BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak 2.1.1 Pengertian Anak Menurut The Minimum Age Convention Nomor 138 tahun 1973, pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 tahun ke bawah. Sebaliknya, dalam Convention on The Right of The Child Tahun 1989 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. Sementara itu, UNICEF mendefisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Agar lebih jelasnya, peneliti akan menjabarkan definisi anak dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut: a)
Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis. Aspek sosiologis pengertian anak itu menunjukkan bahwa anak sebagai makhluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat berinteraksi. Arti anak dari aspek sosial ini lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan–keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat usia yang 14
Universitas Sumatera Utara
belum dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak berada pada proses pertumbuhan, proses belajar, dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa: disebabkan kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spritual yang berada di bawah kelompok usia orang dewasa (Wadong, 2000:5). b)
Pengertian Anak dari Aspek Hukum. Di dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak, di dalam hal ini adalah sebagai akibat dari tiap–tiap peraturan Perundang– undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai pengertian anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertuan anak dari pandanagan sistem hukum atau disebut kedudukan dala arti khusus sebagai subjek hukum dan meliputi pengelompokkan kedalam subsistem sebagai berikut: a) Pengertian Anak berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak–hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. b) Pengertian Anak berdasarkan UU Pengadilan Anak. Anak dalam UU No.3 Tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat ( 2 ) yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah“. Di dalam hal ini pengertian anak 15
Universitas Sumatera Utara
dibatasi dengan syarat sebagai berikut: Pertama, anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin, artinya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan bercerai, apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian oleh karena itu si anak dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun. 2.1.2 Hak dan Kewajiban Anak Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan tentu begitupun halnya dengan seorang anak. Anak memiliki hak dan kewajiban yang harus didapatkan dan dilaksanakannya. Tidak ada perbedaan apakah anak tersebut sehat secara fisik dan psikis ataupun anak tersebut mengalami cacat baik secara fisik maupun psikis. Maka dari itu dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan tentang hak dan kewajiban anak. A. Hak Anak Berdasarkan Konvensi Hak Anak dalam Djamil (2013:14), hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain: 1. Hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sbeaikbaiknya.
16
Universitas Sumatera Utara
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights) yaitu hak-hak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi. 3. Hak untuk tumbuh kembang (development rights) yaitu hak-hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial (the right of standar living). 4. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak antara lain: 1. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali. 2. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
17
Universitas Sumatera Utara
3. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. 4. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. 5. Setiap
anak
berhak
untuk
memperoleh
perlindungan
dari
penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsure kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual. B. Kewajiban Anak Menurut Wahyudi dalam Djamil (2013:21), bahwa anak melakukan kewajiban bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan kewajibankewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat “anak yang baik”. Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi akan melakukan kewajibankewajibannya. Kewajiban anak dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, antara lain: 1. Menghormati orang tua, wali, dan guru. 2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
18
Universitas Sumatera Utara
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan Negara. 4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan 5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 2.2 Kekerasan terhadap Anak 2.2.1 Pengertian Kekerasan terhadap Anak Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictionary, Barker dalam Huraerah (2006:36) mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior intended to cause phsycal, psychological, or financial harm to an individual or group” (kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami individu maupun kelompok). Sedangkan istilah child abuse atau kadang-kadang child maltreatment adalah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Richard J. Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta dalam Huraerah (2006:36), mengartikan child abuse sebagai “international acts that result in physical or emotional harm to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at at a child’s basic needs” (kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah-laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orangtua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).
19
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, Barker dalam Huraerah (2006:36) juga mendefinisikan child abuse, yaitu “the recurrent infliction of physical or emotional injury on a dependent minor, through international beatings, uncontrolled corporal punishment, persistent redicule and degradation, or sexual abuse, usually commited by parents or others in change of the child’s care” (kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orangtua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak). 2.2.2 Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Anak Child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan anak. child abuse menurut Terry L. Lawson, psikiater anak, mengatakan bahwa kekerasan anak dapat diklasifikasikan menjadi empat bentuk, yaitu: a) Emotional abuse, dapat terjadi apabila setelah orangtua mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orangtua tidak memberikan apa yang diinginkan anak tapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berjalan konsisten. b) Verbal abuse, lahir akibat bentakan, makian orangtua terhadap anak. Ketika anak meminta sesuatu orangutan tidak memberikan malah membentaknya. Saat si anak mengajak berbicara orang tua tidak menanggapinya justru menghardik dengan bentakan, anak akan mengingat kekerasan jenis ini jika semua kekerasan verbal ini berlaku dalam satu periode.
