26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membran semipemiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Galli, 2007). Pada pedoman K/ DOQI, batasan PGK adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus ( LFG ), seperti terlihat pada tabel di bawah ini (K/ DOQI, 2002). Tabel 2.1. Kriteria PGK ( Suwitra, 2006). Kriteria PGK
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan / tanpa penurunan laju filtrasi commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. glomerulus (LFG), dengan manifestasi : -
Kelainan patologis
-
Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
3. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal Pada individu dengan PGK, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Tabel 2.2. Klasifikasi PGK atas dasar derajat penyakit (Suwitra, 2006). Derajat
Penjelasan
LFG
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan
60 - 89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang
30 - 59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat
15 - 29
5
Gagal ginjal
< 15 / dialisa
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut : (140-umur) x berat badan 2
LFG (60 ml/menit/1,73m ) = 72 x kreatinin plasma(mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85 B. Risiko Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Penyakit kardiovaskuler ( PKV ) adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada PGK. Pasien PGK dengan stadium awalpun beresiko tinggi to alasan user : terhadap PKV. Hal ini karena adacommit beberapa
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. PGK memiliki peningkatan prevalensi faktor risiko PKV tradisional dan non tradisional 2. PGK merupakan faktor risiko independen untuk PKV Penurunan GFR berhubungan dengan faktor risiko non tradisional, sebagai penanda dari tingkat keparahan penyakit pembuluh darah, ukuran residual dari faktor risiko tradisional, misalnya keparahan hipertensi, tidak mendapatkan manfaat yang optimal dari obat seperti aspirin, beta blocker, angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI). 3. Beberapa faktor risiko PKV merupakan faktor risiko perkembangan PGK 4. PKV menjadi faktor risiko penyakit ginjal kronis. ( Vandana, 2005 ) Komplikasi pada PGK salah satunya adalah penyakit PKV yang didasari oleh proses aterosklerosis. Angka mortalitas pada pasien PGK yang diakibatkan oleh penyakit kardiovaskuler (PKV) hampir 40% pada pasien yang dilakukan dialisis reguler. Faktor resiko kardiovaskuler pada PGK terdiri dari faktor resiko tradisional dan non non tradisional seperti pada gambar 2.1, meskipun mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti (Filiopoulos dan Vlassopoulos, 2009). Pasien PGK lebih beresiko untuk terjadinya PKV dibandingkan individu tanpa PGK dengan faktor resiko kardiovaskuler yang sama. Terapi yang ditujukan semata-mata untuk menurunkan faktor resiko tradisional tidak dapat memperbaiki fungsi kardiovaskuler pada pasien dengan PGK. (Martens dan Edwards, 2011). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
Gambar 2.1. Skema faktor resiko kardiovaskuler tradisional dan non tradisional (terkait uremia) pada penyakit ginjal kronis (Stevinkel et al., 2008) 1. Faktor Resiko Tradisional Kardiovaskuler Faktor resiko tradisional adalah faktor resiko yang terdapat pada populasi umum dalam penelitian Framingham yang pada PGK sangat tinggi frekuensinya. Prevalensi morbiditas dan mortalitas akibat faktor usia, dislipidemia, hipertensi, diabetes dan merokok, lebih tinggi pada individu PGK dibandingkan individu dengan fungsi ginjal normal (Suwitra, 2006).
2. Faktor Resiko Non Tradisional Kardiovaskuler Faktor resiko non tradisional diakibatkan oleh menurunnya fungsi ginjal commit to muncul user sesuai penurunan fungsi ginjal dan atau proses dialisis. Faktor resiko yang
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
antara lain anemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperaktivitas syaraf simpatis, inflamasi, stres oksidatif dan disfungsi endotel. Studi pustaka mengungkapkan bahwa stres oksidatif merupakan titik sentral patofisiologi PKV pada PGK tahap awal sampai tahap akhir (Suhardjono, 2009).
Gambar 2.2. Penyebab PKV pada PGK ( Khaled dan Patrick, 2011 ). Dua mekanisme utama PKV pada PGK yaitu kardiomiopati akibat tekanan ventrikel kiri dan volume overload serta vaskulopati karena aterosklerosis dan arteriosklerosis.
3. Manifestasi Komplikasi Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Terdapat beberapa kelainan patologik dan manifestasi klinik PKV pada PGK. Pada arteri terdapat aterosklerosis dan arteriosklerosis. Aterosklerosis adalah radang pada pembuluh darah yang disebabkan penumpukan plak ateromatous pada tunika intima (Campean et al., 2005). Presentasi klinis seperti commit toVuser
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada populasi umum yaitu penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer atau gagal jantung (Suhardjono, 2009). Proses pembentukan aterosklerosis disebut aterogenesis yang terjadi beberapa tahap. Fase awal terjadi disfungsi endotel dengan degradasi ikatan sehingga memungkinkan senyawa yang terdapat di dalam plasma darah seperti low density lipoprotein (LDL) untuk menerobos dan mengendap pada ruang subendotel akibat peningkatan permeabilitas (Deanfield, 2007). Aterosklerosis melibatkan beberapa komponen inflamasi, remodeling dan deposit lemak vaskuler, fibrosis serta trombosis. Aterosklerosis merupakan proses proliferasi dan respon
inflamasi yang berlebihan dari otot polos vaskuler,
infiltrasi sel inflamasi, produksi matriks ekstraseluler dan akumulasi lemak (Walls, 2001). Disfungsi endotel merupakan prekursor munculnya aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya PKV (Stinghen dan Pecoits, 2007). Kombinasi faktor resiko tradisional pada PGK tidak cukup menjelaskan tingginya insiden PKV pada PGK (Martens dan Edwards, 2011). Tabel 2.3. Manifestasi PKV Pada PGK Dan Hubungannya Dengan Faktor Risiko ( Vandana, 2005 ) PATOLOGI Kardiomiopati
FAKTOR RISIKO TRADISIONAL Umur
FAKTOR RISIKO NON TRADISIONAL Albuminuria
Hipertensi
Penurunan LFG
Penyakit katup jantung
Anemia
Dislipidemia
Inflamasi
Merokok
Arteriosklerosis
Diabetes
commit to user Tumpukan volume cairan ekstra
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seluler
Aterosklerosis
Umur
Metabolisme kalsium / fosfat abormal Albuminuria
Laki-laki
Penurunan LFG
Hipertensi
Anemia
Diabetes
Inflamasi
Dislipidemia
Stres oksidatif
