BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hujan
2.1.1 Definisi Hujan
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari
alam yang terdapat di atmosfer. Bentuk presipitasi lainnya adalah salju dan es.
Hujan berasal dari uap air di atmosfer, sehingga bentuk dan jumlahnya
dipengaruhi oleh faktor klimatologi seperti angin, temperatur dan tekanan
atmosfer. Uap air tersebut akan naik ke atmosfer sehingga mendingin dan terjadi kondensasi menjadi butir-butir air dan kristal-kristal es yang akhirnya jatuh sebagai hujan (Bambang Triatmojo, 1998)
Jumlah air yang jatuh ke permukaan bumi daoat diukur dengan
menggunakan alat penakar hujan. Distribusi hujan dalam ruang dapat diketahui
dengan mengukur hujan beberapa lokasi pada daerah yang ditinjau, sedangkan distribusi waktu dapat diketahui dengan mengukur hujan sepanjang waktu. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan milimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan milimeter (mm).
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat
yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar, tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter.
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu.
Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat
berbahaya karena dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman.
Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di
dalam tampungan baik di atas maupun dibawah permukaan tanah. Jumlah dan variasi debit sungai tergantung pada jumlah, intensitas dan distribusi hujan.
Terdapat hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang 6
bersangkutan. Apabila data pencatatan debit tidak ada, data pencatatan hujan dapat digunakan untuk memperkirakan debit aliran. 2.1.2 Klasifikasi Hujan
Hujan dapat dibedakan menjadi empat (4) tipe, pembagiannya
berdasarkan faktor yang menyebabkan terjadinya hujan tersebut: 1) Hujan Orografi
Hujan ini terjadi karena adanya penghalang topografi, udara
dipaksa naik dan kemudian mengembang dan mendingin terus
mengembun dan selanjutnya dapat jatuh sebagai hujan. Bagian lereng
yang menghadap angin hujannya akan lebih lebat dari pada bagian lereng yang ada di belakangnya. Curah hujan berbeda menurut ketinggiannya,
biasanya curah hujan makin besar pada tempat-tempat yang lebih tinggi sampai suatu ketinggian tertentu.
2) Hujan Konvektif
Hujan ini merupakan hujan yang paling umum terjadi di daerah
tropis. Panas yang menyebabkan udara naik ke atas kemudian mengembang dan secara dinamika menjadi dingin dan berkondensasi dan
akan jatuh sebagai hujan. Proses ini khas buat terjadinya badai Guntur yang terjadi di siang hari yang menghasilkan hujan lebat pada daerah yang sempit. Badai Guntur lebih sering terjadi di lautan dari pada di daratan.
3) Hujan Frontal
Hujan ini terjadi karena adanya front panas, awan yang terbentuk
biasa tipe stratus dan biasanya terjadi hujan rintik-rintik dengan intensitas
kecil. Sedangkan pada front dingin, awan yang terjadi biasanya tipe cumulus dan cumulonimbus dimana hujannya lebat dan cuaca yang
timbul sangat buruk. Hujan front ini tidak terjadi di Indonesia karena di Indonesia tidak terjadi front.
4) Hujan Siklon Tropis
Siklon tropis hanya dapat timbul di daerah tropis antara lintang 0º-
10º lintang utara dan selatan tidak berkaitan dengan front, karena siklon 7
ini berkaitan dengan sistem tekanan rendah. Siklus tropis dapat timbul di
lautan yang panas, karena energy utamanya diambil dari panas laten yang terkandung dari uap air. Siklon tropis akan mengakibatkan cuaca yang buruk dan hujan yang lebat pada daerah yang dilaluinya. 2.2
Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.2.1 Definisi Umum DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang
dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh dan mengalir ke sungai lalu bermuara ke danau/laut.
DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah,
air dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya. Sebagai suatu
ekosistem, di DAS terjadi interaksi antara faktor biotik dan fisik yang menggambarkan keseimbangan masukan dan keluaran berupa erosi dan sedimentasi.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian DAS adalah sebagai
berikut:
a. Suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan kemudian mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui suatu sungai utama.
b. Suatu daerah aliran sungai yang dipisahkan dengan daerah lain oleh pemisah
topografis sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah daratan terbagi beberapa DAS.
c. Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS adalah sumberdaya alam (tanah,
vegetasi dan air) yang merupakan sasaran dan manusia yang merupakan pengguna sumber daya yang ada.
d. Unsur utama (sumberdaya alam dan manusia) di DAS membentuk suatu
ekosistem dimana peristiwa yang terjadi pada suatu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya.
Daerah Aliran Sungai (DAS) ditentukan dengan menggunakan peta
topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. Garis-garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan permukaan. Limpasan berasal dari titik-titik
8
tertinggi dan bergerak menuju titik-titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus
dengan garis-garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang mengubungkan
titik-titik tertinggi tersebut adalahDAS. Gambar 2.1 menunjukkan contoh bentuk DAS. Dalam gambar tersebut ditunjukkan pula penampang pada keliling DAS.
Garis yang mengelilingi DAS tersebut merupakan titik-titik tertinggi. Air hujan yang jatuh didalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain di sebelahnya.
Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta Topografi.
Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin
besar DAS, semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakijn besar pula aliran permukaan atau debit sungai.
A
A
Punggungbukit (Batas DAS)
Sungai Tampang A-A
Gambar 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)
9
2.2.2 Klasifkasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola
dimana bentuk ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah DAS. Klasifikasi bentuk DAS sebagai berikut:
a. DAS bulu burung
Anak sungainya langsung mengalir ke sungai utama. DAS atau Sub-DAS ini mempunyai debit banjir yang relatif kecil karena waktu tiba yang berbeda.
b. DAS Radial
Laut
A
Anak sungainya memusat di satu titik secara radial sehingga menyerupai
bentuk kipas atau lingkaran. DAS atau Sub-DAS radial memiliki banjir yang relatif besar tetapi tidak relatif lama.
Laut
B
10
c. DAS Pararel
DAS ini mempunyai dua jalur sub-DAS yang bersatu.
Laut
C
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah kumpulan dari beberapa Sub-DAS.
Sub-DAS merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem yang terbentuk secara
alamiah, air hujan meresap atau mengalir melalui sungai hingga ke hilir dan ke pelosok daerah. Manusia yang dengan segala kegiatannya, air dalam permukaan,
hewan dan tumbuhan adalah suatu ekosistem di Sub-DAS yang saling berinteraksi.