20
Universitas Sumatera Utara
c) Physical abuse, kekerasan jenis ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan itu meninggalkan bekas. d) Sexual abuse, terjadi selama 18 bulan pertama dalam kehidupan anak namun ada juga kasus, ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia 6 bulan (PKPA, 1999:29-30). Sementara itu, Suharto dalam Huraerah (2006:36-38) juga mengelompokkan child abuse menjadi empat, yakni: a) Physical abuse (kekerasan anak secara fisik), adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah-laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga. b) Psychological abuse (kekerasan anak secara psikis), meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain. 21
Universitas Sumatera Utara
c) Sexual abuse (kekerasan anak secara seksual), dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). d) Social abuse (kekerasan anak secara sosial), dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya. 2.2.3 Kekerasan Seksual terhadap Anak Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual. Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukkan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non-fisik. Dan kekuatannya 22
Universitas Sumatera Utara
dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha-usaha jahatnya itu (Huraerah, 2006:60). Wahid dan Irfan dalam Huraerah memandang bahwa kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian. Kekerasan seksual terhadap anak dapat juga didefinisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seseorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang lain, saudara kandung atau orangtua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku, baik dengan ancaman, suap, tipuan atau tekanan (Pusat Data dan Informasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak). Definisi yang cukup komprehensif juga diberikan oleh Baker dan Ducan dalam Sarlito (2007:177) yaitu kekerasan seksual pada anak adalah jika ada seorang anak dilibatkan dalam kegiatan yang bertujuan untuk membangitkan gairah seksual pada pihak yang mengajak, dan pihak yang mengajak telah matang. Secara operasional, definisi Baker dan Ducan bisa meliputi segala hal, seperti: a) Antar anggota keluarga, dengan orang dari luar keluarganya atau dengan orang asing sama sekali. b) Hanya terjadi sekali, terjadi beberapa kali dengan orang yang sama atau terjadi beberapa kali dengan orang yang berbeda-beda. c) Tak ada kontak fisik (bicara cabul), ada kontak fisik (diraba, dibelai, masturbasi bahkan terjadi senggama.
23
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan seksual pada anak menunjuk pada tindakan pemaksaan seksual pada seorang anak oleh orang dewasa yang memiliki kekuatan, pengetahuan, dan akal yang lebih besar. Para pelaku kekerasan seksual terhadap anak seringkali adalah orang-orang yang telah dikenal baik oleh korban, seperti tetangga, kakek, sepupu, paman, guru, bahkan orang tua kandung sendiri, ayah angkat, seperti yang terjadi pada beberapa kasus yang telah penulis uraikan pada bab sebelumnya. Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Liz Hall dan Siobhan Lloyd (2007:3) yang mengatakan “Kekerasan seksual pada anak banyak dilakukan oleh ayah atau seseorang yang memiliki figur seorang ayah.” Penyebab adanya kasus-kasus kekerasan pada anak khususnya yang terjadi dalam keluarga, adalah karena ketidakharmonisan antara suami-istri yang seringkali menjadi pendorong yang kuat bagi sang suami melakukan tindakan kekerasan seksual pada anak perempuannya. Keadaan seperti akan semakin mudah dilakukan oleh sang ayah, karena selama ini ayah dianggap sebagai orang yang paling berkuasa dalam rumah tangga, sehingga anak tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perlawanan, dan jika ada perlawanan, ujung-ujungnya anak juga yang mengalami kesakitan. Ada juga kekerasan seksual yang terjadi pada anak yang cacat. Dalam melakukan kekerasan pada anak yang cacat, pelaku menjadi sangat mudah melakukan tindakannya yang biadab tersebut, melihat kondisi anak cacat yang tidak memungkinkan dia melakukan perlawanan, atau melaporkan kasus yang dia alami kepada banyak orang. Selain itu, ada sebagian anak yang juga terpaksa mengikuti kemauan si pelaku untuk berhubungan seksual, dikarenakan sang anak diberikan
24
Universitas Sumatera Utara
uang atau hadiah lainnya, sebagai upah kesiapannya melakukan apa yang diinginkan oleh si pelaku (Hall & Lloyd, 2007:3). Jadi bisa disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut: a) Faktor kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua
yang tidak
memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual. b) Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya. c) Faktor ekonomi. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. 2.2.4 Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak Kekerasan seksual mencakup kegiatan melakukan tindakan yang mengarah ke-ajakan maupun desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium atau melakukan tindakan- tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban, untuk menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin (seks) korban, memaksa berhubungan seks dengan bentuk kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitasaktivitas seksual yang disukai, merendahkan, menyakiti ataupun melukai korban yaitu korbannya anak-anak (Poerwandari:2000).