Merokok
Disfungsi endotel
Aktivitas kurang
Homosistein
Pembesaran jantung kiri
Lipoprotein (a) Malnutrisi Faktor trombogenik Aktivitas simpatis
Arteriosklerosis Umur
Resistensi insulin / sindroma metabolik Albuminuria
Laki-laki
Penurunan LFG
Hipertensi
Disfungsi endotel
Diabetes
Metabolisme abormal
kalsium
Dislipidemia Sindroma metabolik Merokok
commit to user
/
fosfat
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
C. Stres Oksidatif pada Penyakit Ginjal Kronik Stres oksidatif terjadi ketika ada produksi berlebihan pada spesies oksigen reaktif dan / atau penurunan pertahanan antioksidan. Peningkatan stres oksidatif yang signifikan pada pasien uremia dan mungkin akan terkait dengan komplikasi dialisis, disfungsi sel endotel yang mempercepat aterosklerosis. Pengukuran biomarkers stres oksidatif memungkinkan untuk manajemen yang lebih baik dari stres oksidatif pada pasien PGK. Stres oksidatif signifikan meningkat pada pasien dengan PGK, karena penurunan fungsi ginjal dan diperburuk setelah terapi pengganti ginjal (Kuo dan Tarng, 2010). Studi sebelumnya telah menggunakan biomarker dalam sirkulasi untuk menilai stres oksidatif pasien PGK seperti peningkatan oksidasi lipid, protein, dan asam nukleat terutama pada dinding pembuluh darah yang memainkan peran penting pada tahap awal aterogenesis pada pasien uremia. Patogenesis stres oksidatif pada pasien uremia adalah kompleks, mencakup beberapa faktor. Uremia dan faktor terkait dialisis, penurunan pertahanan antioksidan, paparan endotoksin dialisat, membran dializer bioincompatible hemodialisis atau cairan dialisis peritoneal, dan zat besi intravena berkontribusi peningkatan stres oksidatif pasien PGK (Bro et al., 2008). Stres oksidatif merupakan gangguan keseimbangan oksidatif yang berawal dari kombinasi peningkatan produksi dan penurunan klirens prooksidan, serta tidak adekuatnya mekanisme pertahanan antioksidan (Kao et al., 2010). Komponen oksidan seperti ROS merupakan bagian dari radikal bebas. Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya, tidak stabil, sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
reaktif mencari pasangan menjadi bentuk yang lebih stabil serta berimplikasi terhadap signal transduksi dan ekspresi genetik, menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif (Gosmanova 2011). Sebagai pengoksidan dan inhibitor terhadap enzim yang mengandung ion Fe-Sulfur, radikal bebas dapat dihasilkan secara endogen maupun eksogen baik dalam keadaan normal maupun patofisiologis. Radikal bebas dapat mengoksidasi biomolekul seperti protein, lipid, DNA dan juga mengakibatkan cedera maupun kematian sel. Oleh karena itu, efek sitotoksik radikal bebas ini akan sangat berpengaruh terhadap keadaan patogenesis. Salah satu indikator kerusakan DNA akibat ionisasi radiasi, mutagen atau karsinogen adalah pembentukan senyawa 8 OHdG sebagai hasil oksidasi terhadap nukleosida DNA (Wu et al., 2004). ROS dapat dibentuk melalui jalur enzimatik dan mempunyai kemampuan untuk secara langsung menimbulkan kerusakan makromolekul seluler, serta berperan penting dalam meregulasi ekspresi gen (Reddy et al., 2012). ROS juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres terdapat keseimbangan antara pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibanding dengan pemusnahannya (Small et al., 2012). ROS merupakan pengatur (regulator) sintesa nitric oxide (NO), kaskade sinyal intraseluler meliputi sitokin, faktor pertumbuhan (growth factor), mitogen activated protein kinase (MAPK), apoptosis dan mutagenesis (Adly, 2010). Senyawa oksigen reaktif yang berperan sebagai oksidan adalah : (a) hidrogen peroksida (H2O2), (b) ion superoksida (O2), (c) radikal peroksil ( OOH), (d) commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
radikal hidroksil (OH) dan (e) singlet oksigen, seperti tampak dalam tabel 2.4 (Himmelfarb, 2005). Tabel 2.4. Kelompok oksigen reaktif (Himmelfarb, 2005) Kelompok oksigen reaktif O2·-
Radikal Superoksida (Superoxide radical)
·OH
Radikal hidroksil (Hydroxyl radical)
ROO·
Radikal peroksil (Peroxyl radical)
1
Oksigen tunggal (Singlet oxygen)
O2
NO· ONOO HOCl
Nitrit oksida (Nitric oxide) -
Nitrit peroksida (Peroxynitrite) Asam hipoklor (Hypochlorous acid)
Diantara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktifitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel (Reddy et al., 2012). Asam lemak tak jenuh merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. Dua komponen pertama mengandung asam lemak tak jenuh. Justru asam lemak tak jenuh ini sangat rawan terhadap serangan-serangan radikal. Radikal hidroksil dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan nama peroksidasi lipid. Akibat akhir dari rantai reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel. Semuanya menyebabkan kerusakan parah pada membran sel sehingga
membahayakan
kehidupan
sel
dan
berkelanjutan (Adly, 2010). commit to user
merupakan
suatu
proses
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.4. Sintesis ROS pada pasien PGK. ROS reaktif berlebihan termasuk ONOO-, OH-, dan OCl- yang dihasilkan dari oksigen melalui beberapa enzim utama (NADPH oksidase, superoksida dismutase (SOD), dan myeloperoxidase (MPO)). Beberapa faktor dapat Juga meningkatkan generasi ROS, termasuk sitokin (IL-8, IL1β, TNF-α) keluar dari monosit teraktivasi, toksin uremik (indoxyl sulfat), dan endotoksin (LPS) dari prosedur HC. Hasil ROS yang berlebihan dapat memicu nitrosative (ONOO-), Chlorinative (OCl-), dan oksidatif (OH-) memodifikasi lipid, protein, dan DNA (Chih Shien Sung, 2013) . Pada penyakit reno kardio serebro vaskuler, peningkatan produksi superoksida sangat berperan pada penurunan bioaktivitas dari Nitric Oxide (NO) dan disfungsi endotel yang bersifat sistemik. Pada pembuluh darah manusia, peningkatan
produksi
superoksida
telah
dilaporkan
dapat
mengganggu
kemampuan vasorelaksasi yang diperantarai oleh NO. Pembersihan superoksida dapat mengembalikan vasomotor yang endothelium-dependent pada binatang coba dan aterosklerosis. Pada penderita dengan penyakit ginjal, jantung dan stroke, aktivitas SOD (Superoxide Dismutase) endotel secara nyata mengalami penurunan, sehingga mengakibatkan disfungsi endotel sistemik (Purwanto, 2012). commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Stres oksidatif mempunyai peranan penting pada berbagai kelainan pada pasien penyakit ginjal kronis. Beberapa biomarker stres oksidatif telah ditemukan meningkat
pada
PGK.