Pengelolaan DAS adalah suatu kegiatan yang menggunakan segala sumber
daya alam yang ada, sosial-ekonomi secara rasional untuk menghasilkan produksi
(barang/jasa) yang optimum tanpa ada batasan waktu (Sustainable) dengan menekan bahaya kerusakan seminimal mungkin dengan hasil akhir kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (N.Sinukaban, 2000).
Konsep dasar pengelolaan DAS adalah bahwa keberhasilan pengelolaan
akan terwujud jika semua pengambil kebijakan ikut berperan aktif dalam mengelola DAS untuk memperbaiki kesejahteraan dan sosial ekonomi negara dan manusia seperti pemerintah, badan pemerintahan negara dan internasional, lembaga keuangan dan masyarakat.
Tujuan pengelolaan DAS antara lain:
a. Menyediakan air, mengamankan sumber-sumber air dan mengatur pemakaian air sesuai kebutuhan pemakaian.
11
b. Menyelamatkan tanah dari erosi serta meningkatkan dan memperthankan kesuburan tanah.
c. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
Intinya tujuan dilakukannya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
adalah Sustainable Watershed Development artinya dengan memanfaatkan sumber daya alam di dalam DAS secara berkelanjutan dan tentunya tidak membahayakan lingkungan di sekitarnya. 2.3
Hidrologi
2.3.1 Definisi Umum Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai
terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat-sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama dengan makhluk hidup. Penerapan ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam beberapa kegiatan sipil seperti perencanaan dan operasi bangunan
air, penyediaan air untuk berbagai keperluan (air bersih, irigasi, perikanan dan
peternakan), pembangkit listrik tenaga air, pengendalian banjir, pengendalian erosi dan sedimentasi, transportasi air, drainase dan limbah dan lain-lain.
Hidrologi banyak dipelajari oleh para ahli di bidang teknik sipil dan
pertanian. Ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan berikut:
1. Memperkirakan besarnya banjir yang ditimbulkan oleh hujan deras, sehingga
dapat direncanakan bangunan-bangunan untuk mengendalikannya seperti pembuatan tanggul banjir, saluran drainase, gorong-gorong dan jembatan.
2. Memperkirakan jumlah air yang dibutuhkan oleh suatu jenis tanaman sehingga dapat direncanakan bangunan untuk melayani kebutuhan tersebut.
3. Memperkirakan jumlah air yang tersedia di suatu sumber air (mata air, sungai,
dan danau). Untuk dapat dimanfaatkan guna berbagai keperluan seperti air baku (air untuk keperluan rumah tangga, perdagangan dan industri), irigasi,
pembangkit listrik tenaga air, perikanan, peternakan dan lain sebagainya. (Bambang Triatmodjo, 1998)
12
2.3.2 Siklus Hidrologi Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan
(rainfall). Air laut yang menguap karena adanya radiasi matahari dan awan yang terjadi oleh uap air, bergerak di atas daratan akibat adanya gerakan angin.
Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir uap air akibat
desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju yang jatuh ke tanah yang
berbentuk limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke laut. Curah hujan yang jatuh di atas permukaan daerah aliran sungai, selalu mengikuti proses yang disebut dengan “Siklus Hidrologi” (Soemarto, 1987).
Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi, hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah akan berubah dalam bentuk evapotranspirasi, limpasan
permukaan (surface runoff), infiltrasi, perkolasi, dan aliran air tanah. Untuk di tingkat DAS parameter-parameter ini akhirnya menjadi aliran sungai.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan analisis hujan, maka ada 5 besaran
pokok yang perlu dikaji dan dipelajari (Soemarto, 1987), yaitu :
a. Intensitas (i), adalah laju curah hujan yaitu tinggi air per satuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, mm/hari.
b. Lama waktu atau durasi (t), adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit atau jam.
c. Tinggi hujan (d), adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air diatas permukaan datar, dalam mm.
d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang (return period) (T), misalnya sekali dalam T tahun.
e. Luas (A), adalah daerah tangkapan curah hujan, dalam km2. 2.4
Analisis Hidrologi Analisis hidrologi merupakan bidang yang sangat rumit dan kompleks. Hal
ini dikarenakan oleh ketidakpastian siklus hidrologi itu sendiri, rekaman data dan
kualitas data. Karena hujan adalah kejadian yang tidak dapat diprediksi secara pasti seberapa besar curah hujan yang akan terjadi pada suatu periode waktu, maka diperlukan analisis hidrologi (Bambang Triatmodjo,1998)
13
2.4.1 Hujan Rencana Dalam analisis hujan-aliran untuk memperkirakan debit banjir rencana
diperlukan masukan hujan rencana ke dalam suatu sistem DAS. Pada perencanaan bangunan air misalnya bangunan pelimpah suatu bendungan, perencanaan tanggul
banjir, analisis penelusuran banjir (flood routing) di waduk dan sungai, diperlukan hidrograf banjir rencana dengan periode ulang tertentu. Hidrograf banjir dapat
diperoleh dengan menggunakan metode hidrograf satuan. Dan data masukan yang diperlukan adalah hietograf hujan rencana.
Pencatatan hujan biasanya dalam bentuk data hujan harian, jam-jaman atau
menitan. Pencatatan dilakukan dengan interval waktu pendek supaya distribusi
hujan selama terjadinya hujan dapat diketahui. Distribusi hujan yang terjadi digunakan sebagai masukan untuk mendapatkan hidrograf aliran. Dalam analisis
hidrograf banjir rencana dengan memasukkan hujan rencana dengan periode ulang tertentu yang diperoleh dari analisis frekuensi, tapi biasanya parameter hujan
seperti durasi dan pola distribusi tidak diketahui, padahal parameter tersebut sangat diperlukan (Bambang Triatmodjo, 1998).
Data Hujan
Beberapa dari hasil presispitasi , hujan lah yang paling biasa diukur dari
hasil pengukuran. Karena menurut pakar-pakar hidrologi, dari beberapa hasil presispitasi tersebut yakni produk dari awan yang turun sebagai air hujan ataupun
salju (sejauh tak menyangkut salju selanjutnya dianggap sebagai hujan), dan
hanya seperempatnya yang kembali ke laut melalui limpasan langsung (direct
runoff) atau melalui aliran air tanah (ground water flow).Jumlah hujan yang terjadi dalam suatu DAS merupakan besaran yang sangat penting dalam sistem DAS tersebut, karena hujan menjadi masukan yang utama ke dalam suatu DAS.
Walaupun kita bisa mengukur secara langsung dengan menampung air hujan yang jatuh, bukan berarti kita menampung hujan di seluruh daerah tangkapan air,
karena hujan di suatu daerah hanya dapat diukur di beberapa titik yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, pengukurannya harus dilakukan seteliti mungkin.