25
Universitas Sumatera Utara
Secara spesifik bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak berdasarkan bentuknya terdapat 4 (empat) macam, yaitu: a) Perkosaan atau Pencabulan Baik perkosaan maupun pencabulan merupakan dua bentuk kekerasan seksual yang melanggar norma hukum. Bentuk perkosaan ataupun pencabulan merupakan dua istilah yang saling bersatu padu, namun terdapat kesamaan makna yaitu memaksa seorang untuk dijadikan objek hasrat seksual.Dalam bentuknya pristiwa ini sering terjadi seperti perkosaan oleh seorang yang lebih tua kepada seorang yang lebih muda umurnya (anak) untuk melakukan kontak fisik (memasukan alat kelamin anak) atau menggunakan penetrasi seksual berbeda seperti sodomi atau sejenisnya. b) Pelecehan seksual Dalam pelecehan seksual terhadap anak, biasanya pelaku lebih menggunakan cara-cara halus dan tidak ekstrem namun berakibat fatal kepada kondisi psikis anak. Bentuk pelecehan seksual anak seperti meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual. c) Percobaan Perkosaan Untuk memenuhi hasrat seksualnya, sering kali percobaan perkosaan pada anak sering terjadi.Percobaan perkosaan bisa berbentuk seperti melakukan halhal yang tidak senonoh (mencium, meraba, dan sejenisnya) tanpa sepengetahuan si korban. d) Menampilkan Pornografi Pada bentuk ini, seorang anak dipaksa untuk Memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin anak, seperti menampilkan bentuk fisik tubuh, tak 26
Universitas Sumatera Utara
lain untuk mengundang hubungan seksual terhadap anak. 2.3 Perlindungan terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual 2.3.1 Perlindungan Anak Menurut Purwatiningsih (2008:117), dalam konteks Indonesia, melindungi dan memenuhi hak-hak anak termasuk dengan cara membangun institusi independen perlindungan hak anak, setidaknya beranjak dari 3 (tiga) rasional, antara lain: 1. Kondisi situasional anak di Indonesia yang sedemikian rupa rentan dan mengalami eksploitasi, kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran bahkan impunity; 2. Sejumlah peraturan hukum dan konstitusional yang berlaku di Indonesia menjadi dasar mengapa perlu dilakukan perlindungan anak; 3. Adanya komitmen, ketertarikan hukum dan politik bagi Indonesia sebagai masyarakat
dunia
internasional
untuk
memenuhi,
mematuhi
dan
mengharmoniskan instrumen-instrumen internasional. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh sebab itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Ada beberapa alasan mengapa anak perlu dilindungi dalam kasus hukum, menurut Pater Newel dalam bukunya Taking Children Seriously: A proposal for Children’s Rights Commisioner (LBH Jakarta, 2012:17) menyebutkan antara lain: a) Biaya untuk melakukan pemulihan akibat dari kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan
27
Universitas Sumatera Utara
jika anak-anak memperoleh perlindungan. b) Anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas tindakan atau perbuatan (action) atau ketiadaan tindakan/perbuatan (unaction) dari pemerintah atau kelompok lainnya. c) Anak selalu mengalami kesenjangan dalam pemberian pelayaran publik. d) Anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobby untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. e) Anak pada banyak situasi tidak dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. f) Anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalagunaan. Berdasarkan Konvensi Hak Anak dalam Djamil (2013:29), terdapat empat prinsip umum perlindungan anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain: 1) Prinsip Nondiskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. 2) Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (best interest of the child), prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak
bahwa
pertimbangan-pertimbangan
dalam
pengambilan
keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. 3) Prinsip hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan (the
28
Universitas Sumatera Utara
right to life, survival and development) artinya bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. 4) Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child), prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi yang otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa. Djamil (2013:31) menggambarkan prinsip perlindungan anak, sebagai berikut: Kepentingan Terbaik bagi Anak
