BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Wayang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol diantara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama hindu masuk kepulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang popular dimasyarakat masa kiini merupakan adaptasi dari karya sastra india, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan
banyak
mengalami
pengubahan
dan
penambahan
untuk
menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia. Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga mahluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh Punakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandung unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van Het Javaansche Toonel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda GA.J. Hazeau menunjukan keyakinan bahwa wayang nerupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Hazeau itu adalah Walulang Inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
7
bayangannya pada klir. Dengan demikian wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang kulit seperti yang kita kenal sekarang.
2.2 Asal-usul Wayang Wayang di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang temasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan mereka cukup kuat. Bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di Negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Ressers. Sebagian besar kedua kelompok ini adalah sarjana inggris. Sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari Negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zanam pemerintah Prabu Airlangga, raja kahuripan (976-1012), ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Naskah sastra kitab Ramayana Kakimpoi berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari kitan Ramayana karangan pujangga india, Walkmiki. Para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan
kembali dengan memasukan filsafah
Jawa kedalamnya.
8
Wayang sebagai suatau pergelaran dan sudah dipertontonkan sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “Mawayang” dan “Aringgit” yang magsudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam wayang (1945), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von HeineGaldren, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia (halaman 987).
2.3 Perkembangan Kesenian Wayang di Bandung Perkembangan
kesenian
wayang
dibandung
mengalami
proses
pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan ditentukan oleh manusianya itu sendiri. Proses perkembangan kesenian wayang tidak terbentuk langsung begitu saja dan tidak melalui beberapa tahapan. Kesenian pertunjukan wayang yang populer di Bandung adalah Wayang Golek. Wayang Golek merupakan kesenian tradisional dari Jawa barat yaitu kesenian yang menampilkan dan membawakan alur sebuah cerita yang bersejarah. Wayang golek ini menampilkan golek yaitu semacam boneka yang terbuat dari kayu yang memerankan tokoh tertentu dalam cerita pewayangan serta dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta iringan musik tradisional Jawa Barat yang disebut dengan degung. Wayang Golek sebagai seni pertunjukan rakyat memiliki fungsi yang relevan dengan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat dilihat dari beberapa kegiatan di masyarakat, misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain, adakalanya diiringi dengan pertunjukan Wayang Golek. Secara spiritual masyarakat mengadakan ruwatan guna menolak bala, baik secara komunal maupun individual dengan mempergunakan pertunjukan Wayang Golek.
9
Pertunjukan Wayang Golek tidak hanya berperan sebagai sarana hiburan. Didalamnya juga terkandung nilai-nilai yang bisa dipetik bagi kehidupan. Nilai tersebut tidak hanya bersangkutan dengan hal-hal spiritual atau religi, tetapi juga bersangkutan dengan personal-personal etika kehidupan, bahkan politik. Dalam catatan sejarah, kemunculan Wayang Golek di Bandung diprakarsai oleh Dalem Karanganyar (Wiranta Koesoemah III) pada masa akhir jabatanya (1829-1946). Pada waktu itu Dalem karanganyer mengundang Ki Dalang Dipa Guna Permana dan Ki Rumyang yang tinggal dicibura Ujungberung untuk membuat wayang dari kayu dan mengajar para calon Dalang di Bandung. Dari sekian banyak murid Ki Dapa Gunapermana itu ada seorang murid yang menonjol bakatnya bernama Mama Anting. Mama Anting diharuskan menyajikan Wayang Golek menggunakan bahasa Sunda dan ternyata respon para penonton itu sangat positif. Salah seorang murid Mama Anting yang amat menonjol bakatnya ialah Ki Dalang Brajanata dalang intelek pada saat itu. Dia satu-satunya dalang yang berzasah Holland Inlandse Kuweekschool (HIS). Pola petunjukan yang dilakukan oleh Mama Anting, dilakukan pula oleh Ki Dalang Brajanata dan menjadi pola garapan pada dalang