Biomarker
ini
menunjukkan
oksidasi
terhadap
makromolekul seperti lipid, karbohidrat, protein, asam amino dan DNA (Tesch, 2010). Faktor yang memicu stres oksidatif pada pasien PGK adalah : angiotensin II, sitokin proinflamasi, homosistein, gangguan metabolisme kalsium fosfor, anemia, beban zat besi, infeksi kronis, gangguan dasar imunologi dan metabolisme (Reddy et al., 2012). Uremia pada pasien PGK yang menjalani dialisis, diduga menyebabkan peningkatan kadar sitokin dan stress oksidatif (Niwa, 2010). Sindrom uremik disebabkan akumulasi toksin uremik pada PGK (Silverstein, 2009). Penelitian menunjukkan bahwa leukosit pasien uremia menginduksi produksi anion superoksida sebagai respon terhadap phorbol miristat asetat (PMA) (Ward dan Leish, 2005). Penelitian lain menunjukkan bahwa kadar serum anion superoksida lebih tinggi pada pasien HD daripada kelompok kontrol sehat (Chen, 2008). Selain itu, beberapa bukti menunjukkan itu secara bertahap enzim antioksidan akan berubah seiring penurunan fungsi ginjal dan terganggu pada pasien dengan uremia. Juga ditemukan PGK terkait dengan konsentrasi rendah serum selenium dan aktivitas glutation peroksidase (GPX) trombosit rendah. PGK terkait dengan gangguan keseimbangan dari sistem nitrat oksida
karena
peningkatan
konsentrasi
( Arese et al, 2006 ). commit to user
endogen
inhibitor
NOS
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 2.5. Klasifikasi Molekul Uremia ( Vanholder, 2008 ) Molekul Kecil Molekul Terikat ( BM < 500 Da, mudah Protein terlepas dengan dialiser ) ( BM berapapun, sulit melewati membran dialiser ) Asimetrik Dimetil Arginin 3-Deoxyglucosone Benzilalkohol CMPF Asam Fruktoselisine Guanidinopropionik Glioxal Lipotropin Homosisteine Creatinine Asam Hipurik Citidine Indole-3-asetik Guanidine Indoxil sulfate Hiposantin Asam Kinurenik Asam Guanidinoasetik Kinurenine Asam Guanidinosuksinik Metillglioxa Malondialdehide N-karbosimetililisine Metiguanidine P-cresol Asam Mioinositol Orotik Phenol Orotidine Pentosidine Asam Oxalate Asam P-O hippurik Pseudouridine Asam Quinolinik Simetrik dimetilarginine Spermidine Urea Spermine Asam Urat Xantin
Molekul Sedang ( BM > 500 Da, dapat melewati membran dengan pori besar )
Adrenomedullin Atrial natriuretik peptide Beta 2-Mikroglobulin Beta Endorfin Kolesistokinin Protein Sel Klara Hidroquinone Komplement faktor D Sistatin C Inhibitor Degranulasi protein I Delta-sleep-inducing peptide Endotelin Hyaluronic acid Interleukin 1 Interleukin 6 Rantai pendek Kappa-Ig Rantai pendek Lambda-Ig Leptin Metionine-enkepahlin Neuropeptid Y Hormone Paratiroid Protein Terikat Retinol Tumor nekrosis faktor alfa CMPF : carboxy methyl propyl furanpropionic acid, BM : Berat molekul
Bioincompatibiliti sistem hemodialisa ( HD ) memainkan peran penting dalam produksi ROS. Secara khusus dua komponen utama dari sistem HD berkontribusi terjadinya stres oksidatif yaitu membran dializer dan jumlah endotoksin dalam dialisat. Telah dilaporkan bahwa pH rendah dan osmolalitas tinggi larutan peritoneal dialisa ( PD ) berbasis glukosa, ketika fungsi biologis dengan laktat, memiliki dampak negatif pada fungsi biologis beragam terhadap commit to user fagosit perifer pada pasien PD ( Tarng et al, 2002 ). Metabolisme oksigen fagosit
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perifer meningkat karena aktivasi melalui kontak dengan peritoneum. Bila menggunakan
dialisat
konvensional,
kenaikan
bioincompatibilitas
dalam
metabolisme oksidatif menyebabkan produksi berlebih dari H2O2 dan O2-. Selain itu, modalitas HD tertentu yang menggunakan membran sangat permeabel menginduksi kehilangan zat terlarut, produk limbah, beberapa anti oksidan, dan mineral (Kuo dan Tarng, 2010). Kehilangan anti oksidan selama HD khususnya pada sifat hidrofilik dan terikat molekul kecil, seperti vitamin. Kehilangan ini mungkin menjadi penyebab penurunan antioksidan enzimatik selama uremia. Proses dialisis pada pasien PGK turut memberikan kontribusi terhadap terjadinya stres oksidatif. Kontak antara darah dengan membran dialisis dan cairan dialisat menyebabkan aktivasi sel polimorfonuklear (Gosmanova dan Anh Le, 2011). Sitokin pro inflamasi meningkat disebabkan overhidrasi dan dialisat yang tidak steril menyebabkan pasien berada dalam kondisi mikroinflamasi. Produk dari bakteri yang berupa lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang makrofag untuk mengekskresikan TNF- α (Malaponte, 2002). Pada jalur lain virus, parasit, jamur melalui sel limfosit merangsang pembentukan Interferon yang pada akhirnya juga dapat merangsang makrofag untuk mengekskresikan TNF- α. Pada saat dilakukan hemodialisis akan terjadi kontak antara endotoksin yang biasanya dihasilkan oleh bakteri Escherichia coli dengan darah, TNF-α akan mulai diekspresikan dengan cepat satu jam setelah kontak kemudian kadar TNF-α akan mencapai puncak setelah 90 menit, dan mulai menurun setelah enam jam (Montessa et al., 2009). Stres oksidatif pada dialisis dapat terjadi melalui mekanisme berikut: (1) Stimulasi pelepasan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH)commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
oksidase fagosit menyebabkan reduksi molekul oksigen pada anion superoksida, yang setelah aksi superoksida dismutase, meningkatkan hidrogen peroksida dan kaskade ROS; (2) myeloperoxidase (MPO) yang dilepaskan dari degranulasi neutrofil memicu pembentukan oksidasi klorinasi jangka panjang melalui reaksi katalisasi antara hidrogen peroksida dan klorida; (3) Sitokin pro-inflamasi yang dilepaskan oleh monosit juga berkontribusi memperkuat pelepasan ROS (Santangelo, 2004). Tetapi dengan dialisis yang rutin dan jangka panjang akan terjadi penurunan jumlah sitokin secara bermakna bila dibanding dengan pasien PGK yang hanya diterapi konservatif (Malaponte, 2002 ; Sukandar, 2006).
Gambar 2.5. Gangguan Sistem Antioksidan Pada Pasien PGK. Sistem antioksidan, termasuk sistem non enzimatik (tiol, alfa-tokoferol, dan asam askorbat) dan sistem enzimatik (superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GPX)), yang terganggu atau menurun pada pasien dengan PGK. Hiperhomosisteinemia dapat menghambat aktivitas antioksidan enzimatik SOD, GPX. Singkatan: GR :glutation reduktase, GSH : glutathione, GSSG : glutathione disulfida, Se : selenium (Chih Shien Sung, 2013). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
Angiotensin II (Ang II) menstimulasi pembentukan ROS intraseluler seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida. Angiotensin II mengaktifkan beberapa subunit NADPH oksidase dan juga meningkatkan pembentukan ROS di dalam mitokondria (Bambang, 2012 A). Peningkatan O2-, yang dibentuk oleh NADPH oksidase nantinya akan menurunkan ketersediaan NO, menginduksi disfungsi sel endotel. Superoksida juga bereaksi dengan NO membentuk peroksinitrit ONOO- merusak jaringan, menginduksi disfungsi mitokondria (Nanayakkara,
2010).
Gambar 2.6 Stres oksidatif pada PGK. Enzim oksidase termasuk sitokrom P450, NADPH oksidase, xanthine oxidase, dan mekanisme pertahanan oksidatif termasuk vitamin C dan E, glutathione, SOD, katalase. Singkatan : NADPH, Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate; SOD, Superoxide Dismutase; NOS, Nitric Oxide Synthase; GSH, Reduced Glutathione; GSSG, Oxidized Glutathione; GSHPHX, Glutathione Peroxidase; MPO, Myeloperoxidase; AGEs: Advanced Glycosylation End Products; PD, Peritoneal Dialysis ( Kuo dan Tarng, commit to user 2010 )
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D.
