BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIOETANOL Bioetanol merupakan etanol atau alkohol yang diproduksi melalui proses fermentasi bahan biomassa (yang mengandung gula, pati atau selulosa) dengan bantuan mikroorganisme. Hal ini berbeda dengan etanol sintetik yang dihasilkan dari sumber petrokimia. Etanol atau etil alkohol merupakan cairan jernih tidak berwarna, berbau khas, mudah menguap, mempunyai titik didih 78oC dan titik beku -117oC, dan mempunyai bilangan oktan yang relatif tinggi [10]. Adapun beberapa tanaman yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol adalah [11] [12]: 1.
Bahan bergula, substrat yang umum digunakan untuk pembuatan bioetanol berasal dari biomassa yang mengandung gula. Kelebihan dari bahan baku sumber gula ini yaitu dapat langsung dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol, sehingga proses menjadi lebih sederhana. Bahan bergula yang sering digunakan seperti molase (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira aren (enau).
2.
Bahan berpati, pembuatan bioetanol dengan bahan baku sumber pati mempunyai proses yang lebih panjang dibanding dengan berbahan baku sumber gula. Pati diubah dulu menjadi glukosa melalui hidrolisis asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula difermentasi untuk menghasilkan etanol. Tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan bakubioetanol dari sumber pati antara lain, ubi kayu atau singkong, tepung sagu, biji jagung, biji shorgum, kentang, ganyong, garut dan umbi dahlia.
3.
Bahan berlignoselulosa (berserat), bahan baku sumber serat kebanyakan berasal dari limbah pertanian. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa inilah yang dijadikan sumber bahan baku bioetanol dengan merubahnya terlebih dahulu menjadi gula. Adapun yang berpotensi menjadi bahan baku sumber serat seperti limbah logging, limbah pertanian (jerami padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok), batang pisang, dan serbuk gergaji.
Secara umum, tahapan dalam pembuatan bioetanol memerlukan langkah fermentasi mengubah gula menjadi etanol, serta proses distilasi untuk memisahkan alkohol dari air. Perbedaan proses pembuatan bioetanol dari bahan baku gula, pati dan lignoselulosa dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gula
Pati
Bahan Lignoselulosa
Penanakan
Pengolahan Awal
Sakarifikasi (Hidrolisis ringan)
Sakarifikasi (Hidrolisis berat)
Fermentasi alkoholik dan Pemisahan
Bioetanol
Stillage
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Bioetanol dari Bahan Baku Gula, Pati dan Lignoselulosa [11] Pada tabel 2.1 akan ditampilkan syarat mutu etanol nabati berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI).
Tabel 2.1 Syarat Mutu Etanol Nabati [13] No.
Uraian o
1.
Kadar etanol pada 15 C
2.
Bahan yang dioksidasikan pada 15oC (waktu uji permanganat) Minyak fusel Aldehid (sebagai asetaldehid) Keasaman (sebagai asam asetat) Sisa penguapan maksimum Metanol
3. 4. 5. 6. 7.
Satuan % v/v % b/b menit
Persyaratan Mutu Mutu 1 Mutu 2 Min. 96,3 Min. 96,1 Min. 94,4 Min. 94,1 Min. 30 Min. 15
Mutu 3 Min. 95,0 Min. 92,5 -
mg/L mg/L
Maks. 4 Maks. 4
Maks. 15 Maks. 10
-
mg/L
Maks. 20
Maks. 30
Maks. 60
mg/L mg/L
Maks. 25 Maks. 10
Maks. 25 Maks. 30
Maks. 50 Maks. 100
Bioetanol biasanya dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat minuman keras, untuk keperluan medis, sebagai zat pelarut, dan yang sedang popular saat ini adalah pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif [14]. Banyak sekali keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi. Faktor utama yang menjadi pertimbangan adalah biomassa yang menjadi bahan baku produksi bioetanol merupakan sumber energi terbarukan (renewable resources). Selain itu, penggunaan bahan bakar etanol dapat dikatakan tidak memberikan tambahan netto karbondioksida pada lingkungan karena CO2 yang dihasilkan dari pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar matahari digunakan dalam proses fotosintesis. Pertimbangan ketiga adalah sebagai bahan bakar, bioetanol memiliki nilai oktan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer), menggantikan penggunaan senyawa eter dan logam berat seperti Pb sebagai “antiknocking agent’ yang memiliki dampak buruk bagi lingkungan. Dengan nilai oktan yang tinggi, proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor menjadi lebih baik [12]. Pada Tabel 2.2 akan ditampilkan spesifikasi untuk etanol bahan bakar terdenaturasi (denatured fuel ethanol) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Tabel 2.2 Spesifikasi untuk Etanol Bahan Bakar Terdenaturasi [15] No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Parameter Satuan Etanol % v/v, min Metanol % v/v, max Kandungan air % v/v, max Keasaman (sebagai asam mg/L, max asetat) Kandungan klorida (Cl-) mg/L, max Kandungan denaturant % v/v, max Kandungan Sulfur mg/L, max Kandungan Sulfur mg/kg, max Tampilan visual
Nilai 99,5 0,5 0,7 30 2,0 2-5 50 0,1 Terlihat bebas dari kontaminan yang tersuspensi dan terendap (Bersih dan terang)
Metode Tes ASTM D5501 ASTM D5501 ASTM E203 ASTM D1613 ASTM D1613 ASTM D7304 ASTM D2622 ASTM D1688 Pengamatan visual
Perkembangan bioetanol di dunia juga disebabkan karena isu pemanasan global, yaitu dengan semakin tingginya emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh revolusi hijau, aktivitas industri, pembakaran BBM dan pembakaran hutan [16]. Perkembangan bioetanol di Indonesia sangat menjanjikan, karena di Indonesia banyak tersedia bahan baku yang dapat diubah menjadi bioetanol [17]. Dikutip dari Detik Finance pada 20 Agustus 2013, Dahlan Iskan meresmikan Pabrik Bioetanol milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X yang berlokasi di Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Pabrik ini didirikan dari hasil kerja sama antara New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) Jepang dengan Kementerian Perindustrian Indonesia berbahan baku tetes tebu (molases) yang memiliki kapasitas produksi 30 juta liter per tahun [5]. Penggunaan bahan baku pembuatan bioetanol dari bahan berpati atau berglukosa tentunya mempunyai kendala. Misalnya penggunaan molase dan bahan berpati sebagai bahan baku pembuatan etanol akan berkompetisi dengan bahan baku pembuatan MSG (monosodiumglutamate) dan berkompetisi dengan kebutuhan sumber pangan di Indonesia [18]. Seperti halnya PT. Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menutup anak usaha, PT. Medco Ethanol Lampung (MEL) yang menghasilkan etanol. Penghentian kegiatan operasi dan penutupan pabrik etanol dikarenakan tidak mencukupinya pasokan bahan baku singkong dan tetes tebu untuk produksi etanol [6].
Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu ditemukan sumber bahan baku lain yang mengandung polisakarida dan tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu bahan yang tidak atau belum dimanfaatkan dan berpotensi sebagai bahan baku bioetanol adalah kulit durian.
2.1.1 Kulit Durian Buah Durian (Durio zibethinus) merupakan buah tropika yang banyak tumbuh di Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia dan lain-lain. Ciri buahnya, bentuknya besar, bulat/oval dengan aroma rasa, baunya khas dan menjadi buah primadona yang banyak disukai masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Medan dan sekitarnya [19]. Kandungan daging buah durian merupakan 20-35% dari berat buah, sedangkan bijinya 5-15%, sisanya berupa kulit 60-75% [20]. Gambar buah durian ditampilkan pada gambar 2.2 terlihat bahwa kandungan kulit dari buah durian merupakan bagian terbesar dari buah durian.
Gambar 2.2 Buah Durian [21]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, produksi panen buah durian di daerah Sumatera Utara pada tahun 2011 adalah sebesar 579.471 ton/tahun [22]. Dari literatur, dapat dihitung jumlah kulit durian yang diproduksi setiap panennya adalah sebesar 376.656,15 ton/tahun. Untuk itu diperlukan pemikiran lebih lanjut untuk mengatasi masalah volume sampah kulit durian yang tinggi dengan meningkatkan nilai tambah bagi sampah kulit durian sehingga dapat termanfaatkan [23].
Apabila dilihat dari karakteristik bentuk dan sifat-sifat kulitnya, sebenarnya banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari kulit buahnya misalnya untuk bahan campuran papan partikel, papan semen, arang briket, arang aktif, filler, campuran untuk bahan baku obat nyamuk dan lain-lain [19]. Kehidupan orangtua kita dulu sebenarnya sudah mampu menjawab permasalahan lingkungan terkait dengan menumpuknya kulit durian yang akhirnya menjadi limbah tersebut, mereka telah memanfaatkan limbah kulit durian ini dengan menyusunnya di atas tempat memasak, setelah kering dibakar untuk pengusir nyamuk pada malam hari, atau sebagai bahan bakar memasak sehingga ini merupakan indikasi bahwa bahan ini dapat diolah menjadi produkproduk tertentu yang bermanfaat dan berdaya guna [24]. Dalam penelitian ini, dilakukan inovasi baru dalam pemanfaatan kulit durian yaitu sebagai bahan baku bioetanol sehingga mempunyai nilai ekonomis. Kulit durian secara proposional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%) dan kandungan lignin (5%) serta kandungan pati yang rendah (5%) [19]. Dengan unsur selulosa yang tinggi, kulit durian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. 2.2 PROSES PEMBUATAN BIOETANOL Inti dari proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula dengan bantuan mikroorganisme. Bahan baku yang terdiri dari bahan bergula, bahan berpati dan bahan berselulosa terlebih dahulu dikonversi menjadi gula sehingga dapat di fermentasi menjadi etanol dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme yang
biasanya
digunakan
adalah
ragi
Saccharomyces
cerevisiae
atau
Saccharomyces elipsoides. Beberapa bakteri seperti Zymomonas mobilis juga diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan fermentasi untuk memproduksi etanol [12]. Proses pembuatan bioetanol dengan cara fermentasi sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan [12]. Secara umum proses pembuatan bioetanol meliputi tiga tahapan, yaitu persiapan bahan baku (pre-treatment), fermentasi dan pemurnian.
2.2.1 Tahap Persiapan Bahan Baku (Pre-treatment) Tahap persiapan bahan baku proses produksi bioetanol masing-masing bahan berbeda perlakuannya. Tujuan dari proses persiapan bahan baku ini adalah mengkonversi bahan baku menjadi gula sehingga lebih mudah difermentasi.
2.2.1.1 Tahap Persiapan Bahan Bergula Bahan bergula tidak melalui proses perlakuan awal karena sudah terdapat kandungan gula sehingga sudah dapat dilakukan proses fermentasi gula menjadi etanol, sehingga proses menjadi lebih pendek dan sederhana [11].
2.2.1.2 Tahap Persiapan Bahan Berpati Bioetanol dari bahan baku sumber pati dapat dibuat melalui beberapa tahapan, yaitu ekstraksi pati, likuifikasi, sakarifikasi, dan kultivasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Ekstraksi pati dilakukan dengan pemarutan kemudian pengepresan. Proses likuifikasi dari pati yang dihasilkan dan sakarifikasi untuk mendapatkan glukosa dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu secara asam dan secara enzimatis. Hidrolisis secara asam dapat menghasilkan derajat konversi pati menjadi glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis secara enzimatis. Namun demikian, hidrolisis enzimatis dapat dilakukan secara simultan dengan fermentasi [12].
2.2.1.3 Tahap Persiapan Bahan Berlignoselulosa Pada bahan berlignoselulosa terdapat perlakuan awal atau pretreatment yaitu menghilangkan kandungan lignin untuk diperoleh gula sederhana. Terdapat tiga proses perlakuan awal atau pretreatment, yaitu secara biologi, kimia, dan fisik/mekanis [11]. Untuk bahan berserat biasanya proses pre-treatment juga berfungsi untuk merusak lignin yang menghambat proses fermentasi, dapat ditambahkan senyawa basa seperti NaOH [18]. Pada tabel 2.3 terlihat beberapa perlakuan awal terhadap bahan lignoselulosa sebagai bahan baku bioetanol.
Tabel 2.3 Perlakuan Awal Biomassa Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol [11] Perlakuan Awal Mekanik atau Fisik
Proses Milling and Grinding • Ball milling • Two-roll milling • Hammer milling • Colloid milling • Vibratory ball milling Irradiation • Sinar gamma • Electron beam • Microwave
Perubahan pada Biomassa • Mengurangi ukuran partikel • Meningkatkan luas permukaan kontak dengan enzim • Mengurangi kristalisasi selulosa
a
Kimia dan Fisik-Kimia
Biologi
• Hydrothermal • Eksplosi uap panas • Pirolisis dan air panas Alkali • Sodium hidroksida • Ammonia • Ammonium sulfat • Ammonia Recycle Percolation (ARP) • Kapur (lime) Asam • Asam sulfat, asam • posfat, asam hidroklorat • Clorin dioksida • Nitrogen dioksida • Sulfur dioksida Agen oksidasi • Hidrogen peroksida • Ozone • Oksidasi basah Pelarut untuk ekstraksi lignin • Ekstraksi etanol-air • Ekstraksi benzene-air • Ekstraksi etlin glikol Ekstraksi butanol air Fungi Pelapuk Putih • Phanerochaete chrsosporium, Pleurotus ostreatus,
• Meningkatkan area permukaan yang mudah diakses • Delignifikasi sebagian atau keseluruhan • Menurunkan kristalisasi selulosa • Menurunkan derajat polimerisasi • Hidrolisis hemiselulosa sebagian atau keseluruhan
• Delignifikasi • Penurunan derajat polimerisasi selulosa
Perlakuan Awal
Kombinasi
a.
