BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tanaman Singkong Singkong/ketela pohon (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu
dengan nama lain ubi kayu, singkong atau kasape. Ketela pohon berasal dari benua Amerika, yaitu dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon berkembang di negara-negara yang terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Prihatman 2000). Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae atau tumbuh-tumbuhan
Divisi
: Spermatophyta atau tumbuhan berbiji
Sub Divisi
: Angiospermae atau berbiji tertutup
Kelas
: Dicotyledoneae atau biji berkeping dua
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot utilissima Pohl atau Manihot esculenta Crantz sin. Varietas-varietas ketela pohon unggul yang biasa ditanam, antara lain: Valenca, Mangi,
Betawi, Basiorao, Bogor, SPP, Muara, Mentega, Andira 1, Gading, Andira 2, Malang 1, Malang 2, dan Andira 4. Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan (Prihatman 2000). Syarat untuk pertumbuhan tanaman singkong adalah sebagai berikut (Prihatman 2000) : Iklim a)
Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela pohon antara 1.500-2.500 mm/tahun.
b)
Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ketela kohon sekitar 10 oC. Bila suhunya di bawah 10
o
C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena
pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. c)
Kelembaban udara optimal untuk tanaman ketela pohon antara 60-65%.
d)
Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ketela pohon sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya.
3
Media Tanam a)
Tanah yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikro-nya.
b)
Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ketela pohon adalah jenis aluvial latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol.
c)
Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ketela pohon berkisar antara 4,58,0 dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ketela pohon.
Ketinggian Tempat Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ketela pohon antara 10–700 m dpl, sedangkan toleransinya antara 10–1.500 m dpl. Jenis ketela pohon tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal. Ketela pohon dapat dipanen pada saat pertumbuhan daun bawah mulai berkurang. Warna daun mulai menguning dan banyak yang rontok. Umur panen tanaman ketela pohon telah mencapai 6–8 bulan untuk varietas Genjah dan 9–12 bulan untuk varietas Dalam. Ketela pohon dipanen dengan cara mencabut batangnya dan umbi yang tertinggal diambil dengan cangkul atau garpu tanah (Prihatman 2000).
2.2.
Pengolahan Singkong
2.2.1. Chip Singkong Sebagaimana diketahui bahwa umbi singkong segar mengalami deteriorasi dengan cepat. Setelah dipanen, singkong biasanya diiris menjadi keping-keping kecil atau biasa disebut dengan chip dan dikeringkan dibawah terik matahari. Irisan singkong kering tersebut dapat disimpan beberapa bulan dan dikonsumsi setelah digiling menjadi tepung. Singkong kering juga digunakan dalam industri untuk memproduksi kanji, dekstrin, dan glukosa (Balagopalan 1988). Chip singkong kering ini merupakan bentuk yang paling umum dijumpai, karena negara pengekspor biasanya membuatnya menjadi bentuk seperti ini. Chip harus putih atau mendekati putih, bebas dari benda asing, jamur, gangguan serangga dan kerusakan, dan tidak berbau aneh. Selain itu, chip juga tidak boleh mengandung debu, karena hal ini tidak memenuhi syarat untuk importir-importir di Eropa, seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2 (IGC 2005). Gambar 1 menunjukkan diagram alir dari proses produksi chip singkong kering.
4
Gambar 1. Diagram alir produksi chip singkong kering (IGC 2005) Tabel 1. Spesifikasi umum untuk tepung, pati, chip dan pellet singkong (IGC 2005) Komponen Tepung Pati Chip Pellet Kadar Air (mak.) 12-14% 12-14% 12-14% 12-14% Pati (min.) 70 % 80% 70 % 68-70% Sand (mak.) 2% 2% 3% 3% Fiber (mak.) 3% 1% 3-5% 3-5% Abu (mak.) 3% 1% 3% 3% Sumber : Buitrago et al.(2002) dalam IGC (2005) Tabel 2. Spesifikasi chip singkong untuk ekspor ke Komunitas Eropa (IGC 2005) Parameter Chip Kadar Air (mak.) 10-14% Pati (min.) 70-82% Total abu (mak.) 1.8-3.0% Fiber Mentah (mak) 2.1-5.0% Pasir dan benda asing lainnya (mak.) 3% Sianida (mak.) 100 mg /kg Dimensi (mak. dalam cm) Panjang 4-5cm, tebal 1.5cm Sumber : IGC 2005
2.2.2. Pelet Singkong Pelet diperoleh dari umbi kering dan rusak dengan menggiling dan dikeraskan menjadi bentuk silinder. Ukurannya sekitar 2-3 cm untuk panjang dan sekitar 0,4-0,8 cm untuk diameter serta seragam dalam penampilan dan tekstur. Pelet diproduksi dengan mengumpan chip singkong kering ke dalam mesin pembuat pelet, diikuti dengan penyaringan dan pengemasan untuk ekspor. Gambar 2 menunjukkan diagram alir proses produksi pelet singkong.
