BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Soil Transmitted Helminths (STHs) Soil Transmitted Helminths (STHs) adalah kelompok parasit golongan nematoda usus yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur cacing atau larva yang berkembang di dalam tanah dengan kondisi yang hangat dan lembab dan umumnya terjadi pada negara-negara dengan iklim tropis dan subtropis (CDC, 2013). STHs merupakan cacing yang perkembangannya berada di luar tubuh manusia atau berada di tanah dan dominan terjadi di daerah-daerah terpencil dengan kebersihan dan sanitasi yang kurang memadai di negara-negara berkembang. STHs merupakan kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan telur atau larva yang tidak infektif menjadi telur atau larva yang infektif (Natadisastra & Agoes, 2009). Tidak seperti penyakit tropis lainnya, mayoritas individu yang terinfeksi tidak menunjukkan tanda-tanda atau gejala klinis. Hal ini disebabkan karena patologi penyakit ini sangat berhubungan dengan jumlah cacing (intensitas/derajat infeksi) yang menginfeksi usus manusia. Pada kasus dengan jumlah cacing yang banyak biasanya menimbulkan anemia pada penderita. Menurut Brooker & Bundy (2009), STHs dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian menurut cara menginfeksinya: 1. Tipe 1 : Masuk secara langsung Pada tipe ini, telur berembrio masuk secara langsung ke dalam tubuh manusia. Telur-telur cacing menetas dan dapat menginfeksi dalam waktu 2-3 jam.
8
9
Penularan terjadi secara fekal-oral dan tidak ada perkembangan selama di dalam tanah, dimana tanah berguna sebagai media penularan telur cacing. Cacing yang termasuk
dalam
tipe
ini
adalah
cacing
cambuk
(Trichuris
trichiura).
2. Tipe 2 : Perlu modifikasi namun masuknya secara langsung Pada tipe 2, telur dari feses berada dalam bentuk non infektif dan mengalami periode perkembangannya di dalam tanah untuk menjadi telur berembrio. Telur yang menetas mengeluarkan larva yang akan menembus membran mukosa lambung, masuk ke sirkulasi darah menuju ke paru-paru. Larva akan melewati saluran pernapasan atas dan masuk ke oesophagus lalu menuju usus untuk berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing yang termasuk dalam tipe ini yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dan Toxocara sp. 3. Tipe 3 : Penetrasi melalui kulit Pada tipe ini, telur cacing mengkontaminasi tanah. Di dalam tanah, telur akan menetas menjadi larva yang infektif sebelum menembus kulit untuk tumbuh dewasa dan hidup di dalam usus halus. Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) dan Strongyloides stercoralis termasuk dalam tipe ini (Brooker & Bundy, 2009).
2.2 Jenis Soil Transmitted Helminths (STHs) Jenis STHs yang dibahas dalam penelitian ini mencakup 3 jenis cacing utama yang menginfeksi manusia dan paling sering ditemukan di Indonesia, diantaranya cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).
10
2.2.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides dan tidak ada hospes perantara. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis. Parasit ini ditemukan kosmopolit terutama di daerah tropis. Cacing ini merupakan cacing terbesar di antara golongan nematoda lainnya, berbentuk silindris dengan ujung anterior lancip dimana anteriornya memiliki tiga bibir, badan cacing berwarna kuning kecoklatan yang diselubungi lapisan kutikula bergaris halus (Palgunadi, 2010). Cacing betina panjangnya 20-35 cm, ujung posterior membulat dan lurus, 1/3 anterior dari tubuh ada cincin kopulasi. Cacing jantan panjangnya 15-31 cm, ujung posterior lancip melengkung ke ventral, dilengkapi papil kecil dan 2 spekulum. Telur memiliki 4 bentuk yaitu telur yang dibuahi, tidak dibuahi, matang dan dekortikasi (Muslim, 2009). Di tanah dalam kondisi yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus yang akan menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea, larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam oesofagus menuju usus halus untuk tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (CDC, 2013). Prevalensi askariasis di Indonesia cukup tinggi, terutama pada anak-anak. Frekuensinya antara 60-90%. Kebiasaan memakai feses sebagai pupuk dapat mendukung proses penularan askariasis. Telur cacing ini banyak ditemukan pada
11
tanah liat dengan suhu yang berkisar antara 25°-30°C (Onggowaluyo, 2006a). Telur matang (bentuk infektif) dapat bertahan lama di tanah dan media tanah merupakan cara penularan yang paling efektif. Gejala klinis askariasis diklasifikasikan menjadi gejala akut
yang
berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa. Gejala klinis oleh larva Ascaris lumbricoides biasanya terjadi pada saat di paru (Magdalena & Hadidjaja, 2005). Gejala klinis oleh cacing dewasa tergantung pada jumlah cacing dan keadaan gizi penderita. Umumnya hanya infeksi dengan intensitas yang sedang dan berat pada saluran pencernaan yang dapat menimbulkan gejala klinis. Cacing dewasa Ascaris lumbricoides yang terdapat dalam jumlah banyak pada usus halus dapat menyebabkan distensi abdomen dan nyeri abdomen.
