BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KAJIAN TEORI 2.1.1 Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikembangkan oleh Slavin (1995) merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan membantu dalam memahami suatu materi pelajaran. Dalam STAD, siswa dibagi menjadi kelompok beranggotakan empat siswa yang beragam kemampuan, jenis kelamin, dan sukunya. Guru memberikan suatu pelajaran, dan siswa-siswa di dalam kelompok memastikan bahwa semua anggota kelompok itu bisa menguasai pelajaran tersebut. Akhirnya semua siswa menjalani tes/kuis perseorangan tentang materi tersebut, dan pada saat itu pula mereka tidak boleh saling membantu satu sama lain. Nilai – nilai hasil kuis siswa diperbandingkan dengan nilai
rata-rata mereka sendiri
yang diperoleh
sebelumnya, dan nilai – nilai itu diberi hadiah berdasarkan pada seberapa tinggi nilai itu melampaui nilai mereka sebelumnya. Nilai-nilai kemudian dijumlahkan untuk mendapat nilai kelompok, dan kelompok yang dapat mencapai kriteria tertentu bisa mendapatkan hadiah yang lainnya. Bila dibandingkan dengan pembelajaran model konvensional yang biasa di lakukan selama ini, siswa harus mengikuti cara belajar yang dipilih gurunya dengan penuh untuk mempelajari urutan yang telah diterapkan bahkan kurang sekali
siswa mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan pendapat,
pembelajaran secara kooperatif tipe STAD membuka peluang dan kesempatan siswa mengembangkan diri sesuai kemampuannya.
6
7
Langkah – langkah STAD Menurut Mulyatiningsih (2011: 228) menyebutkan bahwa langkahlangkah STAD adalah sebagai berikut: a. Pembentukan Kelompok Membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang peserta didik yang memiliki kemampuan beragam. Pembentukan peserta didik dipilih secara heterogen agar setiap kelompok mempunyai kemampuan yang sama, sehingga tidak akan ada kelompok yang terlambat atau paling cepat memahami yang dapat menghambat proses pembelajaran. b. Siswa menyimak materi yang disajikan guru Siswa bersama kelompok menyimak materi yang disajikan guru. Semua anggota kelompok harus menguasai materi ajar tersebut, namun jika masih ada siswa yang belum paham, siswa yang sudah paham dalam kelompok menjelaskan kepada yang belum paham sampai semua anggota kelompok benar-benar menguasai materi ajar. c. Siswa bekerja bersama kelompok Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggotaanggota kelompok. Setelah anggota kelompok berhasil menguasai materi, mereka mengerjakan tugas kelompok bersama anggota kelompoknya yang diberika oleh guru. d. Guru memberi soal kepada seluruh siswa Soal diberikan kepada siswa untuk dikerjakan secara individual. Pada saat menjawab soal, sesama anggota kelompok tidak boleh saling membantu. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur hasil belajar siswa secara individu, sehingga siswa akan benar-benar berusaha untuk menguasai materi ajar tersebut. e. Guru memberi nilai kelompok Nilai kelompok diberikan berdasarkan dari jumlah nilai individu yang berhasil diperoleh seluruh anggota kelompok. f. Guru mengevaluasi kegiatan belajar mengajar dan menyimpulkan materi pelajaran.
8
Berdasarkan langkah-langkah diatas diketahui bahwa pembelajaran STAD
menurut
Mulyatiningsih
dapat
mendorong
peserta
didik
untuk
berpartisipasi aktif dan berkompetisi dengan kelompok lainnya. Dimana siswa saling membantu dalam kelompok untuk menguasai materi pembelajaran. Sehingga semua anggota dalam kelompok dapat menguasai materi yang diberikan guru. Sepaham dengan Mulyatiningsih, Widyantini (2008:7) juga menyebutkan bahwa langkah pembelajaran STAD adalah sebagai berikut: a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. Guru dapat menggunakan berbagai pilihan dalam menyampaikan materi pembelajaranini kepada siswa. Misal, antara lain dengan metode penemuan terbimbing atau metode ceramah. Langkah ini tidak harus dilakukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu. b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individusehingga akan diperoleh nilai awal kemampuan siswa. c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari budaya atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikannya secara bersama-sama, saling membantu antaranggota lain, serta membahas jawaban tugas yang diberikan guru. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa setiap kelompok dapat menguasai konsep dan materi. Bahan tugas untuk kelompok dipersiapkan oleh guru agar kompetensi dasar yang diharapkan dapat dicapai. e.