Kelangsungan Hidup dan Perkembangan
Nondiskriminasi
Partisipasi Anak
Gambar II.1 Prinsip Perlindungan Anak
29
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Perlindungan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual dapat dilihat melalui beberapa perlindungan hukum yang tertera dalam perundang-undangan selain yang telah disebutkan di dalam KUHP mengenai perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan, juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pada pasal-pasal berikut: a) Pasal 76 D menentukan: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. b) Pasal 76 E menentukan: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan,
memaksa,
melakukan
tipu
muslihat,
melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Dalam Undang-Undang yang sama juga dijelaskan ketentuan-ketentuan ancaman pidana atas tindak kekerasan seksual terhadap anak, yang tertera pada pasal-pasal berikut: a) Pasal 81 menentukan: Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
30
Universitas Sumatera Utara
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan snegaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ayat (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). b) Pasal 82 menentukan: Ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ayat (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 2.3.3 Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT) dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dituangkan dalam pasal 74 ayat (2) berbunyi: “Dalam hal
31
Universitas Sumatera Utara
diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”. Pembentukan KPAID bukan merupakan kewajiban atau keharusan, tetapi merupakan kebutuhan daerah masing-masing. Karena itu KPAID merupakan refleksi dari kedudukan dan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pusat seperti tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Keppres No. 77 Tahun 2003 Tentang KPAI yang berbunyi: “Apabila dipandang perlu dalam menunjang pelaksanaan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dapat membentuk perwakilan di daerah”. Di daerah Sumatera Utara terbentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara (KPAID SUMUT) berdasarkan SK Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 463/026.K/2006 tertanggal 23 Januari 2006, maka terbentuklah KPAID SUMUT, dan di dukung juga dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 3 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, yang terdapat pada Pasal 21 ayat (1) berbunyi: “Untuk mewujudkan terselenggaranya perlindungan anak di Sumatera Utara maka dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara yang bersifat independen”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76; serta UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah dan Keppres No. 77 Tahun 2003 Tentang KPAI, Provinsi Sumatera Utara membentuk KPAID dengan melakukan seleksi yang ketat, dengan melibatkan berbagai unsur seperti unsur pemerintah, tokoh agama/masyarakat, organisasi-organisasi
kemasyarakatan,
organisasi
profesi,
lembaga
swadaya
masyarakat, dunia usaha dan kelompok masyarakat peduli terhadap perlindungan 32
Universitas Sumatera Utara
anak. Berdasarkan tugas yang sama dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang tertera pada Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, tugas dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT) adalah: h) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak. i) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak. j) Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak. k) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak. l) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak. m) Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang Perlindungan Anak. n) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Selanjutnya, selain menjalankan tugas-tugas yang telah disahkan dalam Undang-Undang tersebut diatas, KPAID SUMUT juga merumuskan tugas utamanya yakni: a) Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan anak.
