BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tuberkulosis Paru 2.1.1
Pengertian Penyakit tuberkulosis paru adalah penyakit menular
yang
disebabkan
oleh
bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk basil, berukuran panjang
1 - 4 µ dan tebal
0,3 - 0,6 µ, dan tahan terhadap pewarnaan yang asam sehingga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar tubuh bakteri terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuatnya lebih tahan
asam
dan
bisa
bertahan
hidup
bertahun-tahun. Sifat lainnya adalah bersifat aerob (lebih menyukai jaringan yang kaya akan oksigen), terutama bagian apikal posterior (Bahal, 1990 dalam Satyo & Agustin 2007). Selain
menyerang
paru-paru,
sebagian
besar bakteri tuberkulosis juga dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas bakteri ini
8
membentuk
granuloma
dalam
paru
sehingga
menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Yunus, 1989 dalam Satyo & Agustin 2007).
2.1.2
Klasifikasi Berdasarkan pada hasil pemeriksaan, penyakit TB Paru dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu: a. TB Paru BTA positif Disebut
TB
Paru
BTA
positif
apabila
sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan
radiologi
paru
menunjukkan
gambaran TB Paru aktif. b. TB Paru BTA negatif Apabila dalam pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS BTA negatif dan foto radiologi dada menunjukkan gambaran TB Paru aktif. TB Paru dengan BTA negatif dan gambaran radiologi positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan,
9
bila menunjukkan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat. c. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di luar paru, termasuk pleura yakni bagian yang menyelimuti paru dan organ lain seperti selaput otak, kulit, persendian, ginjal, saluran kencing, dan lain-lain (Satyo & Agustin, 2007).
2.1.3
Gambaran Klinik 2.1.3.1 Gejala sistemik Secara sistematis pada umumnya penderita akan mengalami demam. Demam berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah “sembuh” atau tidak mengalami demam. Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan
lesu)
yang
bersifat
berkepanjangan kronik disertai rasa tidak
10
enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing serta mudah lelah. Gejala sistematik ini terdapat baik pada TB Paru maupun TB yang menyerang organ lain (Yunus, 1992 & Harrisons, 1991 dalam Satyo & Agustin 2007). 2.1.3.2 Gejala respiratorik Gejala
respiratorik
atau
gejala
saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila melibatkan
bronkus.
Gejala
respiratorik
lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya
untuk
membuang
ekskresi
peradangan berupa dahak (sputum) yang bersifat mukoid atau purulent. Terkadang gejala respiratorik ini disertai batuk darah. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter. Apabila
11
kerusakan sudah meluas, timbul sesak napas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula rasa nyeri dada (Satyo & Agustin, 2007). 2.1.4
Faktor Resiko TB Paru 2.1.4.1 Kependudukan Kejadian penyakit TB Paru merupakan hasil reaksi antara komponen lingkungan yakni
udara
yang
mengandung
basil
tuberkulosis dengan masyarakat
serta
dipengaruhi
yang
berbagai
variabel
mempengaruhinya
(variabel
kependudukan).
Variabel
yang
peran
memiliki
kependudukan dalam
kejadian
penyakit TB Paru yakni: 1. Jenis kelamin Berdasarkan catatan statistik, meski selamanya tidak konsisten, mayoritas penderita TB Paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan perhatian
lebih
lanjut
pada
tingkat
behavioural, tingkat kejiwaan, sistem
12
pertahanan
tubuh
maupun
tingkat
molekuler. 2. Umur Resiko untuk mendapatkan penyakit TB Paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, kemudian menurun karena usia diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal yang lebih baik terhadap TB Paru. Puncaknya pada dewasa muda dan menurun kembali ketika
seseorang
atau
kelompok
menjelang usia tua (Warren, 1994 & Daniel dalam Harrison 1991 dalam Satyo & Agustin 2007). Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru
adalah usia produktif, yakni
usia 15 hingga 50 tahun (Depkes, 2002 dalam Satyo & Agustin 2007). 3. Status gizi Bakteri TB Paru merupakan bakteri yang suka “tidur” hingga bertahun-tahun
13
dan menimbulkan penyakit TB Paru apabila
memiliki
kesempatan
untuk
“bangun”. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tangkap adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, lakilaki, anak-anak maupun dewasa. 4. Kondisi sosial ekonomi Sembilan puluh persen penderita TB Paru di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB Paru bersifat timbal balik, TB Paru merupakan penyebab kemiskinan dan karena kemiskinan pula maka manusia menderita TB
Paru.
Kondisi
sosial
ekonomi itu sendiri mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung namun dapat
merupakan
penyebab
tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk serta perumahan yang tidak sehat dan akses terhadap kesehatan yang juga menurun.