Siswa menjawab kuis Guru memberi kuis atau pertanyaan kepada seluruh siswa. Kuis diberikan untuk mengukur pengetahuan tiap siswa dalam memahami materi ajar yang sudah diberikan. Pada saat menjawab kuis, siswa tidak boleh saling membantu.
9
f. Menyimpulkan materi pembelajaran Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. g. Guru memberi penghargaan Penghargaan diberikan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya. Fokus pada langkah-langkah STAD yang disebutkan oleh Widyantini dan Mulyatiningsih (2011: 228) adalah sama, yaitu adanya kerjasama antar anggota kelompok untuk menguasai materi yang diterima sampai semua anggota kelompok menguasai materi tersebut. Namun, langkah-langkah yang disebutkan Widyantini menambahkan adanya penghargaan pada kelompok berprestasi yang bertujuan untuk memotivasi siswa agar belajar dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh nilai yang lebih baik dari nilai sebelumnya. Kerjasama kelompok dalam menguasai materi dan adanya penghargaan dalam pembelajaran STAD, juga diungkapkan oleh Rusman (2010: 215) yaitu: a.
Penyampaian Tujuan Motivasi Menyampaikan tujuan belajar yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar.
b.
Pembagian Kelompok Siswa dibagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4-5 siswa yang memprioritaskan heterogenitas kelas dalam prestasi akademik, jenis kelamin, rasa atau etnik.
c.
Menyimak materi Guru menyiapkan materi pelajaran dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut serta pentingnya pokok bahasan tersebut dipelajari.
d.
Kerja Tim Siswa belajar dalam kelompok yang telah dibentuk. Guru menyiapkan lembaran kerja sebagai pedoman bagi kerja kelompok, sehingga semua siswa menguasai materi.
10
e.
Kuis (Evaluasi) Guru mengevaluasi hasil belajar melalui pemberian kuis tentang materi yang dipelajari, dan juga melakukan penilaian terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok.
f. Penghargaan Prestasi Tim Setelah pelaksanaan kuis, guru memeriksa hasil kerja dan diberikan angka dengan rentang 0-100. Selanjutnya diberi penghargaan atas penghasilan kelompok. Langkah – langkah STAD yang disebutkan oleh Rusman diatas mengarahkan kepada siswa untuk saling membantu dalam kelompok untuk menguasai materi dan kerja sama dalam mengerjakan lembar kerja kelompok. Untuk meningkatkan semangat belajar siswa, dalam pembelajaran juga diberikan penghargaan bagi kelompok yang memperoleh nilai tertinggi. Dari beberapa pendapat diatas, dapat dilihat bahwa pembelajaran STAD menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam kelompok untuk menguasai materi pelajaran guna mencapai hasil belajar yang maksimal. Peneliti juga mengadopsi dan memodifikasi langkah-langkah pembelajaran STAD sebagai berikut: 1.
Pembentukan kelompok Siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa yang ada di dalam kelas, dimana setiap kelompok terdiri dari 4 siswa yang dipilih secara heterogen.
2.
Siswa menyimak materi secara individu Siswa menyimak materi yang diberikan guru secara individu. Siswa harus benar-benar menyimak materi agar mereka memahami atau menguasai materi yang dipelajari.