Dalam menganalisisnya, pada umumnya tidak hanya data hujan kumulatif
harian saja yang diperlukan, tapi juga diperlukan data hujan jam-jaman bahkan 14
menitan. Dan demi mendapat data-data atau perkiraan besaran hujan yang baik terjadi dalam suatu DAS tersebut, maka diperlukan beberapa stasiun hujan.
Data-data hujan yang telah dikumpulkan oleh stasiun-stasiun hujan
haruslah merupakan data yang mendukung kesalahan yang sekecil mungkin,
supaya hasil analisis nantinya tidak diragukan sebagai acuan dalam perencanaan bahkan perancangan.
Uji Konsistensi
Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya
tidak konsisten (Inconsistence). Data semacam ini tidak dapat langsung di analisis, karena sebenarnya data didalamnya berasal dari populasi data yang berbeda. Tidak konsistensinya data seperti ini dapat saja terjadi karena alat ukur yang diganti atau dipindahkan dari tempatnya, atau situasi lokasi penempatan alat ukur mengalami perubahan.
Metode yang digunakan untuk pengujian data adalah metode RAPS
(Rescaled Adjusted partial Sums) yaitu pengujian dengan menggunakan data hujan tahunan rata-rata dari stasiun yang sudah ditetapkan dengan melakukan pengujian
kumulatif
penyimpangan
kuadrat
terhadap
Persamaannya adalah sebagai berikut: (Sri Harto,1993) So*= 0 Sk*=
(Yi Y) n
, dengan k = 1,…, n
2
(2.2) (2.3)
Sk**= Sk*/Dy, dengan k = 0,1,…,n Nilai Statistik Q
reratanya. (2.1)
0 ik 1 ( Y I Y ) 2
Dy2
nilai
Q = max Sk * * , dimana 0 ≤ k ≤ n
Nilai Statistik R (Range)
R = Sk** max - Sk** min, dimana 0 ≤ k ≤ n
(2.4) (2.5)
(2.6)
15
n
10 20 30 40 50 100
90% 1,05 1,10 1,12 1,13 1,14 1,17 1,22
Sumber : Sri Harto, 1993
Q/√n 95% 1,14 1,22 1,24 1,26 1,27 1,29 1,36
99% 1,29 1,42 1,46 1,5 1,52 1,55 1,63
90% 1,21 1,34 1,4 1,42 1,44 1,5 1,62
Tabel 2.1Nilai Q/√n dan R/√n
R/√n 95% 1,28 1,43 1,5 1,53 1,55 1,62 1,75
99% 1,38 1,6 1,7 1,74 1,78 1,86 2
2.4.2 Penentuan Hujan Kawasan Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik mana
stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu
stasiun pengukur yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama.
Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata
pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu: 1. Metode Rerata Aritmatik (Aljabar).
P2 50m
P1
P3 50m
Gambar2.2 Pengukuran Tinggi Curah Hujan Metode Aljabar
Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata
pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu 16
yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun
hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam
DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga masih bisa diperhitungkan.
Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila :
- Stasiun tersebar secara merata di DAS.
- Distribusi hujan relative merata pada seluruh DAS.
Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh bentuk berikut : P=
Dengan:
p1 + p2 + p3 +….pn
P
= hujan rerata kawasan
n
= jumlah stasiun
P1, p2,…,pn
(2.7)
n
= hujan pada stasiun 1,2,3,…,n
2. Metode Thiessen
50
40
20
30
Gambar 2.3 Pengukuran Tinggi Curah Hujan Metode Poligon Thiesen Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa 17
hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila
penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah
hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun.
Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut ini:
a. Stasiun-stasiun hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk
stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2
b. Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama.
c. Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh pada Gambar 2.2
d. Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun.
Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang
berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.
e. Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.
f. Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini.
Perhitungan polygon Thiessen adalah sebagai berikut : P= Dengan: p
p1,p2….pn
A1,A2,…An
A1P1 + A2P2 ….+AnPn A1+A2….+An
(2.8)
= Hujan rerata kawasan
= Hujan pada stasiun 1,2,3,..n
= Luas daerah stasiun 1,2,3..n 18
Metode Poligon Thiessen ini banyak digunakan untuk menghitung rerata
kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan, seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi Poligon Thiessen yang baru. 3. Metode Isohiet
Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode Isohiet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah
diantara dua garis Isohiet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohiet tersebut. 2.3):
Pembuatan garis Isohiet dilakukan dengan prosedur berikut ini (Gambar
a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah yang ditinjau.
b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.
c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis Isohiet dan intervalnya.
d. Diukur luas daerah antara dua isohiet yang berurutan dan kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohiet.
e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis Isohiet dibagi dengan
luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut.
Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis : p=
A
I1 + I2 I2 + I3 + A 2 2
+ ……
+ A
A1 + A2 + …….+An
In + I(n+1) 2
(2.9)
Atau
19
(2.10) Dengan: p
I1, I2 ,…., In
A1, A2,…,A3
= hujan rerata kawasan
= garis isohiet ke 1,2,3,…n, n+1
= luas daerah yang dibatasi oleh garis isohietke 1 dan 2, 2 dan 3,…, n dan n+1
50
A= 50mm 45
B= 40mm
40 35 30
40
C= 20mm
45
25
20
35 D= 30mm
25 30
50 45
45
40 35 30
40
25
20
35
25 30
Gambar 2.4 Pengukuran Tinggi Curah Hujan Metode Isohiet 20
2.4.3 Penentuan Analisis Frekuensi Penentuan jenis distribusi frekuensi digunakan untuk mengetahui suatu
rangkaian data cocok untuk suatu sebaran tertentu dan tidak cocok untuk sebaran
lain. Untuk mengetahui kecocokan terhadap suatu jenis sebaran tertentu, perlu dikaji terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu meliputi: 1. Menghitung parameter-parameter statistik Cs dan Ck.
(untuk menentukan macam analisis frekuensi yang dipakai).
2. Koefisien kepencengan / skewness (Cs) dihitung menggunakan persamaan: (2.11) 3. Koefisien kepuncakan / curtosis (Ck) dihitung menggunakan persamaan: (2.12)
4. Koefisien Variansi (Cv) (2.13) Dimana: n
= jumlah data
S
= simpangan baku (standardeviasi)
X
= rata-rata data hujan (mm)
= data hujan (mm)
21
Tabel 2.2 Persyaratan Pemilihan Jenis Distribusi/Sebaran Frekuensi No. 1.
Normal
3.
Gumbel
2.
4.