Biomarker Stres Oksidatif pada Penyakit Ginjal Kronik Pengukuran ROS secara langsung sulit karena konsentrasi rendah, sangat
reaktif dan waktu paruh pendek. Pengukuran produk oksidatif dan tingkat antioksidan seringkali dilakukan. Kerusakan oksidatif seluler seperti membran lipid, protein, dan asam nukleat senyawa ini dapat menyebabkan modifikasi struktural dan fungsional. Biomarker yang berbeda jalur oksidatif digunakan untuk menilai in vivo stres oksidatif hubungannya dengan berbagai penyakit termasuk uremia (Sakata, 2009). Biomarker stres oksidatif menggunakan produk akhir spesifik lebih dapat digunakan secara klinis. Produk akhir ini dapat diukur didalam urin, serum, ataupun produk biologis lainnya. Biomarker menunjukkan oksidasi makromolekul seperti lipid (lipid peroxidation, malondialdehyde/MDA, oxidized LDL, thiobarbituric acid reactive substances/TBARS, exhaled ethane), derivat asam arachidonat (F2 isoprostane, isolevuglandins), karbohidrat (reactive aldehyde, advance glycosylation end product), DNA marker 8 OHDG (Himmerfalb, 2005 ; Small et al., 2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
Tabel 2.6. Biomarker Stres Oksidatif Dan Status Antioksidan (Chih Shien Sung, 2013) Oxidized low-density lipoprotein (LDL), HOC1-modified LDL, malondialdehyde (MDA), 4-hydroxynonenal (HNE), hydroxyoctadecadienoic acid (HODE), thiobarbituric-acidreactive substances (TBARS), advanced lipoxidation end products (ALE), cholesteryl esters Oksidasi Derivat Isofurans, F 2-isoprostane, isolevuglandins Asam Arakidonat Oksidasi Protein Advanced oxidation protein products (AOPPs), protein thiols oxidation Advanced glycation end products (AGEs) Karbonilasi Protein 3-Nitrotyrosine, 3-chlorotyrosine, dityrosine, carboxymethyl Oksidasi asam lysine, cysteine/cystine, homocysteine/homocystine Amino 8-Oxo-7,8-dihydro-2-deoxyguanosine (8-oxo-dG), 8Oksidasi Asam hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OH-dG) Nukleat Oxidative stress index (OSI: ratio of total antioxidant Status capacity/total oxidant status), glutathione activity,superoxide antioksidan dismutase, catalase, thioredoxin, arylesterase/paraoxonase Peroksidase Lipid
E. 8 OHDG Penemuan 8 OHDG pertama kali dilaporkan oleh Kasai dan Nishimura pada tahun 1984 dalam studi mengisolasi mutagen glukosa yang dipanaskan ( sebagai model makanan yang dimasak ). Karena kesulitan untuk mengisolasi mutagen yang sangat tidak stabil, mereka mengembangkan metode untuk menjebak mutagen reaktif seperti derivatif guanin yang bersifat karsinogen dan mutagen bereaksi dengan asam basa nukleus terutama guanin ( Kasai, 1984 ). Penulis yang sama menemukan radikal bebas oksigen terlibat reaksi oksidasi C-8 ( Kasai dan Nishimura, 1984 ). Pada tahun berikutnya, pembentukan 8 OHDG dikonfirmasi pada paparan / reaksi menghasilkan radikal bebas oksigen, seperti serat asbes dan H2O2. Dalam kasus kedua, H2O2 dan ion besi digunakan untuk commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agen pereduksi ( reaksi Fenton ) seperti yang partikel karsinogenik asap rokok dan knalpot diesel (Nishimura, 1984). Pada tahun 1986 , Floyd dan rekan kerja melaporkan suatu metode analisis untuk deteksi yang sensitif untuk 8 OHDG dalam DNA seluler dengan HPLC With Electrochemical Detector ( HPLC-EC ) (Floyd et al., 1986). Metode ini digunakan oleh berbagai kelompok ilmiah untuk sejumlah penelitian analitis organ kerusakan DNA pada hewan setelah pemberian berbagai zat kimia karsinogenik dan promotor tumor (Nagashima, 1995). Sejumlah studi dalam beberapa tahun terakhir telah menganalisis tingkat 8OHdG organ tubuh manusia, DNA leukosit dan urin kaitannya dengan stres oksidatif, diet, insiden kanker, dan penuaan. Sebagai hasil dari studi ini 8 OHdG telah ditetapkan sebagai biomarker penting dari stres oksidatif, risiko kanker pada manusia dengan mekanisme radikal bebas oksigen, termasuk proses penuaan pada penyakit degeneratif, dan secara keseluruhan sebagai penanda biologis gaya hidup dan pengaruh diet (Halliwel, 2002) . 8 OHdG adalah salah satu DNA oksidatif paling melimpah diantara produk modifikasi dasar yang ditimbulkan oleh ROS, dengan berat molekul 300,40 gram / mol dan menjadi penanda baru untuk penilaian perusakan DNA oksidatif akibat penyakit yang dimediasi oleh ROS. Tingkat 8 OHdG dalam leukosit yang signifikan lebih tinggi pada pasien HD dibandingkan dengan pasien PGK non dialisa dan dengan subyek sehat. Peningkatan nyata tingkat 8 OHdG telah dilaporkan pada pasien terapi dialisis peritoneal (Gugliucci, 2012). commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.7 Struktur kimia senyawa 8 OHDG dan analognya. A. Basa guanin. B. Oksidasi basa guanin. C. Analog senyawa 8 OHdG dari turunan RNA. D. Analog senyawa 8 OHdG dari turunan DNA (Wu et al., 2004). Tubuh manusia terdiri dari sekitar 60 triliun sel dan dalam sel-sel memiliki cetakan yang disebut DNA untuk menghasilkan kehidupan fungsional. DNA terdiri dari empat jenis nukleotida : adenin ( A ), sitosin ( C ), guanin ( G ), dan timin ( T ). DNA yang berisi senyawa guanin ( G ) disebut deoxyguanosine ( dG ) dan akan berubah menjadi 8 OHdG ketika C-8 tersebut teroksidasi oleh radikal bebas ( seperti terlihat pada gambar 2.8 ) ( Valavanidis, 2009). Ketika kerusakan oksidatif pada DNA diperbaiki, 8 OHdG akan diteruskan keluar dari sel dan diekskresikan dalam urin. 8 OHdG tetap stabil sampai dilepaskan dalam urin dan dianalisis. Oleh karena itu, 8 OHdG adalah biomarker yang sangat baik untuk menentukan tingkat kerusakan oksidatif pada tubuh. Ini tidak akan menunjukkan kepada kita mana bagian tubuh yang rusak oleh aktivitas radikal bebas tetapi memungkinkan kita untuk mengevaluasi status kesehatan secara keseluruhan dalam kaitannya dengan stres oksidatif (Chih Shien Sung, 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
Gambar 2.8. Proses Pembentukan 8 OHDG Akibat Stres Oksidatif (Valavanidis, 2009) Dalam semua sel hidup, DNA yang rusak diperbaiki secara enzimatik jadi akan kembali mendapatkan fungsi normal, sedangkan gangguan repair dapat mengakibatkan mutasi DNA ( substitusi, delesi, dan fragmentasi untai basa ) menyebabkan karsinogenesis. Kerusakan oksidatif DNA dapat dinyatakan sebagai kerusakan terhadap basa dan ikatan fosfodiester DNA akibat ketiadaan perbaikan dari Base Excision Repair (BER) dan enzim-enzim pengubah kerusakan basa oksidatif seperti DNA glikosilase, hidroksi metil urasilglikosilase dan 8-oksoG DNA glikosilase (Lunec et al. 2002). Meskipun berbagai produk yang diproduksi selama kerusakan oksidatif DNA ( modifikasi basa dan gula, ikatan silang kovalen, gangguan untai ganda dan tunggal ), kebanyakan penelitian difokuskan pada modifikasi basa nukleus dan terutama pada produk lesi yang melimpah 8 OHdG karena terbentuk in vivo dan dapat diukur secara kuantitatif dalam sel setelah hidrolisis DNA pada komponen basa (Valavanidis, 2009). Gugus hidroksil OH- merusak untai DNA ketika mengenai DNA sel dan DNA mitokondria ( mtDNA ).commit Menyebabkan to user penambahan basa DNA yang
