BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. MUI 1. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya MUI Pada tanggal 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah berdiri, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama dan cendekiawan yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan tempat atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujutkan cita-cita bersama.1 Dalam kegiatan kenegaraan, khususnya sesudah kemerdekaan, pemerintah melihat bahwa umat Islam sebagai kelompok mayoritas di negara ini, memiliki potensi yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah menilai bahwa suatu program, apalagi yang berkaitan dengan agama, hanya bisa sukses apabila disokong oleh agama, atau sekurang-kurangnya ulama tidak menghalanginya. Ini berarti bahwa kerja sama dengan ulama sangat perlu dijalin oleh pemerintah. Untuk maksud tersebut, di zaman Sukarno telah didirikan Majelis Ulama yang kemudian disusul dengan lahirnya berbagai Majelis Ulama Daerah. Namun, wujud dari Majelis Ulama yang ada di berbagai daerah itu belum mempunyai pegangan dan cara kerja yang seragam, sampai akhirnya atas prakarsa pemerintah Orde Baru diadakanlah suatu Musyawarah Nasional Ulama yang terdiri atas utusan wakil-wakil ulama propinsi seIndonesia di Jakarta dari tanggal 21 sampai 28 Juli 1975. Musyawarah inilah yang berhasil secara bulat menyepakati berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
1
www.mui.or.id. Diunduh pada tanggal 24 Nopember 2015 pukul 16.32 WIB.
15
16
Sejak MUI berdiri pada tahun 1975 sampai pada tahun 1990, lembaga ini telah menghasilkan fatwa sebanyak 49 buah yang mencakup berbagai bidang, Seperti masalah ibadah, ahwal al-syakhshiyah, keluarga berencana, masalah makanan dan minuman, kebudayaan, hubungan antar agama, dan lain-lain. Fatwa-fatwa yang dihasilkan MUI itu adakalanya menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat, ada pula yang memandangnya sebagai corong penguasa, dan ada pula masyarakat yang menilainya sebagai tidak konsisten. Munculnya respon seperti itu dari masyarakat sangat erat kaitannya dengan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap konsep ijtihad MUI serta ciri-ciri hujkum Islam yang dijadikan acuan oleh MUI dalam menghasilkan suatu fatwa. Oleh sebab itu, studi dalam bidang ini dirasa amat perlu dilakukan.2 Sejak berdirinya MUI sampai akhir tahun 1990 lembaga ini telah banyak membahas soal-saoal keagamaan dan kemasyarakatan yang dalam bentuk fatwa mencapai jumlah 49 buah. Kalau diadakan pengelompokan, fatwa yang dihasilkannya itu dapat diklasifikasikan kepada bidang ibadat, seperti sholat, puasa, zakat dan haji serta yang berkaitan dengan itu dan bidang non- ibadah, seperti masalah al-ahwal al-syakhshiyah, keluarga berencana, makanan dan minuman, serta bidang-bidang lainnya.3 Menurut ajaran Islam, ulama memegang posisi yang kuat, seperti ulama sebagai pewaris Nabi Saw. Dalam perkembangan sejarah Islam, kaum ulama memegang peranan yang amat besar. Sejak masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, para ulama sudah mulai mengembangkan daya nalarnya dalam berijtihad. Peranan ulama pada masyarakat Indonesia baik pada masa penjajahan, masa
perjuangan
merebut
kemerdekaan
atau
masa-masa
sesudah
kemerdekaan sampai sekarang tidak kurang pentingnya bila dibandingkan 2
Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Pengembangan Hukum Islam, Susqa Press cet. 1, Pekanbaru, 1994, hlm.11. 3 Ibid., hlm. 101.
17
dengan peranan para pemimpin lainnya bahkan kadang-kadang sangat menentukan. Para ulama sangat besar pengaruhnya di masyarakat dan nasehat mereka dicari oleh orang banyak. Di sisi lain, perlunya Majelis Ulama yang sudah lama dirindukan itu, merupakan pula keinginan yang terkandung di hati umat Islam dan bangsa Indonesia. Mereka merasa perlu memiliki suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun, dan mempersatukan pendapat serta pemikiran para ulama. Urgensinya ialah guna memperkokoh kesatuan dan persatuan umat dalam rangka meningkatkan partisipasinya secara nyata dalam menyukseskan pembangunan serta ketahanan nasional negara Republik Indonesia. Menteri Dalam Negeri menginstruksikan supaya di daerah-daerah yang belum terbentuk Majelis Ulama supaya membentuknya secepat mungkin. Pada bulan Mei 1975, di seluruh Daerah Tingkat I dan sebagian Daerah Tingkat II Majelis Ulama sudah terbentuk, sedangkan di pusat dibentuk pula suatu Panitia Persiapan Musyawarah Nasional yang diketuai oleh H. Kafrawi, MA. Yang bertujuan menyiapkan materi kegiatan serta tema musyawarah. 2. Kewenangan dan Wilayah Fatwa MUI Dalam sebuah lembaga pastilah memiliki kewenangan, dalam hal ini MUI memiliki kewenangan dan wilayah, yaitu : 4 a. MUI
berwenang
menetapkan
fatwa
mengenai
masalah-masalah
keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah aqidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia. b. MUI
berwenang
menetapkan
fatwa
mengenai
masalah-masalah
keagamaan seperti tersebut pada nomor 1 yang menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang dapat meluas ke daerah lain. 4
Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Erlangga, Jakarta, 2011, hlm. 7-8.
18
c. Terdapat masalah yang telah ada Fatwa MUI, Majelis Ulama Indonesia Daerah hanya berhak melaksanakannya. d. Jika karena faktor-faktor tertentu fatwa MUI sebagaimana dimaksud nomor 3 tidak dapat dilaksanakan, MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi dengan MUI Pusat. e. Hal belum ada Fatwa MUI, MUI Daerah berwenang menetapkan fatwa. f. Khusus mengenai masalah-masalah yang sangat Musykil dan Sensitif sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapakan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan MUI Pusat. 3. Dasar Umum dan Sifat Fatwa Dasar umum dan sifat fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) adalah sebagai berikut:5 a. Penetapan fatwa didasarkan pada al Qur’an, Sunnah (hadits), Ijma’ dan Qiyas serta dalil-dalil yang mu’tabar. b. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh komisi fatwa. c. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. 4. Syarat Keputusan fatwa Dalam memutuskan suatu fatwa, MUI harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya :6 a. Setiap keputusan fatwa harus di tanfizkan setelah ditanda tangani oleh Dewan pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF). b. Surat keputusan fatwa harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat. c. Dalam surat keputusan fatwa harus dicantumkan alasan-alasannya disertai uarian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengembilannya. d. Setiap surat keputusan fatwa yang keluar harus sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan keluar yang diperlukann sebagai konsekuensi dari surat keputusan fatwa tersebut.
5 6
Ibid., hlm. 5. Ibid.
19
5. Metode Penetapan Fatwa Adapun metode penetapan fatwa MUI adalah sebagai berikut: a. Sebelum fatwa ditetapkan hendaknya ditinjau terlebih dahulu pendapat para Imam madzhab dan Ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut secara teliti dalil-dalilnya. b. Salah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya. c. Dalam masalah yang terjadi khilafiah di kalangan mazhab, maka: 1) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat-pendapat Ulama mazhab melalui metode al-jamu’ wa al-taufiq, dan 2) Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran. d. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya dikalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyas, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-zari’ah. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid al-syari’ah.7 6. Fatwa MUI Tentang Hukum Memerankan Nabi/ Rasul dan Orang Suci Dalam Film Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia setelah :8 MENGINGAT : a. Keputusan rapat Kerja Majelis Ulama Indonesia tanggal 24 rajab 1396 H/ 21 Juli 1976 M tentang film The Message yang berbunyi : 1) Menolak menggambarkan Nabi Muhammad dalam bentuk apapun, baik dalam gambar maupun dalam film.