Proses • Trametes versicolor, Pycnoporus, Ischnoderma, Phlebia Actinomycetes • Alkali pulping dengan steam explosion • Grinding diikuti alkaline atau acid treatment
Perubahan pada Biomassa • Penurunan derajat kristalisasi selulosa • Mendegredasi hemiselulosa • Delignifikasi • Meningkatkan area permukaan dan ukuran pori
Perlakuan Pendahuluan Fisika (Physical pretreatment) Pretreatment fisika dapat meningkatkan luas permukaan yang diakses dan
ukuran pori-pori, serta mengurangi kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa. Berbagai jenis proses fisik seperti penggilingan (misalnya ball milling, two-roll milling, hammer milling, colloid milling, dan vibro energy milling) dan iradiasi (misalnya dengan sinar gamma, berkas elektron atau microwave) dapat digunakan untuk meningkatkan hidrolisis enzimatik atau biodegradasi bahan limbah lignoselulosa. Penggilingan dapat digunakan untuk mengubah ultrastruktur melekat lignoselulosa dan derajat kristalinitas, dan akibatnya membuatnya lebih menerima selulosa. Penggilingan dan pengecilan ukuran telah diterapkan sebelum hidrolisis enzimatik, atau proses pretreatment lainnya seperti dengan asam encer, uap atau amonia, pada beberapa bahan limbah lignoselulosa [25]. Studi tentang efisiensi dari penggilingan (milling) dan dilanjutkan dengan proses kimia telah dilakukan [26]. Pengecilan ukuran dilakukan dengan menggunakan hammer milling dan disk milling. Hasil yang diperoleh menunjukkan disk milling lebih efektif dari pada hammer milling karena pada hammer milling akan terbentuk ikatan serat. Selanjutnya proses pendahuluan kimia tidak hanya meningkatkan konversi selulosa tetapi juga mengurangi konsumsi energi penggilingan mekanik secara signifikan. Sedangkan,
iradiasi
dapat
meningkatkan
hidrolisis
enzimatik
dari
lignoselulosa. Kombinasi radiasi dan metode lain seperti perlakuan asam dapat lebih mempercepat hidrolisis enzimatik. Iradiasi telah meningkatkan degradasi enzimatik selulosa menjadi glukosa [25]. Pre-treatment microwave merupakan alternatif bagus untuk dapat mengurangi waktu perlakuan pada suhu tinggi.
Dalam studi yang dilakukan Binod, et al membandingkan tiga tipe dari pretreatment microwave, yaitu microwave-asam, microwave-alkali, dan kombinasi keduanya. Diperoleh hasil dengan perlakuan microwave kombinasi alkali dan asam dengan 1% NaOH dan 1% asam sulfat meningkatkan perolehan gula 0,83 g/g biomassa kering dan mempunyai waktu yang singkat dari ketiga microwave tersebut [27].
b.
Perlakuan Pendahuluan Fisika-Kimia (Physico-chemical pretreatment) Perlakuan pendahuluan dengan kombinasi diantara proses kimia dan fisika
disebut sebagai physico-chemical pretreatment. Adapun beberapa proses yang penting termasuk dalam perlakuan ini antara lain Eksplosi uap panas (autohydrolisis), Eksplosi uap panas dengan penambahan SO2, Eksplosi ammonia (AFEX), Eksplosi CO2, dan Liquid Hot Water pretreatment. Di antara proses fisika-kimia, steaming dengan atau tanpa eksplosi (autohydrolisis)
cukup
mendapat
perhatian
untuk
pretreatment
bahan
lignoselulosa. Pada proses ini menghilangkan sebagian besar hemiselulosa, sehingga meningkatkan proses enzimatik. Proses ini sudah banyak diuji skala lab maupun pilot plant oleh kelompok peneliti dan perusahaan. Biaya energi yang relatif dapat terpenuhi memenuhi persyaratan proses pretreatment. Selain pengunaan uap panas, perlakuan lainnya seperti cairan air panas (LHW) juga dapat diperhitungkan. Memasak bahan lignoselulosa dalam cairan air panas adalah salah satu metode pretreatment hidrotermal yang diterapkan untuk pretreatment bahan lignoselulosa sejak beberapa dekade yang lalu, misalnya industri pulp. Air di bawah tekanan tinggi dapat menembus ke dalam biomassa, selulosa hidrat, dan menghilangkan hemiselulosa dan lignin. Keuntungan utama adalah tidak ada penambahan bahan kimia dan tidak ada kebutuhan bahan tahan korosi untuk reaktor hidrolisis dalam proses ini. Pengurangan ukuran bahan baku adalah operasi yang sangat menuntut energi untuk sebagian besar bahan pada skala komersil, tidak akan ada kebutuhan untuk pengurangan ukuran di LHW pretreatment. Selain itu, proses ini memiliki kebutuhan yang jauh lebih rendah dari bahan kimia untuk netralisasi hidrolisat yang dihasilkan, dan menghasilkan lebih rendah jumlah residu netralisasi dibandingkan dengan banyak proses seperti
perlakuan asam. Karbohidrat hemiselulosa yang terlarut sebagai oligosakarida dan dipisahkan dari selulosa yang tidak larut dan fraksi lignin. LHW dapat memperbesar daerah permukaan akses selulosa dan membuatnya lebih mudah mengalami hidrolisis enzim [25]. Pre-treatment dengan proses LHW sudah dilakukan scale-up untuk skala industri, biaya yang dikeluarkan untuk proses LHW sekitar $0,84 / galon etanol yang dihasilkan [28].
c.