sekarang. Selain itu Brajanata telah mempersetakan seorang ronggeng atau biduanita Ny. Arwat di dalam pertunjukan wayang goleknya. Awalnya pergelaran wayang itu tanpa dilengkapi suara ronggeng. Ia pun telah memasukan bahasa melayu (Indonesia) khusus untuk dialog Buta Cakil. Pada tahun 1944 Dalang Rachmat Umar Partasuanda yang terkenal sebagai Pa Ata menciptakan Wayang Golek modern. Pergelaran wayang tersebut digarap secara sandiwara Sunda yang dilakukan oleh empat Dalang. Tahun 1970-1975 pertunjukan Wayng Golek mengalami kemakmuran, setelah A. sunarya menggarap pementasan wayang. Namun pada tahun 9175 putra A. sunarya yang bernama Ade Kosasih Sunarya muncul dengan kreasinya yaitu membuat wayang dari bahan baru, yaitu dari karet. Pembuatan wayang karet itu merupakan rekaan dalam penampilan para raksasa, antara lain para raksasa yang bisa memakan kerupuk, muntah mie, pecah kepala hingga mengeluarkan darah 10
atau otaknya dan sebagainya. Pristiwa pementasan wayang Ade Kosasih Sunarya itu menjadi bahan pembicaraan para penonton. Tidak sedikit anggota masyarakat yang tertarik pada pertunjukan itu. Pada tahun 1978 adik Dalang Ade yaitu Asep Sunandar Sunarya menampilkan gaya hampir sama. Kelebihan Asep Sunandar Sunarya adalah triktrik di bidang menarikan dan memerangkan wayang. Bentuk tokoh yang sudah ada diubahnya dengan hingga wayang tidak lagi kaku, namun menjadi lebih hidup. Beberapa trik yang diciptakan oleh Asep Sunandar Sunarya antara lain mulut wayng bisa bergerak, kepalanya bisa bergoyang, telinga dapat dimainkan, matanya bisa digerakan kekiri dan kekanan ke atas dank e bawah. Perkembangan kesenian wayang di Bandung tidak hanya sampai situ saja. Pada dekade 1990-an pertunjukan wayang mulai mengalami perubahan bukan hanya pada bentuk sajian garapan lakon, tetapi telah merubah pada hal-hal tampilan atau fisik wayang dan fisik presentasinya. Pada tahun 2000-an keresahan dan kegelisahan sebagian besar dalang sangat terasa menghimpit kesenimanan, undangan tanggapan untuk mendalang hampir tidak ada padahal hidup ini harus dilanjutkan. Maka muncul gebrakangebrakan
yang
sempat
membuat
kejutan
yang
berkepanjangan,
yaitu
memunculkan bukan saja garapan fisik perangkat kesenian wayang, tetapi dengan teknik wayang tingkat dengan menggunakan unsur teknologi. Semua keresahan dan kegelisahan maka timbulnya banyak kelompokklompok kesenian wayang modern di Bandung, dengan gaya baru diantaranya adalah Kelompok kesenian wayang Pojok Si Cepot dengan pimpinan Riswa Darusman, Tewaisun (Teater Wayang Sunda) yang di pimpin oleh Arthur. S. Nalan, Wayang Kroncong yang dipimpin oleh Asep Budiman, Wayang golek Rampak 40 Dalang pimpinan Tantan Sugandi (SMKN 10 Bandung), Gambar Motekar yang diprakarsai oleh Herry Dim, Wayang Kkakufi yang Diprakarsai oleh Arthur. S. Nalan, Wayang Tavip yang diprakarsai oleh M. Tavip. Semua jenis wayang yang tersebut merupakan suatu bentuk baru terhadap dunia pewayangan apabila dilihat dari pertunjukannya maupun media wayang dan 11
gaya pedalangan. Berkembanya jenis wayang tersebut diilhami oleh jenis wayang yang telah ada sebelumnya namun dilkakukan perubahan yang mempunyai cerita inovatif yang tidak mengorbankan esensi dari pertunjukan wayang tersebut.
2.4 Konsep-konsep Artistik Padalangan Jawa Pedalangan sebagai kesenian tradisi memiliki ciri yang berbeda dengan kesenian modern. Dalam seni pedalangan, seorang dalang dapat disebut seniman pengkarya sekaligus penyaji, tetapi pada kasus yang berbeda ia dapat sebagai seniman penyaji saja. Hal itu disebabkan seni pedalangan cenderung bersifat konvensional. Struktur adegan dalam berbagai repertoar lakon, narasi pedalangan (dalam pedalangan Jawa disebut janturan dan pocapan), inti dialog, repertoar gerak wayang (dalam pedalangan Jawa disebut sabet), gendhing dan sulukan yang mengiringi, pada dasarnya telah terpolakan sedemikian rupa dan bersifat siap pakai, sehingga dalang tinggal menyajikan sesuai dengan keperluan pekeliran. Akan tetapi tidak berarti bahwa dalang sebagai penyaji karya konvensional tidak menjalankan proses kreatif, karena dalam menyajikan unsur-unsur pekelirania harus memberikan tafsir garapdalam rangka memberi bobot sajian pekeliran. Bobot sajian pekeliran sangat bergantung pada pemahaman dalang terhadap konsep garap artistic dan keterampilan teknik pekeliran yang dimiliki. Konsep garap artistic (gagasan atau idea) adalah segenap kemampuan atau kreativitas dalang untuk memberikan bobot sajian pakeliran, yang dalam pedalangan Jawa disebut “sanggit.” Seberapah jauh sanggit dalang sangat bergantung pada kedewasaannya dalam memikirkan nilai-nilai kemanusiaan, kepekaannya menangkap
bebagai
fenomena
yang
berkembang
di
masyarakat,
dan
keterampilannya mendramatisir peristiwa lakon wayang. (Sugeng Nugroho Vol. 4, No. 3, Desember 2007).
12