7 8
Ibid., hlm. 5-6. Loc. Cit., Ma’ruf Amin, dkk, hlm. 342-343.
20
2) Apabila ada gambar atau film yang menampilkan Nabi Muhammad dan keluarganya, maka hendakanya pemerintah melarang gambar atau film semacam itu masuk dan beredar di wilayah Republik Indonesia. b. Hadis Nabi yang berbunyi :
(ﺎﺭﹺ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﻦ ﻣﻩﺪﻘﻌﺃﹾ ﻣﻮﺒﺘﺍ ﻓﹶﺎﻟﹾﻴّﺪﻤﻌﺘ ﻣﻠﹶﻲ ﻋ ﻛﹶﺬﹶﺏﻦﻣ Artinya : “Barangsiapa berdusta kepada saya dengan sengaja maka dipersilahkan untuk menempati tempat duduknya di api neraka.“ (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Adanya riwayat bahwa Nabi pada fath makkah (Penaklukan Mekah) memerintahkan untuk memecahkan/ menghancurkan gambar/ patung para nabi yang terdahulu yang terpajang di Ka’bah. d. Adanya Ijma’ Sukuti tentang tidak bolehnya melukis/ menggambar Nabi/Rasul. e. Kaidah Sadd az-Zari’ah (sebagai tindak preventif) untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama dan menjaga kemurnian Islam, baik segi akidah, akhlak, maupun syari’ah. MEMUSTUSKAN MENFATWAKAN : 1. Para Nabi/Rasul dan keluarganya haram divisualisasikan dalam film. 2. Untuk
menghindari
kesalahpahaman
tentang
pengertian
“Nur
Muhammad”, maka tidak dibenarkan menggunakan cahaya sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW. Ditetapkan : Jakarta, 17 Syawal 1408 H 2 Juni 1988 M DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA Ketua Umum
Sekretaris Umum
ttd KH. Hasan Bisri
ttd H.S Prodjokusumo
21
7. Pandangan Ulama dan Fatwa lain tentang Hukum memerankan Nabi/ Rasul dan Orang Suci dalam Film Menurut pakar tafsir Alquran, Quraish Shihab, terdapat ijma sukuti yang melarang siapa saja yang menggambar atau memerankan tokoh terbesar sepanjang sejarah manusia. Ijma sukuti adalah kesepakatan ulama di mana sebuah gagasan muncul dan semua menerima tanpa ada keberatan. Gagasan itu kemudian tersebar luas. Ijma termasuk dasar hukum Islam selain Alquran dan Sunnah. Quraish
Shihab
menjelaskan
larangan
menggambar
atau
memerankan Nabi Muhammad dengan alasan menghindari dampak buruk. Dia mencontohkan jika ada rupa nabi di koran, kemudian koran itu dibuang atau diinjak-injak. "Itu sama saja melecehkan Nabi Muhammad," kata beliau.9 Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyah Wal Ifta’ mengeluarkan fatwa nomor 4727, yang intinya menurut mereka (para Ulama dan Para Masyaikh) ketika ditanya tentang Hukum memerankan Nabi dan para pengikut Nabi adalah haram Al Lajnah Ad Daimah yang ikut menanda-tangani Fatwa tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Hudaiyan, Syaikh Abdurrozaq ‘Afifi, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai ketuanya, menyatakan bahwa hal seperti tersebut terlarang (haram), tidak bisa dibenarkan secara Syari’at. Dalam Fatwa nomor 2442 (ini mirip dengan yang sebelumnya), dinukil dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Majelis Permanen Untuk Pembahasan Ilmiyah), bahwa jawaban atas pertanyaan apa hukum memerankan Sahabat dalam persandiwaraan, sinetron, Televisi dst, adalah bahwa Allah SWT telah memuji terhadap para Sahabat dan menjelaskan kedudukan mereka yang tinggi di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan itu
9
www.merdeka.com, Senin, 24 September 2012. Diunduh pada tanggal 12 Agustus pukul 11.59 WIB.
22
tidak mungkin digambarkan dalam bentuk panggung sandiwara, sinetron atau film.10 Syekh ‘Atiyyah Saqr melalui kitabnya Ahsanul Kalam fi al-Fatawa wal Ahkam, Dar Ghad al-‘Arabi, Jilid 1 halaman 156 menyebutkan larangan meniru para nabi dalam akting maupun dalam lukisan. Beberapa alasannya akting atau lukisan tersebut tidak mungkin mutlak menyerupai sosok yang sebenarnya. Dengan meniru dan melukis sosok baginda Rasulullah SAW, seseorang justru jatuh dalam dusta yang mengatasnamakan Nabi Muhammad SAW. Jika lukisan yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad SAW ternyata lukisan yang buruk, akan memberi gambaran buruk kepada yang melihatnya. Pendapat ini dikuatkan oleh fatwa Syekh Hasanain Makhluf pada Mei 1950, Lujnah Fatwa Azhar bulan Juni 1968, Dewan Majma ‘Buhuth Islamiyah pada Februari 1972, dan Muktamar ke-8 Majma bulan Oktober 1977. Dar alIfta Mesir menambahkan, larangan ini karena Allah telah memelihara para rasul dan nabi tidak bisa ditiru oleh setan. Demikian juga, Allah memelihara para rasul dan nabi tidak bisa ditiru oleh manusia . Dewan Mufti Kerajaan Negeri Sembilan Malaysia mengeluarkan pendapat, masalah melukis saja dalam Islam sudah banyak khilafiyah. Ada ulama yang melarang melukis atau membuat patung makhluk yang bernyawa. Mereka mendasarkan pada hadis dari Ibnu Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Kepada mereka dikatakan, ‘Hidupkanlah apa yang kamu buat’." (HR Muttafaq ‘Alaih). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah membagi hukum gambar secara umum berdasarkan illat (sebabnya). Jika penggambaran itu untuk pemujaan dan penyembahan,
hukumnya
haram.
Bila untuk sarana
pembelajaran, hukumnya mubah. Jika untuk hiasan, hukumnya ada tiga t. Bila 10
Ahmad Rofi’i, “Hukum Tentang Film, Sinetron dan Lawak”, http://attaqwa.masjid.asia. Diunduh pada tanggal 12 Agustus pukul 12.45 WIB.
dalam
23
tidak menimbulkan fitnah maka hukumnya mubah; jika timbul fitnah kepada maksiat, hukumnya makruh. Bila fitnah kepada kemusyrikan, hukumnya haram. Jika melukis secara umum terdapat khilafiyah, melukis wajah Nabi SAW dikhawatirkan akan mendatangkan madharat lebih besar. Dalam kaidah fikih menghindari madharat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Hikmah dari larangan ini, yaitu menjaga kemurnian akidah umat Islam. Dengan tidak adanya lukisan sosok Nabi, tidak akan terjadi pengultusan yang berlebihan terhadap beliau SAW. Pengultusan yang berlebihan dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang kepada pemujaan kepada Nabi SAW melebihi pemujaan terhadap Allah SWT. Nabi SAW sendiri dalam beberapa riwayat mengingatkan agar seseorang tidak memasang gambar orang-orang saleh yang sudah meninggal. Menurut Lembaga Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi, banyak kejadian yang menjadikan gambar orang-orang saleh tersebut sebagai sarana peribadatan. 11
B. Film 1. Pengertian dan Sejarah Film Film (movie) atau sinema adalah salah satu bentuk teknologi audiovisual. Hampir semua ide, gagasan, pesan, atau kejadian apapun sudah dapat dibuat dan ditayangkan dengan menggunakan teknologi audiovisual gerak ini. Baik hal-hal nyata yang ada di sekitar manusia (dokumentatif), hingga pada hal-hal fiktif yang berasal dari imajinasinya. Sebagai suatu karya teknologi, film atau sinema dapat dipandang dalam dua hal yaitu dari segi fisik dan non fisik. Secara fisik, film banyak dipengaruhi oleh penemuan dan kemajuan dari perpaduan teknologi optik (lensa), mekanik, kimia (seluloide), elektromagnetik, laser, sampai teknologi digital. Hal ini tampak pada wujud teknologi perekaman maupun penyajiannya. Sedangkan dari segi non fisik atau isi cerita, film 11
www.republika.co.id, 25 Juni 2015. Diunduh pada tanggal 12 Agustus pukul 12.34 WIB.