3. Belajar kelompok a. Siswa megerjakan LKS dalam kelompok secara berpasangan Setiap kelompok mendapatkan lebih dari satu lembar kerja siswa. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya siswa yang pasif dalam kelompok tersebut. Jadi semua siswa aktif mengerjakan lembar kerja yang
11
diberikan guru sesuai dengan kemampuannya. Pengerjaannya lebih efektif dilakukan dengan dua orang sesuai dengan permasalahan yang didapat. b. Siswa yang sudah menguasai materi, menjelaskan kepada teman satu kelompok yang belum menguasai. Jika ada siswa dalam kelompok belum menguasai materi, teman dalam kelompok yang sudah menguasai membantu sampai semua anggota dalam kelompok benar-benar menguasai materi. 4. Menyimpulkan materi pelajaran Secara bersama-sama siswa dan guru membuat kesimpulan tentang materi yang sudah dipelajari. 5. Siswa mengerjakan tes/kuis individual Siswa mengerjakan tes/kuis yang diberikan guru. Dalam mengerjakan, siswa tidak boleh saling membantu. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa menguasai materi saat belajar bersama kelompok. 6. Memberikan penghargaan Penghargaan diberikan kepada kelompok yang berhasil mengumpulkan nilai tertinggi. Nilai tersebut berasal dari jumlah nilai tes individu dalam satu kelompok. Pemberian penghargaan perlu dilakukan untuk memotivasi semangat belajar siswa.
2.1.2 Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011:22). Kemempuan yang dimiliki antar siswa berbedsa, hal tersebut tergantung dengan kesiapan siswa saat mengikuti pembelajaran. Apabila siswa mengikuti pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah dan tujuan pembelajaran, maka kemampuan yang dimiliki siswa akan terlihat. Kemampuan siswa tidak dilihat hanya dari segi kognitif saja, namun dapat juga dari afektif maupun psikomotorik siswa. Siswa dapat diukur ranah kognitifnya dengan pemberian soal atau tes dari materi pembelajaran, sedangkan
12
afektif dan psikomototiknya dapat dilihar berdasarka pengamatan guru yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung. Senada dengan Sudjana, Wardani (2009:3.20) juga mengemukakan bahwa hasil belajar harus diidentifikasi melalui hasil pengukuran penguasaan materi dan aspek perilaku baik tes maupun nontes. Penguasaan yang dimiliki siswa tesebut dinyatakan dalam aspek yeng terdiri dari tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan belajar kognitif menurut Bloom dalam Wardani (2009: 3.20) berupa 1. Menghafal (Remember): menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Mengingat merupakan poses kognitif yang paling rendah tingkatannya. 2. Memahami (Understand): mengkonstruk mekna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam pemikiran peserta didik. 3. Mengaplikasikan (Aply): mencakup penggunaan suatu prosedur guna menyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas. Kategori ini mencakup dua macam proses kognitif: menjalankan dan mengimplementasikan. 4. Menganalisis (Analyze): menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut. Ada tiga macam proses kognitif yang tercakup dalam menganalisis: menguraikan, mengorganisir, dan menemukan pesan tersirat. 5. Mengevaluasi (Evaluate): membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini: memeriksa dan mengritik. 6. Membuat (create): menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu: membuat, merencanakan, dan memproduksi. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Suprijono (2011:56) bahwa hasil belajar itu berupa: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan keterampilan, sikap, dan keterampilan yang diperoleh siswa setelah siswa menerima perlakuan yang diberikan oleh guru sehingga dapat
13
mengkonstruksikan pengetahuan yang didapat untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil belajar digunakan guru untuk digunakan sebagai ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan pengukuran (Measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru menaksir prestasi siswa dengan membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati kinerja mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan menggunakan indera mereka seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut Arikunto dan Jabar (2004) menyatakan pengertian pengukuran (measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif. Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket. Dari pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk mengukur hasil belajar peserta didik digunakanlah alat penilaian hasil belajar.Penilaian hasil belajar dapat diukur melalui teknik tes dan non tes. Teknik yang dapat digunakan dalam asesmen pembelajaran untuk mengukur hasil belajar siswa yaitu: 1.