Perlakuan Pendahuluan Kimia (Chemical pretreatment) Perlakuan pendahuluan kimia diantaranya hidrolisis alkali, alkali peroksida,
proses organosolv, oksidasi basah, proses ozon, dan hidrolisis asam. Dengan menggunakan proses ini beberapa perubahan biomassa yang terjadi antara lain: meningkatkan area permukaan yang mudah diakses, delignifikasi sebagian atau keseluruhan, menurunkan kristalisasi selulosa, menurunkan derajat polimerisasi, hidrolisis hemiselulosa sebagian atau keseluruhan [11]. Seperti namanya proses ini menggunakan bahan-bahan kimia dalam mendegradasi bahan lignoselulosa tersebut, diantaranya natrium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2), ozon (O3), hidrogen peroksida (H2O2), asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), asam nitrat (HNO3) dan lain sebagainya [25]. Perlakuan pendahuluan kimia sudah banyak dilakukan salah satunya adalah hidrolisis asam. Penelitian yang dilakukan oleh Unhasirikul et al tentang produksi gula dari bahan baku kulit durian dengan perlakuan hidrolisis asam. Asam yang digunakan antara lain asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), dan asam posfat (H3PO4) dengan konsentrasi 0,5-2,0% dan dihidrolisis di dalam autoclave. Diperoleh hasil bahwa efisiensi hidrolisis asam ini mencapai lebih dari 70%. Hidrolisis asam dengan H2SO4 dan HCl ditemukan glukosa, fruktosa dan xilose, sedangkan dengan H3PO4 ditemukan glukosa dan fruktosa [29]. Penggunaan bahan kimia tersebut, tidak mempengaruhi hidrolisis enzimatik, tetapi mereka biasanya menghambat pertumbuhan mikroba dan fermentasi, yang menghasilkan yield dan produktivitas etanol menurun. Selain bahan-bahan kimia yang dibutuhkan untuk proses pretreatment, dibutuhkan juga bahan-bahan kimia untuk netraslisasi hidrolisat yang dihasilkan dan akan menghasilkan residu netralisasi yang lebih besar. Oleh karena itu, pretreatment pada pH rendah harus
dipilih dengan benar untuk menghindari atau setidaknya mengurangi formasi inhibitor ini [25].
d.
Perlakuan Pendahuan Biologi (Biological pretreatment) Mikroorganisme juga dapat digunakan untuk merubah bahan lignoselulosa
dan meningkatkan hidrolisis enzimatik. Serangan biologis dari mikroorganisme tersebut mendegradasi lignin dan hemiselulosa, dan hanya sedikit bagian selulosa yang diserang. Beberapa jamur, misalnya brown-, white- dan soft-rot fungi, telah digunakan untuk tujuan ini. Jamur pelapuk putih merupakan mikroorganisme yang paling efektif untuk pretreatment biologis lignoselulosa. Kebutuhan energi yang rendah, tidak memerlukan bahan kimia, dan kondisi lingkungan yang ringan adalah keuntungan utama dari pretreatment biologi. Namun, proses ini masih sangat sedikit digunakan [25]. Studi tentang perlakuan biologi dilakukan oleh Lee et al mengevaluasi perlakuan biologi pada Pinus densiflora (Pinus merah Jepang) dengan menggunakan tiga tipe white rot fungi yaitu Cerioria lacerata, Stereum hirsutum dan Polypirus brumalis. Dari ketiga jamur tersebut perlakuan menggunakan S.hirsutum menunjukkan hasil yang lebih baik dari jamur lainnya, aktivitas penghilangan lignin yang tinggi dan aktivitas penghilangan selulosa yang rendah [30].
2.2.2 Tahap Fermentasi Tahap selanjutnya dalam produksi bioetanol adalah fermentasi. Fermentasi merupakan tahap paling kritis dalam produksi etanol. Semua sumber bahan baku, yaitu sumber gula, pati dan serat, setelah menjadi gula, prosesnya sama yaitu fermentasi. Fermentasi merupakan proses biokimia dimana mikroba yang berperan dalam fermentasi akan menghasilkan enzim yang mampu mengonversi substrat menjadi etanol [12]. Fermentasi bioetanol termasuk dalam fermentasi anaerob. Pada tahap ini, gula-gula sederhana akan dikonversi menjadi etanol dengan bantuan ragi dan enzim
[11].
Pada
umumnya
fermentasi
etanol
menggunakan
khamir
Saccharomyces cerevisiae. Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan proses fermentasi dengan kinetika sangat
sederhana. Disebut sederhana karena hanya melibatkan satu fase pertumbuhan dan produksi, pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan menjadi biomassa, etanol dan CO2 [31]. Selanjutnya ragi akan menghasilkan etanol sampai kandungan etanol dalam tangki mencapai 8-12% (biasa disebut cairan beer), dan kemudian ragi tersebut akan menjadi tidak aktif, karena kelebihan etanol akan berakibat racun bagi ragi. Tahap ini menghasilkan gas CO2 sebagai produk samping dan sludge sebagai limbahnya [11]. Berikut adalah reaksi pembentukan etanol menjadi glukosa: C6H12O6 Glukosa
2C2H5OH + 2CO2 Etanol Karbondioksida
Gambar 2.3 Reaksi Pembentukan Bioetanol [31] Fermentasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, pH, sifat dan komposisi medium, O2 terlarut, CO2 terlarut, sistem operasional (misalnya batch, fed batch, kontinu), pencampuran, dan kecepatan
dalam fermentor. Variasi
faktor-faktor ini dapat mempengaruhi: tingkat fermentasi, spektrum produk dan hasil, sifat organoleptik produk (penampilan, rasa, bau dan tekstur), kualitas gizi, dan sifat fisika-kimia [32].
Tahapan dalam proses fermentasi dapat dibagi menjadi [33]: 1. Pengolahan hulu yang melibatkan persiapan medium cair, pemisahan partikulat dan bahan kimia hambat dari media, sterilisasi, pemurnian udara. 2. Fermentasi yang melibatkan konversi substrat untuk produk yang diinginkan dengan bantuan agen biologis seperti mikroorganisme. 3. Pengolahan hilir yang melibatkan pemisahan sel dari kaldu fermentasi, pemurnian dan konsentrasi produk yang diinginkan dan pembuangan limbah atau daur ulang.