Gambar 2. 1 Telur dan Cacing Ascaris lumbricoides 2.2.2 Cacing cambuk (Trichuris trichiura) Manusia merupakan hospes dari cacing ini. Penyakit yang disebabkannya disebut trikuriasis. Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas dan lembab seperti Indonesia (Muslim, 2009). Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Telur cacing berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam tonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
12
kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama feses, kemudian menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Setelah dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (CDC, 2013). Prevalensi trikuriasis di beberapa daerah pedesaan di Indonesia berkisar antara 30-90% (Entjang, 2003). Banyak penderita trikuriasis tidak memiliki gejala dan hanya didapati keadaan eosinofilia pada pemeriksaan darah tepi. Pada trikuriasis, inflamasi pada tempat perlekatan cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan kolitis. Kolitis akibat trikuriasis kronis dapat menyebabkan nyeri abdomen kronis, diare, anemia defisiensi besi (Gandahusada, 2006).
Gambar 2. 2 Telur dan Cacing Trichuris trichiura 2.2.3 Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator Americanus) Hospes parasit ini adalah manusia dan menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis (Muslim, 2009). Penyebaran cacing ini terjadi pada tempat dengan keadaan yang sesuai, misalnya di daerah pertambangan dan perkebunan (Onggowaluyo, 2006a). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa
13
berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Dalam daur hidupnya, telur cacing akan keluar bersama feses. Setelah 1-1,5 hari di dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Kemudian setelah 3 hari, larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Larva rabditiform memiliki panjang ±250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya ±600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru, kemudian menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus menjadi cacing dewasa (CDC, 2013). Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70%. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah dengan memakai alas kaki berupa sandal atau sepatu (Onggowaluyo, 2006a; Sofiana, 2010). Ankilostomiasis dan nekatoriasis dapat menimbulkan gejala akut yang berhubungan dengan migrasi larva melalui kulit dan viseral, serta gejala akut dan kronik yang disebabkan oleh infeksi parasit di saluran pencernaan oleh cacing dewasa. Larva filariform (larva stadium tiga) yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan sindrom kutaneus berupa ground itch, yaitu eritema dan papul lokal yang diikuti dengan pruritus pada tempat larva melakukan penetrasi. Setelah melakukan invasi pada kulit, larva tersebut bermigrasi ke paru-paru dan menyebabkan pneumonitis. Manusia yang belum pernah terpapar dapat mengalami nyeri epigastrik, diare, anoreksia dan eosinofilia selama 30-45 hari setelah penetrasi
14
larva yang mulai melekat pada mukosa usus halus. Gejala klinis yang disebabkan oleh cacing tambang dewasa disebabkan karena kehilangan darah sebagai akibat dari invasi dan perlekatan cacing tambang dewasa pada mukosa dan sub-mukosa usus halus. Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing serta keadaan gizi penderita (Fe dan protein). Pada kasus dengan infeksi berat, anemia yang disebabkan oleh cacing tambang dapat menyebabkan gagal jantung kongestif (Gandahusada, 2006; Muslim, 2009; Prianto dkk, 2006).