24
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor perkembangan budaya baik dari unsur pola atau kerangka pikir (paradigma), ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, maupun perpaduan berbagai bentuk seni yang ada di dalamnya. 12 Mengacu pada Undang-undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang dimaksud dengan : (1) “Film adalah karya Cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan/atau lainnya”. (2) “Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan dan atau penayangan film”.13 Ketika terjadi pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965, perfilman di Indonesia berada dalam keadaan yang sangat kritis. Semboyan-semboyan yang didengungkan oleh golongan PKI dan antek-anteknya, seperti “Kontrev”
(Kontra
revolusi),
“Antek-antek
Imperialis”,
“Kabir”
(Kapasitas birokrat), dan sebagainya. Cukup mengerikan para produser Indonesia yang anti komunis. Sedangkan mereka yang berpihak kepada komunis (Lekra) tidak sanggup membuat film, karena tidak laku di pasaran. Barulah setelah berdirinya Pemerintahan Orde Baru (Orba) sesudah tahun 1968 perfilman di Indonesia kembali
beringsut
memperlihatkan dirinya. Produksi film Indonesia secara lambat mulai kelihatan satu demi satu. Film impor boleh dikatakan masih sepi, tetapi sudah berangsur-angsur mengisi pasaran.14
12
Estu Miyarso, Developing of Interactive Multimedia for the Study of Cinematography, Thesis, State University of Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 1. 13 Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, Program Induk Pengembangan Perfilman Nasional, CV. INHIL JAYA, Jakarta, 2009, hlm. 3. 14 . Amura, Perfilman di Indonesia Dalam Era Orde Baru, Lembaga Komunikasi Massa Islam Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 1.
25
Akibat Gerakan 30 September (G-30-S-PKI) dalam dunia perfilman di Indonesia sangat terasa. Sampai tahun 1972 kelihatan sekali kelesuan terhadap film nasional. Produksi film nasional dari tahun 1968 sampai 1970 bergerak pelan sekali dengan perbandingan 1968 : 6 buah; 1969 : 10 buah dan 1970 17 buah. Mulai tahun 1971 grafik itu mulai menanjak dengan angka 54 buah dan 1972 : 55 buah.15 Film yang laris dapat mencerminkan realitas sosial. Siapakah massa penonton film-film Indonesia. Sampai seberapa tinggi tingkatan budaya mereka. Dalam banyak hal mudah dimaklumi, film asal jadi diproduksi atas permintaan pasar. Dengan catatan mutu film dikesampingkan. Mengejar jumlah. Itulah sebabnya, dari waktu ke waktu perfilman Indonesia ditandai dengan tema musiman. Dari sisi lain, realitas sosial itu dapat bersifat semu, karena film dengan keampuhannya sanggup menggiring selera massa, terutama nafsu rendah manusia. Begitu menggairahkan, suatu dunia khayali yang oleh peradaban yang dihalalkan adanya. Tidak seperti orang mengisap candu yang akan diuber-uber polisi. Membeli mimpi dalam arti sebenarnya, yang juga menerbitkan efek ketagihan. Pendekatan pada penonton akan membuahkan pengertian yang lebih baik mengenai tingkatan budaya mereka, kondisi apa yang mendorong mereka begitu pasif dalam menilai atau memilih film. Dengan kata lain, diperlukan pendekatan sosiologis untuk menilai massa konsumen.16 Posisi perfilman di negeri ini tidak jauh berbeda dengan posisi media massa lain : koran, majalah, televisi, radio, menurut kacamata penguasa. Bedanya, film lebih menonjol atau ditonjolkan karena memang nikmat untuk digunjingkan.17
15
Ibid. Marselli Sumarno, Suatu Sketsa Perfilman Indonesia, Lembaga Studi Film, Jakarta, 1994, hlm. 24. 17 Ibid., hlm. 26. 16
26
2. Jenis-jenis Film Adapun jenis-jenis film yang biasanya diproduksi untuk berbagai keperluan yaitu :18 a. Film Dokumenter Film ini menyajikan realita melalui berbagi cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namin, harus diakui film dokumenter tak pernah lepas dari tujuannya, yakni penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Film dokumenter banyak kita saksikan di televisi, seperti National Geographic atau Animal Planet. b. Film Cerita Pendek (Short Film) Film ini biasanya berdurasi di bawah 60 menit dan seringkali dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau perorangan maupun kelompok yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Namun, tak terlepas kemungkinan jenis film ini memang sengaja dibuat untuk dipasok ke rumah rumah produksi atau saluran televisi. c. Film Cerita Panjang (Feature-Length Film) Film dengan durasi sekitar 90 hingga 100 menit ini umumnya diputar di bioskop. Namun, tak tertutup kemungkinan ada juga film-film India yang bisa memakan waktu hingga 180 menit. d. Film-film Jenis Lain (Corporate Profile) Film jenis ini biasanya dibuat untuk kepentingan atauinstitusi tertentu berkaitan dengan kegiatan yang merka lakukan. Biasanya digunakan sebagai alat bantu untuk presentasi. e. Iklan Televisi (TV Commercial) Film ini dibuat untuk penyebaran informasi tentang suatu produk ataupun layanan masyarakat/ Public Service Area (PSA).
18
Fitryan G. Dennis, Bekerja Sebagai Sutradara, Erlangga, Jakarta, 2008, hlm. 16.
27
f. ProgramTelevisi (TV Programme) Film ini dibuat untuk dikonsumsi para penonton televisi. Secara umum terbagi dua, yakni fiksi dan non fiksi. g. Video Klip (Music Video) Video klip merupakan sarana bagi para produser musik untuk memasarkan produknya lewat medium televisi.
C. Nahdlatul Ulama 1. Pengertian Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama yang memiliki kesamaan wawasan keagamaan, yaitu wawasan haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Jam’iyah ini didirikan untuk menjadi tempat mempersatu diri dan langkah di dalam melakukan tugas memelihara, melestariakn, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam ala ahlussunnah Wal Jamaah itu.19 Para Ulama pendiri NU dan hampir semua ulama yang kemudian ikut bergabung di dalamnya adalah para ulama pengasuh pesantren yang bukan saja menjadi panutan para santrinya, tetapi juga menjadi panutan kaum muslimin di lingkungannya masing-masing. Langkah para ulama itu diikuti oleh para santrinya, bukan saja yang masih berada di pesantren tetapi terutama oleh santri yang sudah tersebar luas di seluruh masyarakat dengan kedudukannya masing-masing.20 Setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah 19 20
Wal
Jamaah.