Sebaran
Log Normal
Cs = 0
Syarat
Cs = 3 Cv
Cs = 1,1396
Ck = 5,4002
Bila tidak ada yang memenuhi syarat digunakan sebaran Log Person Type III
Sumber : Sri Harto, 1993
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang
banyak digunakan dalam hidrologi yaitu Distribusi Normal, Log Normal, Log Person Tipe III dan Gumbel. 1. Distribusi Normal
Distribusi Normal / kurva normal juga disebut dengan Distribusi Gauss.
Fungsi densitas peluang normal (PDF = probability density function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi normal. PDF distribusi
normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya sebagai berikut:
(2.14)
Keterangan: P(X) X µ σ
= fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal)
= variable acak kontinu
= rata-rata nilai X
= simpangan baku dari nilai X Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistic σ dan μ.
Bentuk kurvanya simetris terhadap X = μ, dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati (berasimtut) sumbu datar X dan dimulai dari X= μ+3σ dan X= μ-3σ. Nilai mean = median = modus. Nilai mempunyai batas: -<X<+
22
2. Distribusi Log-Normal
Jika variabel Y= logX terdistribusi secara normal, maka X dikatakan
mengikuti distribusi Log Normal. PDF (probability density function) untuk distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya, sebagai berikut:
X>0
(2.15)
Keterangan:
P (X) = Peluang Log Normal X
µy σy
= nilai variat pengamatan
= nilai rata-rata populasi y
= deviasi standar nilai variat Y Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang logaritmik
akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan:
YT = µ + KTσ Yang dapat didekati dengan :
YT = Y + KTS
(2.16)
(2.17) (2.18)
Keterangan : YT
= perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
Y
= nilai rata-rata hitung variat
KT
= factor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan
S
= deviasi standar nilai variat
tipe modal matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.
23
3. Distribusi Log Person Tipe III
Salah satu distribusi dari serangkaian distribusi yang dikembangkan
Person yang menjadi perhatian ahli sumberdaya air adalah Log-Person Tipe III
(LP.III). pada Log-Person Tipe III, parameter statistik yang diperlukan pada distribusi ini adalah harga rata-rata, standar deviasi dan koefisien kepencengan.
Untuk menghitung banjir rencana dalam praktek, The Hydrology Comitte
of the Water Resources CounciUSA, menganjurkan pertama kali mentransformasi data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya.
Secara
garis
(Soemarto,1995):
besar
langkah-langkahnya
adalah
sebagai
berikut
1. Ubahlah data banjir tahunan sebanyak n buah tersebut ke dalam harga logaritmanya (X1,X2,.....Xn menjadi log X1, log X2,.....log Xn)
2. Hitung harga rata-ratanya menggunakan rumus:
(2.19)
3. Hitung harga simpangan bakunya menggunakan rumus: (2.20) 4. Hitung koefisien kepencengannya menggunakan rumus:
(2.21)
5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T menggunakan rumus:
Dimana:
Log XT = log X + K.S
XT
= curah hujan dengan periode ulang tahun
G
= factor penyimpangan, seperti tabel 2.2
(2.22)
Log X = rata-rata log curah hujan harian maksimum CS S
= koefisien penyimpangan
= simpangan baku
24
Tabel 2.3 Nilai K untuk distribusi Log-Person III Koef G 3 2,8 2,6 2,4 2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1 -1,2 -1,4 -1,6 -1,8 -2 -2,2 -2,4 -2,6 -2,8 -3
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang 1,0101 1,25 2 5 10 25 50 Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded) 99,000 80,000 50,000 20,000 10,000 4,000 2,000 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,092 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,063 2,780 -1,313 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 -1,558 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 -2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,726 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,266 1,448 1,606 -3,022 -0,785 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 -7,051 0,420 0,369 0,636 0,660 0,666 0,666
Sumber :Suripin, 2004
Tabel 2.4 Faktor Penyimpngan (G) untuk distribusi Log-Person III
25
100 1,000 4,051 3,973 2,889 3,800 3,705 3,605 3,499 3,388 3,271 3,149 3,022 2,891 2,755 2,615 2,472 2,326 2,178 2,029 1,880 1,733 1,588 1,449 1,318 1,197 1,087 0,990 0,905 0,832 0,769 0,714 0,667
Cs (Koef Penyimpangan) 3,0 2,5 2,2 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1,0 -1,2 -1,4 -1,6 -1,8 -2,0 -2,2 -2,5 -3,0
2
5
50 -0,396 -0,360 -0,330 -0,307 -2,282 -0,254 -0,255 -0,195 -0,164 -0,148 -0,132 -0,116 -0,099 -0,083 -0,066 -0,050 -0,033 -0,017 0,000 0,017 0,033 0,500 0,066 0,083 0,099 0,116 0,132 0,148 0,164 0,195 0,255 0,254 0,282 0,307 0,330 0,360 0,396
20 0,420 0,518 0,574 0,609 0,643 0,675 0,705 0,732 0,758 0,769 0,780 0,790 0,800 0,808 0,816 0,824 0,830 0,836 0,842 0,836 0,850 0,853 0,855 0,856 0,857 0,857 0,856 0,854 0,852 0,844 0,832 0,817 0,799 0,777 0,752 0,711 0,636
Sumber :Soemarto, 1995
Kala Ulang (Tahun) 10 25 50 100 Kemungkinan terjadinya banjir (%) 10 4 2 1 1,180 2,278 3,152 4,051 1,250 2,262 3,048 3,845 1,284 2,400 2,970 3,705 1,302 2,219 2,912 3,605 1,318 2,193 2,848 3,499 1,329 2,163 2,780 3,388 1,337 2,128 2,700 3,271 1,340 2,087 2,626 3,149 1,340 2,043 2,542 3,022 1,339 2,018 2,498 2,957 1,336 1,998 2,453 2,891 1,333 1,967 2,407 2,824 1,328 0,939 2,359 2,755 1,323 1,910 2,311 2,686 1,317 1,880 2,261 2,615 1,301 1,849 2,211 2,544 1,292 1,818 2,159 2,472 1,282 1,785 2,107 2,400 1,270 1,751 2,054 2,326 1,258 1,716 2,000 2,252 1,245 1,680 1,945 2,178 1,231 1,643 1,890 2,104 1,216 1,606 1,834 2,029 1,200 1,567 1,777 1,955 1,183 1,528 1,720 1,880 1,166 1,488 1,663 1,806 1,147 1,448 1,606 1,733 1,128 1,407 1,549 1,660 1,086 1,366 1,492 1,588 1,086 1,282 1,379 1,449 1,041 1,198 1,270 1,318 0,994 1,116 1,166 1,197 0,945 1,035 1,069 1,087 0,895 0,959 0,980 0,990 0,844 0,888 0,900 0,905 0,771 0,793 0,798 0,799 0,660 0,666 0,666 0,667
200
1000
0,5 4,970 4,652 4,444 4,298 4,147 3,990 3,828 3,661 3,489 3,401 3,312 3,223 3,132 3,041 2,949 2,856 2,763 2,970 2,576 2,482 2,388 2,294 2,201 2,108 2,016 1,926 1,837 1,749 1,664 1,501 1,351 1,216 1,097 0,995 0,907 0,800 0,667
0,1 7,250 6,600 6,200 5,910 5,660 5,390 5,110 4,820 4,540 4,359 4,250 4,105 3,960 3,815 3,670 3,525 3,380 3,235 3,090 2,950 2,810 2,675 2,540 2,400 2,275 2,150 2,035 1,910 1,800 1,625 1,465 1,280 1,130 1,000 0,910 0,802 0,668
4. Distribusi Gumbel deret
Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam harga-harga
eksponensial ganda.