Tes Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugastugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek tertentudari peserta tes dan dalam kaitan dengan pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi (Poerwanti, dkk. 2008:4-3). Tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur
14
sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2009:53). Tes menurut Sudjana (2011:35) sebagai alat penilaian adalah pertanyaanpertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran, namun demikian dalam batas tertentu tes dapat pula digunakan untuk mengukur atau menilai hasil belajar bidang afektif dan psikomotoris. Jadi kesimpulan dari pengertian tes adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik dan menggunakan langkah – langkah dan kriteria - kriteria yang sudah ditentukan. 2.
Non Tes Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif
dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Poerwanti, 2008:3-19 – 3-31), yaitu: 1. Observasi Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh pendidik tanpa menggunakan instrumen. 2. Wawancara Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi mendalam yang diberikan secara lisan dan spontan, tentang wawasan, pandangan atau aspek kepribadian peserta didik. 3. Angket Suatu teknik yang dipergunakan untuk memperoleh informasi yang berupa data deskriptif. Teknik ini biasanya berupa angket sikap (Attitude Questionnaires). 4. Work Sample Analysis (Analisa Sampel Kerja) Digunakan untuk mengkaji respon yang benar dan tidak benar yang dibuat siswa dalam pekerjaannya dan hasilnya berupa informasi mengenai kesalahan atau jawaban benar yang sering dibuat siswa berdasarkan jumlah, tipe, pola, dan lain sebagainya.
15
5. TaskAnalysis (Analisis Tugas) Dipergunakan untuk menentukan komponen utama dari suatu tugas dan menyusun skills dengan urutan yang sesuai dan hasilnya berupa daftar komponen tugas dan daftar skills yang diperlukan. 6. Checklists dan Rating Scales Dilakukan untuk mengumpulkan informasi dalam bentuk semi terstruktur, yang sulit dilakukan dengan teknik lain dan data yang dihasilkan bisa kuantitatif ataupun kualitatif, tergantung format yang dipergunakan. 7. Portofolio Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan belajar dan prestasi siswa. 8. Komposisi dan Presentasi Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya. 9. Proyek Individu dan Kelompok Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat digunakan untuk individu maupun kelompok Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas instrumen
butir-butir
soal
apabila
cara
pengukuran
dilakukan
dengan
menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi, pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, menyimak,diskusi berpasangan, dan presentasi. Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat kisikisi.Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik
16
atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Adapun kisi-kisi tersebut didalamnya meliputi: 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2. Indikator 3. Proses berfikir (C1 (ingatan), C2 (pemahaman), C3 (penerapan), C4 (analisis), C5 (evaluasi), C6 (kreasi)) 4. Tingkat kesukaran soal (rendah, sedang, tinggi) 5. Bentuk instrumen Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Stufflebeam (Arikunto,
2009:3) mengatakan bahwa proses
evaluasi
bukan
sekadar
mengukursejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Sedangkan Tyler dalam Arikunto (2009:3) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Wardani dkk, (2010, 2.8) mengartikannya, bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria ini dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM, atau batas keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.