Kedua
Loc. Cit., Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS, hlm. 159. Ibid., hlm. 159-160.
kitab
tersebut
kemudian
28
diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.21 Istilah “Ahlussunnah waljama’ah” diambil dari kata-kata : ahlun artinya keluarga, famili ; sunnah artinya jalan, tabi’at, perkehidupan ; jama’ah artinya sekumpulan. Kemudian kita kenal istilah “Ahlussunnah” yang artinya penganut sunnah Nabi Muhammad SAW; dan istilah “Jama’ah” artinya penganut i’tiqod sahabt-sahabat Nabi. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Muhammad bin Husni Az Zabidi, yang dicantumkan dalam karangannya “Ihtihaf Sadatul Muttaqin, sarah Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghozali, dinyatakan sebagai berikut :
ﺔﻳﺮﹺﺩﺍﹾﳌﹶﺎﺗ ﻭﺓﺮﺎﻋ ﺍﹾﻻﹶﺷ ﺑﹺﻬﹺﻢﺍﺩﺮ ﻓﹶﺎﻟﹾﻤﺔﺎﻋﻤﺍﻟﹾﺠ ﻭﺔﻨﻞﹸ ﺍﻟﺴ ﺍﹶﻫﻖﺫﹶﺍ ﺍﹸﻃﹾﻠﺍ Artinya : Apabila disebut kaum Ahlussunnah Waljama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Al-Maturidli.22 Kata al-Sunnah mengandung dua makna ; pertama, berarti thariqah atau cara, yaitu cara yang ditempuh para sahabat dalam menerim ayat-ayat mutasyabihat, dengan menyerahkan sepenuhnya maksud ayat-ayat itu kepada ilmu Allah tanpa berusaha menakwilkannya. Kedua, berarti alHadits, sehingga yang dimaksud ialah mereka percaya dan menerima hadits shahih tanpa menggali maksudnya secara mendalam seperti yang dilakukan Mu’tazilah. Abu al-Muzaffar al-Isfaraini (471 H) menukilkan “bahwa keistimewaan Ahl al-Sunnah ialah : ﺔﺎﺑﺤﺍﻟﺼﻝﹺ ﻭﻮﺳﻦﹺ ﺍﻟﺮﺍﹾﻻﹶ ﺛﹶﺎﺭﹺ ﻋﺎﺭﹺ ﻭﺒﻘﹾﻞﹸ ﺍﹾﻻﹶﺧﻧ (Mengambil sumber berita hanya dari Rasul dan para sahabat).23 Ditambahkan kata al-Jama’ah di belakang kata Sunnah ialah karena mereka selalu menyandarkan pendapat atau berdalil dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah, Ijma’ dan Qiyas. Di samping itu, mereka tak pernah
21
www.nu.or.id. Diunduh pada tanggal 25 Nopember 2015 pukul 19.01 WIB. Amin Ali, Ahlussunnah Waljama’ah dan Unsur-Unsur Pokok Ajarannya, CV. Wicaksana, Semarang, t.t., hlm. 42. 23 Nukman Abbas, Al-Asy’ari (874-935 M) ; Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, Erlangga, 2006, hlm. 92. 22
29
saling mengkafirkan. Bahkan mereka berpendapat bahwa merekalah alfirqah al-Najiyah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah ;
ﺔﹸﺠﹺﻴﻠﻗﹶﺔﹶ ﺍﻟﻨﺮﺎ ﺍﹶﻟﻔﺍﻫﺪ ﺇﹺﺣ،ﻗﹶﺔﹰﺮ ﻓﻦﻴﻌﺒﺳ ﻭﻠﹶﻰ ﺛﹶﻼﹶﺙ ﻋﻲﺘ ﺃﹸﻣﻖﻔﹶﻔﹾﺮﹺﻳﺳ Artinya : “Umatku akan terpecah menjadi 73 firqah (kelompok). Hanya satu firqah (kelompok) di antaranya yang akan terlepas (dari murka Allah).24 2. Unsur-unsur Pokok Ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Adapun unsur-unsur pokok ajaran Ahlussunnah Waljama’ah sebagai berikut : a. Menetapkan kenyataan-kenyataan bukti dan pengetahuan. 1) Qadim. 2) Hadits, yang dibagi menjadi : a) Hadits Badihi b) Hadits Hissi c) Hadits Istidlali. Ada pula yang membagi pengetahuan itu dengan kategori: 1) Pengetahuan hasil pikiran manusia, yaitu : a) Pengetahuan Indra. b) Pengetahuan ilmu yang diperoleh dengan pikiran secara sistematik dan radikal disertai dengan riset. c) Pengetahuan filsafat, yaitu pemikiran pada sesuatu secara sistematik, radikal dan universil. 2) Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan Pencipta Manusia dan Alam. b. Menetapkan sesuatauyang baru jadi, yaitu bahwa Alam ini baru jadi dalam seluruh bagian-bagiannya. c. Menetapkan pula ada pembuat , yaitu bahwa semua yang baru jadi ini pasti ada pembuatannya, yaitu Allah SWT Tuhan semesta alam. d. Menetapkan pula sifat-sifat azali yang ada pada Allah.
24
Ibid.
30
e. Mengenal sumber pengambilan nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu Attauqiefu. Tugasnya : Keadaan yang belum diperoleh kepastian tentang ketentuan apa yang akan terjadi. Karena menunggu keterangan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Atau Ijma’ Ulama Salaf. f. Mengenal keadilan Allah dan kebijaksanaan-Nya. g. Mengenal bahwa kerisalahan para Rasul itu dari Allah kepada makhluk-Nya yang menghendaki. h. Mengenal bahwa mu’jizat nabi-nabi dan keramat wali-wali itu suatu perkara yang tampak keluar berbeda dengan adat-istiadat kebiasaan. i.
Mengenal bahwa agama Islam itu terbina atas lima rukun.
j.
Mengenal hukum-hukum perintah Tuhan, hukum-hukum pencegahanNya dan hukum taklif.
k. Mengenal bahwa semua manusia dan hukum-hukumnya itu hancur pada hari kiamat. l.
Mengenal bahwa kekhalifahan dan Imamah itu fardhu, wajib ditegakkan atau ditetapkan demi untuk kemaslahatan umat manusia.
m. Mengenal bahwa pokok Iman itu mengenal Allah dan hati membenarkan dan menerimanya. n. Mengenal tingkatan wali dan Imamah, dan tingkatan malaikat itu ma’shum, dan tingkatan nabi-nabi pun ma’shum pula. o. Mengenal hukum-hukum selain kepercayaan Islam, baik mereka itu orang kafir mampu pengikut suasana nafsu yang sesat. Itulah garis besar Unsur-unsur pokok Agama Islam yang disepakati oleh Ahli Sunnah Wal Jamaah.25 3. Faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dianut Nahdlatul Ulama Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyyah yang berakidah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qanun Asasi , pendiri jam’iyah NU KHM. Hasyim Asy’ari menegaskan : “Wahai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan pengikut madzhab imam empat. Kalian sudah 25
Amin Ali, Op. Cit., hlm. 77-78.
31
menuntut ilmu agama dan orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian; dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan yang demikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. oleh karena itu, janganlah memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!”. 26 Bagi NU, landasan Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah (perkataan, perbuatan, dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama. NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an maupun matan Hadis dengan baik. Di sinilah peran para ulama, yang sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah SAW, diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.27 Dalam menggunakan landasan tersebut, ada tiga cirri utama Ahlus Sunnah yang dianut NU. Pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis) dengan pengertian dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli. Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musryrik, kufur, dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya. Dalam pengambilan hukum suatu masalah, NU membolehkan Ilhaq (Ilhaqul masail bi nadlairiha), yakni menyamakan hokum suatu masalah yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang telah dijawab 26
Chotibul Umam, et. All, Faham Ahlus Sunnah Waljama’ah, PP Lakpesdam NU, Jakarta, 2009, hlm., 51. 27 Ibid., hlm. 52.