ekstrim
X1,X2,X3,.....Xn mempunyai
Xt = X + S * K
fungsi
distribusi (2.23) 26
(2.24)
Dimana : X = harga rata-rata sampel S
= standar deviasi (simpangan baku) sampel
Yt
= reduced variate sebagai fungsi periode ulang “T” tahun.
(2.25)
Dimana : Sn
= reduced standart deviation yang tergantung dari jumlah data
Yn
= reduced mean yang juga tergantung dari jumlah data
Untuk besaran K, Sn, Yn, Yt dapat dilihat pada tabel 2.3 sampai dengan tabel 2.6 Tabel 2.5 Faktor Frekuensi untuk Nilai Ekstrim (K) n
15 20 25 30 40 50 60 70 75 100
10 1,703 1,625 1,575 1,541 1,495 1,466 1,466 1,430 1,432 1,401
Sumber :Suripin, 2004
20 2,410 2,302 2,235 2,188 2,126 2,086 2,059 2,038 2,029 1,998
Kala Ulang (tahun) 25 50 75 2,632 3,321 3,721 2,517 3,179 3,563 2,444 3,088 3,463 2,393 3,026 3,393 2,326 2,943 3,031 2,283 2,889 3,241 2,253 2,852 3,200 2,230 2,824 3,169 2,220 2,812 3,155 2,187 2,770 3,109
Tabel 2.6 Simpangan Baku Tereduksi (Sn) n 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 0,94 1,06 1,11 1,14 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20 1,20
1 0,96 1,06 1,11 1,14 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20
2 0,98 1,07 1,11 1,14 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20
3 0,99 1,08 1,12 1,14 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20
4 1,00 1,08 1,12 1,14 1,16 1,18 1,18 1,19 1,20
5 1,02 1,09 1,12 1,15 1,16 1,18 1,18 1,19 1,20
6 1,03 1,09 1,13 1,15 1,16 1,18 1,19 1,19 1,20
100 4,005 3,836 3,729 3,653 3,554 3,491 3,446 3,413 3,400 3,349
7 1,04 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,19 1,20
1000 6,265 6,006 5,842 5,727 5,476 5,478 5,359 5,261
8 1,04 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,19 1,20
9 1,05 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,20 1,20
Sumber :Suripin 2004
27
Tabel 2.7 Rata-rata Tereduksi (Yn) n 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 ,495 ,532 ,536 ,543 ,548 ,552 ,554 ,556 ,558 ,560
1 ,499 ,525 ,537 ,544 ,549 ,552 ,555 ,557 ,558
2 ,503 ,526 ,538 ,544 ,549 ,552 ,555 ,557 ,558
3 ,507 ,528 ,538 ,545 ,549 ,553 ,555 -0,557 ,559
4 ,510 ,529 ,539 ,545 ,550 ,553 ,555 ,557 ,559
5 ,512 ,530 ,540 ,546 ,550 ,553 ,555 ,558 ,559
6 ,515 ,532 ,541 ,546 ,550 ,553 ,556 ,558 ,559
7 ,518 ,533 ,541 ,547 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
8 ,520 ,534 ,542 ,547 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
Sumber :Suripin 2004
Tabel 2.8 Hubungan antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi (Yt) Kala Ulang (tahun) 2 5 10 25 50 100
Sumber :Suripin, 2004
Faktor Reduksi (Yt) 0,3665 1,4999 2,2502 3,1985 3,9019 4,6001
2.4.4 Pengeplotan Data Pengeplotan data merupakan nilai probabilitas yang dimiliki oleh masing-
masing data yang diplot. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menentukan posisi pengeplotan yang sebagian besar dibuat secara empiris. Untuk
keperluan penentuan posisi ini, data hidrologi data hujan dan banjir) yang telah ditabelkan diurutkan dari besar ke kecil (berdasarkan peringkat m), dimulai
dengan m=1 untuk data dengan nilai tertinggi dan m=n (n adalah jumlah data) untuk data dengan nilai terkecil. Periode ulang Tr dapat dihitung dengan persamaan Weibull, yaitu:
(2.26)
28
9 ,522 ,532 ,543 ,548 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
Dengan: m n
= nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil = banyak data atau jumlah kejadian (event)
2.4.5 Uji Distribusi Frekuensi Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi
frekuensi sampel data terhadap distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov. Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi yang telah dipilih mewakili distribusi statistik sampel data yang
dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut: Dengan :
(2.27)
Xh2 = parameter chi-kuadratterhitung G
Oi Ei
= jumlah sub kelompok
= jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan persamaan Sturges: Dengan : K n
K= 1 + 3,332 log n
= jumlah kelas = jumlah data
Derajat bebas (number of degrees of freedom) Dimana : h
V=K–h–1
= jumlah parameter = 2 29
Interprestasi hasil uji adalah sebagai berikut:
a) Apabila peluang lebih dari 5%, maka persmaan distribusi yang digunakan dapat diterima.
b) Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima.
c) Apabila peluang berada diantara 1-5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu tambahan data.