2.2.3. Pengeringan Singkong Singkong tidak dapat disimpan lama dalam kondisi segar setelah panen. Singkong akan cepat sekali mengalami deteriorasi jika disimpan dalam udara terbuka tanpa perlakukan apapun. Balagopalan et al. (1988) menyebutkan bahwa umbi singkong segar tidak dapat disimpan pada udara terbuka lebih dari beberapa hari setelah panen tanpa cacat. Maka untuk mengatasi kesulitan tersebut baik dalam hal pemasaran, penggunaan dan susut panen maka umbi singkong segar harus diproses
5
kedalam berbagai bentuk produk kering untuk meningkatkan masa simpan. Bentuk yang paling sederhana adalah umbi singkong diolah menjadi chip yang dikeringkan dengan matahari langsung.
Gambar 2. Diagram alir produksi pelet singkong (IGC 2005) Pengeringan singkong umumnya dilakukan dengan memotong-motong umbi menjadi chip dengan kisaran ketebalan antara 2-12 mm. Pengeringan dilakukan diatas lantai terbuka dengan tebal tumpukan yang bervariasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan beragam kondisi pengeringan menghasilkan variasi kadar air akhir dan kebutuhan energi totalnya. Kajuna (2001) melakukan pengeringan singkong dalam bentuk lapisan tipis (thin layer) dimana umbi singkong segar dipotong dadu dengan panjang sisi 5 mm dengan ketebalan tumpukan 10 mm sebanyak 200 gr singkong dikeringkan pada udara normal dan dalam pengering buatan. Pada udara normal dengan suhu 25 ºC, untuk mengeringkan singkong dari kadar air 75.4% hingga mencapai kadar air kesetimbangannya membutuhkan waktu 2-3 hari, sementara untuk pengering buatan hanya membutuhkan waktu 200 menit untuk suhu 55 ºC. Kajuna (2001) juga menyatakan bahwa suhu udara pengering yang baik adalah pada kisaran suhu sedang, yaitu sekitar 55 ºC. Mkandawire (2008) menyebutkan bahwa kadar air singkong kering yang direkomendasikan adalah pada kisaran 9 – 15% bb. Suhu pengering yang baik untuk pengeringan singkong menurutnya adalah 40 – 60 ºC sebagaimana yang direkomendasikan FAO (2008). Pada suhu 60 ºC terjadi gelatinisasi zat tepung (starch) pada umbi singkong. Wenlapatit (2004) dalam Mkandawire (2008) merekomendasikan kisaran suhu yang sama. Mkandawire (2008) menyarankan agar pengeringan dilakukan pada suhu dibawah 60 ºC untuk menghindari terjadinya gelatinisasi. Selama pengeringan udara kering perlu dilewatkan kedalam pengering untuk membawa uap air keluar dari ruang pengering. Pada musim panas dimana kelembaban rendah, maka udara
6
lingkungan dapat digunakan untuk proses pengeringan, meskipun kondisi ini juga dapat dicapai dengan melakukan pre-heating/drying terhadap udara pengering (Mkandawire 2008).
2.3.