Pengendalian Kondisi Fermentasi Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi adalah : 1) Suhu Khamir akan tumbuh pada suhu 30 sampai 35oC. Adapun proses fermentasi yang optimum terjadi pada suhu tinggi yaitu antara 30-38 oC. Selama proses fermentasi, akan dihasilkan ATP yang menghasilkan panas, sehingga terjadi kenaikan suhu. Kenaikan suhu selama fermentasi tersebut akan menurunkan ketahanan khamir terhadap alkohol yang dihasilkan, sehingga mempercepat pembentukan asam asetat yang bersifat racun. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan rendahnya etanol yang diperoleh, yang berhubungan dengan kinerja khamir. Sebaliknya, suhu yang terlalu rendah akan menyebabkan proses fermentasi berjalan lambat dan tidak ekonomis. Oleh karena itu, suhu harus dipertahankan pada titik optimum sehingga aktivitas metabolik sel dan pertumbuhan berjalan secara optimum [12]. Seperti penelitian yang dilakukan Torija et all, temperatur tidak hanya mempengaruhi kinetika fermentasi (laju dan lama fermentasi), tetapi juga metabolisme dari khamir (ragi) itu sendiri. Pertumbuhan khamir pada suhu 25-30oC merupakan pertumbuhan khamir yang terbaik tetapi setelah meningkatnya suhu terjadi penurunan pertumbuhan khamir tersebut. Ini membuktikan bahwa suhu sangat mempengaruhi proses fermentasi sehingga suhu harus diperhatikan [34]. 2) pH pH media berguna untuk mengatur aktifitas fermentasi dan pertumbuhan mikroba di dalamnya. Selain itu pH juga berfungsi untuk menghentikan kegiatan fermentasi bila dianggap telah cukup. Pada pH di bawah 3,0 proses fermentasi akan berkurang kecepatannya dan pH optimum untuk fermentasi dalah 4,5 – 5,0. Pengaturan keasaman dapat dibantu dengan penambahan larutan bufer sehingga fluktuasi keasaman tidak terlalu besar [31]. 3) Oksigen Ketersediaan oksigen berpengaruh besar dalam fermentasi karena oksigen tersebut dapat menjadi penentu tipe aktivitas mikroba. Mikroba yang digunakan dalam fermentasi adalah jenis mikroba fermentasi kuat dan mempunyai aktifitas
respirasi yang rendah. Ketersediaan oksigen dapat dikurangi dengan sistem isolasi udara. Selain dengan mengisolasi udara, dapat pula diberikan sejumlah kapang yang dapat digunakan untuk menutup permukaan sehingga mengambil sebagian besar oksigen yang tersedia. Untuk menjaga kondisi aerasi selama fermentasi maka medium fermentasi dapat ditutup dengan kapas, busa, atau bahan lain yang tidak menghambat aliran udara [31]. 4) Unsur Hara Umumnya khamir membutuhkan unsur C, H, O, N, P, K, Mg dan Ca dalam jumlah yang cukup besar sedangkan unsur Fe dan Cu dibutuhkan dalam jumlah yang kecil. Kebutuhan akan unsur nitrogen dapat diperoleh dari garam-garam ammonium, asam amino, pepton dan peptida. Bentuk ammonium merupakan bentuk yang paling mudah dipergunakan oleh khamir [31]. 5) Media Fermentasi Proses fermentasi adalah pembentukan etanol dan karbon dioksida dari glukosa dengan bantuan khamir. Jika konsentrasi gula dalam substrat terlalu tinggi maka etanol yang terbentuk akan menghambat aktivitas khamir, sehingga waktu fermentasi menjadi lebih lama dan efisiensi menjadi lebih rendah, karena tidak semua gula dikonversi menjadi etanol. Konsentrasi gula yang terlalu rendah menjadikan proses tidak ekonomis, karena penggunaan fermentor tidak efisien [31].
6) Pengadukan Pengadukan berfungsi untuk meratakan kontak sel dan substrat, menjaga agar mikroorganisme tidak mengendap di bawah dan meratakan temperatur di seluruh bagian bioreaktor. Oleh karena itu pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengaduk yang tepat diharapkan dapat menunjang fungsi pengadukan sehingga dapat meningkatkan hasil fermentasi [35].
2.2.3 Tahap Pemurnian Tahap produksi bioetanol selanjutnya adalah pemurnian. Tahap pemurnian dilakukan untuk memperoleh kadar bioetanol yang lebih tinggi dari hasil fermentasi. Proses pemurnian bioetanol meliputi distilasi untuk memperoleh kadar bioetanol 95% dan dehidrasi untuk memperoleh kadar etanol yang lebih tinggi mencapai 99% atau fuel grade. Namun sebelum proses pemurnian perlu dilakukan pemisahan padatan cairan, untuk menghindari clogging selama proses pemurnian [11]. Pada tahap pemurnian bioetanol, proses yang sering digunakan adalah proses distilasi. Distilasi adalah salah satu metode dari pemurnian dengan cara memisahkan dua atau lebih komponen-komponen dalam suatu cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen. Pada proses distilasi bioetanol, larutan fermentasi yang terdiri dari campuran etanol, air dan bahan-bahan lainnya dipisahkan pada tekanan atmosfir dengan suhu tertentu. Pada suhu 100oC air mendidih dan akan menguap, sedangkan etanol mendidih pada suhu sekitar 77oC. Perbedaan titik didih inilah yang memungkinkan pemisahan campuran etanol dan air. Jika larutan campuran etanolair dipanaskan, maka lebih banyak molekul etanol menguap daripada air. Bioetanol yang dikeluarkan dari tangki fermentasi, dikirim ke kolom distilasi untuk dipisahkan dari air dan bahan-bahan pengotor lainnya. Untuk memperoleh bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau yang umum disebut fuel based ethanol. Masalah yang timbul adalah sulitnya memisahkan hidrogen yang terikat dalam struktur kimia alkohol dengan cara distilasi biasa. Oleh karena itu untuk mendapatkan fuel based ethanol dilaksanakan pemurnian lebih lanjut [31]. Etanol merupakan cairan yang bersifat azeotropik dengan air. Untuk memperoleh etanol yang bebas air, azeotrop harus dipisahkan. Pemisahan alkohol dan air disebut proses dehidrasi. Metode dehidrasi yang biasa digunakan dalam pemisahan ini adalah distilasi azeotrop, desiccant kimiawi dan filtrasi monokuler [12].
•
Distilasi azeotrop dapat dilakukan pada kolom distilasi berefluks dengan penambahan bahan pelarut, seperti benzen atau n-heksana. Dengan penambahan bahan tersebut azeotrop dapat dipisahkan dalam campuran dengan pemanasan pada proses distilasi sampai diperoleh etanol yang lebih murni.
•
Desiccant kimiawi, menggunakan bahan kimia yang bertujuan untuk memudahkan pemisahan etanol dan air. Biasanya bahan yang digunakan adalah kalsium oksida (CaO), yang bereaksi dengan air sehingga menghasilkan panas yang dipertahankan pada sistem.
•
Pemisahan azeotrop air-etanol dapat juga dilakukan dengan metode filtrasi molekuler dengan bahan filter kristal alumunium sillika, yang akan mengabsorpsi molekul air yang lebih kecil daripada molekul etanol sehingga air dan etanol dapat dipisahkan.
2.3
PERALATAN YANG DIGUNAKAN DALAM PROSES PEMBUATAN BIOETANOL 2.3.1 Peralatan Proses Perlakuan Awal Dalam proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku lignoselulosa membutuhkan perlakuan awal baik secara biologi, kimia dan fisik/mekanis. Perlakuan awal ini diperlukan misalnya untuk pengecilan ukuran, menghilangkan lignin, menurunkan derajat polimerisasi selulosa [11]. Pada tabel 2.1 dalam sub bab 2.2.1 telah dijabarkan macam-macam perlakuan awal bahan baku lignoselulosa untuk produksi bioetanol. Peralatan proses yang dibutuhkan untuk perlakuan awal bahan baku sesuai dengan perlakuan awal (pre-treatment) yang dipilih. Efisiensi pre-treatment dibutuhkan untuk memaksimalkan efisiensi hidrolisis enzimatis dan membantu mengurangi total kebutuhan ekonomi proses. Sebuah proses pre-treatment yang efektif dan ekonomis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut [25]: • produksi serat selulosa reaktif atas serangan enzimatik • menghindari penghancuran hemiselulosa dan selulosa • menghindari pembentukan inhibitor mungkin bagi enzim hidrolisis dan fermentasi mikroorganisme
• meminimalkan kebutuhan energi • mengurangi biaya pengurangan ukuran untuk bahan baku • mengurangi biaya bahan untuk pembangunan reaktor pretreatment • produksi residu berkurang • konsumsi sedikit atau tidak ada bahan kimia dan menggunakan bahan kimia murah
Dalam pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian, perlu dicari metode yang tepat untuk pre-treatment kulit durian sehingga diperoleh metode yang efektif sesuai dengan persyaratan diatas. Dalam penelitian ini menggunakan metode fisika-kimia yaitu pengecilan ukuran dan liquid hot water pre-treatment.