33
Universitas Sumatera Utara
b) Melakukan
pengkajian
peraturan
Perundang-undangan,
Kebijakan
Pemerintah dan kondisi pendukung lainnya baik di bidang sosial, ekonomi dan budaya. c) Menyampaikan dan member masukan, saran dan pertimbangan kepada berbagai pihak terutama Gubernur, DPRD, Instansi Pemerintah terkait di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. d) Mengumpulkan data dan informasi tentang masalah perlindungan anak. e) Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak di Provinsi Sumatera Utara. f) Memberikan laporan, saran, masukan dan pertimbangan kepada Gubernur Provinsi Sumatera Utara dalam rangka penyelenggaraan Perlindungan Anak di Provinsi Sumatera Utara. Demi terselenggaranya perlindungan anak di Provinsi Sumatera Utara, KPAID SUMUT memiliki dua program kerja (pokja) yang menjadi kelengkapan organisasi yakni Pokja Kelembagaan dan Kemitraan serta Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan. Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan merupakan salah satu program kerja utama di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara. Dimana Pokja ini memiliki kegiatan yaitu menerima pengaduan dari masyarakat khususnya di daerah Sumatera Utara mengenai tindakan kekerasan ataupun diskriminasi yang dilakukan terhadap anak. Dalam menangani kasus kekerasan seksual, terdapat tahapan-tahapan yang dilakukan demi penyelesaian setiap kasus. Mulai dari pelapor yang melakukan pengaduan kepada pihak KPAID SUMUT atas terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak sampai pendampingan pelapor dan
34
Universitas Sumatera Utara
anak korban kekerasan seksual dalam proses selanjutnya dengan pihak APH (Aparat Penegak Hukum) yang terkait. Proses penyelesaian kasus kekerasan seksual melibatkan berbagai pihak, tidak hanya dari KPAID SUMUT namun ada pula koordinasi dengan berbagai instansi lainnya. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dampingan Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan KPAID SUMUT, kasus yang telah selesai berarti terlapor atau pelaku tindakan pidana tersebut telah mendapat vonis hukuman dari pengadilan berupa penjara dan denda, dikabulkannya hak restitusi yang diajukan oleh pihak korban, serta anak korban kekerasan seksual dikembalikan kepada orangtuanya setelah mendapatkan perlindungan berupa hak rehabilitasi fisik, psikis, dan reintegrasi sosial di RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) milik Kemensos, RUPA (Rumah Perlindungan Anak) milik KPAID SUMUT, atau di rumah perlindungan anak lainnya dengan pendampingan KPAID SUMUT bersama pihak Pekerja Sosial atau Sakti Peksos Kemensos RI terkait. Agar lebih mudah, adapun tahapan-tahapan yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak akan penulis uraikan dalam bagan berikut:
35
Universitas Sumatera Utara
Gubernur Sumatera Utara Koordinasi SEKDA
Pelapor
KPAID SUMUT
Pengawasan /monitoring
Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan
(Biro PP&KB)
Rujukan korban
(assessment korban)
Pendampingan korban (dgn LSM/advokat) APH (Aparat Penegak Hukum): Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan.
Pemenuhan hak-hak korban dgn mengajukan hak restitusi bagi korban.
Hak Rehabilitasi fisik, psikis, reintegrasi sosial.
Depsos (Sakti Peksos), Dinas Kesehatan, Dinas Capil, Dinas Pendidikan, Pemerintah Kab/Kota, Biro PP&KB Pemko, dll.
Keterangan: Garis tahapan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak dampingan KPAID SUMUT Garis Koordinasi KPAID SUMUT dengan semua pihak dalam pengawasan penyeleisaian kasus.