14
Rata-rata penderita TB Paru kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun.
Mereka
juga
kehilangan
penghasilan dalam setahun yang secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (WHO, 2003 dalam Satyo & Agustin 2007). 2.1.4.2 Faktor resiko lingkungan 1. Kepadatan penduduk Kepadatan
penduduk
merupakan
pre-requisite (faktor pendukung atau prasyarat)
dalam
penyakit.
Semakin
proses
penularan
padat
jumlah
penduduk maka perpindahan penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Departemen Kesehatan telah membuat sehat
peraturan dengan
tentang rumus
rumah jumlah
penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10 m2 per orang. Jarak antara tempat tidur yang satu dengan yang lain 90 cm dan kamar tidur
15
sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali anak di bawah 2 tahun (Depkes, 2003 dalam Satyo & Agustin 2007). 2. Lantai rumah Lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB Paru yaitu melalui kelembaban tanah
dalam
ruangan.
cenderung
kelembaban
Lantai
menimbulkan
sehingga
sangat
mempengaruhi viability (daya hidup) bakteri TB Paru. 3. Ventilasi Ventilasi
bermanfaat
bagi
sirkulasi
(pergantian udara) dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Uap air baik dari
pernapasan
manusia
dapat
maupun
keringat
mempengaruhi
kelembaban. Semakin banyak manusia dalam suatu ruangan maka akan makin tinggi
pula
kelembabannya.
Kelembaban dalam ruang tertutup yang
16
banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi dibandingkan kelembaban di luar
ruang.
Adanya
ventilasi
akan
mengencerkan konsentrasi bakteri TB Paru dan bakteri lain sehingga terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat menjadi jalan masuknya sinar ultra violet. Hal ini akan semakin baik apabila konstruksi rumah menggunakan genteng kaca karena hal ini merupakan kombinasi yang baik. 4. Pencahayaan Rumah
sehat
memerlukan
cahaya
cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultra violet. Cahaya matahari minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan. 5. Kelembaban Kelembaban merupakan sarana baik untuk
pertumbuhan
17
mikroorganisme,
termasuk bakteri TB Paru sehingga viabilitasnya lebih lama. 6. Ketinggian Ketinggian
secara
umum
mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih suhu udara dengan permukaan laut
0,50
sebesar
berkaitan ketinggian kerapatan
C.
dengan juga
Disamping kelembaban,
berkaitan
oksigen.
M.
dengan
tuberkulosis
sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan oksigen di pegunungan akan mempengaruhi
viabilitas
bakteri
TB
Paru (Olander, 2003 dalam Satyo & Agustin 2007).
Penyakit TB Paru akan cepat memburuk jika pengidap TB Paru juga merokok atau mereka sering keluar malam, karena udara malam tidak sehat untuk penyakit paru-paru. Begitu juga bagi pekerja pabrik kimia, pabrik dengan asap dan debu
18
pekat. Pekerja yang bekerja di lingkungan yang udaranya sudah tercemar asap, debu atau gas buangan juga harus lebih waspada (Satyo & Agustin, 2007).
2.1.5
Penularan TB Paru Sumber penularan adalah penderita TB Paru dengan BTA positif. Apabila penderita TB Paru batuk, berbicara, atau bersin, maka ribuan bakteri TB berhamburan bersama “droplet” napas penderita yang bersangkutan, khususnya pada penderita TB Paru aktif dan luka terbuka pada parunya (Mandal dkk., 2006). Jika penderita TB membuang ludah atau dahak yang mengandung bakteri
tuberkulosis
sembarangan,
ludah
dan
dahak akan mengering dan bakterinya sangat mudah diterbangkan angin. Karena itu harus disiapkan tempat khusus untuk menampung dahak penderita dan diberi desinfektan. Bakteri akan mudah terhirup manusia dan masuk ke paru-paru orang lain. Di dalam paru-paru bakteri TB akan bersarang dan berkembang biak. Bakteri semakin
19
lama akan semakin banyak dan menggerogoti paru-paru. Akan tetapi
tidak
semua
orang
yang
terinfeksi bakteri tuberkulosis akan mengidap TB Paru. Setiap orang memiliki kekebalan TB Paru jika sejak bayi sudah diberi imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin). Penularan TB Paru dapat terjadi di mana saja. Individu yang memiliki kondisi tubuh yang lemah, kurang gizi, kekurangan protein, kekurangan darah, dan kurang beristirahat akan mudah tertular oleh penyakit TB Paru. Bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan kotor dan kumuh karena dapat menyuburkan pertumbuhannya. Hal itu didukung pula jika banyak orang
meludah
dan
membuang
dahak
sembarangan, orang di sekitar penderita belum di imunisasi BCG dan
juga didukung oleh kondisi
kurang gizi. Daya penularan dari seseorang ke orang yang lain ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan serta lamanya seseorang menghirup udara yang mengandung bakteri tersebut. Pada
20
anak-anak, apabila TB Paru tidak diobati maka dapat menyerang organ tubuh yang lain seperti tulang, otak, ginjal dan getah bening. Pada orang dewasa bakteri tuberkulosis hanya lebih sering menyerang paru-paru dan apabila tidak diobati, maka
bakteri
akan
menyebabkan
paru-paru
menjadi lunak kemudian hancur (Satyo & Agustin, 2007).