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
mengandung radikal baru, yang akan menyebabkan sebuah generasi produk oksidasi yang bervariasi. Interaksi OH- dengan basa nukleus dari untai DNA, seperti guanin, mengarah pada pembentukan 8-hydroxyguanine atau bentuk nukleosidanya 8 OHdG. Awalnya, reaksi tambahan OH- menghasilkan generasi radikal tambahan, setelah salah satu elektron mengarah ke pembentukan 8-OHdG. 8-OHdG mengalami tautomerisme ketoenol dimana mendukung produk oksidasi 8- oxodG. Pada mtDNA dan DNA nukleus, 8 OHdG dan 8 oxodG adalah bentuk utama dari lesi oksidatif dipicu radikal bebas, lesi DNA paling banyak karena mudah terbentuk dan oleh karena itu banyak digunakan sebagai biomarker untuk stres oksidatif dan karsinogenesis serta merupakan penanda penting untuk mengukur efek kerusakan oksidatif pada DNA endogen dan faktor terlibat masuk inisiasi dan promosi karsinogenesis promutagenik (Chih Shien Sung, 2013).
Gambar 2.9. Reaksi 8-deoxyguanosin dengan radikal hidroksil Radikal adduct mereduksi menjadi 7-hydro-8-hydroxy-2 -deoxyguanosine, dan oksidasi menjadi 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OHdG) atau tautomernya 8-oxo-7-hydro-2-deoxyguanosine (8-oxodG) (Valavanidis, commit to user 2009).
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
Kerusakan oksidatif yang permanen dapat terjadi terhadap lipid pada membran selular, protein, dan DNA. Dari kerusakan DNA tersebut, maka di dalam inti sel dan mitokondria dapat dihasilkan senyawa 8 OHDG yang menjadi salah
satu faktor dominan pembentukan radikal bebas yang diinduksi oleh
kerusakan oksidatif. Dalam hal ini senyawa 8 OHdG dianggap sebagai biomarker untuk keadaan oksidatif stres dan karsinogenesis. Percobaan menunjukkan bahwa potensi mutagenik 8 oxodG didukung oleh hilangnya pasangan basa spesifik, kesalahan pembacaan basa pirimidin, atau penyisipan adenin pada lesi berlawanan. Mutasi timbul akibat pembentukan 8-oxodG dengan mutasi transversi GC → TA (Valavanidis et al. 2009). Dalam beberapa tahun terakhir, lesi 8 OHdG dapat dideteksi dan dianalisa dengan sensitivitas tinggi High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Gas Chromatography Mass Spectrometry (GCMS), dan Liquid Chromatography Mass Spectrometry Mass Spectrometry (LCMSMS) dan dengan metode imunohistokimia dan elektroforesis gel sel tunggal (Wu et al., 2004). Deteksi dan analisis 8 OHdG dapat dilakukan pada sampel hewan dan pada organ tubuh manusia (urin, organ tubuh manusia, DNA leukosit) sebagai biomarker oksidatif stres seluler, penuaan, dan karsinogesis, aterosklerosis, dan diabetes. Adapun kadar normal 8-OHdG pada urin perempuan dan lelaki dewasa (20-70 tahun) adalah 43.9±42.1 dan 29.6±24.5 ng/mg (Wu et al. 2004). Pemberian vitamin C 300 mg tiga kali seminggu selama 8 minggu terbukti signifikan menurunkan kadar 8 OHDG pada 60 pasien HD (Tarng et al, 2004). Data lain menunjukkan vitamin C 200 mg/hari selama 6 minggu dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
menurunkan kadar 8 OHDG secara signifikan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa dan terdapat korelasi negatif dengan konsentrasi antioksidan vitamin C (Cooke, 2008). F.
Disfungsi Endotel pada Penyakit Ginjal Kronis Endotelium adalah organ terbesar dalam tubuh. Terletak strategis antara
dinding pembuluh darah dan aliran darah. Tubuh manusia mengandung sekitar 1013 dengan berat sekitar 1kg sel endotel, dan meliputi area permukaan 4000 sampai 7000m2 setara dengan lapangan sepak bola. Hipertensi dan shear stres, inflamasi, diabetes terkait faktor Advanced Glycated End Products ( AGEP ), dan toksin uremik adalah beberapa faktor risiko umum dari disfungsi endotel pada PGK. Pada gagal ginjal disfungsi endotel dan aterosklerosis hampir universal seperti komplikasi kardiovaskular. Kerusakan atau cedera sel endotel yang selalu terkait dengan kondisi klinis trombosis, hipertensi, gagal ginjal dan aterosklerosis ysng juga bertanggung jawab untuk mempercepat aterosklerosis pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Faktor risiko tradisional tidak dapat menjelaskan prevalensi, insiden tinggi dan penyakit kardiovaskular pada penyakit ginjal kronis, karena itu faktor risiko non - tradisional lainnya : seperti disfungsi endotel, stres oksidatif atau resistensi insulin semakin dievaluasi (Malyszko, 2010). Endotelium adalah lapisan sel tunggal terdalam dari pembuluh darah dalam tubuh, namun fenotipe sel endotel dapat bervariasi dalam struktur dan fungsi pada daerah vaskular yang berbeda (Aird, 2007). Misalnya, antara glomerulus dan kapiler peritubular, endotel berbeda fungsi secara signifikan. Dalam hal ini, integritas dari lapisan sel endotel memiliki peran penting dalam commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
banyak aspek fungsi vaskular, misalnya, evaluasi tonus vasomotor dan permeabilitas untuk kapiler glomerulus. Meskipun fungsional keragaman sel endotel vaskular di berbagai kompartemen, kunci umum adalah kemampuan mensintesis dan mengeluarkan berbagai faktor atas tonus pembuluh darah dan perlindungan vaskular (Tang and Vahautte, 2010). Endotelium vaskuler terdiri atas satu lapis sel yang membatasi lumen interior dinding pembuluh darah. Selain berfungsi sebagai barier antara ruang intravaskuler dan interstitial, endotel vaskuler juga bekerja sebagai regulator homeostasis vaskuler. Endotel merupakan organ endokrin dan parakrin dengan sejumlah fungsi regulasi. Organ tersebut berfungsi mengatur tonus dan struktur otot polos vaskuler, angiogenesis dan proliferasi sel, mediator inflamasi dan respon imun, permeabilitas vaskuler. (Landim et al., 2009). Endotelium menghasilkan berbagai faktor vasorelaksan, nitrat oksida ( NO ). NO merupakan EDRFs terpenting yang terbentuk dari transformasi asam amino L-arginin menjadi sitrulin dengan bantuan enzim endothelial nitric oxide synthase (eNOS), merangsang relaksasi sel otot polos pembuluh darah dan menghambat proliferasi, mencegah migrasi leukosit ke dalam dinding arteri, adhesi platelet dan agregasi endothelium. Prostasiklin dan faktor hiperpolarisasi diturunkan endotelium adalah vasorelaksan dikeluarkan endotelium, berkontribusi vasodilatasi endotelium dependen
resisten
arteri.