17
2.1.3 Pembelajaran IPA di SD/MI Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan. Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran Salingtemas (Sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat) yang diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
18
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam semesta beserta isi secara langsung atau pengalaman yang ada di lingkungan sekitar melalui pengamatan, percobaan dan memerlukan pembuktian dengan eksperimen. Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Berdasarkan Permendiknas no.22 tahun 2006, Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. a) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya b) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari c) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat d) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan e) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam f) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan g) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Ruang Lingkup Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Berdasarkan Permendiknas no. 22 tahun 2006, ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut. a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
19
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan bendabenda langit lainnya. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan standar kompetensi dan kompetensi dasar IPA kelas IV, semester 2 yang disajikan dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA Kelas IV Sekolah Dasar Semester II Tahun Ajaran 2011/2012 Standar Kompetensi 8. Memahami berbagai
Kompetensi Dasar 8.1 Mendeskripsikan energi panas dan bunyi
bentuk energi dan cara
yang terdapat di lingkungan sekitar serta
penggunaannya dalam
sifat-sifatnya
kehidupan sehari-hari
8.2 Menjelaskan berbagai energi alternatif dan cara penggunaannya 8.3 Membuat suatu karya/model untuk menunjukkan perubahan energi gerak akibat pengaruh udara, misalnya roket dari kertas/baling-baling/pesawat kertas/parasut 8.4 Menjelaskan perubahan energi bunyi melalui penggunaan alat musik
20
2.2 KAJIAN HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN Rahmawati (2011) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika kelas V SD Negeri 1 Wadaslintang Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo Semester 2 ahun Ajaran 2010/2011” menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V. Hal ini dapat ditunjukkan berdasarkan perhitungan nilai pre tes kelompok terdapat 30,30 % yang tidak tuntas dan 69,70% yang tuntas. Untuk nilai postes kelompok eksperimen semua tuntas, yaitu mencapai 100%, sedangkan pada kelompok kontrol, nilai pre tes yang tuntas hanya mencapai 77,41% dan yang tidak tuntas ada 22,59%. Kelebihan dari penelitian ini adalah dengan adanya penggunaan model pembelajaran STAD siswa yang belum tuntas menjadi tuntas. Kelemahan dalam penelitian ini guru harus benar-benar menguasai materi yang diajarkan dan pandai dalam pengelolaan kelas agar siswa tidak ramai. Mendasar pada kelemahan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini guru harus benarbenar memiliki persiapan yang matang dan memahami konsep STAD sebelum melaksanakan pembelajaran. Sahrin (2011) dalam penelitian berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD” menunjukkan bahwa model bahwa ada pengaruh dalam penggunaan STAD terhadap hasil belajar IPA kelas V SD. Hal ini dapat ditunjukkan pada hasil (t hitung > t tabel = 5,838 > 1,686). Kelebihan dalam penelitian ini adalah keberhasilan hasil belajar siswa yang meningkat dengan adanya model pembelajaran STAD, disebebkan karena semangat belajar siswa meningkat. Kelemahan dari kelompok ini adalah membutuhkan keahlian yang cukup dalam pengelolaan kelas dan penyajian materi oleh guru agar siswa tidak ramai. Mendasar pada kelemahan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini guru harus mampu dalam mengelola kelas selama belajar. Wuryaningsih (2011) dalam penelitian yang berjudul “Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD pada mata pelajaran Matematika tentang bilangan pecahan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SDN 3 Jatisari
21
emester 2 Tahun Pelajaran 2010-2011” menunjukkan bahwa melalui model pembelajaran STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas III. Hal ini dapat ditunjukkan adanya peningkatan belajar dari kondisi awal (pre tes) ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Dari rata – rata kelas menunjukkan hasil belajar yang meningkat dari kondisi awal, siklus I dan siklus II. Ketuntasan belajar juga meningkat dari 35% yang tuntas belajar pada kondisi awal 65% tuntas belajar pada siklus I dan meningkat 100 % tuntas belajar pada siklus II. Kelebihan dari penelitian ini adalah benyaknya persentase peningkatan hasil belajar siswa tiap siklusnya, hal ini disebabkan adanya kerjasama yang baik antar guru dan siswa dalam pembelajaran. Kelemahan dari penelitian ini adalah pada siklus pertama nilai siswa sudah tuntas walaupun sedikit diatas KKM yang ditentukan. Mendasar pada kelemahan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini siswa harus mampu mencapai ketuntasan di atas 80% dari jumlah siswa. Firmansyah (2011) dalam penelitian yang berjudul “Meningkatkan hasil belajar matematika melalui pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Archievement Devisions) Siswa Kelas III SDN 02 Ngombak Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan Tahun 2010/2011” menunjukkan bahwa melalui pendekatan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini dapat meningkatkan hasil belajar matematika. Peningkatan ini dapat ditunjukkan pada hasil penelitian penelitian siklus I persentase ketuntasan belajar 61,9%, jadi belum tuntas karena belum mencapai 75%. Pada siklus II persentase ketuntasan belajar 95,23%, sudah tuntas karena sudah mencapai ketuntasan belajar ≥ 75%. Kelebihan dari penelitian ini adalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan semangat belajar siswa pada pelajaran matematika. Kelemahan dari penelitian ini yaitu harus melakukan percobaan berulang kali sehingga membutuhkan waktu lama untuk dapat meningkatkan hasil belajar. Hal ini dapat terlihat sedikit peningkatan yang diperoleh dalam penelitian ini, khususnya pada siklus 1 belum memenuhi KKM yang ditentukan. Mendasar pada kelemahan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini siswa harus mampu mencapai ketuntasan di atas 80% dari jumlah siswa.