Tabel 2.9. Harga Chi-Square (X2) untuk Chi-Square Test. Degres of Freedom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Probability of a Deviation Greter then X^2 0.2 1.642 3.129 4.642 5.989 7.274 8.558 9.803 11.03 12.242 13.442 14.631 15.812 16.985 18.151 19.311 20.465 21.615 22.76 23.9 25.038
Sumber: Shasin, 1976
0.1 2.706 4.605 6.251 7.779 9.212 10.645 12.017 13.362 14.684 15.987 12.275 18,546 19.812 21.064 22.307 23.542 24.769 25.98 27.204 28.412
0.05 3.841 5.991 7.815 9.488 11.04 12.592 14.047 15.507 16.919 18.307 19.675 21.026 22.362 23.685 24.996 26.296 27.587 28.869 30.144 31.41
0.01 6.635 9.21 11.345 13.277 15.045 16.812 18.475 20.09 21.666 23.209 24.725 26.217 27.688 29.141 30.548 32 33.469 34.805 36.191 37.566
0.001 10.827 13.815 16.268 18.465 20.507 22.548 24.322 26.125 27.877 29.588 31.264 32.909 34.528 36.123 37.697 39.252 40.79 42.312 43.82 45.315
Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga uji kecocokan
non-parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
30
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut. X1 = P (X1) X2 = P (X2)
X3 = P (X3), dan seterusnya.
2. Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya). X1 = P’ (X1) X2 = P’ (X2)
X3 = p’ (X3), dan seterusnya.
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antar peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
D maksimum = (P (Xn) – P’ (Xn)
(2.28)
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov) tentukan harga Do dari tabel kala ulang. Tabel 2.10 Nilai Kritis Do untuk Uji Smirnov-Kolmogorov
N
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
N > 50
0,2 0,45 0,32 0,27 0,23 0,21 0,19 0,18 0,17 0,16 0,15 1,07 N
0,5
Sumber :Suripin, 2004
Derajat Kepercayaan, α 0,1 0,05 0,51 0,56 0,37 0,41 0,3 0,34 0,26 0,29 0,24 0,27 0,22 0,24 0,2 0,23 0,19 0,21 0,18 0,2 0,17 0,19 1,22 1,36 N
0,5
N
0,5
0,01 0,67 0,19 0,4 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,24 0,23 1,63 N
0,5
31
2.5
Hidrograf Hidrograf dapat digambarkan sebagai penyajian grafis antara salah satu
unsur aliran dengan waktu (Sri Harto, 1993). Sedangkan hidrograf limpasan
didefinisikan sebagai grafik yang kontinyu yang menunjukkan sifat-sifat dari aliran sungai berkaitan dengan waktu. Normalnya diperoleh dari garis pencatatan kontinyu yang mengindikasikan debit dengan waktu (Viessman et al. 1989)
Hidrograf memberikan gambaran mengenai berbagai kondisi (karakteristik)
yang ada di DAS secara bersama-sama, sehingga apabila karakteristik DAS
berubah maka akan menyebabkan perubahan bentuk hidrograf (Sosrodarsono &
Takeda, 1983). Hidrograf juga menunjukkan tanggapan menyeluruh DAS
terhadap masukkan tertentu. Sesuai dengan sifat dan perilaku DAS yang bersangkutan, hidrograf aliran selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu terjadi masukkan (Sri Harto, 1993)
Linsley et al.(1982) menyatakan terdapat 3 (tiga) konponen penyusun
hidrograf, yaitu:
(1) Aliran di atas tanah (oveland flow/surface runoff).
Merupakan air yang dalam perjalanannya menuju saluran melalui permukaan tanah.
(2) Aliran bawah permukaan (interflow/subsurface storm flow)
Merupakan sebagian air yang memasuki permukaan tanah dan bergerak ke
samping lapisan atas tanah sampai saluran sungai. Kecepatan pergerakan aliran bawah permukaan ini lebih lambat dibandingkan dengan aliran permukaan.
(3) Aliran air tanah (ground water flow)
Ground Water Flow disebut juga dengan aliran air dasar Sedangkan Viessman et al (1989) menambahkan satu komponen hidrograf
terdiri dari:
(1) Aliran permukaan langsung. (2) Aliran antara (interflow).
(3) Air tanah atau aliran dasar.
(4) Presipitasi di saluran air (channel precipitation). 32
Debit
Intens itas HujanEf ektif
Black Box (DAS)
Hujan Input
Aliran
DRO
Output
BF
Waktu
Evaporasi
Hujan Eff.
Hujan
(1)
LAPISAN PERMUKAAN TANAH DAN LAPISAN DANGKAL (2)
Input Infiltrasi
DAERAH TAK
(3)
Perkolasi
LAP. TANAH
Waktu
DRO Aliran BF
Output
Gambar 2.5 Penyederhanaan DAS
Debit,m3/dt
Puncak
KurvaTurun
KurvaNaik
AliranLangsung (direct runoff, DRO) AliranDasar(Base Flow/BF)
Waktu, Jam
WaktuTurun
WaktuPuncak WaktuDasar
Gambar 2.6 Komponen Hidrograf Aliran Sungai 33
2.5.1 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu Nakayasu dari Jepang, telah menyelidiki hidrograf satuan pola beberapa
sungai di Jepang. Nakayasu membuat rumus hidrograf satuan sintetik dari hasil penyelidikannya. Rumus yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Soemarto, 1987):
Qp =
A . R0 3.6(0.3 Tp T0,3 )
(2.29)
dengan :Qp = Besarnya debit puncak banjir (m3/dt); A = Catchment Area = Luas daerah aliran (km2); R0 = Curah hujan satuan (1 mm); Tp = Waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam); T0,3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit dari debit puncak sampai menjadi 30 % dari debit puncak (jam). Untuk menghitung Tp dan T0.3 digunakan rumus : Tp
= Tg + 0,8 Tr
(2.30)
Tr
= 0,75 . Tg
(2.32)
T0,3 = α . Tg dengan : a.
b.
Jika panjang sungai > 15 km : Jika panjang sungai < 15 km :
(2.31)
Tg = 0,4 + 0,058 L
Tg = 0,21 . L0,7
dengan : Tg = Time lag, yaitu waktu antara permulaan hujan sampai puncak banjir
(jam); Tr = Satuan waktu hujan (jam); α = Parameter hidrograf; L = Panjang alur sungai (km).
Gambar 2.7 Sketsa Hidrograf Satuan Sintetik Model Nakayasu
34
2.5.2 Hidrograf Satuan Sintetik Soil Coservation Services (SCS)
HSS Soil Coservation Services (SCS) adalah hidroraf satuan tak
berdimensi yang dimana debit dinyatakan sebagai nisbah debit (q) terhadap debit
puncak (qp) dan waktu sebagai nisbah waktu (t) terhadap waktu puncak (tp). Mengingat model HSS US SCS juga dikembangkan berdasarkan data empiris,
maka model ini harus diuji keberlakuanya pada DAS lain melalui langkahlangkah kalibrasi dan verifikasi yang semestinya sehingga model HSS yang diperoleh sedapat mungkin dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Rumus yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Soemarto, 1987): Qp =
C. A Tp
(2.38)
dengan :Qp = Besarnya debit puncak banjir (m3/dt); A = Catchment Area = Luas daerah aliran (km2); Tp = Waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam); C = 2,08.