Sebagian
besar
penelitian
disfungsi
endotel
berkonsentrasi pada mekanisme yang bertanggung jawab untuk bioavailabilitas penurunan NO akibat penurunan aktivasi guanil siklase, dan / atau peningkatan degradasi NO ( Brunner, 2005).
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Endotel mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mengatur tonus dan struktur pembuluh darah. Fungsi NO mengatur mekanisme vasodilatasi pembuluh darah, menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah dan menghambat agregasi dan adhesi trombosit serta monosit (Bambang, 2012). Gangguan pada endotel atau jalur pembentukan NO akan mengganggu tonus dan struktur pembuluh darah di seluruh tubuh dan juga menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang berhubungan erat dengan PKV (Gosmanova dan Anh Le, 2011). Tabel 2.7. Substansi yang dikeluarkan endotel (Borawski et al., 2004) Vasodilator
Nitric oxide, prostasiklin, endothelium derived hyperpolarizing factor(EDHF),
bradikinin,
adrenomedulin,
C-natriuretic
peptide Vasokonstriktor
Endotelin-1, angiotensin-II, tromboksan A2, radikal oksigen, prostaglandin H2
Antiproliferatif
Nitric oxide, prostasklin, transforming growth factor(TGF)-β, heparan sulfat
Propoliferatif
Endotelin-1, angiotensin-II, radikal oksigen, platelet derived growth factor (EDRF), basic fibroblast growth factor, insulin like growth factor, interleukin
Antitrombotik
Nitric oxide, prostasiklin, plasminogen activator, protein C, tissue factor inhibitor
Nitric oxide berdifusi melalui membran basal sel endotel menuju sel otot polos vaskuler dan mengaktifkan konversi guanosin triphosphat (GTP) menjadi cyclic guanosin monophosphat (cGMP) melalui enzim guanil siklase. Cyclic GMP akan merangsang relaksasi otot polos sehingga akan terjadi vasodilatasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
Mekanisme ini terjadi sebagai respon terhadap stres mekanik dalam bentuk shear stress (Landim et al., 2009). Beberapa faktor risiko seperti oxLDL, hipertensi, angiotensin II, merokok, homosistein dan DM dapat merangsang enzim NADPH (nicotinamide adenine dinucleotide phosphate) oksidase pada mitokondria sehingga terjadi stres oksidatif akibat peningkatan ROS yang menyebabkan disfungsi endotel (Bambang, 2012).
Gambar 2.10. Faktor risiko kardiovaskuler dan disfungsi endotel. (dikutip dari Bambang, 2012 modifikasi dari Gibbons, 1997).
Penurunan pembentukan NO dapat mengakibatkan terjadinya disfungsi endotel. Penurunan produksi NO mungkin dari kekurangan ketersediaan substrat dan kofaktor untuk sintesis NO seperti L - arginin atau tetrahydrobiopterin, dari penurunan ekspresi eNOS atau dari aktivasi Penurunan eNOS, seperti fosforilasi enzim atau interaksi dengan tingkat tinggi inhibitor endogen eNOS seperti dimethylarginine asimetris. Kadar bioavailabilitas NO bisa disebabkan oleh pengikatan NO hemoglobin atau dari stres oksidatif, menimbulkan peroksinitrit, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
zat vaskulotoksik. Di sisi lain ,sel endotel memproduksi beberapa vasokonstriktor, termasuk endotelin - 1 , prostanoids siklooksigenase yang diturunkan, reaktif oksigen spesies, uridin adenosin dinukleotida tetrapho, dan angiotensin II. Ketika jumlah antara vasorelaksan dan vasokonstriktor yang diturunkan endotelium berubah, disfungsi endotel kemudian terjadi (Deanfield et al., 2007). Disfungsi endotel ditemukan pada PGK dan hal ini menyebabkan peningkatan resiko kardiovaskuler pada PGK, ditandai dengan penurunan sintesis atau bioavailabilitas NO endotel yang dihasilkan NO synthase (NOS). Rendahnya bioavailabilitas NO menyebabkan peningkatan vascular cell adhesion molecul-1 (VCAM-1) pada sel endotel melalui induksi ekspresi nuclear factor-κβ (NF-κβ). Ekspresi VCAM-1, intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan E-selectin berperan penting dalam inisiasi proses inflamasi (Deanfield et al., 2007) . Vascular cell adhesion molecule-1 dapat berikatan dengan monosit dan limfosit T yang merupakan tahap awal invasi sel-sel inflamasi ke dalam pembuluh darah. Monosit dapat berubah menjadi sel yang kaya akan lipid atau sel busa. Makrofag melepaskan berbagai faktor pertumbuhan ke dalam plak. Faktor pertumbuhan dapat menstimulasi pertumbuhan vascular smooth muscle cell (VSMC) dan sintesis kolagen. Rendahnya konsentrasi NO dan peningkatan stres oksidatif akan menyebabkan matrix metalloproteinase (MMP) teraktivasi dan memicu proses fibrosis (Martens, 2011). G. Evaluasi Disfungsi Endotel pada Penyakit Ginjal Kronis Identifikasi adanya disfungsi endotel awalnya hanya berdasarkan gangguan vasodilatasi tetapi saat ini istilah tersebut meluas tidak hanya terbatas pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
vasodilatasi. Belum ada uji tunggal dan menjadi standard penilaian disfungsi endotel in vivo. Endotel meregulasi beberapa fungsi vaskuler dan penilaian terhadap fungsi-fungsi tersebut merupakan cara yang potensial untuk menilai integritas vaskuler. Pendekatan yang sering dilakukan untuk mengevaluasi disfungsi endotel adalah dengan melakukan pengukuran aliran darah dan reaktivitas vaskuler. Pengukuran disfungsi endotel dapat dilakukan dengan cara invasif atau non invasif dan dapat pula untuk menilai aspek patobiologi yang berbeda. Penilaian invasif fungsi endotel koroner menggunakan agen vasoaktif yang dimasukkan melalui infus ke dalam arteri koroner kemudian dilakukan angiografi merupakan gold standard uji fungsi endotel (Deanfield et al., 2007). Teknik pengukuran disfungsi endotel non invasif meliputi ultrasonografi FMD, pulse wave analysis (PWA) atau pulse contour analysis (PCA), magnetic resonance imaging (MRI), flowmetri laser Doppler serta pulse amplitudo tonometry (PAT). Pengukuran FMD menggunakan USG dinilai lebih murah, mudah dan dapat dilakukan dalam skala besar (Al-Qaisi et al., 2008). Penanda disfungsi endotel pada PGK secara biokimiawi yang banyak digunakan saat ini adalah inhibitor NOS yaitu asymmetric dimethylarginin (ADMA). ADMA merupakan hasil dari metilasi postranskripsi L-arginin oleh protein arginine methyltranferases (PRMTs) (Chhabra, 2009). Produksi ADMA meningkat pada pasien PGK. Penelitian juga menunjukkan bahwa ADMA sudah terjadi dari awal proses terjadinya aterosklerosis, sehingga dapat disimpulkan bahwa ADMA bukan hanya sebagai suatu penanda, tapi juga sebagai mediator kerusakan vaskuler pada PGK (Bambang, 2012). Klirens ADMA dalam urin commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terganggu dengan adanya gangguan ginjal yang selanjutnya akan meningkatkan konsentrasi ADMA di dalam plasma, meskipun hal ini bukanlah satu-satunya alasan mengapa ADMA meningkat pada PGK. Peningkatan aktivitas PRMT dan penurunan degradasi ADMA oleh dimethylarginine dimethylaminohydrolase (DDAH) tampaknya merupakan penyebab utama peningkatan kadar ADMA pada PGK. Asymmetric dimethylarginine juga menunjukkan korelasi terbalik dengan FMD arteri brachialis pada pasien dengan proteinuria (Martens dan Edwards, 2011). Identifikasi dan dan kuantifikasi circulating endothelial cells (CECs) merupakan penemuan baru saat ini dan teknik tersebut berkorelasi dengan marker fungsi endotel yang lain seperti FMD, faktor von Willebrand dan aktivator plasminogen jaringan (Deanfield et al., 2007).