2.1.6
Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung (Depkes, 2005 dalam Mandal dkk., 2006). Diagnosis pastinya adalah melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak. Pemeriksaan kultur memerlukan waktu lama, hanya dilakukan bila diperlukan atas indikasi tertentu, dan tidak semua unit-unit pelayanan memilikinya.
Pemeriksaan
dahak
dilakukan
sedikitnya 3 kali, yaitu pengambilan dahak sewaktu penderita datang ke tempat pengobatan dan dicurigai
menderita
TB
Paru,
kemudian
pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya
21
dengan mengambil dahak pagi. Pemeriksaan ketiga dilakukan ketika penderita datang lagi ke tempat pengobatan. Oleh sebab itu di sebut pemeriksaan SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 pemeriksaan spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya ada satu spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada
TB
Paru
maka
yang
bersangkutan
dianggap positif menderita TB Paru. Jika hasil radiologi tidak menunjukkan adanya tanda-tanda TB Paru, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang. Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau bakteri
tuberkulosis
hanya
dilakukan
sarana mendukung untuk hal itu.
22
apabila
Bila
ketiga
spesimen
dahak
hasilnya
negatif, maka diberi antibiotik berspektrum luas selama 1 hingga 2 minggu, misalnya amoksisilin atau
kotrimoksasol.
Bila
tidak
berhasil
dan
penderita yang bersangkutan masih menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi (Mandal dkk., 2006).
2.1.7
Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru Upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru yang harus dilakukan adalah: 1. Upaya
Penderita
TB
Paru
agar
tidak
menularkan kepada orang lain a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissue. b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan. c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam
wadah
kemudian
yang
dibuang
ditimbun dalam tanah.
23
diberi dalam
desinfektan lubang
dan
d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari. e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga bakteri tuberkulosis paru dapat mati. 2. Upaya orang lain agar tidak tertular penyakit TB Paru a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang bergizi b. Tidur dan istirahat yang cukup c. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur dan ruangan lainnya. d. Imunisasi BCG pada bayi. e. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu. f.
Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes RI, 2001).
Penderita TB Paru juga harus melakukan pengobatan dengan efisien. Karena itu penderita
24
TB Paru harus menjalani pengobatannya hingga dinyatakan sembuh (Mandal dkk., 2006).
2.2 Pengetahuan/Knowledge 2.2.1
Pengertian Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang
melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca
indra
manusia,
yakni
indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Penelitian
Rogers
(1974)
menunjukkan
bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni: 1) Awareness
(kesadaran),
yaitu
subyek
menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). 2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut. Di sini sikap subyek sudah mulai timbul.
25
3) Evaluation
(menimbang-nimbang)
terhadap
baik dan tidaknya stimulus terhadap dirinya. Hal ini berarti sikap subyek sudah lebih baik. 4) Trial, yaitu subyek sudah mulai mencoba melakukan
sesuatu
dengan
apa
yang
dikehendaki stimulus. 5) Adoption, yaitu subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap
stimulus
(Notoatmodjo,
2007).
2.2.2
Aspek-aspek pengetahuan Pengetahuan
tercakup
dalam
enam
tingkatan, yaitu: a. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang
telah
diajarkan
setelah
seseorang
mempelajari dari materi yang diberikan. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkategorikan keluarga ke dalam tingkatan tahu apabila keluarga mengetahui penyakit TB Paru secara umum. Misalnya keluarga tahu bahwa penyakit
26
TB Paru itu menular dan dapat menyebutkan tanda-tanda umumnya. b. Memahami (Comprehension) Peneliti akan mengkategorikan keluarga dalam tingkatan memahami apabila keluarga dapat menjelaskan secara benar tentang pengertian TB Paru, bagaimana tanda dan gejala TB Paru, serta bagaimana cara penularan TB Paru tersebut dan upaya pencegahannya. c. Aplikasi (Application) Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau
kondisi
nyata.