32
oleh kitab. Ilhaq dilakukan secara jama’i, dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul haq oleh para mulhiq yang ahli. Dalam hal tidak mungkin dilakukan ilhaq karena ketiadaan mulhaq bih dan wajhul haq, maka diakukan istinbath secara jama’i.28 Ada lima pendapat Al-Asy’ari yang menjadi pegangan NU dalam tauhid. Pertama, karena Al-Qur’an adalah firman Allah maka dengan sendirinya bersifat kekal. Kedua, ungkapan antropomorfis tentang Allah, seperti “tangan Allah di atas tangan mereka”, harus diterima seadanya tanpa perlu diartikan secara kiasan. Ketiga, tentang akhirat harus diterima seadanya. Keempat, Allah menciptakan perbuatan manusia tetapi manusia memperolehnya, karena itu manusia bertanggungjawab atas perbuatannya. Kelima, seorang muslim yang melakukan dosa besar tetap seorang mukmin, tetapi karena dosa besarnya itu ia menjadi fasiq.29 4. Organisasi NU Adapun struktur Organisasi Nahdlatul Ulama yaitu : a. Pengurus Besar (tingkat Pusat) b. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi) c. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) d. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan) e. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan) Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari: a. Mustasyar (Penasehat) b. Syuriah (Pimpinan Tertinggi) c. Tanfidziyah (Pelaksana Harian) Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari: b. Syuriaah (Pimpinan tertinggi) c. Tanfidziyah (Pelaksana harian). 30
28
Ibid., hlm. 53. Ibid., hlm. 54. 30 Op. Cit., www.nu.or.id. Diunduh pada tanggal 25 Nopember 2015 pukul 19.01 WIB. 29
33
D. Muhammadiyah 1. Sejarah Lahirnya Muhammadiyah Pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijah 1330 Hijriyah) Kiai Haji
Ahmad
Dahlan
mendirikan
sebuah
organisasi
bernama
“MUHAMMADIYAH” di Yogyakarta. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal
Belanda
pada
22
Agustus
1914.
Dalam
”Statuten
Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. 31 Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. 32 Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang 31 32
www.muhammadiyah.or.id. Diunduh pada tanggal 25 Nopember 2015 pukul 20.29 WIB. Ibid.
34
didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.33 Kiai Haji Ahmad Dahlan menemukan jalan terobosan membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia dari kebodohannya, dengan membangun organisasi sosial pendidikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Kebangkitan ini mempunyai dampak yang luas, sehingga menggerakkan lahirnya organisasi sejenis dari kalangan umat Islam : Persyarikatan Ulama di Masjalengka (1915), Persatuan Islam di Bandung (1923), Nahdlatul Ulama di Surabaya (1926), dan Al-Wasliyah di Medan (1930). Organisasi pendukungnya bermunculan lima tahun kemudian (1917), Nurul Iman Pekalongan, Al-Hidayah di Garut, Shiddiq Amanah Tabligh Fatonah di Surakarta, Al-Munir dan Shirathal Mustaqim di Ujung pandang, serta Sendi Agama Tiang Selamat di Sumatra Barat.34 K.H. Ahmad Dahlan terlahir 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Barulah sepulang menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan. Kauman, kampung kelahirannya unik karena nilai historisnya. Sebagaimana area kauman di kota-kota di Jawa Tengah, kampung Kauman di Yogyakarta juga terletak di sekitar Masjid Besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepatnya di sisi Barat Alun-alun 33
Ibid. Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Mirzan Anggota IKAPI, Bandung, 1995, hlm. 216. 34
35
Utara. K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan dari ibu bernama Siti Aminah dan ayahnya K.H. Abu Bakar. Ayahnya adalah pejabat agama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu sebagai Imam dan Khatib Masjid Besar Kraton.35 2. Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan Menurut K.H. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembaharuan umat. Mereka hendaknya dididik agar cerdas, kritis dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetadinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajuan umat Islam adalah kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensip dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horisontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai abd Allah (hamba Allah), dan khalifah fi al-ardli (pemimpin di bumi).36 Dengan demikian cita-cita K.H. Ahmad Dahlan adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini, masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunnah Muhammad SAW. Yang menjadi ciri khas gerakan sunnah Muhammad SAW ini adalah membangun dan memberdayakan masyarakat. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana 35
Masdi, Menyingkap Tabir Perbedaan Pemikiran Teologis K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari, STAIN KUDUS dan Idea Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 36. 36 Ibid., hlm. 42.
36
yang dijalankan Muhammad SAW (Sunnah). Sehingga ajaran Islam itu bisa dirasakan terasa simpatik, menyenagkan, dan menggembirakan, bukan menimbulkan anti pati, menyusahkan dan menakutkan masyarakat yang belum faham. Karena itulah usaha yang dijalankan K.H. Ahmad Dahlan bukanlah diartikan organisasi, tapi sebagai gerakan bernama Persyarekatan Muhammadiyah. Muhammadiyah itu sebagai Gerakan Islam artinya yang mendukung pikiran dan ide Muhammadiyah itu sekedar orang-orang yang jadi anggota Muhammad lazimnya organisasi. Tapi yang mendukung gerakan Muhammadiyah adalah selain anggota, juga banyak yang bukan anggota organisasi Muhammadiyah. Inilah salah satu rahasia kenapa Muhammadiyah itu ide dan amalannya lebih besar dari organisasi Muhammadiyah atau jumlah anggotanya itu sendiri yang menurut catatan resmi tahun 2000, tercatat sekitar 700 ribu orang. 37 3. Organisasi Muhammadiyah a. Jaringan Kelembagaan Muhammadiyah: 1) Pimpinan Pusat 2) Pimpinaan Wilayah 3) Pimpinaan Daerah 4) Pimpinan Cabang 5) Pimpinan Ranting 6) Jama'ah Muhammadiyah b. Pembantu Pimpinan Persyarikatan 1) Majelis a) Majelis Tarjih dan Tajdid b) Majelis Tabligh c) Majelis Pendidikan Tinggi d) Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah e) Majelis Pendidikan Kader f)
Majelis Pelayanan Sosial
g) Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan 37
Ibid., hlm. 152.
37
h) Majelis Pemberdayaan Masyarakat i)
Majelis Pembina Kesehatan Umum
j)
Majelis Pustaka dan Informasi
k) Majelis Lingkungan Hidup l)
Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
m) Majelis Wakaf dan Kehartabendaan 2) Lembaga a) Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting b) Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan c) Lembaga Penelitian dan Pengembangan d) Lembaga Penanganan Bencana e) Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqqoh f)
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
g) Lembaga Seni Budaya dan Olahraga h) Lembaga Hubungan dan Kerjasama International c. Organisasi Otonom 1) Aisyiyah 2) Pemuda Muhammadiyah 3) Nasyiyatul Aisyiyah 4) Ikatan Pelajar Muhammadiyah 5) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 6) Hizbul Wathan 7) Tapak Suci. 38
E. Syi’ah 1. Pengertian dan Sejarah Syi’ah Kata “Syi’ah” menurut bahasa adalah pendukung atau pembela. Syi’ah ‘Ali adalah pendukung atau pembela ‘Ali. Syi’ah Mu’awiyah adalah pendukung Mu’awiyah. Pada zaman Abu Bakar, Umar dan Ustman kata 38
Op. Cit., www.muhammadiyah.or.id. Diunduh pada tanggal 25 Nopember 2015 pukul 20.29 WIB.