22
Amurwani (2009) dalam penelitian yang berjudul “Cooperative Learning Model STAD Untuk Meningkatkan Aktivitas Dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV” menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran tipe STAD terbukti dapat meningkatkan hasil belajar IPA. Peningkatan ini dapat ditunjukkan pada hasil belajar sebelum tindakan nilai rata-rata siswa adalah 59,8. Hanya 11 siswa (55%) yang memiliki nilai ketuntasan. Sedangkan 9 siswa (45%) belum mencapai ketuntasan sesuai standar ketuntasan minimum yang telah ditetapkan oleh lembaga sekolah yaitu 65%. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I hasil belajar mengalami peningkatan yaitu rata-rata siswa menjadi 74,04. Pada siklus I terdapat 5 siswa (25%) belum mencapai KKM dan 15 siswa (75%) sudah mencapai standar ketuntasan. Selanjutnya dilakukan tindakan pada siklus II dan rata-rata hasil belajar siswa menjadi 80,5. Hal ini berarti 20 siswa (100%) sudah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kelebihan yang dicapai dalam penelitian adalah sudah terlihat adanya peningkatan pada siklus 1, yang berarti bahwa siswa lebih senang dengan pembelajaran ini. Kelemahan yang ada dalam penelitian ini adalah dibutuhkannya waktu yang cukup lama untuk meningkatkan hasil belajar siswa mencapai 100% karena dalam pembelajaran jni guru dituntut untuk benarbenar kreatif dalam pengelolaan kelas. Mendasar pada kelemahan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini guru harus memiliki kreativitas yang tinggi untuk dapat mengelolo kelas dengan baik.
2.3 KERANGKA BERFIKIR Pembelajaran dengan metode konvensional yang pada umumnya dilaksanakan oleh guru masih kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Metode konvensional yang digunakan oleh guru adalah ceramah. Siswa dituntut untuk mendengarkan penjelasan dari guru, bahkan catatan siswa juga didiktekan oleh guru. Catatan yang dimiliki oleh siswa dalam kelas tersebut pun sama, karena berasal dari satu sumber saja, yaitu guru. Dalam pembelajaran konvensional ini, terlihat guru yang aktif dalam menjelaskan, sedangkan siswa hanya mendengarkan yang disampaikan oleh guru saja, bahkan tidak ada siswa yang aktif bertanya kepada guru tentang materi yang dijelaskan oleh guru yaitu
23
tentang sumber energi panas dan bunyi. Setelah semua materi tentang sumber energi panas dan bunyi selesai diajarkan, siswa diberi tes oleh guru yang dikerjakan secara individu. Hasil tes yang diperoleh siswa berada dibawah KKM. Hal ini terjadi karena siswa tidak dilatih untuk berfikir aktif dalam menguasai materi pelajaran. Semua kegiatan belajar mengajar dikuasai oleh guru kelas. Sedangkan pada kelas eksperimen, guru melakukan pembelajaran menggunakan model pembelajaran STAD. Alasan guru menggunakan model pembelajaran ini karena STAD merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan membantu dalam
memahami suatu materi pelajaran