Implementasi atas Hak Restitusi melalui putusan pengadilan (vonis, denda dan dikabulkannya hak restitusi oleh hakim) Bagan 2.1 Tahapan Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual
36
Universitas Sumatera Utara
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah: faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia (Gultom, 2014:12). Dalam praktik penyelesaiannya, kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat dikatakan selesai karena ada faktor yang mendukungnya, sehingga menyebabkan kasus tersebut dapat terselesaikan. Namun, penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak selamanya berjalan dengan lancar. Adanya kasus yang tidak atau belum selesai diakibatkan adanya faktor penghambat yang memperlambat penyelesaian kasus tersebut. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak terdapat faktor pendukung dan penghambatnya. Pada masing-masing faktor pendukung dan penghambat kasus kekerasan seksual terhadap anak tersebut dapat terbentuk dilihat dari adanya faktor internal dan faktor eksternal kasus yang akan penulis jelaskan dalam sub bab berikutnya. 2.4.1 Faktor Internal Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam individu (Ismail dalam Suyanto, 2010: 33-35). Saraswati (2009) dalam bukunya Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatakan bahwa faktor pendukung utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah 37
Universitas Sumatera Utara
tangga melalui hukum pidana adalah korban sendiri. Maka dapat dikatakan bahwa faktor internal yang merupakan faktor pendukung utama dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah anak yang menjadi korban atas tindak kekerasan tersebut. Anak sebagai korban kekerasan seksual yang sudah menyadari bahwa tindak kekerasan yang menimpa dirinya merupakan suatu hal yang tidak benar, jadi disini korban menyadari bahwa ia punya hak untuk diperlakukan dengan baik dan mendapatkan bantuan dari lembaga atau aparat hukum. Selanjutnya menurut Saraswati untuk faktor penghambat kemungkinan bisa berasal dari korban sendiri dengan berbagai alasan. Dalam konteks kasus kekerasan seksual terhadap anak, salah satu alasannya adalah anak yang menjadi korban merasa malu karena menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan rapat- rapat atau korban merasa takut akan ancaman pelaku. Hal seperti demikian serta dengan alasan-alasan yang lain dapat menjadi faktor penghambat dari sisi internal individu anak korban kekerasan seksual. 2.4.2 Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah penyebab yang datang bukan secara langsung dari dalam diri individu, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhi. Saraswati (2009) mengungkapkan bahwa selanjutnya langkah korban kekerasan dalam rumah tangga untuk melapor kepihak yang berwenang akan makin mudah apabila didukung oleh keluarga dekatnya seperti ayah, ibu atau saudara, dan masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga. Sama halnya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut, terdapat faktor yang berasal dari luar individu anak korban kekerasan seksual. Dukungan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak yang disarankan adalah meminta perlindungan dari aparat penegak hukum, 38
Universitas Sumatera Utara
ketua RT/RW, dan saran untuk berkonsultasi kepada lembaga-lembaga yang menangani masalah kekerasan dalam rumah tangga yang ada di masyarakat. Maka adanya intervensi yang baik dari pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian kasus tersebut dapat mendukung agar kasus terselesaikan. Selain itu menurut Saraswati hambatan juga bisa terjadi dari lingkungan masyarakat yang cenderung sering menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Kondisi-kondisi ini umumnya dapat menyebabkan korban mencabut kembali laporannya di kepolisian. Bila hambatan tersebut datangnya dari aparat maka umumnya kepolisian kurang familier dalam menangani permasalahan KDRT dengan korbannya perempuan atau kalaupun korbannya anak perempuan maka yang selayaknya menangani kasus adalah petugas wanita. Selain itu aparat umumnya cenderung berpandangan bahwa korban yang salah sehingga terjadi kasus kekerasan yang menimpa dirinya, contohnya kasus perkosaan. Hambatan-hambatan tersebut juga merupakan contoh-contoh dari sekian banyak faktor eksternal yang menjadi penghambat penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga kasus menjadi tidak selesai atau lambat prosesnya. Berdasarkan penjelasan daripada faktor eksternal diatas, adapun yang dapat menjadi faktor pendukung dan penghambat berpengaruh dalam penelitian mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pihak keluarga/pelapor dari anak korban kekerasan seksual. 2. Pihak pelaku/terlapor tindak kekerasan seksual terhadap anak. 3. Proses hukum dengan APH (Aparat Penegak Hukum) yang terlibat dakam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak.
39
Universitas Sumatera Utara
4. Pihak pendamping dan fasilitator bagi anak korban kekerasan seksual serta pelapor pengaduan kasusnya (dalam penelitian ini KPAID SUMUT). 5. Pihak-pihak lain yang terkait (media massa yang meliput, pengacara, dll). 2.5 Kerangka Pemikiran Permasalahan anak khususnya di Sumatera Utara sebagai salah satu Provinsi di Indonesia semakin memprihatinkan dengan tingginya angka pengaduan atas tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. Kekerasan seksual merupakan salah satu dari sekian banyak klasifikasi kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak. kasus ini menjadi kasus kedua tertinggi yang dilaporkan ke pihak KPAID SUMUT dalam dua tahun terakhir ini setelah kasus Hak Kuasa Asuh. Lembaga perlindungan anak, salah satunya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT) memiliki peran penting dalam memberikan penanganan, pendampingan, dan pengawasan dalam setiap kasus kekerasan dan diskriminasi khususnya dalam penelitian ini adalah kasus kekerasan seksual. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan pada anak yang dilaksanakan di KPAID SUMUT yakni berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, dan terwujudkan dalam Pokja di bidang Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan. Kegiatan ini dilaksanakan dengan mengarah pada upaya menyelesaikan salah satunya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sumatera Utara serta memberikan pendampingan dan pengawasan untuk memenuhi hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan.