Tinjauan Umum Pengeringan
2.3.1. Proses Pengeringan Pengeringan atau dehidrasi merupakan proses mengeluarkan air dari bahan hasil pertanian atau bahan pangan. Pengertian pengeringan dan dehidrasi sebenarnya dapat dibedakan berdasarkan tingkat kadar air bahan yang dikeringkan. Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas menuju kadar air keseimbangan dengan udara sekeliling (atmosfir) atau pada tingkat kadar air yang setara dengan aktivitas air (Aw) dimana mutu bahan dapat dijaga dari serangan jamur, aktivitas serangga dan enzim (Henderson dan Perry 1976). Dehidrasi adalah suatu proses mengeluarkan atau menghilangkan air dengan menggunakan energi panas, hingga tingkat kadar air yang sangat rendah mendekati "bone dry". Bone dry didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seluruh air pada bahan telah dikeluarkan hingga kadar air bahan tersebut adalah nol (Henderson dan Perry 1976). Selain itu, proses pengeringan bahan pertanian dapat juga diartikan sebagai proses pengambilan atau penurunan kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan bahan pertanian akibat aktivitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan (Henderson dan Perry 1976). Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang. diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama-tama mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam ke permukaan secara difusi (Henderson dan Perry 1976). Migrasi air dan uap air terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dengan bagian luar. Penguapan air dari bahan meliputi proses pelepasan ikatan air dari material bahan, difusi air dan uap air ke permukaan, perubahan fase menjadi uap air, transfer uap air dari permukaan ke udara sekitar dan perpindahan uap air di udara (Brooker et al. 1974). Menurut Brooker et al. (1974), ada beberapa hal yang mempengaruhi proses pengeringan, yaitu kecepatan udara pengering, suhu udara pengering dan kelembaban udara pengering. Secara umum pengeringan akan terjadi dalam dua periode, yaitu periode laju pengeringan konstan (constant rate period dehydration) dan periode laju pengeringan menurun (falling rate period dehydration). Selama periode laju pengeringan konstan, laju pelepasan uap air (moisture) dari produk dibatasi oleh laju penguapan air dari permukaan atau di bawah permukaan produk. Laju pengeringan konstan ini akan terus berlangsung selama migrasi uap air ke permukaan bahan (dimana terjadi evaporasi) lebih cepat dibanding penguapan yang terjadi di permukaan tersebut (Heldman dan Singh, 1981). Laju pengeringan konstan akan berhenti manakala telah mencapai kadar air kritis (critical moisture content) dan setelah itu laju pengeringan berubah menjadi laju pengeringan menurun sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3. Laju pengeringan menurun terjadi apabila difusi uap air dari dalam bahan ke permukaan lebih lambat dari kecepatan penguapan uap air dari permukaan. Pada beberapa produk terdapat lebih
7
dari satu periode laju pengeringan menurun. Seperti pada gambar 6 diatas periode laju pengeringan menurun dimulai pada titik C, periode laju pengeringan pertama terjadi sepanjang titik C hingga E dan periode kedua terjadi sepanjang titik E hingga D, dan secara umum periode C hingga D disebut sebagai periode laju pengeringan menurun (Heldman dan Singh 1981).