Evaluasi fungsi endotel
Aliran darah
Metode invasif (angiografi)
Reaktivitas vaskuler
Marker aktivasi endotel
Endothelial dependent vasodilator
Marker koagulasi dan fibrinolitik
Endothelial independent vasodilator
Marker inflamasi
Metode non invasif
Gambar 2.11. Pendekatan evaluasi disfungsi endotel (Al-Qaisi et al., 2008). commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
H. Flow Mediated Dilatation (FMD) Penurunan FMD merupakan marker awal terjadinya aterosklerosis dan telah dipercaya kapasitasnya untuk memprediksi kemungkinan terjadinya PKV dimasa depan (Padilla et al., 2008). Pada tahun 1992 Celermajer menemukan teknik FMD sebagai metode noninvasif untuk mengukur fungsi endotel. Teknik ini menggunakan periode iskemia pada lengan bawah yang diikuti hiperemia reaktif dan peningkatan aliran darah arteri brachialis (shear stress). Peristiwa ini menginduksi pelepasan NO oleh endotel dan menyebabkan relaksasi otot polos dan vasodilatasi arteri brachialis. Penilaian FMD menggunakan USG sebagai respon terhadap oklusi yang menginduksi hiperemia telah ditetapkan sebagai pengukur fungsi endotel yang dapat dipercaya, non invasif, dapat dilakukan berulangkali dan dapat dikorelasikan dengan penilaian fungsi endotel secara invasif (Inaba et al, 2010). Dalam istilah populer FMD di deskripsikan sebagai vasodilatasi arteri yang disebabkan peningkatan aliran darah di dalam lumen dan shear stress dinding internal. Mediator utama FMD adalah pelepasan NO oleh endotel (Thijssen, et al, 2011). Arteri perifer khususnya arteri brachialis berespon terhadap stimulus fisik dan kimiawi dengan merubah tonus vaskuler dan aliran darah. Peningkatan aliran darah vaskuler di arteri perifer merangsang shear stress, meningkatkan produksi NO dan vasodilatasi. Respon vasodilatasi arteri brachialis terhadap shear stress disebut FMD dan merefleksikan kemampuan endotel vaskuler dalam memproduksi NO (Inaba et al, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
Gambar 2.12. Teknik dan metode flow mediated dilatation (FMD). Langkah sistematik pengukuran FMD yang berawal dari adanya rangsang shear stres (langkah 1) hingga terjadinya perubahan diameter pembuluh darah (langkah 6). Fungsi NO sebagai vasoprotektif, FMD dimaksudkan sebagai indeks availabilitas NO.NO : nitric oxide; EDHF: endothelial derived hyperpolarizing factor; PG : vasodilator prostaglandin; CYP: cytochrome; eNOS:endothelial NO synthase (Ryan et al., 2010). FMD diukur menggunakan peralatan ultrasonografi Doppler, panjang gelombang optimal probe 10-14 Mhz, sudut pengambilan gambar 60%.
Gambar 2.13. Pemeriksaan FMD arteri brachialis dengan USG Doppler (Ryan et al., 2010). Pengukuran FMD dilakukan pada arteri brachialis dengan posisi supinasi, commit to user setelah beristirahat selama 15 menit (Yoshida et al., 2006). Arteri brachialis
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipindai menggunakan probe ultrasound pada untuk window longitudinal dan transversal, kemudian gambar yang dihasilkan ditangkap secara kontinyu menggunakan komputer. Setelah merekam data baseline, cuff diletakkan di bagian distal dari probe dan dikembangkan 50 mmHg diatas tekanan darah sistolik selama 5 menit kemudian dikempiskan. Gambar setelah cuff dikempiskan direkam selama 2 menit. Diameter arteri brachialis sebelum dilakukan oklusi dan diameter setelah cuff dikempiskan lalu diukur, dan perbedaan keduanya dihitung (Ryan et al., 2010).
A
B
Gambar 2.14. Hasil USG arteri arteri brachialis saat baseline (A) dan 1 menit setelah rangsang shear stress (B) (Ryan et al., 2010).
Penghitungan FMD sebagai presentasi perubahan menggunakan diameter puncak sebagai respon terhadap hiperemia reaktif dibandingkan diameter baseline dan dihitung menggunakan rumus (Harris, 2009) : FMD (%) = diameter puncak-diameter baseline x 100% diameter baseline
Pemeriksaan FMD arteri brachialis bermanfaat untuk mengukur NO yang commit to user terikat fungsi endotel. FMD dapat dipakai sebagai marker faktor resiko
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
kardiovaskuler sejak dini dan lebih dominan kearah faktor resiko non tradisional, digunakan mengevaluasi pemberian terapi. Kelebihan lain FMD bersifat non invasif, murah, mudah, dan dapat dilakukan dengan USG sederhana (Al-Qaisi et al., 2008). I. Antioksidan pada Penyakit Ginjal Kronik Antioksidan merupakan senyawa-senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam dalam meredam dampak negatif oksidan (Oberg et al., 2004). Mekanisme pertahanan antioksidan pada pasien hemodialisis sangat lemah disebabkan berbagai gangguan. Defisiensi vitamin C terjadi karena pembatasan diet buah dan sayuran. Defisiensi vitamin C pada pasien hemodialisis bukan hanya pada kuantitasnya tetapi juga kualitas (Adly, 2010).