2.3.2 Peralatan Fermentasi Fermentor adalah sebuah bioreaktor yang digunakan sebagai tempat fermentasi. Secara umum, ada dua kelas utama bioreaktor: anaerobik dan aerobik. Dalam fermentasi anaerob, mikroorganisme tumbuh tidak membutuhkan oksigen. Contoh fermentor anaerob meliputi sebagian proses bahan bakar (seperti etanol atau isobutanol) dan pembuatan beberapa asam organik [36]. Fungsi utama fermentor adalah untuk menyediakan lingkungan yang terkendali untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga mendapatkan produk yang diinginkan [33].
Dalam merancang dan membangun bioreaktor atau fermentor ada beberapa hal yang harus ditimbangkan selain hal-hal diatas, antara lain [37]: 1. Karakteristik mikrobiologi dan biokimia dari sistem sel. 2. Karakteristik hydrodynamic dari bioreaktor. 3. Karakteristik perpindahan massa dan panas bioreaktor. 4. Kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk. 5. Karakteristik stabilitas genetik dari sistem sel. 6. Desain peralatan aseptik 7. Kontrol lingkungan bioreaktor (makro dan lingkungan mikro). 8. Implikasi desain bioreaktor pada pemisahan produk hilir.
9. Kapital dan biaya operasi dari bioreaktor. 10. Potential untuk bioreaktor scale-up.
Komponen-komponen dari fermentor, antara lain [33]: 1. Komponen dasar meliputi motor penggerak, pemanas, pompa dan lain-lain. 2. Bejana dan aksesorisnya (baffle, impeller). 3. Peralatan pendukung lainnya (botol reagen). 4. Instrumentasi dan sensor.
Beberapa jenis bioreaktor adalah sebagai berikut: 1. Stirred Tank Fermenter (Fermentor Tangki Berpengaduk) Stirred tank fermenter mempunyai fungsi menghomogenisasi, suspensi solid, dipersi campuran gas dan cairan, aerasi cairan dan pertukaran panas. Reaktor tangki berpengaduk ini tersedia dengan sekat dan pengaduk yang terpasang baik di atas dan di bawah bioreaktor. Pola reaktor ini dipengaruhi oleh waktu pencampuran, koefisien perpindahan massa dan panas, shear stress dan lain-lan. Reaktor tangki berpengaduk ini biasanya digunakan pada proses batch dengan sedikit modifikasi, reaktor ini memiliki desain yang sederhana dan mudah dioperasikan. Reaktor tangki berpengaduk memiliki penawaran yang baik pada pencampuran dan kecepatan transfer massa. Biaya operasi yang rendah dan reaktor dapat digunakan dengan berbagai spesies mikroba [33]. Gambar 2.4 menampilkan stirred tank fermenter atau fermentor tangki berpengaduk.
Gambar 2.4 Stirred Tank Fermenter [38]
2. Air-Lift Fermenter Air-Lift Fermenter (ALF) adalah klasifikasi umum dari reaktor pneumatik tanpa banyak susunan pengaduk mekanin untuk pencampuran. Turbulensi disebabkan oleh aliran fluida memastikan cukupnya pencampuran dari cairan. Keuntungan dari reaktor airlift adalah mengurangi pengaruh erosi secara umum pada agitasi mekanik [33]. Gambar 2.5 menampilkan air-lift fermenter..
Gambar 2.5 Air-Lift Fermenter [33]
3. Fluidised Bed Bioreactor Fluidised Bed Bioreactor (FBB) telah menerima peningkatan perhatian dalam beberapa tahun terakhir karena keuntungan mereka lebih dari jenis reaktor lain. Sebagian besar FBB dikembangkan untuk sistem biologis yang melibatkan sel-sel sebagai biokatalis tiga sistem fase (padat, cair, dan gas). The FBB umumnya beroperasi pada aliran atas co-current dengan cairan sebagai fase kontinu dan konfigurasi tidak biasa seperti kebalikan tiga fase fluidised bed tidak begitu penting. Biasanya fluidisasi diperoleh baik oleh re-sirkulasi cairan eksternal atau dengan gas diumpankan ke reaktor [33]. Gambar 2.6 menampilkan fluidised ber bioreactor. G1
L2
Gelembung (Bubbles)
Katalis
L1
G0
Gambar 2.6 Fluidised Bed Bioreactor [33]
Keterangan gambar: G0 = Aliran udara masuk G1 = Aliran udara keluar L1 = Aliran fluida cair masuk L2 = Aliran fluida cair keluar
4. Packed Bed Bioreactor Unggun atau bioreaktor fixed bed biasanya digunakan dengan biofilm terpasang secara khusus dalam rekayasa air limbah. Penggunaan reaktor packed bed memperoleh penting setelah potensi teknik imobilisasi sel seluruh telah dibuktikan. Immobilisasi biokatalis dalam packed kolom dan diberi makan dengan nutrisi baik dari atas atau dari bawah. Salah satu kelemahan dari packed bed adalah karakteristik aliran berubah karena perubahan dalam porositas bed selama operasi. Packed bed bioreaktor biasanya digunakan di mana substrat inhibiion mengatur laju reaksi. Reaktor packed bed secara luas digunakan dengan sel amobilisasi [33]. Gambar 2.7 menampilkan packed bed bioreactor. Aliran Keluar
Packing
Aliran Masuk
Gambar 2.7 Packed Bed Bioreactor [33]
2.3.3 Peralatan Pemurnian Proses pemurnian bioetanol meliputi distilasi untuk memperoleh kadar bioetanol 95% dan dehidrasi untuk memperoleh kadar bioetanol yang lebih tinggi mencapai 99% atau fuel grade. Peralatan yang digunakan untuk proses distilasi disebut distilator. Alat distilator terdiri dari kolom distilasi, kondensor. Pada tipe distilasi batch, campuran alkohol-air dipanaskan dalam keadaan tertutup, kemudian uapnya didinginkan dalam alat penukar panas dengan fluida dingin air. Etanol akan menguap terlebih dahulu dibandingkan air karena etanol memiliki titik didih lebih rendah dibandingkan air. Dari proses distilasi akan menghasilkan bioetanol dengan kadar 95%. Untuk mencapai kemurnian yang lebih tinggi
dilakukan proses pemurnian lebih lanjut, salah satunya yaitu adsorpsi dengan menggunakan batu gamping [7].