38
Syi’ah dalam arti nama kelompok orang Islam belum dikenal. Kalau pada saat pemilihan Khalifah ke-tiga ada yang mendukung ‘Ali, tetapi setelah ummat Islam memutuskan memilih Ustman bin Affan, maka orang-orang yang tadinya mendukung ‘Ali akhirnya berbai’at kepada Ustman termasuk ‘Ali. Jadi belum terbentuk secara faktual kelompok ummat Islam bernama “Syi’ah” . Maka ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara ‘Ali dan Mu’awiyah barulah kata “Syi’ah” muncul sebagai nama kelompok ummat Islam. Tetapi bukan hanya pendukung ‘Ali yang disebut Syi’ah, namun pendukung Mu’awiyah pun disebut Syi’ah, jadi ada Syi’ah Ali, dan ada Syi’ah Mu’awiyah. Hal itu tercantum dalam naskah perjanjian melaksanakan TAHKIM, di mana disitu diterangkan bahwa apabila orang yang ditentukan dalam pelaksanaan tahkim itu berhalangan, maka diisi dengan orang dari Syi’ah masing-masing.39 Tetapi Syi’ah pada waktu itu, baik Syi’ah ‘Ali maupun Syi’ah Mu’awiyah semuanya Ahlussunnah Waljama’ah. Karena Syi’ah pada waktu itu hanya berarti pendukung dan pembela. Adapun aqidah dan pahamnya, kedua belah pihak sama karena bersumber dari Kitabullah, AlQur’an dan Sunnah Rasullullah. Sehingga ‘Ali pun memberikan penjelasan
kepada
pengikutnya
tentang
peperangannya
dengan
Mu’awiyah, bahwa peperangan itu semata-mata berdasarkan ijtihad. Kita (‘Ali dan pengikutnya) berkeyakinan, bahwa kitalah yang benar/haq dan Mu’awiyah yang salah, karena memberontak pemerintahan yang sah. Sebaliknya Mu’awiyah pun berkeyakinan bahwa dialah yang benar, dan kita yang salah (karena tuntutannya untuk menghukum pembunuh Utsman belum bisa di laksanakan). Maka karena itu ‘Ali menshalati jenazah korban perang dari kedua belah pihak. Selanjutnya Syi’ah mengalami perkembangan dan bahkan perpecahan, terutama ketika imam mereka meninggal dunia. Dan semakin jauh perpecahan mereka, semakin banyak pula ajaran dan faham baru, dimana tidak jarang ajaran Syi’ah dalam suatu 39
Umar Abduh, Kirtos Away, Mengapa Kita Menolak Syi’ah ; Kumpulan Makalah Seminar Nasional Sehari Tentang Syi’ah, Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Jakarta, 1998, hlm. 3.
39
periode bertentangan dengan ajaran mereka pada periode sebelumnya. Karena setiap imam memberikan ajaran, dimana perkataan Imam bagi Syi’ah adalah Hadits, sama dengan sabda Rasulullah SAW, bahkan ada yang beranggapan perkataan Imam adalah sama dengan perkataan Allah, maka perpecahan Syi’ah dari masa kemasa semakin banyak sehingga menurut Al-Muqrizy bahwa jumlah firqah Syi’ah mencapai 300 firqah.40 Tetapi di samping fakta bahwa Abu Bakar telah dipilih sebagai khalifah, terdapat desas-desus bahwa sesungguhnya Ali-lah yang berhak menjadi khalifah. Kecenderungan kepada Ali mungkin didasarkan atas penilaian orang terhadap sifat-sifat Ali, khususnya keberaniannya dalam peperangan,
atau keakrabannya kepada
Rasulullah sebagai anak
pamannya, dan kemudian sebagai menantunya yang dikaruniai Allah dua cucu lelaki Hasan dan Husein. Kecenderungan itu kemudian bertambah, ketika Usman ibn Affan menjadi khalifah ketiga dan kurang berhasil mengemudikan negara secara efisien, dan berakibat dengan terbunuhnya Usman. Simpati terhadap Ali juga bertambah ketika Ali diangkat sebagai khalifah keempat dan menghadapi negara yang berada dalam keadaan krisis serta wibawa yang telah lama diremehkan oleh Muawiyah ibn Abi Sofyan yang menjadi Gubernur Syiria.41 Pendapat Syi’ah seputar masalah imamah adalah mereka meyakini bahwa imamah akan berdiri di atas pilihan dan ketetepan Allah Swt. Mereka
percaya
bahwa
imamah
adalah
perpanjangan
kenabian.
Penentuannya sebagaimana penentuan nabi, yaitu berada sepenuhnya pada ketentuan Allah Swt. Dalam rangka pembuktian, Syi’ah memiliki banyak dalil pasti dari akal, al-Qur’an dan Sunnah yang dipaparkan dalam teologi, tafsir dan hadis. Syi’ah meyakini bahwa atas perintah Allah Swt, Nabi Saw telah memilih Imam dan khalifah setekah ketiadaannya. Masalah ini telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis.42 40
Ibid., hlm. 3-4. Rasjidi, Apa itu Syi’ah, Media Da’wah, Jakarta, 1996, hlm. 5. 42 Reza Qardan, Imamah dan Dalil Kemaksuman : Tafsir al-Qur’an Tematis, Nur Al-Huda, Jakarta, 2015, hlm. 12. 41
40
2. Sekte-sekte Syi’ah Munculnya sekte-sekte Syi’ah, bermula dari masalah imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu belum ada di antara putraputranya yang mencapai usia dewasa. Rupanya kaum Syi’ah sulit menghindari perpecahan, karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham. Antara lain :43 a. Syi’ah Kaisaniyyah Golongan ini berpendapat bahwa jabatan imam sesudah Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi. Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah Ahmad, bahwa Ali ibn Abi Thalib meminta kehadiran Muhammad, saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada putra-putranya. Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat baik dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu, kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua saudaranya menerima wasiat Ali tersebut, menunjukan bahwa dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam. Pendiri golongan ini adalah Kaisan bekas budak Ali, ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi Ubaid, sehingga golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah. Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat dikatakan sebagai sekte Syi’ah yang tertua. Mereka mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah, dengan dalih membela hakhak kaum tertindas. b. Syi’ah Zaidiyyah Golongan ini berpendapat bahwa mengangkat imam yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa Husain 43
Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 28-33.
41
telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang putranya untuk dibai’at. Oleh karena itu, mereka bersikap menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putra keturunan Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan kezuhudan, keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat senjata terhadap penguasa yang zalim. Oleh karenanya
golongan
ini
disebut
dengan al-Waqifah.
Mereka
menghentikan aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai bangkitnya Zaid ibn Ali ibn Husain di Kufah yang memberontak kepada Hisyam ibn Abd al-Malik dari dinasti Umayyah. c. Syi’ah Imamiyah Golongan ini memandang bahwa keimanan harus berada di tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka, dan keimanan harus melalui nas dari imam baik yang dikenal maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat putra Husain yang belum dewasa sebagai imam. Menurut paham Imamiyah, manusia sepanjang masa tidak boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan keduniaan selalu
membutuhkan
bimbingan para
imam.
Bahkan
mereka
mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam, melainkan menentukan
seorang
imam.