Gambar 2. 3 Telur dan Larva Cacing Tambang
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penularan Infeksi STHs Beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendukung penularan infeksi STHs yaitu: 2.3.1 Tanah Tanah adalah faktor utama yang mendukung penularan infeksi STHs, terutama tanah yang terkontaminasi dengan feses yang mengandung telur cacing. Telur Trichuris trichiura tumbuh dalam tanah liat yang lembab dengan suhu optimal ±30ºC (Depkes, 2006). Telur Ascaris lumbricoides berkembang dengan baik di tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25ºC-30ºC. Perubahan telur cacing tambang menjadi larva Necator americanus terjadi pada tanah gembur seperti pasir atau humus dan memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC. Sementara Ancylostoma duodenale memerlukan suhu yang lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC dan pada umumnya lebih kuat bertahan dibandingkan larva Necator americanus (Gandahusada, 2006).
15
2.3.2 Iklim Pada tingkat kelembaban yang tinggi di daerah tropis pada umumnya didominasi oleh pertumbuhan cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Sementara untuk cacing tambang (Necator americanus danAncylostoma duodenale), pertumbuhannya didominasi di daerah yang panas dan lembab. Daerah yang cocok sebagai habitat ketiga jenis cacing STHs adalah daerah yang memiliki suhu dan kelembaban
yang tinggi, biasanya di daerah pertanian, perkebunan dan
pertambangan (Onggowaluyo, 2006a). 2.3.3 Perilaku Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, terutama pada pekerja yang malas mencuci tangan dengan bersih setelah kontak dengan tanah. Faktor kebersihan diri juga mempengaruhi penularan infeksi cacing (Kieswari, 2009). 2.3.4 Penggunaan alat pelindung diri (APD) Alat pelindung diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2008). Setiap tempat kerja memiliki potensi bahaya yang berbeda tergantung dari jenis, bahan baku dan proses produksinya. Pemilihan APD yang tepat pada sebuah industri sangat bermanfaat dalam pencegahan penyakit akibat kerja maupun akibat hubungan kerja. Dalam industri pertambangan, alat pelindung diri yang digunakan juga bervariasi tergantung inventarisasi potensi bahaya di lingkungan kerja. Pada umumnya alat pelindung diri yang digunakan di industri pertambangan berupa topi pelindung atau helm untuk melindungi kepala dari bahaya tertimpa benda jatuh, kacamata sebagai pelindung
16
mata, pelindung telinga (jika bekerja dalam keadaan bising), masker, baju pelindung, sarung tangan dan sepatu. Untuk menghindari potensi hazard biologi di industri kerajinan tradisional seperti kerajinan gerabah, keramik, batu bata dan genteng, APD yang penting digunakan yaitu sarung tangan karet dan sepatu boot untuk menghindari infeksi cacing akibat proses pengolahan bahan baku berupa tanah. Tanah merupakan media penularan larva cacing yang dapat menembus kulit (Suma’mur, 2009; Tarwaka, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar, dkk pada tahun 2013 terhadap pekerja tanaman kota di Pekanbaru, ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri dengan kejadian kecacingan. Selain itu, bekerja tanpa menggunakan APD memiliki resiko 5,3 kali lebih besar untuk terinfeksi STHs dan bekerja tanpa menggunakan alas kaki juga memiliki resiko 8,8 kali lebih besar untuk terinfeksi STHs (Siregar dkk,2013; Maryanti, 2006). 2.3.5 Pendidikan Pendidikan berkaitan dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang mengenai higiene perorangan atau kebersihan pribadi maupun terhadap sanitasi lingkungan kerja. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang maka pengetahuan dan pemahamannya mengenai higiene dan sanitasi akan semakin baik (Resnhaleksmana, 2014). Dalam penelitian Sulastri pada pekerja batu bata di Kabupaten Jembrana ditemukan prevalensi kecacingan yang tinggi pada pekerja dengan pendidikan SD sebesar 46,8% (Sulastri, 2005). 2.3.6 Pengetahuan Pengetahuan pekerja mengenai penularan infeksi STHs beserta akibat yang ditimbulkan berpengaruh terhadap kejadian penyakit kecacingan. Berdasarkan hasil penelitian Mahar pada tahun 2008 di Desa Kedawung, Kebumen, Jawa Tengah,