2.4 PENGADUKAN Pada industri kimia dan industri proses lainnya, kebanyakan operasi produksi bergantung pada sejumlah besar pengadukan dan pencampuran fluida. Umumnya pengadukan lebih disukai untuk memaksa fluida secara mekanis dalam peredaran dan pengaliran sirkulasi atau pola lain di dalam bejana. Di dalam proses produksi bioetanol, pengadukan berfungsi untuk meratakan kontak sel dan substrat, menjaga agar mikroorganisme tidak mengendap di bawah dan meratakan temperatur di seluruh bagian bioreaktor [35].
Berdasarkan bentuknya, ada tiga jenis impeller yaitu [39]: a.
Pengaduk Propeller Berdaun Tiga (Three- Blade Propeller Agitator) Merupakan impeller propeller berdaun tiga yang mirip dengan baling-baling
berbilah digunakan dalam mendorong baling-baling perahu. Impeller dengan aliran aksial berkecepatan tinggi diantara 400 – 1750 rpm yang biasanya digunakan untuk cairan dengan viskositas yang rendah dengan putaran zat cair yang sangat berturbulensi, seperti Gambar 2.8.
(a)
(b)
Gambar 2.8 Bejana dengan Pengaduk Propeller Berdaun Tiga dan Baffle (Penyekat) (a) tampak depan (b) tampak bawah [39] b.
Pengaduk Dayung (Paddle Agitator) Merupakan impeller dengan aliran radial yang sering digunakan pada
kecepatan rendah antara 20–200 rpm, dengan panjang total 60–80 % dari diameter tangki dan lebar pisaunya (blade) 1/6–1/10 dari panjangnya. Impeller yang sering
digunakan adalah dua atau tiga blade. Impeller tipe pengaduk dayung sering digunakan pada pengolahan pasta, cat, perekat dan kosmetik. Gambar 2.9 menampilkan beberapa jenis pengaduk paddle dan turbin.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2.9 Jenis-Jenis Pengaduk: (a) Four-Blade Paddle, (b) Gate or Anchor Paddle, (c) Six-Blade Open Turbine, (d) Pitched-Blade (45oC) Turbine [39] c.
Pengaduk Turbin (Turbine Agitator) Impeller jenis ini menyerupai bentuk dayung (Paddle) berdaun banyak, tetapi
daunnya (blade) lebih pendek daripada bentuk paddle dan digunakan pada kecepatan yang tinggi. Diameter impeller turbin biasanya 30 -50 % dari diameter tangki. Umumnya impeller turbin mempunyai 4 atau 6 daun yang efektif untuk kisaran viskositas yang cukup luas, yang memiliki aliran radial. Impeller jenis ini sangat cocok digunakan untuk mendispersikan gas dan mensuspensikan padatan. Gambar 2.10 menampilkan tangki berpengaduk dengan impeller turbin dan pola alirannya.
Gambar 2.10 Tangki Berpengaduk Turbin dengan 6 Daun (Blade) disertai Pola Alirannya [39]
Pola aliran pada tangki berpengaduk tergantung dari sifat-sifat fluida, geometri tangki, jenis baffle (sekat) dan jenis pengaduk itu sendiri. Jika sebuah propeller atau pengaduk lainnya diletakkan secara vertikal di pusat tangki tanpa baffle, pola aliran berputar-putar biasanya terjadi. Umumnya, ini tidak diinginkan, karena udara yang berlebihan, vortexs (pusaran) besar, bergelombang, dan sejenisnya terutama pada kecepatan tinggi. Untuk mencegah hal ini suatu sudut posisi tidak di pusat dapat digunakan dengan propeller dengan kecepatan yang kecil. Namun untuk pengadukan di kekuatan yang lebih tinggi, pengadukan tidak seimbang dapat menjadi parah dan membatasi penggunaan daya yang lebih tinggi [39].
2.5 BAHAN KONSTRUKSI Bahan konstruksi adalah merupakan bahan atau material yang digunakan untuk membangun peralatan produksi. Bahan konstruksi berbeda untuk setiap skala peralatan, baik itu skala kecil, pilot atau besar. Dalam peralatan skala kecil, konstruksi bejana dari bahan kaca atau stainless steel masih dapat digunakan. Tetapi untuk proses skala pilot atau skala yang lebih besar, digunakan stainless steel (>4% kromium), baja ringan (yang dilapisi dengan kaca atau material epoxy), kayu, plastik, atau beton sebagai bahan konstruksi bejana. Bahan konstruksi harus tidak beracun dan tahan korosi [33]. Bahan yang biasa digunakan untuk peralatan-peralatan kimia adalah stainless steel. Stainless steel merupakan logam campuran antara besi-kromium dan nikel yang mempunyai sifat-sifat tidak berkarat dalam air laut, tahan terhadap konsentrasi asam dan dapat digunakan sampai suhu 1100oC [40]. Pemilihan pemakaian bahan konstruksi didasarkan pada sifat fisika dan kimia bahan baku proses, kondisi proses, ukuran peralatan yang dibangun dan biaya dari bahan konstruksi.
