6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Buras atau ayam lokal 2.1.1 Asal usul ayam lokal di Indonesia Ayam lokal Indonesia merupakan ayam yang berkembang dimulai sejak proses domestikasi dimulai, sehingga ayam lokal dikenal sebagai ayam asli atau native chicken. Ayam asli Indonesia secara genetik mempunyai clade berbeda dengan ayam lain di Asia sehingga kepulauan nusantara diyakini sebagai salah satu pusat domestikasi ayam di Asia (Sulandari, et al., 2007). Sejak jaman dahulu hubungan ayam asli Indonesia dengan masyarakat sangat erat, hal tersebut terlihat dari keberadaan ayam yang hampir dimiliki oleh setiap keluarga di pedesaan. Ayam asli Indonesia mempunyai keragaman sangat besar dan bervariasi dalam warna bulu, kulit, paruh, bentuk tubuh, penampilan produksi,
pertumbuhan,
dan
reproduksinya
(Syamsul,
et
al.,
2009).
Keanekaragaman ayam muncul dari sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi serta faktor adaptasi lingkungan. Proses adaptasi dapat memunculkan sifat dan penampilan baru kemudian diwariskan secara genetik dari generasi ke generasi (Sidadolog, 2007), sifat genetik seperti tersebut disebut gen mutasi (Schmitten, 1980). Perjalanan panjang domestikasi telah banyak membentuk breed ayam asli Indonesia. Saat ini, diperkirakan terdapat sekitar 31 breed ayam asli yang tersebar diberbagai tempat termasuk ayam kampung yang menyebar di semua kepulauan nusantara (Nataamijaya, et al. 1996; 2000). Secara umum ayam diklasifikasikan sebagai order Galliformes , family Phasianidae, dan genus gallus (jungle fowl) (Sulandari et al., 2008). Kepulauan nusantara juga memiliki plasma nutfah berupa hidupan liar ayam, yaitu Gallus gallus (Red jungle fowl) terdiri subspesies G. g. spadiceus (Burmese red jungle fowl) berada di Sumatera bagian utara, G. g. bankiva (Javan red jungle fowl) distribusinya meliputi Sumatera, Jawa, dan Bali, 6
7
serta G. g. Gallus (Cochin-Chinese atau Indochina red jungle fowl) sebarannya meliputi Sumatera dan Jawa serta sukses introduksi di Bali dan Sulawesi (Sibley dan Monroe, 1990). 2.1.2 Taksonomi ayam Lokal atau ayam Kampung (Gallus domesticus) Taksonomi ayam kampung (Hickman 1970 dalam Sarwono 2003) Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neornithes
Superordo : Neognathae Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Species
: Gallus domesticus
2.1.3 Dampak infeksi cacing pada ayam Ayam muda yang berumur dibawah 3 bulan lebih peka terhadap kerusakan yang disebabkan cacing sedangkan ayam yang berumur diatas 3 bulan lebih resisten karena pada umur 2- 3 bulan ayam akan membentuk pertahanan tubuh yang berasal dari peningkatan sel goblet pada mukosa usus (LIPI, 1983; Levine, 1990, Akoso, 1998). Salah satu parasit yang paling sering didiagnosis dalam saluran pencernaan ayam adalah golongan nematoda (Lund et al 1970;. Permin, et al, 1999;. Maurer et al 2009.). Dibeberapa Benua telah dilaporkan prevalensi dari cacing Heterakis gallinarum oleh Permin & Hansen (1998) sebesar 90,7 % di Afrika, 89 % di Asia, 90 % di Amerika dan 72,5 % di Eropa. Tahap larva dan dewasa Heterakis gallinarum hidup pada sekum ayam, kalkun, bebek, angsa, belibis, ayam mutiara, ayam hutan, burung, dan burung puyuh (Lund u. parasut 1972, 1974; Saif 2008; Potts 2009). Infeksi dari Heterakis gallinarum umumnya subklinis, ayam yang terinfeksi menunjukkan peradangan
8