(Salvin, 1995). Sebelum pembelajaran dimulai, peserta didik dibagi menjadi tujuh kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari empat siswa yang dipilih secara heterogen. Hal ini dilakukan agar siswa belajar untuk saling menerima kekurangan maupun kelebihan orang lain, disamping itu juga agar kelompokkelompok yang ada dalam kelas tersebut menjadi homogen sehingga tidak ada rasa iri antar kelompok. Setelah pembagian selesai, langkah selanjutnya yang dilakukan yaitu membagikan materi ajar kepada tiap-tiap kelompok. Setiap anggota kelompok melakukan belajar bersama tentang materi yang diberikan oleh guru yaitu tentang sumber energi panas dan bunyi dengan anggota kelompok masing-masing. Setiap siswa mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk menguasai materi ajar, jadi kerja sama dalam kelompok sangat dibutuhkan. Siswa yang sudah paham/menguasai materi, menjelaskan kepada teman anggota kelompoknya yang belum paham, sehingga semua anggota kelompok menguasai materi tersebut. Setelah semua anggota kelompok sudah paham, guru memberikan tugas kelompok yang harus dikerjakan secara berkelompok. Setiap kelompok diberikan dua lembar soal dan dua lembar jawab, dengan tujuan agar semua anggota kelompok bekerja dan tidak ada siswa yang tidak bekerja dalam kelompok tersebut. Namun, jawaban yang didapat harus sama dalam kelompok tersebut. Jadi, kerja sama dan penguasaan materi sangat dibutuhkan. Hasil dari kerja kelompok dibahas bersama-sama dengan dibimbing guru. Untuk mengukur sejauh
24
mana tingkat pemahaman tiap siswa, guru memerikan tes/kuis yang harus dikerjakan secara individu. Anggota kelompok tidak beleh membantu. Hasil dari perolehan tes/kuis individual dijumlahkan dengan siswa satu kelompok. Kelompok yang memperoleh nilai tertinggi mendapatkan penghargaan dari guru. Berdasarkan pembelajaran seperti langkah-langkah tersebut nampak jika siswa juga berperan aktif diantaranya aktif dalam menyimak materi, bertanya tentang materi jika ada kesulitan dan saling bekerja sama dalam kelompok untuk mengerjakan lembar kerja kelompok. Kegiatan pembelajaran tersebut membuat hasil belajar siswa menjadi meningkat yaitu berada diatas KKM yang telah ditentukan yaitu ≥ 90.
25 Pembelajaran IPA KD 8.1 Mendeskripsikan energi panas dan bunyi yang terdapat dilingkungan sekitar
Pembelajaran Konvensional
Strategi Pembelajaran STAD
Guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab
Pembentukan Kelompok
Siswa menyimak materi Siswa pasif mendengarkan penjelasan dari guru
Penilaian hasil
Belajar kelompok - Siswa mengerjakan LKS dalam kelompok secara berpasangan - Siswa yang sudah menguasai materi, membantu teman yang lain
Tes formatif
Hasil belajar < KKM 90 Menyimpulkan materi pembelajaran
Kuis / tes Penilaian proses Penghargaan
Tes formatif
Penilaian hasil belajar
Hasil belajar
Hasil belajar ≥ KKM 90
Gambar 2.1 Bagan kerangka berfikir tentang hubungan antara pembelajaran konvensional dan pembelajaran kooperatif tipe STAD
26
2.4 HIPOTESIS PENELITIAN Berdasarkan kajian teori di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian sebagai berikut: “Ada pengaruh dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap hasil belajar IPA bagi siswa kelas IV SD N Tanggung Kabupaten Grobogan semester II Tahun 2011 / 2012”.