Gambar 3. Laju pengeringan teoritis Laju pengeringan menurun terjadi apabila difusi uap air dari dalam bahan ke permukaan lebih lambat dari kecepatan penguapan uap air dari permukaan. Pada beberapa produk terdapat lebih dari satu periode laju pengeringan menurun. Seperti ditunjukkan pada gambar 3 periode laju pengeringan menurun dimulai pada titik C, periode laju pengeringan pertama terjadi sepanjang titik C hingga E dan periode kedua terjadi sepanjang titik E hingga D, dan secara umum periode C hingga D disebut sebagai periode laju pengeringan menurun (Heldman dan Singh 1981). Konsep kadar air keseimbangan penting dalam mempelajari pengeringan, karena kadar air keseimbangan menentukan kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi pengering tertentu. Pada biji-bijian misalnya, kadar air kesimbangan tergantung pada kelembaban, kondisi suhu dan tingkat kematangan biji (Brooker et al. 1974). Suatu bahan yang mencapai kadar air keseimbangan dengan lingkungannya melalui proses pelepasan uap air dikatakan mencapai kadar air keseimbangan desorpsi, sementara jika suatu bahan mencapai kadar air keseimbangan melalui penyerapan uap air dari lingkungannya dikatakan mencapai kadar air keseimbangan absorpsi. Perbedaan antara kadar air keseimbangan adsorpsi dan desorpsi akan signifikan pada suhu dan kelembaban relatif tertentu, dan kadar air keseimbangan desorpsi akan lebih besar dibanding kadar air keseimbangan absorpsi. Perbedaan antara desorpsi dan absorpsi isotermi disebut dengan hysteresis effect (Brooker et al. 1974). Gambar 4 menunjukkan bentuk umum kurva sorpsi-isotermi bahan. Tekanan uap air pada bahan dan lingkungan akan menentukan apakah akan terjadi proses desorpsi atau absorpsi. Absorspi terjadi manakala tekanan uap air pada bahan lebih rendah dibandingkan tekanan uap air udara lingkungan, sehingga bahan menyerap uap air dari udara sekitarnya. Desorpsi terjadi manakala kondisi tekanan uap air pada bahan lebih tinggi dari tekanan uap
8
air udara sekitar, sehingga uap air dilepaskan dari bahan ke udara sekitar. Ketika tekanan uap air di dalam biji-bijian adalah sama dengan tekanan uap air udara di sekitarnya maka kadar air bahan berada dalam kondisi kadar air keseimbangan (Brooker et al. 1974). Setiap bahan menunjukkan suatu karakteristik tekanan uap air pada suhu dan kadar air tertentu. Sebagai contoh, pada suhu 30 oC dan kadar air 16 %bb tekanan uap air pada biji gandum adalah 0.444 psia, sementara pada biji oats dengan suhu dan kadar air yang sama tekanan uap airnya
Kadar Air (%bk)
0.477 psia (Brooker et al. 1974).
desorpsi absorpsi
RH atau Aw Gambar 4. Bentuk umum sorpsi-isotermi bahan pangan Panas laten penguapan (Hfg) didefinisikan sebagai energi yang diperlukan untuk menguapkan air dari bahan. Panas laten penguapan tergantung dari suhu dan kadar air. Panas laten penguapan akan semakin tinggi apabila kadar air dan suhu rendah (Brooker et al. 1974). Panas laten penguapan dibutuhkan pada perubahan fase dari cair ke uap. Panas laten penguapan air pada beberapa tingkat suhu dapat dilihat pada Tabel 3. Suhu 15,55 26,67 37,78 48,89 60,00 71,11 93,33 100,00
Tabel 3. Panas Laten Penguapan Air Panas Laten (kJ/kg) 2464,92 2439,34 2416,08 2385,86 2357,95 2330,05 2302, 14 2255,63
Sifat termodinamis dari campuran udara kering dan uap air sering diperlukan dalam analisis masalah pengeringan. Grafik yang berisi nilai dari sifat-sifat termodinamis dari udara lembab (moist air) disebut grafik psikrometrik (psychrometric charts). Saat ini telah tersedia diagram psikrometrik tipe Carrier yang telah menggunakan satuan SI. Adapun proses yang terjadi dalam pengeringan yang dapat ditunjukkan oleh diagram psikrometrik adalah pemanasan sensible (sensible heating) dan penjenuhan adiabatik (adiabatic
9
saturation). Proses pemanasan sensible merupakan terjadinya peningkatan atau penurunan suhu bola kering pada kondisi rasio kelembaban (humidity ratio) konstan. Sementara penjenuhan adiabatik adalah meningkatnya kelembaban udara pada suhu bola basah (wet bulb) konstan, kedua proses tersebut dijelaskan pada Gambar 5. Beberapa parameter yang berpengaruh terhadap proses pengeringan, diantaranya suhu dan kelembaban udara pengering, laju aliran udara, serta kadar air awal dan kadar air akhir bahan (Brooker et al., 1974).
