semakin banyak mahasiswa tersebut tidak setuju terhadap pernyataan yang disajikan maka tingkat persepsi terhadap kesadaran gender akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin banyak mahasiswa tersebut setuju terhadap pernyataan yang disajikan maka persepsi terhadap kesadaran gendernya akan semakin rendah. Skor persepsi mahasiswa terhadap kesadaran gender diperoleh dari penjumlahan beberapa skor sub variabel, yaitu: skor peranan, hak, kewajiban, tanggung jawab, dan harapan sehingga skor tingkat kesadaran gender dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Rendah
: 23 ≤ Skor ≤ 54
2. Sedang
: 55≤ Skor ≤ 86
3. Tinggi
: 87 ≤ Skor ≤ 11
26