Gambar 2.15. Antioksidan menghambat oksidasi LDL (Guntur, 2000). Asam askorbat atau vitamin C adalah suatu monosakarida, termasuk antioksidan larut air yang ditemukan pada berbagai jenis sayuran dan buahcommit to dalam user proses. Salah satu enzim yang buahan yang sering mengalami kerusakan
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
diperlukan untuk membuat asam askorbat telah hilang oleh mutasi selama evolusi manusia, karena itu asam askorbat harus diperoleh dari makanan dan vitamin. Asam askorbat berarti asam antiskorbut atau no-scurvy acid. Istilah vitamin C sebenarnya tidak hanya digunakan untuk L-asam askorbat (bentuk tereduksi) tetapi juga bentuk teroksidasinya, dehydroascorbic acid (Kim et al., 2002). Oksidasi bolak balik L-asam askorbat menjadi L-asam dehidroaskorbat terjadi bila bersentuhan dengan tembaga, panas atau alkali. Kedua bentuk vitamin C aktif secara biologik tetapi bentuk tereduksi adalah yang paling aktif dan banyak terdapat dalam keadaan normal (80%) dari vitamin C dalam sirkulasi dan bentuk teroksidasi yang meningkat dalam kedaan patologis. Oksidasi lebih lanjut L-asam dehidroaskorbat menghasilkan asam diketo L-gulonat dan oksalat yang tidak dapat direduksi kembali yang berarti telah kehilangan sifat antiskorbutnya (Langlois et al., 2001).
Gambar 2.16. Bentuk asam askorbat askorbat tereduksi (Langlois et al., 2001) 2001)
Gambar 2.17. Bentuk asam teroksidasi (Langlois et al.,
Di dalam tubuh manusia vitamin C memiliki banyak fungsi tetapi fungsi commit to userkemampuannya untuk bertindak yang paling penting dari vitamin ini adalah
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
sebagai katalis redoks dan kofaktor dalam banyak reaksi dan proses biokimia tubuh manusia. Sebagai antioksidan, vitamin C bertindak sebagai donor elektron untuk menghentikan reaksi meluas yang disebabkan oleh kehadiran radikal bebas seperti hidroksil dan superoksida (Iqbal et al., 2004). Vitamin C menangkap secara efektif radikal superoksida maupun singlet oksigen dan memutuskan rantai radikal melalui peroksidase lipid. Asam askorbat itu sendiri teroksidasi selama proses dan bentuk semi dehidroaskorbat yang merupakan radikal tetapi tidak reaktif dan tidak kuat dan tidak mengurangi oksidasi. Dua askorbil radikal bergabung membentuk satu molekul askorbat dan salah satu dari dehidroaskorbat. Bentuk teroksidasi dehidroaskorbat tak stabil, membentuk oksalat dan asam treonik (Padayatty et al., 2003). Vitamin C merupakan protektor (antioksidan) yang secara terus menerus akan bertindak sebagai scavenger terhadap radikal bebas yang terbentuk sehingga dimungkinkan tidak terjadi gangguan keutuhan dan fungsi sel. Vitamin C merupakan antioksidan non enzimatik yang mudah larut dalam air sehingga vitamin ini terdapat dicairan extra seluler. Vitamin C mempunyai sifat polaritas yang tinggi karena banyak mengandung gugus hidroksil sehingga membuat vitamin ini akan mudah diubah tubuh (Bjelakovic G et al., 2007). Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan. Absorpsi besi dalam bentuk nonheme meningkat empat kali lipat bila ada vitamin C. Vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati. commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Vitamin C juga membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan (Boryann et al., 2006).
Gambar 2.18.Peran Vitamin C dalam Perbaikan Fungsi Endotel (Molina et al., 2013) 1.
Pengaruh Vitamin C terhadap Penyakit Ginjal Kronik Vitamin C sebagai antioksidan berperan sebagai inhibitor terhadap Inhibitor
κβ kinase (IKK) sehingga aktifasi nucleus factor κβ (NFκβ) terhambat akibatnya terjadi penurunan jumlah sitokin proinflamasi diantaranya IL-6 dan TNF-α seperti tampak pada gambar 2.15 (Guntur, 2008)
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ENDOTOKSIN
LPS bp TLR4 CD14
- Insulin Treatment
MD-2
My D88 IRAK TRAF6
NIK/MKK
M
IKK NF-KB
Low dose Kortikosteroid
Target Genes
IL-6 TNF- TGFβ-1
- Metformin - Oestrogen - Statin - ACE Inhibitor - AG II Blocker - Anti ROS - NO - Bradikinin
CYTOKINES
IL-12 IL-8 IL-1
Guntur, 2008;Modified by B Purwanto 2010
Gambar 2.19. Antioksidan menghambat sitokin proinflamasi. (Guntur, 2008; modifikasi Bambang, 2010). Pada pasien PGK dalam kondisi stres oksidatif, dimana ada lebih banyak radikal bebas dalam tubuh manusia daripada antioksidan dan memiliki dampak memperberat penyakitnya. Orang-orang mengalami stres oksidatif memiliki kadar askorbat lebih rendah dari 45,0 mmol/ L, dibandingkan dengan individu sehat yang berkisar antara 61,4-80 mmol/ L (Bjelakovic et al., 2007; Kim et al., 2002) Satu penelitian men bahwa pemmyatakan peberian vitamin C oral 250 mg 3 kali/minggu pasca hemodialisis selama 2 bulan terbukti tidak merubah kadar stres oksidatif dan marker inflamasi pada pasien PGK dengan hemodialisis (Singer, 2011). Pemberian vitamin C selama 3 bulan pada pasien hemodialisis secara intravena 1000 mg 3 kali/minggu menurunkan kadar stres oksidatif ( Ting et al., 2009).
commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.20. Skema yang menunjukkan mekanisme perbaikan kerusakan DNA melalui daur redoks sel oleh vitamin C. (AA = Ascorbic Acid, DHA= Dehydro Ascorbic Acid, LOO· = Lipid Peroxyl Radical, NER = Nucleotide Excision Repair, TCR = Transcription Coupled Repair) (Lunec et al. 2002 ) 2. Angka kecukupan gizi dan kebutuhan vitamin C Angka kecukupan gizi untuk vitamin C pada pria dewasa sehat adalah 90 mg/ hari dan wanita dewasa 75 mg/ hari. Angka kecukupan gizi ini tergantung kebutuhan tubuh seseorang juga dipengaruhi jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan stres, tetapi tidak terlalu jauh dari 100 mg/ hari untuk vitamin C. Kebutuhan vitamin C setiap hari sangat berfluktuasi, tergantung kondisi tubuh. Apabila kekebalan tubuh sedang rendah, maka diperlukan vitamin C dosis tinggi. Angka kecukupan gizi tersebut berdasarkan kadar vitamin C hampir maksimal pada neutrofil (leukosit) dengan ekskresi urin minimal (Hamrick dan Counts, 2008). Kebutuhan vitamin C naik saat operasi atau luka bakar jaringan hilang banyak (Kim et al., 2002). Pasien PGK dengan dialisis membutuhkan vitamin C lebih dari AKG normal. Belum ada patokan pasti dosis vitamin C direkomendasikan (Montesa et al., 2009).
commit to user