40
Universitas Sumatera Utara
Menurunnya jumlah kasus kekerasan seksual dengan klasifikasi sebagai kasus yang selesai berdasarkan data kasus yang diadukan ke Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Pelayanan KPAID SUMUT dari tahun 2014 ke tahun 2015, menimbulkan pertanyaan dan permasalahan akan hal apa saja yang berpengaruh pada penurunan penyelesaian kasus tersebut. Hal-hal tersebut dapat dikatakan sebagai faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak. Faktor yang berasal dari dalam diri individu anak korban kekerasan seksual sebagai faktor internal dan juga faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar individu dapat memberikan penjelasan pada adanya faktor yang mendukung maupun menghambat penyelesaian kasus tersebut. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara. Skematisasi kerangka pemikiran adalah proses transformasi narasi yang menerangkan hubungan atau konsep-konsep atau variable-variabel penelitian menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada hanyalah perubahan cara penyajian dari narasi menjadi skema (Siagian, 2011: 132). Untuk itu skematisasi kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
41
Universitas Sumatera Utara
Bagan Alir Pemikiran Anak
Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak
1. Faktor Internal 2. Faktor Eksternal
Faktor Pendukung
Faktor Penghambat
Bagan 2.2 Bagan Alir Pemikiran
42
Universitas Sumatera Utara
2.6 Definisi Konsep Konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan peristiwa, objek, kondisi, situasi, dan hal-hal yang sejenisnya. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan objek-objek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri- ciri yang sama. Definisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112). Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep–konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang penelti harus menegaskan dan membatasi makna–makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138). Adapun untuk lebih mengetahui pengertian yang jelas mengenai konsepkonsep yang akan diteliti, maka peneliti memberikan batasan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Faktor dalam penelitian ini adalah sesuatu yang mempengaruhi atas terjadinya hal tertentu. 2. Anak dalam penelitian ini adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, yang mengalami tindakan kekerasan seksual dan kasusnya berada dalam dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah 43
Universitas Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara. 3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam penelitian ini adalah salah satu lembaga/institusi pemerintah bersifat independen yang memiliki peran penting dalam memberikan penanganan, pendampingan, dan pengawasan bagi setiap anak-anak korban kekerasan dan diskriminasi khususnya dalam penelitian ini adalah kasus kekerasan seksual di Sumatera Utara. 4. Penyelesaian kasus kekerasan seksual dalam penelitian ini adalah kasus yang telah selesai dalam penanganan KPAID SUMUT, dalam arti terlapor atau pelaku tindakan pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut telah mendapat vonis hukuman dari pengadilan berupa penjara dan denda, dikabulkannya hak restitusi apabila diajukan oleh pihak korban, serta dikembalikan
kepada
anak korban kekerasan seksual
orangtuanya
setelah
mendapatkan
perlindungan berupa hak rehabilitasi fisik, psikis, dan reintegrasi sosial di RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) milik Kementerian Sosial RI, RUPA (Rumah Perlindungan Anak) milik KPAID SUMUT, atau di rumah perlindungan anak lainnya dengan pendampingan KPAID SUMUT bersama pihak Pekerja Sosial atau Sakti Peksos Kemensos RI terkait 5. Faktor internal dalam penelitian ini adalah faktor yang berasal dari individu anak korban kekerasan seksual. 6. Faktor eksternal dalam penelitian ini adalah faktor yang berasal dari
44
Universitas Sumatera Utara
luar individu anak korban kekerasan seksual. 7. Faktor pendukung dalam penelitian ini adalah faktor yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terhadap anak selesai prosesnya. 8. Faktor penghambat dalam penelitan ini adalah faktor yang menyebabkan lambannya proses penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak sehingga kasus belum selesai atau tidak selesai.
45
Universitas Sumatera Utara