Kebangkitannya
adalah
untuk
melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan. Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang mengakibatkan perpecahan. Para ulama Syi’ah Imamiyah memberikan dalil-dalil berupa ayat-ayat dari al-Qur’an dan perkataan-perkataan dari Ahlul Bait semoga kesejahteraan senantiasa tercurah kepada mereka mengenai mustahilnya melihat Allah di dunia dan di akhirat. Dan di antara dalilnya sebagai berikut :
42
Artinya : “Dia tidak dapat diapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. 44 Di samping itu, ada juga dalil lain, yaitu firman Allah Swt. Kepada Nabi Musa As. Ketika beliau memohon untuk dapat melihat Dzat-Nya yang Sui setelah mendapatkan desakan orang- orang bodoh dari kaumnya. Allah Swt berfirman kepada beliau :
ﺍﱏﺮﺘﻟﹶﻨ. Huruf ﻟﹶﻦ
dalam bahasa Arab berfungsi untuk mempertegas betapa sangat tidak mungkinnya melihat Allah baik di dunia maupun di akhirat.45 Dialog antara keduanya (Allah dan Musa) tergambar di dalam ayat berikut :
Artinya : “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau . Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) nisaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hanur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman”. 46 44
Al-Qur’an Surat Al-An’am Ayat 103, Yayasan Penyelenggara Penafsir/Penterjemah, AlQur’an dan Terjemahnya,Depag RI, 2006, hlm. 204. 45 Muhammad Jawad Al Khars, Tauhid Dalam Pandangan Syi’ah Imamiyah, Yayasan Aalulbayt As, Jakarta Selatan, 2014, hlm. 42-43. 46 Al-Qur’an Surat Al-A’raf : 143, , Yayasan Penyelenggara Penafsir/Penterjemah, AlQur’an dan Terjemahnya,Depag RI, 2006, hlm. 243.
43
Para
pengikut
Syi’ah
Imamiyah
selalu
menghaturkan
penghormatan dengan pemaknaan yang sebenarnya kepada para keturunan nabi yang mulia, Muhammad Saw., sebagai jawaban atas pesan-pesan Ilahiyah yang termaktub di dalam kitab suci Allah Swt. Dia berfirman:
Artinya : “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.”47 Nabi Muhammad Saw bersabda ,
ﺎ ﺑﹺﻬﹺﻤﻢﻜﹾﺘﺴﻤﺘﺎﺇﹺﻧﻰ ﻣﺘﻴﻞﹸ ﺑﻰ ﺃﹶﻫﺗﺮﺘﻋ ﺍﷲِ ﻭﺎﺏﺘﻦﹺ ﻛﻠﹶﻴ ﺍﹶﻟﺜﱠﻘﻜﹸﻢﻴ ﻓﻠﱠﻒﺨﱏ ﻣﺍ ﺍﺪﻯ ﺃﹶﺑﺪﻌﺍ ﺑﻠﱡﻮﻀ ﺗﻟﹶﻦ Artinya : “Aku telah mewariskan untuk kalian atas dua hal, yaitu Kitab Suci dan keturunanku, Ahlul Bait. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan pernah tersesat setelahku selamanya”. Syi’ah Imamiyah merespon seruan-seruan tersebut dengan memberikan pengakuan bahwa para keturunan beliau yang suci dan orang-orang yang berjalan di jalan mereka tidak akan membawa siapapun
yang
mengikuti
mereka
kecuali
kepada
kebaikan,
keberhasilan, dan kemenangan di dunia dan akhirat. Mereka pantas mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw, lebih-lebih karena mereka di dalam perilaku mereka terkandung keikhlasan dan kesungguhan niat guna mengibarkan panji syari’at Allah Swt. Selain itu, mereka juga rela mengorbankan hal-hal paling berharga yang mereka miliki, bahkan jiwa mereka yang suci, untuk
47
Al-Qur’an Surat Asy-Syu’ara Ayat 23, Yayasan Penyelenggara Penafsir/Penterjemah, AlQur’an dan Terjemahnya,Depag RI, 2006, hlm. 787.
44
menyebarkan ahaya Allah di seluruh penjuru bumi. Tidak sedikit dari mereka yang terbunuh karena pedang atau racun.48 Syi’ah Imamiyah sangat mencintai dan menghormati para keturunan dan keluarga Nabi Saw. Hal ini mereka tunjukkan dengan melakukan praktik-praktik sulukiyah khusus sebagai bentuk kesetiaan mereka terhadap Ahlul Bait dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga mereka dapat meraih kebahagiaan dan kemenangan di dunia dan akhirat. Di antara praktik-praktik sulukiyyah tersebut yang menjadi bukti kecintaan dan penghormatan mereka terhadap Ahlul Bait yang ma’shum semoga kesejahteraan senantiasa tercurah kepada mereka adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Ahlul Bait as dan menghidupkan acara peringatan lahir dan wafatnya Ahlul Bait as. Maksud dari menghidupkan acara peringatan lahir dan wafatnya Ahlul Bait as adalah salah salah satu
bentuk
kecintaan dan penghormatan kepada individu-individu Ahlul Bait yang suci, perayaan peringatan semuanya bertujuan untuk mengabadikan ingatan kepada Ahlul Bait as dan mengingatkan manusia akan perjalanan hidup Ahlul Bait as yang bersih dari segala dosa dan kemaksiatan, sehingga bisa menjadi obor yang menerangi generasigenerasi masa kini dalam menapaki jalan penghambaan kepada Allah Swt. 49 3. Syi’ah di Indonesia Perkembangan Syiah di Indonesia melalui empat tahap gelombang, yaitu: 50 a. Pertama, bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia
yaitu
melalui para penyebar Islam awal dari orang-orang persia yang tinggal di Gujarat. Syiah pertama kali datang ke Aceh. Raja pertama Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di Aceh, Marah Silu, adalah memeluk 48
Loc. Cit., Muhammad Jawad Al Khars, hlm. 52-53. Ibid., hlm. 54-56. 50 Moh Hasim, Syiah: Sejarah Timbul Dan Perkembangannya Di Indonesia, Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Semarang, Semarang, 2012, hlm. 154-156. 49
45
Islam versi Syiah dengan memakai gelar Malikul Saleh. Penyebaran Syiah di Aceh juga ditunjang oleh tokoh-tokoh ulama terkemuka Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin bin Abdullah as Samatrani, Nuruddinar-Raniry, Burhanuddin, dan Ismail bin Abdulla. Akan tetapi pada zaman Sultan Iskandar Tsani, kekuasaan kerajaan di Aceh dipegang oleh ulama Ahli Sunnah (Sunni), sehingga sejak saat itu kelompok Syiah tidak lagi menampakkan diri, memilih berdakwah secara taqiyah. b. Kedua, setelah revolusi Islam di Iran pada 1979. Ketika itu orang Syiah mendadak punya negara, yaitu Iran. Sejak kemenangan Syiah pada Revolusi Iran, muncul simpati yang besar di kalangan aktivis muda Islam di berbaga kota terhadap Syiah. Figur Ayatullah Khomeini menjadi idola di kalangan aktivis pemuda Islam. Buku-buku tulisan Ali Syari’ati, seperti buku Tugas Cendekiawan Muslim menjadi salah satu “inspirator” Revolusi Iran, dibaca dengan penuh minat. Bahkan tokoh cendekiawan Muhammadiyah, Amin Rais, dengan sengaja menerjemahkan dari versi Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Naiknya popularitas Syiah itu membuat khawatir dan was-was negeri yang selama ini menjadi “musuh” bebuyutan Iran, yakni Arab Saudi. Melalui lembaga-lembaga
bentukan pemerintah, Saudi Arabia
melakukan upaya untuk menangkal perkembangan Syiah, termasuk penyebarannya di Indonesia. Sejumlah buku yang anti-Syiah diterbitkan, baik karangan sarjana klasik seperti Ibn Taymiyah (12631328), atau pengarang modern, seperti Ihsan Ilahi Zahir, seorang propaganda anti-Syiah yang berasal dari Pakistan. Reaksi terhadap pekembangan Syiah di Indonesia ditunjukkan melalui penyebaran isu negatif dari buku-buku yang berisi informasi Syiah atau paling tidak menunjukan sikap penolakan terhadap Syiah. c. Ketiga, melaui intelektual Islam Indonesia yang belajar di Iran. Menurut Jalaluddin Rahmat, penyebaran Syiah di Indonesia pada fase ketiga, didorong oleh meminat pengagum Syiah secara falsafi ke arah