Gambar 5. Ilustrasi kurva psikrometrik yang menunjukkan sifat-sifat udara lembab
2.3.2. Pengering Efek Rumah Kaca Pengeringan di terik matahari cukup efektif karena suhu yang dicapai sekitar 35 – 45 oC. (Soeharto 1991). Namun, pengeringan langsung di bawah matahari terkendala oleh tidak konstannya radiasi matahari. Radiasi matahari cenderung berubah setiap waktu akibat pengaruh kondisi awan dan posisi koordinat lokasi. Oleh karena itu saat ini mulai terjadi kecenderungan untuk menggunakan pengering buatan. Soeharto (1991) menyatakan bahwa pengering buatan ini lebih baik karena tidak tergantung matahari dan bahkan dalam kasus tertentu (misalnya bahan kripik kentang) tidak begitu baik mutunya jika terkena sinar UV (dapat menghitam akibat tumbuh jamur). Desrosier (2008) menyatakan bahwa pengeringan buatan berarti mengendalikan kondisi iklim di dalam suatu ruangan atau lingkungan mikro. Sedangkan untuk penjemuran langsung kondisinya diserahkan pada kondisi lingkungan sekitarnya seperti radiasi matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, suhu udara dan lain sebagainya. Bahan pangan kering yang berasal dari suatu unit pengering buatan dapat memiliki kualitas yang lebih baik daripada yang dikeringkan dengan matahari. Ditinjau dari pergerakan bahan padatnya, pengeringan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengeringan batch dan pengeringan kontinyu. Pengeringan batch adalah pengeringan dimana bahan yang dikeringakan dimasukan ke dalam alat pengering dan didiamkan selama waktu yang ditentukan. Pengeringan kontinyu adalah pengeringan dimana bahan basah masuk secara sinambung dan bahan kering keluar secara sinambung dari alat pengering (Rohman 2008).
10
Berdasarkan kondisi fisik yang digunakan untuk memberikan panas pada sistem dan memindahkan uap air, proses pengeringan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (Geankoplis 1993 dalam Rohman 2008): 1).
Pengeringan kontak langsung, yaitu pengeringan dengan menggunakan udara panas sebagai medium pengering pada tekanan atmosferik. Pada proses ini uap yang terbentuk terbawa oleh udara.
2).
Pengeringan vakum, yaitu pengeringan yang menggunakan logam sebagai medium pengontak panas atau menggunakan efek radiasi. Pada proses ini penguapan air berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah.
3).
Pengeringan beku, yaitu pengeringan yang melibatkan proses sublimasi air dari suatu material beku. Banyak tipe pengering yang dapat digunakan untuk pengeringan bahan pangan. Pada
umumnya pemilihan tipe pengering ditentukan oleh jenis komoditi yang akan dikeringkan, bentuk akhir yang dikehendaki, faktor ekonomi dan kondisi operasinya. Jenis produk yang dikeringkan dan tipe pengering yang digunakan umumnya adalah sebagai berikut (Desrosier 2008) : Tabel 4. Jenis produk dan tipe pengering yang digunakan Pengering Produk Pengering drum Susu, sari sayuran, kranberri, pisang Pengering rak hampa Produksi bahan pangan tertentu yang terbatas Pengering hampa kontinu Buah-buahan dan sayuran Pengering ban berjalan Sayuran Pengering bedeng apung Sayuran Pengering busa padat Sari buah Pengering beku Daging Pengering semprot Telur utuh, kuning telur, albumin darah, susu Pengering putar Sebagian produk daging, biasanya tidak digunakan untuk bahan pangan Pengering kabinet atau kamar Buah-buahan dan sayuran Pengering Tungku Apel, sebagian sayuran Pengering terowongan Buah-buahan dan sayuran Pengering tipe efek rumah kaca (ERK) sendiri tergolong kedalam pengering kontak langsung karena selain memanfaatkan radiasi matahari juga