Untuk menghitung Tp digunakan rumus : Tp Tp
dengan :
= 0,5 x tr + tp = 0,6 x Tc
(2.39)
(2.40)
Tp = Waktu puncak (jam); Tc = waktu konsentrasi (jam); qp = debit puncak hidrograf satuan;
Gambar 2.8 Sketsa Hidrograf Satuan Sintetik SCS tak berdimensi 35
Tabel 2.11 Nilai t/Tp dan q/qp HSS SCS t/Tp 0,1 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
q/qp 0,000 0,015 0,075 0,160 0,280 0,430 0,600 0,770 0,890 0,970 1,000
Sumber: Bambang T (2008)
t/Tp 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,8 2 2,2 2,4 2,6
q/qp 0,980 0,920 0,840 0,750 0,660 0,560 0,420 0,320 0,240 0,180 0,130
t/Tp 2,8 3 3,5 4 4,5 5
q/qp 0,098 0,075 0,036 0,018 0,009 0,004
36
2.6
HEC-HMS Hydrologic Engineering Center’s Hydrologic Modeling System (HEC-HMS)
merupakan perangkat lunak yang dirancang untuk mensimulasikan proses hujan
aliran/limpasan (rainfall-runoff) pada suatu sistem tangkapan hujan atau daerah aliran sungai (DAS). HEC-HMS dapat diterapkan secara luas untuk berbagai permasalahan diantaranya adalah ketersediaan air dan banjir di perkotaan maupun DAS alami. Hidrograf yang dihasilkan dari program ini dapat digunakan untuk studi ketersediaan air, drainase perkotaan, peramalan aliran, pengaruh urbanisasi,
perancangan pelimpah bendungan, mitigasi dampak banjir, pengelolaan daerah genangan, hidrologi lahan basah dan operasi sistem seperti waduk, dsb.
Hingga kini, HEC-HMS telah merilis hingga versi 3.5 sejak Agustus 2010
di webiste resminya http://www.hec.usace.army.mil/software/hec-hms/. dan karena didesain secara graphical user interface (GUI), maka HEC-HMS sangat user friendly. Gambar 2.7 dibawah ini memnunjukkan tampilan jendela kerja (user interface) dari HEC-HMS.
Gambar 2.9User Interface pada HEC-HMS
37
Secara umum, halaman kerja dari HEC-HMS terdiri dari jendela Dekstop,
Watershed Explorer, Component Editor dan Message Log. Jendela Dekstop digunakan untuk memvisualisasikan model DAS yang disebut sebagai basin
model map. Dalam map ini ditampilkan model DAS yang terdiri dari elemen subDAS, jaringan sungai (reach), reservoir, dsb yang saling berhubungan dan menunjukkan jaringan drainase/sungai secara fisik. Jendela Watershed Explorer
digunakan untuk memudahkan user dalam mengakses setiap komponen model HEC-HMS secara tepat. Jendela ini terbagi menjadi 3, yaitu omponents, Compute dan Results. Yang masing-masing memiliki fungsi sebagai halaman untuk
menunjukkan komponen model yang ditambahkan, perhitungan/simulasi dan
tampilan hasil simulasi. Jendela Component Editor digunakan untuk secara khusus untuk mengedit parameter-parameter dalam setiap komponen model yang ditambahkan. Berbagai pilihan metode dapat diterapkan melalui jendela ini.
Jendela Message Log digunakan untuk menampilkan status dan laporan hasil
simulasi. Jendela ini sangat membantu user dalam mengidentifikasi kesalahan yang mungkin terjadi yang menyebabkan simulasi tidak berhasil dilakukan.
Pada dasarnya, untuk membangun dan mensimulasikan suatu model
hidrologi menggunakan HEC-HMS, user harus melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Membuat project baru
2. Memasukkan data yang dibutuhkan model DAS dan meteorologi
3. Mendefinisikan karakteristik (parameter) fisik dengan membangun dan mengedit model DAS
4. Memilih metode yang sesuai untuk perhitungan hujan dan evapotranspirasi
5. Mendefinisikan control specification untuk periode dan tahapan waktu simulasi
6. Menggabungkan komponen model DAS, meteorologi dan control specification untuk membuat suatu simulasi
Mengakses dan melihat hasil simulasi dan mengedit kembali model DAS, meteorologi dan control specification bila diperlukan.
Pada menu Help User dapat mengakses dokument seperti Quick Start
Guide, User’s Manual, Technical Reference Manual dan Applications Guide.
38
Disamping itu, user juga dapat mengakses contoh project yang telah disediakan melalui menu Install Sample Projects..., sehingga tidak kesulitan dalam mengikuti tutorial dalam dokumen tersebut. Gambar 2.8 dibawah ini menunjukkan contoh hasil simulasi yang dibuat berdasarkan tutorial yang ada.
Gambar 2.10Hasil Simulasipada HEC-HMS Karena model HEC–HMS ini dapat memberikan simulasi hidrologi dari
puncak aliran harian untuk perhitungan debit banjir rencana dari suatu DAS
(Daerah Aliran Sungai). Maka model HEC-HMS ini mengemas berbagai macam metode yang digunakan dalam analisa hidrologi. Dalam pengoperasiannya
menggunakan basis sistem windows, sehingga model ini menjadi mudah dipelajari dan mudah untuk digunakan, tetapi tetap dilakukan dengan pendalaman
dan pemahaman dengan model yang digunakan. Di dalam model HEC-HMS mengangkat teori klasik hidrograf satuan untuk digunakan dalam permodelannya,
antara lain hidrograf satuan sintetik Synder, Clark, SCS, ataupun kita dapat mengembangkan hidrograf satuan lain dengan menggunakan fasilitas user define
hydrograph (U.S Army Corps of Engineering, 2001). Sedangkan untuk menyelesaikan analisis hidrologi ini, digunakan hidrograf satuan sintetik dari SCS (soil conservation service) dengan menganalisa beberapa parameternya.
Konsep dasar perhitungan dari model HEC-HMS adalah data hujan sebagai
input air untuk satu atau beberapa sub daerah tangkapan air (sub basin) yang sedang dianalisa. Jenis datanya berupa intensitas, volume, atau komulatif volume
39
hujan. Setiap sub basin dianggap sebagai suatu tandon yang non linier dimana
inflownya adalah data hujan. Aliran permukaan, infiltrasi, dan penguapan adalah komponen yang keluar dari sub basin.