2.6 PENGEMBANGAN SKALA LABORATORIUM KE SKALA PILOT Skala pilot merupakan tahap peralihan dari studi laboratorium dan skala industri. Desain skala pilot atau industri komersial dapat tidak sesuai dengan penelitian, jika penelitian yang tersedia tidak cukup luas untuk meningkatkan
informasi dari skala laboratorium. Harus dipahami, bahwa pilot plant bukan sebagai scale-up dari peralatan laboratorium, tetapi sebagai simulasi skala kecil dari operasi industri di masa depan. Hasil penelitian laboratorium akan digunakan untuk memilih proses yang paling cocok dan akan mengarah pada pemilihan peralatan yang digunakan dalam proses produksi. Jika studi laboratorium berhasil dan jka studi pilot plant dinilai perlu, maka akan dirancang pilot plant untuk mensimulasikan operasi industri [41]. Scaling up adalah tugas utama bagi insinyur kimia dan merupakan langkah dasar dalam realisasi dan optimalisasi plant skala industri. Kegiatan scale up menggambarkan akumulasi proses yang diperoleh dari berbagai tahapan perkembangan proses dari eksperimen laboratorium dan turunan dari korelasi kinetika, eksperimen fluida bergerak, model matematika, desain dan operasi dari skala pilot dan skala industri. Konsep "scale up" biasanya menjelaskan sebagai "bagaimana merancang sebuah reaktor/peralatan skala pilot atau skala industri dengan menggunakan metodologi standar hasil dari penelitian laboratorium". Dalam definisi sempitnya, melalui penelitian ditunjukkan bahwa scale up tidak sebenarnya menjadi standar dari inovasi proses: proses produksi yang sebenarnya merupakan hasil dari pemilihan yang tepat, dan terkadang mempunyai banyak kesalahan [42]. Pilot plant tidak hanya untuk membuktikan bahwa yield yang dihasilkan pada skala laboratorium sama dengan skala yang lebih besar. Tujuan utamanya adalah untuk menguji teknologi yang akan digunakan pada skala industri. Sebuah pilot plant juga penting untuk mengevaluasi spesifikasi produk dan untuk mengatur sistem otomatisasi dan kontrol yang akan disiapkan untuk skala industri. Biaya yang lebih rendah dan percobaan yang lebih banyak pada skala pilot dan membantu mengevaluasi efisiensi pengadukan, pertukaran panas, pola aliran dan distribusi aliran, residence time, pengaruh difusi, dan lain-lain [42]. Tujuan dari pilot plant dapat dibedakan berdasarkan pada kondisi spesifik masing-masing proyek, dan pemilihan dari konstruksi yang mencakup satu atau beberapa tujuan sebagai berikut [41]:
•
untuk mengoptimalkan parameter operasi proses
•
untuk mempelajari efek dari aliran proses sirkulasi dan akumulasi dari impuritis pada waktu yang lama
•
untuk mendapatkan informasi proses yang dibutuhkan untuk menentukan dan merancang skala industri
•
untuk pengujian sistem kontrol proses dan prosedur
•
untuk pengujian bahan konstruksi
•
untuk mengoptimalkan desain peralatan
•
untuk mendapatkan informasi yang cukup untuk mempersiapkan estimasi rincian dari modal dan biaya operasi, serta mempersiapkan evaluasi ekonomi dari proyek
•
untuk mengidentifikasi bahaya dalam proses dan menjamin keamanan dalam desain dan operasi
2.7 ANALISIS EKONOMI Pada penelitian ini dilakukan suatu analisis ekonomi yang sederhana, sehingga dapat diketahui biaya pabrikasi dari unit pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian dan biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.
2.7.1 Biaya Pabrikasi Peralatan Dari beberapa unit peralatan yang dirancang, telah dibangun peralatan yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin dengan kapasitas 100 liter. Adapun biaya yang dibutuhkan untuk membangun peralatan tersebut adalah: 1.
Biaya Peralatan Tabel 2.4 menampilkan rincian biaya peralatan unit pembuatan bioetanol
yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin.
Tabel 2.4 Rincian Biaya Peralatan Unit Pembuatan Bioetanol Bahan / Alat Harga (Rp) Jumlah Total (Rp.) Tangki Fermentor 150.000 1 150.000 Tangki Distilator 4.500.000 1 4.500.000 Tangki Air Pendingin 90.000 1 90.000 Heater 600.000 3 1.800.000 Control Panel 1.000.000 1 1.000.000 Termokopel 600.000 1 600.000 Koil pendingin 100.000 /m 2m 200.000 Termometer 75.000 3 225.000 Rangka alat 525.000 Lain-lain * 975.000 Total biaya 10.065.000 * Biaya pembelian aksesoris lainnya (valve, corong), pengecatan, dan pembelian peralatan lainnya untuk proses pabrikasi
2.
Biaya Pemasangan Alat
3.
Total Biaya Pabrikasi
Rp. 2.000.000
Total biaya pabrikasi = Harga bahan/alat + biaya pemasangan alat = Rp. 10.065.000 + Rp. 2.000.000 = Rp. 12.065.000 Jadi, total biaya yang dibutuhkan untuk pabrikasi peralatan unit pembuatan bioetanol yang terdiri dari tangki fermentor, distilator dan tangki air pendingin adalah Rp. 12.065.000.
2.7.2 Biaya Operasional Pembuatan Bioetanol dengan Bahan Baku Kulit Durian Proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian terdiri dari proses pre-treatment, fermentasi dan distilasi. Diperoleh kondisi proses optimum dari hasil laboratorium yaitu fermentasi selama 7 hari dan penambahan ragi 6%. Berikut biaya operasional dari pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian dengan kondisi proses tersebut: 1.
Biaya Bahan Baku Adapun bahan yang digunakan untuk pembuatan bioetanol dengan bahan
baku kulit durian antara lain, kulit durian, ragi dan air. Pada tabel 2.5 menampilkan biaya bahan baku dari proses pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian untuk satu siklus proses pembuatan bioetanol.
Bahan Kulit durian Ragi tape Air proses
Tabel 2.5 Rincian Biaya Bahan Baku [43] Jumlah Harga (Rp) Biaya Total (Rp) 100 kg 5000 / 20 kg 25.000 6000 gr 800 / 10 gram 480.000 200 liter 2500 / m3 5.00 Biaya Total 505.500
Total biaya yang dibutuhkan untuk biaya bahan baku pembuatan bioetanol satu siklus dengan kapasitas bahan baku 100 kg adalah Rp. 505.500.
2.
Biaya Proses Proses pembuatan bioetanol terdiri dari proses pre-treatment, fermentasi dan
distilasi. Tabel 2.6 menampilkan biaya proses dari pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian.
Biaya Gas 12 kg Listrik heater Listrik blender Air pendingin
Tabel 2.6 Rincian Biaya Proses [43] [44] Jumlah Waktu Harga (Rp) 1 1500 watt 200 watt 70 liter
3 jam 6 jam
112.000 1.224 / kwh 1.224 / kwh 2.500 / m3
Biaya Total
Biaya Total (Rp) 112.000 1.836 1.468,8 175 115.479,8
Total biaya yang dibutuhkan untuk biaya proses pembuatan bioetanol satu siklus adalah Rp. 115.479,8 atau lebih kurang Rp. 115.500.
3.
Biaya Pencucian Peralatan Tabel 2.7 menampilkan biaya pencucian peralatan yang terdiri dari tangki
fermentor dan tangki distilator. Tabel 2.7 Biaya Pencucian Peralatan [43] Peralatan Jumlah Harga (Rp) Biaya Total (Rp) Fermentor 50 liter 125 3 Distilator 100 liter 2500 / m 250 Tangki air pendingin 20 liter 50 Biaya Total 425
Jadi total biaya yang diperlukan untuk pencucian alat satu siklus proses adalah Rp. 425 atau lebih kurang Rp. 500.
4.
Total biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian Biaya operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian
untuk satu siklus proses batch terdiri dari biaya bahan baku, biaya proses, biaya pencucian alat.
Total biaya operasional = Rp. 505.000 + Rp. 115.500 + Rp. 500 = Rp. 621.000
Jadi total biaya yang diperlukan untuk operasional pembuatan bioetanol dengan bahan baku kulit durian sebanyak 100 kg adalah Rp. 621.000. Dapat dihitung bahwa untuk 1 kg kulit durian dibutuhkan biaya operasi sebesar Rp. 6.210.