17
didapatkan data pekerja industri genteng yang memiliki pengetahuan kurang kemungkinan terinfeksi cacing 4,31 kali lebih besar daripada pekerja yang memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai penularan infeksi cacing. Terdapat kecenderungan semakin rendah pengetahuan, sikap yang negatif dan tindakan yang kurang baik terhadap pencegahan infeksi cacing, maka semakin banyak jumlah telur cacing yang akan ditemukan dalam sampel fesesnya (Mahar, 2008; Jusuf dkk, 2013). 2.3.7 Masa kerja Pekerja dengan masa kerja lebih lama lebih sering mengalami kontak dengan tanah sebagai bahan baku produksi. Semakin sering terjadi kontak dengan tanah maka resiko terinfeksi STHs semakin besar. Proporsi kecacingan tertinggi pada pekerja dengan masa kerja paling lama yaitu >30 tahun sebesar 84,6%, sedangkan proporsi terendah dengan masa kerja <10 tahun yaitu sebesar 16,7% (Sulastri, 2005). 2.3.8 Umur Seseorang dengan umur lebih tua akan lebih rentan terkena infeksi dibandingkan yang lebih muda. Proporsi kecacingan pada pekerja dengan kelompok umur >40 tahun adalah 61,1%, sedangkan pada pekerja dengan kelompok umur 3040 tahun adalah 53,8% dan kelompok umur <30 tahun hanya berkisar 25%. Hal ini disebabkan karena metabolisme dan daya tahan tubuh orang yang sudah lanjut usia mengalami penurunan sehingga derajat infeksi akan menjadi lebih berat (Mahar, 2008; Sulastri, 2005). 2.3.9 Jenis kelamin Pada umumnya pekerja di industri genteng lebih banyak laki-laki dibanding perempuan, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga lebih terutama dalam pengolahan tanah sehingga pekerja laki-laki menjadi lebih dominan dalam industri ini. Pekerja wanita lebih banyak berperan dalam mengeringkan, menjemur serta
18
membakar genteng. Sedangkan pekerja laki-laki lebih banyak melakukan tugas berat seperti mengolah tanah, proses menginjak tanah, membentuk tanah menjadi balokbalok yang siap untuk dicetak. Hal ini mengakibatkan kesempatan terpajan (chance of exposure) yang lebih besar pada laki-laki sehingga angka prevalensinya menjadi lebih tinggi dibandingkan perempuan (Kieswari, 2009). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Sulastri terhadap pekerja batu bata di Kabupaten Jembrana menunjukkan angka prevalensi kecacingan pada laki-laki sebesar 43,9% dan perempuan sebesar 36,4%, dimana chance of exposure lebih tinggi terjadi pada pekerja laki-laki dibandingkan pekerja perempuan (Sulastri, 2005). 2.3.10 Sosial ekonomi Sosial ekonomi juga mempengaruhi terjadinya infeksi cacing, yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah. Kelompok ekonomi rendah mempunyai resiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurangnya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya (Sudomo, 2008).
2.4 Pemeriksaan Laboratorium Soil Transmitted Helminths (STHs) Pemeriksaan yang umumnya digunakan untuk mendiagnosis infeksi STHs yaitu dengan mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia. Pemeriksaan rutin
feses
dilakukan
secara
makroskopis
dan
mikroskopis.
Pemeriksaan
makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah, bentuk, bau dan ada tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai ada tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih dan gula (Uliyah & Hidayat, 2008a). Sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk memeriksa telur cacing. Untuk pemeriksaan secara kualitatif dapat dilakukan dengan
19
menggunakan NaCl 0,85% atau eosin 2%. Eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur cacing dengan kotoran di sekitarnya. Pada pemeriksaan ini, kedua reagensia diteteskan pada kaca objek (object glass), yaitu 1 tetes NaCl 0,85% di sisi kiri dan 1 tetes eosin 2% di sisi kanan. Kemudian, sedikit spesimen feses (seujung tangkai aplikator) dilarutkan bersama dengan kedua reagensia yang telah diteteskan di kaca objek. Setelah itu kaca objek ditutup dengan cover glass dan diperiksa di bawah
mikroskop
dengan
pembesaran
10x10
dan
10x40.