Langkah-langkah pengerjaan estimasi debit banjir pada daerah tangkapan
hujan dengan model HEC-HMS dijabarkan sebagai berikut :
Basin Model (Model Daerah Tangkapan Air)
Pada basin model tersusun atas gambaran fisik daerah tangkapan air dan
sungai.
Elemen-elemen
hidrologi
berhubungan
dengan
jaringan
yang
mensimulasikan proses limpasan permukaan langsung (run off). Elemen-elemen yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan adalah subbasin, reach, dan
junction. Pemodelan hidrograf satuan memiliki kelemahan pada luas area yang besar, maka perlu dilakukan pemisahan area basin menjadi beberapa sub basin berdasakan percabangan sungai dan perlu diperhatikan batas-batas luas daerah yang berpengaruh pada DAS tersebut.
Pada basin model ini dibutuhkan sebuah peta background yang bisa
diimport dari GIS (Geografic Information System) ataupun CAD (Computer Aided Design). Untuk Autocad dibutuhkan patch (tambalan) untuk bisa meng-
export gambar menjadi berakhiran “map”. Elemen-elemen yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan adalah subbasin, reach, dan junction.
Sub Basin Loss Rate Method (Proses kehilangan air)
Loss rate method adalah pemodelan untuk menghitung kehilangan air yang
terjadi karena proses infiltrasi dan pengurangan tampungan. Metode yang
digunakan pemodelan ini adalah Initial and Constant Loss Method. Konsep dasar dari metode ini memperhitungkan rata-rata kehilangan air hujan yang terjadi
selama hujan berlangsung. Infiltrasi merupakan hasil dari proses penyerapan air hujan oleh permukaan tanah, sedang pengurangan tampungan akibat dari perbedaan topografi pada suatu DAS. Air hujan yang jatuh akan diinfiltrasi atau
dievaporasikan, hal ini akan sangat berpengaruh pada debit banjir yang akan
mengalir pada sungai tersebut. Metode ini terdiri dari satu parameter (Constant Rate) dan satu kondisi yang telah ditentukan (Initial Loss), yang menggambarkan keadaan fisik DAS seperti tanah dan tata guna lahan.
40
Ada 5 metode perhitungan infitrasi disertakan, pada Tugas Akhir ini
digunakan cara perhitungan dari SCS. SCS mengembangkan parameter curve number empiris yang mengasumsikan berbagai faktor dari lapisan tanah, tata guna
lahan, dan porositas untuk menghitung total limpasan curah hujan (Ponce and Hawkins, 1996). SCS Curve Number terdiri dari beberapa parameter yang harus
diinput yaitu initial loss atau nilai infiltrasi awal, SCS Curve Number, dan imperviousness (kekedapan air).
Sub Basin Transform (Transformasi hidrograf satuan limpasan)
Transform adalah pemodelan metode hidrograf satuan yang digunakan. Unit
hidrograf merupakan metode yang sangat familiar dan dapat diandalkan. Di HEC-
HMS, hidrograf SCS dapat digunakan dengan mudah, parameter utama yang
dibutuhkan adalah waktu lag yaitu tenggang waktu (time lag) antara titik berat hujan efektif dengan titik berat hidrograf. Parameter ini didasarkan pada data dari beberapa daerah tangkapan air pertanian. Waktu lag didapat sama dengan 0,6 kali
waktu konsentrasi (E.E. Daniil, S.N. Michaas, 2005). Parameter tersebut dibutuhkan untuk menghitung puncak dan waktu hidrograf, secara otomatis model SCS akan membentuk ordinat-ordinat untuk puncak hidrograf dan fungsi waktu. Time lag ( tp ) dapat dicari dengan rumus : p = 0,6 x Tc
( 2.29 )
0,77 x . S-0,385
( 2.30 )
Tc = 0,01947x L dimana : L S
= Panjang lintasan maksimum (m)
= Kemiringan rata-rata
Tc = Waktu konsentrasi (menit)
Sub Basin Baseflow Method (Proses Aliran Dasar)
Baseflow dapat diartikan sebagai aliran dasar, model ini digunakan untuk
menggambarkan aliran dasar yang terjadi pada saat limpasan, sehingga dapat
dihitung tinggi puncak hidrograf yang terjadi. Metode Sub Basin Baseflow ini 41
dapat dimodelkan dengan salah satu dari tiga metode yang berbeda, yaitu
Constant Monthly, Linear Reservoir, dan Recession. Metode Constant Monthly atau Recession dapat digunakan secara umum pada subbasin. Pada pemodelan
digunakan metode recession (resesi) dengan anggapan bahwa aliran dasar selalu ada dan memiliki puncak hidrograf pada satu satuan waktu dan mempunyai keterkaitan dengan curah hujan (presipitasi).
Parameter yang digunakan dalam model resesi ini adalah Initial Flow,
Recession Ratio, dan Treshold Flow. Initial Flow merupakan nilai aliran dasar awal yang dapat dihitung atau dari data observasi, Recession Ratio Constant adalah nilai rasio antara aliran yang terjadi sekarang dan kemarin secara konstan,
yang memiliki nilai 0 sampai 1. Sedangkan Treshold Flow adalah nilai ambang pemisah aliran limpasan dan aliran dasar. Untuk menghitung aliran ini dapat
digunakan cara exponensial atau diasumsikan dengan nilai besar rasio dari puncak ke puncak (peak to peak) (US Army Corps of Engineering, 2001).
Meteorologic Model (Model data curah hujan)
Meteorologic Model merupakan masukan data curah hujan (presipitasi)
efektif dapat berupa 15 menitan atau jam-jaman. Desain hyetograph harus didasarkan pencatatan kejadian hujan nyata. Perlu diperhatikan curah hujan
kawasan diperoleh dari hujan rata-rata metode thiessen dengan memperhatikan
pengaruh stasiun-stasiun curah hujan pada kawasan tersebut. Curah hujan jamjaman tersebut dapat digambarkan menjadi sebuah stage hyetograph.
Run Configuration (Konfigurasi eksekusi data)
Setelah semua variabel masukan diatas dimasukkan, untuk mengeksekusi
pemodelan agar dapat berjalan, maka basin model dan meteorologic model harus disatukan. Hasil eksekusi metode ini dapat dilihat dalam grafik dan nilai
outputnya. Hasil output ini merupakan debit banjir rencana untuk periode ulang 100 tahunan. Untuk melihat hasil grafik limpasan atau tabel dapat langsung dengan mengklik elemen, simpul maupun penghubung elemen.
42