menggunakan medium udara sebagai pembawa panas. Prinsip dari pengering ERK ini adalah sebagaimana fenomena efek rumah kaca yang terjadi di atmosfir. Radiasi matahari gelombang pendek memasuki suatu bangungan dengan dinding dan atap transparan, kemudian panas diserap oleh sistem yang ada di dalamnya dan selanjutnya diradiasikan kembali dalam bentuk gelombang panjang dengan energi yang lebih rendah dari sebelumnya, karena itulah ia tidak dapat menembus dinding dan panas menjadi terakumulasi di dalam bangunan tersebut. ERK dapat dibuat dengan konfigurasi rancangan yang berbeda tergantung pada komoditas yang akan dikeringkan, ruang yang tersedia, radiasi matahari, lama penyinarannya dan lain sebagainya. Hingga saat ini terdapat beberapa jenis ERK yang telah diuji oleh bagian Energi dan
11
Elektrifikasi Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, FATETA- IPB, yaitu sebagai berikut (Abdullah 2007) : 1. Tipe ERK dengan plat penyerap panas yang dipasang pada lokasi spesifik dengan wadah pengering berupa flat bed, trolleys, drum, bunker dan lainnya. 2. Geometri piramida terpotong 3. Tipe terowongan 4. Pengering tipe resirkulasi Desain standar untuk pengering ERK terdiri atas dinding transparan, terbuat dari lembaran polikarbonat, UV stabilized plastic, fiberglass atau plastik polietilen. Komponen utama lainnya yaitu drying bin atau troli yang dilengkapi rak, komponen pengatur pergerakan udara dan unit pemanas tambahan (Abdullah 2007). Pengering ERK ini biasanya menggunakan pemanas tambahan untuk memenuhi kebutuhan panas total yang tidak bisa sepenuhnya disuplai dari energi surya. Pemanas tambahan itu dapat berupa tungku (dengan heat exchanger), radiator dan lainnya. Penggunaan kombinasi energi surya dan energi pemanas tambahan tersebut sering dikenal dengan pengering ERK-hibrid. Tabel 5 memberikan beberapa contoh performa lapang pengeringan dengan menggunakan pengering efek rumah kaca :
Komoditas Biji Kokoa Kopi Robusta Vanili Kayu Anchovies Ikan Segar
Tabel 5. Contoh Performansi Lapang Pengering Efek Rumah Kaca Suhu Waktu Massa Awal Tipe Pengeringan Pengeringan Bahan Kontainer 49.2 32 400 Flat Bed 37 60 1114 Rak 51 52 52 Rak 49 96 780 Rak 50 8 200 Rak 40 48 600 Rak
Ikan Kraker
50
6
125
Rak
Rumput Laut
44.3
30.4
108
Rak
Pemanas Tambahan Batubara Tungku Arang Tungku Kayu Bakar Tungku Kayu Bakar Tungku Kayu Bakar
Sumber : Abdullah, 2007 Pengering ERK mampu menurunkan kelembaban udara lingkungan sampai pada tingkat kelembaban tertentu oleh karena adanya pemanasan udara lingkungan yang masuk ke bangunan pengering (Purnama 2010). Disebutkan oleh Purnama (2010) bahwa penelitian Nelwan (1997) mengenai pengeringan biji kakao menggunakan pengering ERK dengan pemanas tambahan minyak tanah, suhu rata-rata ruang pengering yang dicapai adalah 45.2 oC mampu mengeringkan biji kakao 228 kg dari kadar air 60.4% bb hingga 6.7% bb dalam waktu 16.5 jam. Pada pengeringan tersebut pengering ERK mampu menurunkan RH lingkungan dari kisaran 72.4-88.2% hingga RH ruang pengering rata-rata sebesar 39.4%. Wulandani (2009) melakukan pengembangan ERK tipe rak berputar untuk mengeringkan kapulaga. dengan kapasitas pengeringan kapulaga sebanyak 96 kg/proses, pengeringan berlangsung
12
selama 44 jam dari kadar air awal 87.5% bb hingga 10.8% bb. Laju pembakaran bahan bakar rata-rata 1.4 kg arang kayu perjam, konsumsi energi spesifik 18 MJ/kg uap, dimana energinya berasal dari energi surya, biomassa dan listrik dengan presentase kontribusi berturut-turut 19%, 77% dan 4%. Efisiensi total pengeringan kapulaga ini adalah 19%.