Pemeriksaan
kopromikroskopik ini memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Metode pemeriksaan kualitatif untuk telur cacing yang lain adalah metode apung (flotation methode). Pada metode ini digunakan larutan NaCl jenuh. Metode ini efektif untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur cacing, sebab prinsip metode ini didasarkan pada berat jenis (BJ) benda, dimana berat jenis telur cacing lebih ringan daripada berat jenis larutan yang digunakan sehingga telur-telur cacing akan terapung dipermukaan (Natadisastra & Agoes, 2009; Uliyah & Hidayat, 2008b). Saat ini, teknik Kato-Katz merupakan metode kopromikroskopik yang dipergunakan secara luas dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus manusia (intestinal helminth). Teknik ini dipilih karena mudah, murah dan mempergunakan sistem yang dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda berdasarkan perhitungan telur cacing (Onggowaluyo, 2006b). Pemakaian sampel feses yang sedikit (sekitar 41,7 mg) menyebabkan teknik Kato-Katz memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses). Sensitivitas dapat ditingkatkan dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih
20
baik lagi dari beberapa sampel feses. Teknik pemeriksaan ini memfokuskan pada metode
diagnosis
parasitologi
yang
mampu
melakukan
skrining
dengan
menggunakan sampel feses dalam jumlah banyak, yaitu 0,5 gram atau bahkan 1 gram pada metode dengan konsentrasi eter atau teknik FLOTAC. Metode dengan konsentrasi eter sering dipergunakan dalam mendiagnosis infeksi cacing, terutama pada laboratorium khusus. Metode ini dapat mendiagnosis infeksi protozoa usus yang terjadi bersamaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan dengan beberapa sampel ataupun penggunaan kombinasi beberapa metode diagnosis dapat meningkatkan keakuratan diagnosis. Hal penting dalam metode dengan konsentrasi eter ini adalah penggunaan sampel feses yang difiksasi dengan sodium acetate-acetic acid-formalin (SAF) atau formalin yang diencerkan, sehingga sampel dapat disimpan dan dianalisis di waktu berikutnya (Natadisastra & Agoes, 2009). Intensitas atau derajat infeksi STHs terdiri atas intensitas/derajat infeksi ringan, sedang, dan berat. Intensitas/derajat infeksi STHs dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. 1 Intensitas Infeksi STHs
Organisme
Ascaris lumbricoides
Infeksi Intensitas Rendah (telur per gram feses) 1–4.999
Trichuris trichiura 1–999 Cacing tambang 1–1.999 (Necator americanus atau Ancylostoma duodenale) Sumber : (Menteri Kesehatan RI, 2006)
Infeksi Intensitas Sedang (telur per gram feses)
Infeksi Intensitas Berat (telur per gram feses)
5.000–49.999
> 50.000
1.000–9.999 2.000–3.999
> 10.000 > 4.000
21
Klasifikasi intensitas/derajat infeksi cacing dapat menggambarkan distribusi epidemiologi infeksi kecacingan yang terjadi di suatu daerah. Semakin banyak yang terinfeksi dengan klasifikasi intensitas kecacingannya tinggi akan menyebabkan meningkatnya distribusi epidemiologi. Perhitungan intensitas kecacingan ditentukan menurut rumus yang tercantum dalam pedoman pengendalian kecacingan, yaitu : Intensitas cacing =
Jumlah telur cacing x 1000 mgr Feses yang diperiksa (mg)