Peneliti
akan
mengkategorikan keluarga hingga tingkatan aplikasi apabila keluarga telah atau dapat mempraktikkan
misalnya
keluarga
dapat
mempraktikkan hal-hal yang telah diketahuinya untuk mencegah penularan penyakit TB Paru. d. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan seseorang untuk menjabarkan pengetahuan mengenai TB
27
Paru yang telah diperoleh dalam kehidupan nyata. e. Sintesis (Syntesis) Sintesis
adalah
suatu
kemampuan
untuk
menyusun atau menemukan hal-hal yang baru dari pengetahuan yang dimiliki. f.
Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi (penilaian) terhadap suatu obyek tertentu. Misalnya keluarga dapat menilai bahwa seorang anak tertular penyakit TB Paru atau tidak (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Pengetahuan 2.2.3.1 Faktor Internal 1. Pendidikan Pendidikan
berarti
diberikan
seseorang
perkembangan kearah
bimbingan
orang
cita-cita
yang
terhadap lain
tertentu
menuju yang
menentukan manusia untuk berbuat dan
28
mengisi
kehidupan
untuk
keselamatan
dan
Pendidikan
diperlukan
mencapai
kebahagiaan. untuk
mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. 2. Pekerjaan Menurut Thomas pekerjaan dilakukan untuk menunjang kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga (Nursalam, 2003 dalam Wawan & Dewi 2010). 3. Umur Semakin cukup umur, maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja.
Dari
masyarakat,
segi
seseorang
kepercayaan yang
lebih
dewasa akan lebih dipercaya (Huclok, 1998 dalam Wawan & Dewi 2010).
29
2.2.3.2 Faktor eksternal 1. Faktor lingkungan Menurut
Ann.
Mariner
lingkungan
merupakan seluruh kondisi yang ada di sekitar
manusia
mempengaruhi perilaku
dapat
perkembangan
orang
(Nursalam,
yang
dalam
atau Wawan
dan
kelompok &
Dewi
2010). 2. Sosial Budaya Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi sikap dalam menerima informasi (Wawan & Dewi, 2010). 2.3 Konsep Keluarga 2.3.1
Pengertian Ada beberapa pengertian keluarga, antara lain: 1. Menurut Depkes RI tahun 1988, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah
30
sutu atap serta saling ketergantungan (Setiadi, 2008). 2. Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga (Duval & Logan, 1986 dalam Murwani 2008). 3. Keluarga adalah dua atau lebih inidividu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan budaya
serta
(Ballon
&
mempertahankan
suatu
Maglaya,
dalam
1978
Murwani 2008). 4. Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang unik dengan individu yang saling terkait dan bergantung secara erat (Friedman, 2010).
31
Berdasarkan beberapa pengertian keluarga tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup bersama, terikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, saling ketergantungan serta mempunyai peran dan tujuan sosial.
2.3.2
Tipe Keluarga 2.3.2.1 Keluarga Tradisional 1. Keluarga
inti
(Nuclear
family)
adalah
keluarga yang hanya terdiri ayah, ibu, dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. 2. Keluarga besar (Extended family) adalah keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, paman, bibi) 2.3.2.2 Keluarga Modern 1. Keluarga berantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
32
2. Keluarga duda/janda (Single family) adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian. 3. Keluarga
komposit
(Composite)
adalah
keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama. 4. Keluarga kohabitasi (Cohabitation) adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga. 5. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah menikah (The single adult living alone). 6. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (Gay and lesbian family) (Setiadi, 2008). 2.3.3
Fungsi Keluarga Lima fungsi keluarga adalah sebagai berikut. 1. Fungsi afektif Fungsi
afektif
berguna
untuk
pemenuhan
kebutuhan sosial yaitu saling mengasuh, saling menghargai, adanya ikatan dan identifikasi.
33
2. Fungsi sosialisasi Sosialisasi adalah proses perkembangan dan perubahan
yang
menghasilkan merupakan
dilalui
interaksi
tempat
individu sosial.
individu
yang
Keluarga
untuk
belajar
bersosialisasi. 3. Fungsi reproduksi Keluarga
berfungsi
untuk
meneruskan
keturunan dan menambah SDM (Sumber daya Manusia).
Melalui
program
KB
(Keluarga
Berencana) maka fungsi ini dapat terkontrol. 4. Fungsi ekonomi Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga
seperti
kebutuhan
minum,
pakaian/sandang
akan
makan,
dan
tempat
perlindungan. 5. Fungsi perawatan kesehatan Tugas keluarga adalah: a. Mengenal masalah kesehatan b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
34
c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit d. Mempertahankan/menciptakan
suasana
rumah yang sehat e. Mempertahankan menggunakan masyarakat
fasilitas (Friedman,
Murwani 2008).
35
hubungan
dengan kesehatan
1986
dalam