2.4. Dasar Teori Perancangan Harsokusoemo (2000) menyatakan bahwa perancangan terdiri dari serangkaian kegiatan yang berurutan, karena itu perancangan kemudian disebut sebagai proses perancangan yang mencakup seluruh kegiatan yang terdapat dalam perancangan tersebut. Kegiatan-kegiatan dalam proses perancangan dinamakan fase. Setiap fase itu sendiri masih terdiri dari beberapa kegiatan, yang dinamakan langkah-langkah dalam fase. Salah satu deskripsi proses perancangan menyebutkan bahwa proses perancangan terdiri dari fase-fase berikut, yaitu : (1) identifikasi kebutuhan, (2) analisis produk, (3) perancangan konsep, (4) perancangan produk, (5) evaluasi produk hasil rancangan, (6) penyusunan dokumen berupa gambar produk hasil rancangan dan spesifikasi pembuatan produk. Fase-fase tersebut digambarkan pada Gambar 6. Kebutuhan
Analisis masalah, spesifikasi produk dan perencanaan proyek Perancangan konsep produk Perancangan produk Evaluasi produk hasil rancangan Dokumen untuk pembuatan produk
Gambar 6. Diagram alir proses perancangan (Harsokusoemo 2000) Budynas dan Nisbett (2008) memberikan konsep proses perancangan, seperti dijelaskan dalam Gambar 7.
Gambar 7. Fase-fase dalam perancangan (Budynas dan Nisbett 2008)
13
Kedua konsep proses perancangan diatas sebenarnya sama dari hal prinsip hanya saja penggunaan istilah yang digunakan berbeda. Secara umum proses perancangan diawali dengan mengidentifikasi kebutuhan. Pengenalan kebutuhan dan mengutarakan apa yang dibutuhkan seringkali merupakan sebuah proses kreatif, karena kebutuhan seringkali berupa suatu ketidakpuasan yang samar-samar (Budynas dan Nisbett 2008). Selanjutnya setelah kebutuhan diidentifikasi maka didefinisikanlah permasalahan yang terdapat di dalamnya (definition of problem). Disini terjadi sebuah proses yang lebih spesifik karena mencakup semua objek yang akan dirancang. Pada fase ini juga ditentukan spesifikasi dari inputoutput yang terjadi pada objek, karakteristik dan dimensi dari objek, dan segala batasan yang menyertainya (Budynas-Nisbett 2008). Perancangan konsep produk merupakan fase kedua dari konsep yang diberikan Harsokusoemo (2000). Fase ini merupakan fase synthesis dimana pada fase inilah terjadi penciptaan /penemuan (invention) konsep. Disinilah bermacam ide, hasil penelusuran, pengukuran digabungkan hingga tercipta berbagai alternatif konsep yang dapat dipilih. Dari sinilah proses desain memasuki tahap yang lebih dalam (perancangan produk) yaitu membentuk ide-ide tersebut menjadi produk yang utuh. Setelah rancangan produk tersebut jadi maka dilakukanlah analisis dan evaluasi rancangan tersebut agar didapatkan hasil rancangan yang optimum. Konsep perancangan akan berbeda antara satu perancang dengan yang lainnya. Perancang lain akan membuat deskripsi proses yang lain juga, yaitu fase-fasenya dalam proses perancangan yang berbeda (Harsokusoemo 2000). Seperti misalnya proses perancangan yang diajukan oleh Pahl dan Beitz pada Gambar 8. Meskipun proses perancangan tersebut berbeda (terutama langkah-langkah dalam fase), namun secara umum dalam proses perancangan minimal terdapat tiga kegiatan yang harus dilaksanakan, yaitu : (1) analisis masalah, perencanaan dan pengembangan spesifikasi, (2) perancangan konsep produk, (3) perancangan bentuk (embodiment design).