dan penebalan dinding sekum serta tingkat keparahan lesi tergantung pada beban parasit. Dalam kasus infeksi berat, pembentukan nodul pada mukosa sekum (Kaushik u. Deorani 1969; Riddell u. Gajadhar 1988). Pentingnya ekonomi utama Heterakis gallinarum adalah karena perannya sebagai vektor untuk Histomonas meleagridis atau parasit protozoa, yang menginduksi penyakit blackhead (Gibbs 1962; lee 1969; Springer et al 1969;. Lund u. Chute 1974; Esquenet et al 2003). Heterakis gallinarum hampir serupa seperti ascaridia galli, tetapi spesifik Heterakis gallinarum dapat mengakibatkan radang pada usus buntu (sekum), jengger, pial pucat dan kotoran seperti bercak darah dapat juga menyebabkan anemia dan depresi pada ayam lokal (Gallus domesticus) yang terserang. Gejala umumnya adalah ayam kurus, lemah, kehilangan nafsu makan dan gangguan pertumbuhan (Boedianto. 2011). Selain itu kerusakan terjadi akibat saat perpindahan dari pertumbuhan larva cacing ke dalam usus disertai perdarahan (LIPI, 1983; Levine, 1990, Akoso, 1998). 2.2 Cacing Heterakis gallinarum 2.2.1 Morfologi Cacing Heterakis gallinarum dewasa adalah berwarna putih, dan cacing jantan berukuran 7-13 mm, sedangkan cacing betina berukuran 10-15 mm (Saif. 2008). Cacing Heterakis gallinarum memiliki alae lateralis yang lebar, dengan esofagusbulbus yang kuat. Ekor cacing jantan diperlengkapi alae yang besar, sebuah sucker precloaca yang menonjol dan membulat serta 12 pasang papilae. Spikula tidak sama, yang kanan langsing 2 mm, yang kiri memiliki sayap lebar 0,65- 0,7 mm. Vulva ditengah- tengah tubuh cacing betina, telur berdinding tebal, halus dengan ukuran 65- 80 u X 35- 46 mikron (Soulsby. 1982). 2.2.2 Taksonomi Taksonomi Cacing Heterakis gallinarum (Stang. 2011) Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Bilateria
9
Branch
: Protostomia
Infrakingdom
: Ecdysozoa
Superphylum
: Aschelminthes
Phylum
: Nemata
Class
: Secernentea
Subclass
: Rhabditia
Order
: Ascaridida
Suborder
: Ascaridina
Superfamily
: Heterakoidea
Family
: Heterakidae
Genus
: Heterakis
Specific name
: gallinarum
Scientific name
: Hetarakis gallinarum
Gambar. 1 (A) Cacing Heterakis gallinarum jantan dan betina dewasa diisolasi dari ayam hutan batu. Betina bawah memperlihatkan esofagus yang berakhir dengan bola yang berkembang dengan baik yang mengandung alat katup. (B) Cacing Heterakis gallinarum jantan dewasa menunjukkan spikula yang unik, salah satunya sangat panjang (RS) dan yang kiri menjadi pendek (LS) (Sang. 2010).
10
2.2.3 Siklus hidup Cacing Heterakis gallinarum memiliki siklus hidup langsung, telur cacing Heterakis gallinarum keluar bersama tinja saat defikasi, kemudian telur cacing diluar tubuh hospes berkembang menjadi stadium II yang infektif setelah 14 hari (270 C), tetapi perkembangan biasanya lama sampai beberapa minggu pada suhu yang lebih rendah. Telur sangat tahan terhadap kondisi lingkungan dan tahan sampai berbulan- bulan (Soulsby. 1982). Bila hospes menelan telur infektif, larva menetas dalam usus halus setelah 1- 2 jam. Sekitar 4 hari kemudian cacing – cacing muda tersebut berada dalam mukosa sekum dan dapat merusak kelenjar pada sekum (Soulsby. 1982). Sampai 12 hari pasca-paparan larva Heterakis gallinarum yang mengait erat dengan mukosa sekum, tetapi larva tidak mengalami fase jaringan sejati (Saif 2008). Didalam kelenjar larva stadium II berada selama 2- 5 hari sebelum melanjutkan perkembangan di dalam lumen dan 6 hari setelah infeksi menyilih menjadi stadium III, kemudian pada hari ke- 10 menyilih menjadi stadium IV serta pada hari ke- 15 menjadi dewasa. Periode prepaten adalah 24- 30 hari setelah infeksi dan cacing tanah dapat membantu sebagai reservoir (inang paratenik), dimana dalam tubuh cacing tanah parasit berada sebagai larva stadium II dapat bertahan hidup selama berbulan- bulan serta infeksi terjadi karena memakan cacing tanah yang mengandung larva stadium II (Kusumamihardja. 1992).