2.5 Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Soil Transmitted Helminths (STHs) Dalam upaya pencegahan dapat dilakukan upaya penyelenggaraan kesehatan kerja yang meliputi pemeriksaan kesehatan pekerja sebelum bekerja, secara berkala dan pemeriksaan kesehatan secara khusus. Pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan. Pemeriksaan kesehatan secara berkala dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dengan melakukan berbagai pemeriksaan terhadap tenaga kerja (darah, urine, feses dan lainnya) sesuai dengan jenis dan bentuk potensi bahaya yang ada. Pemeriksaan secara berkala disebut juga dengan biological monitoring untuk melihat adanya pengaruh potensi bahaya di lingkungan kerja terhadap kesehatan pekerja. Sedangkan pemeriksaan kesehatan secara khusus dilakukan pada tenaga kerja tertentu yang sakit (Tarwaka, 2008). Pencegahan juga dapat dilakukan dengan mematuhi anjuran penggunaan alat pelindung diri pada saat bekerja, menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan pribadi. Dalam rangka penanggulangan infeksi, WHO menyusun strategi global dalam mengendalikan STHs dengan penggunaan kemoterapi modern. Strategi
22
tersebut bertujuan untuk mengendalikan morbiditas yang diakibatkan oleh infeksi STHs, yaitu dengan mengeliminasi infeksi dengan pemberian obat antelmintik (terutama albendazol 400 mg dosis tunggal dan mebendazol 500 mg dosis tunggal). Obat antelmintik ini diberikan kepada populasi dengan resiko tinggi, yaitu: a. Anak-anak yang belum sekolah (usia 1-4 tahun) b. Anak-anak usia sekolah (usia 5-14 tahun) c. Wanita usia reproduktif (termasuk wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga serta wanita menyusui). d. Kelompok usia dewasa yang rentan terpapar dengan infeksi STHs (contoh : pekerja kebun teh dan pekerja penambangan) (WHO, 2006). Program pengendalian infeksi cacing di Indonesia disusun dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/Menkes/SK/VI/2006, dimana tujuan dari program ini adalah memutus mata rantai penularan infeksi cacing, baik di dalam tubuh maupun di luar tubuh. Program ini dilakukan dengan kerja sama pemerintah, Departemen Kesehatan, masyarakat, serta sektor lain sebagai mitra. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan kegiatan berupa penentuan prioritas lokasi atau penduduk sasaran, penegakkan diagnosis dengan pemeriksaan feses secara langsung menggunakan metode Kato-Katz, serta penanggulangan infeksi. Sesuai rekomendasi WHO, penanggulangan infeksi cacing dilakukan dengan pengobatan, tindakan pencegahan, dan promotif. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa, larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun, bila dari hasil pemeriksaan sampel feses ternyata prevalensi hanya
23
didapati kurang dari 30%, dilakukan pemeriksaan menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja (Menteri Kesehatan RI, 2006).
2.6 Gambaran Umum Industri Kerajinan Genteng Dalam industri kerajinan genteng, bahan baku yang digunakan biasanya berasal dari tanah sawah sekitar industri atau memesan secara lokal dari daerah lain. Tanah yang digunakan pada umumnya adalah tanah yang banyak mengandung grit (bahan kasar dalam bahan yang halus) dan harus dipisahkan terlebih dahulu sebelum tanah itu dipakai sebagai bahan pembuatan genteng. Pemisahannya dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu cara manual (dengan tangan) dan dengan mesin. Pada umumnya, industri menggunakan cara manual karena cara ini murah dan sederhana. Setelah tanah liat tersebut tersaring dari bahan kasar, sebelum mulai proses pembentukan, tanah liat harus homogen dan bebas dari gelembung/kantong udara sehingga harus diulet (kneading) terlebih dahulu. Tanah liat yang sudah homogen dicetak dengan cetakan yang terbuat dari pelat besi, kemudian diletakkan pada rak yang terbuat dari bambu dan diangin-anginkan kurang lebih 1 hingga 3 hari. Selanjutnya genteng mentah dijemur dengan maksud agar genteng benar-benar kering saat dibakar pada suhu tinggi dan tidak mengakibatkan genteng retak. Setelah itu disusun dalam tungku pembakaran untuk dibakar dan terakhir dilakukan penyeleksian genteng yang siap dipasarkan (Adnan, 2011; Murti, 2009).