2.4.1. Analisis Masalah, Perencanaan dan Pengembangan Konsep Hasil analisis masalah yang utama adalah pernyataan masalah atau problem statement tentang produk baru. Pernyataan masalah tersebut belumlah berupa solusi/produk baru, tetapi mengandung keterangan-keterangan tentang produk yang akan dirancang (Harsokusoemo 2000). Pernyataan masalah sedikitnya mengandung tiga buah unsur, yaitu (Harsokusoemo 2000): 1. Pernyataan masalah itu sendiri. 2. Beberapa kendala atau constraints yang membatasi solusi masalah tersebut dan spesifikasi produk. 3. Kriteria keterterimaan (acceptability criteria) dan kriteria lain yang harus dipenuhi produk. Spesifikasi produk mengandung keinginan-keinginan pengguna/bagian pemasaran tentang produk yang akan dibuat. Spesifikasi produk merupakan dasar dan pemandu bagi perancang dalam merancang produk dan spesifikasi produk tersebut akan menjadi tolak ukur pada evaluasi hasil rancangan produk (Harsokusoemo 2000). Spesifikasi produk mengandung hal-hal berikut ini (Harsokusoemo 2000):
14
1. Kinerja atau performance yang harus dicapai produk. 2. Kondisi lingkungan seperti temperatur, tekanan dan lain-lain yang akan dialami produk. 3. Kondisi operasi lain. 4. Jumlah produk yang akan dibuat. 5. Dimensi produk. 6. Berat produk. 7. Ergonomika 8. Keamanan dan safety 9. Harga produk
Gambar 8. Diagram alir proses perancangan Pahl dan Beitz (1996) dalam Harsokusoemo (2000)
2.4.2.
Fase Perancangan Konsep Produk atau Conceptual Design Phase Harsokusoemo (2000) menyatakan bahwa konsep produk adalah solusi/solusi-solusi
alternatif dari masalah dalam bentuk skema (scheme). Masalah dalam hal ini adalah produk baru yang dipandang sebagai masalah perancangan yang memerlukan solusi. Fase ini dalam bahasa perancangan dikenal dengan fase pencarian konsep-konsep produk yang memenuhi fungsi dan karakteristik produk. Fase perancangan ini menuntut semua kemampuan dan kreativitas perancang dan merupaka fase yang sangat memberi peluang untuk mendapatkan solusi yang baru, baik dan original.
15
Berdasarkan hasil fase pertama proses perancangan, yaitu penyusunan spesifikasi perancangan dan perencanaan maka dicarilah beberapa konsep produk yang dapat memenuhi syarat dalam spesifikasi tersebut. Pada tahapan pembuatan konsep ini biasanya meliputi perancangan fungsional dari komponen-komponen yang ada dalam produk. Segala batasan seperti kendala ruang dan ergonomika diperhitungkan dalam fase ini. Dimensi-dimensi penting biasanya dicantumkan dalam sketsa pada fase konsep ini. Harsokusoemo (2000) menyatakan bahwa kini pencarian konsep dilakukan dengan terlebih dahulu (1) menyususn sistem fungsi produk, yang dilanjutkan dengan (2) menyusun konsep produk (sistem komponen) berdasarkan fungsi produk. Fungsi berbentuk abstrak, sedangkan konsep produk mempunyai bentuk fisik. Fungsi menyatakan atau menggambarkan apa yang dilakukan produk, sedangkan bentuk (konsep) produk menggambarkan bagaimana produk melaksanakan fungsi tersebut. Harsokusoemo (2000) selanjutnya juga menyatakan bahwa fungsi dapat dideskripsikan sebagai aliran energi, aliran material dan/atau aliran informasi, yang digambarkan sebagai blok fungsi dengan aliran masuk dan aliran keluar. Jenis energi dapat berupa energi mekanis, energi listrik, energi termal.
2.4.3. Perancangan Produk Setelah fase perancangan konsep produk, maka fase proses perancangan berikutnya adalah fase perancangan produk itu sendiri. Konsep-konsep produk yang terpilih pada awal evaluasi konsep produk menjadi awal fase ini. Fase perancangan produk disebut juga dengan istilah perancangan bentuk atau shape design. Fase ini juga dikenal dengan istilah hardware design atau istilah lain yang dikenal adalah embodiment design, yaitu pemberian “body” pada konsep produk yang masih berupa kerangka (Harsokusoemo 2000). Langkah-langkah pada fase perancangan produk adalah langkah-langkah iterative antara langkah pengembangan/pembentukan produk dan langkah evaluasi. Gambar-gambar dan dokumen yang dibentuk selama fase perancangan produk akan dipakai sebagai dasar pembuatan produk. Gambar-gambar dan dokumen tersebut adalah (1) gambar layout, (2) gambar detail, (3) gambar susunan atau assembly drawing dan (4) daftar elemen atau parts list atau lebih sering disebut bill of material (BOM).
16