46
pemahaman fiqih. Fase ketiga ini dimotori oleh para Habib (keturunan arab/ Nabi) atau orang-orang Syiah yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Qum, Iran. Karena pemahaman Syiah sudah masuk ke ranah fiqih, maka pada tahap ini benih-benih konflik sudah mulai tumbuh secara terbuka. Era Reformasi sebagai era keterbukaan, membawa perubahan besar pada prinsip-prinsip dakwah kelompok Syiah. Syiah tidak lagi tersembunyi dalam doktrin taqiyah. Di berbagai daerah,
kelompok
Syiah
secara
terang-terangan
menunjukkan
eksistensinya kepada publik melalui perayaan hari besar Syiah, seperti peringatan Tragedi Karbala (‘Asyuro), Hari Arbain, Yaum al-Quds, dan Hari al-Ghadir (perayaan pengangkatan Sayyidina Ali sebagai Imam pertama) d. Keempat, tahap keterbukaan melaui Pendirian Organisasi Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia. Sehingga secara terbuka Syiah eksistensinya semakin diakui oleh sebagian masyarakat Indonesia. Perkembangan Syiah secara terbuka ini didorong oleh semangat keterbukaan dan pluralisme sebagai buah dari semangat Reformasi. Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) merupakan salah satu ormas Islam (seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang telah lebih dahulu lahir). Tanggal 1 Juli 2000, Gedung Asia Afrika Bandung, yang pernah menjadi saksi sejarah berkumpulnya bangsa-bangsa Asia Afrika pada Konferensi Asia Afrika, kembali menjadi saksi sejarah lahirnya ormas baru yang mengusung semangat yang sama, pembebasan dan pencerahan. Dipimpin oleh Prof.Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc salah seorang intelektual muslim terkemuka Indonesia, IJABI lahir dengan maksud untuk menghimpun para pencinta keluarga suci Nabi Saw, apapun mazhabnya. 51 Pada
periode
awal,
IJABI
yang
dipimpin
oleh
Prof.DR.KH.Jalaluddin Rakhmat, M.Sc (sebagai Ketua Dewan Syura) dan DR.Ir. Dimitri Mahayana, M.Eng (sebagai Ketua Umum Tanfidziyah) 51
www.ijabi.or.id. Diunduh pada tanggal 5 Agustus 2016 pukul 17.38 WIB.
47
ingin menegakkan kembali semangat Asia Afrika dalam konteks pemberdayaan mustadh’afin dan pencerahan intelektual di Indonesia. Seperti dituturkan Ustadz Jalal (sapaan untuk Ketua Dewan Syura IJABI), komitmen
IJABI
adalah
ikut
serta
dalam renaissance Islam
dan
pencerahan pemikiran umat serta pembelaan atas nasib kaum tertindas (mustadh’afin). Pencerahan pemikiran, yaitu membangun pemahaman keberagamaan yang inklusif, tidak simbolik tapi substantif, serta mendukung kebebasan berpikir dan toleransi. Pesan-pesan utama yang ingin disampaikan IJABI melalui berbagai aktifitasnya, tergambar dengan baik dalam 2 karya besar Ustadz Jalal (Pendiri sekaligus Ketua Dewan Syura IJABI), yaitu buku “Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh” serta “Islam dan Pluralisme; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan”. Agama hanya dapat memberi kontribusi dalam menjawab berbagai problem kemanusiaan jika setiap pemeluknya kembali dan berpegang teguh pada misi utama hadirnya agama itu sendiri di tengah umat manusia. Misi pembebasan dan pencerahan, yang menjadi misi utama kehadiran para Nabi di setiap zaman, mesti menafasi seluruh aktifitas yang dilakukan oleh setiap umat beragama, apapun agamanya. Sebagai bagian dari umat beragama, khususnya Islam, IJABI ingin menegaskan pentingnya kembali dan berpegang teguh pada kedua misi tersebut. Hanya dengan cara seperti itu, seluruh umat beragama dapat bekerjasama dalam memberikan kontribusi terbaik bagi seluruh problem kemanusiaan. Dan dengan misi kesejarahan seperti inilah, IJABI ingin berperan aktif, meski dengan segala keterbatasan dan kekurangannya. IJABI ingin melayarkan bahteranya, bergabung bersama bahtera-bahtera lainnya yang telah lebih dulu berlayar, di atas samudera luas yang penuh gelombang dahsyat, menuju kesempurnaan hidup, yang menjadi tujuan penciptaan manusia. 52
52
www.ijabi.or.id. Diunduh pada tanggal 5 Agustus 2016 pukul 17.38 WIB.
48
F. Penelitian Terdahulu Judul yang peneliti angkat pada penelitian ini, “Hukum Memerankan Nabi/Rasul dan Orang Suci Dalam Film (Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Syi’ah Terhadap Fatwa Mui Tanggal 2 Juni 1988 di Desa Bangsri Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara)”. sesungguhnya mengandung variabel yang menarik untuk ditelaah apakah tema atau topik yang sama sudah pernah diteliti sebelumnya apa belum. Dari hasil pencarian ini, tidak ditemukan topik yang sama dengan topik yang peneliti angkat. Namun ada beberapa judul skripsi yang memiliki tema yang tidak jauh berbeda ketika kita melihat pada variabel di atas, yakni seputar fatwa MUI dan pendapat atau pemikiran para ulama. Agar lebih mudah memahami, peneliti paparkan hasil penelitian yang berkorelasi dengan judul di atas dengan bentuk tabel sebagai berikut :
NO 1
2
NAMA
JUDUL
JENIS PENELITIAN
Pandangan Masyarakat Kualitatif Desa Wonoketingal, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak terhadap Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2009 tentang hukum merokok Moh. Abdillah Studi Komparatif Kualitatif (STAIN Antara Pendapat NU Kudus) pada dengan Muhammadiyah tahun 2011 tentang Kepemimpinan Wanita Heri Susanto (STAIN Kudus) pada tahun 2011
HASIL PENELITIAN Masyarakat Desa Wonoketingal Kec. Karananyar, Kab. Demak tetap menganggap bahwa merokok adalah makruh bukan haram. Karena kebiasaan merokok yang susah dihilangkan. Ulama NU berpendapat boleh dan adapula yang menyatakan tidak boleh menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Sedangkan Muhammadiyah memperbolehkan perempuan sebagai pemimpin
49
3
Ahmad Ziat (UIN Malang) pada tahun 2011
Analisis Ushul Fikih Kualitatif terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 4/MunasVII/MUI/8/200 5 dan Pemikiran Quraish Shihab tentang Perkawinan Beda Agama
Fatwa MUI dan pemikiran Quraish Shihab berbeda dalam mmenggunakan metode istinbath hukum.
Berikut penjelasan tabel di atas : Yang pertama, skripsi yang berjudul “Pandangan Masyarakat Desa Wonoketingal Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak Terhadap Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Tahun 2009 Tentang Hukum Merokok” oleh Heri Susanto Jurusan Syari’ah STAIN Kudus Tahun 2011. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui istinbath hukum dan faktor-faktor yang melatarbelakangi tidak diaatinya fatwa tentang merokok serta untuk mngetahui pandangan masyarakat Desa Wonoketingal Kecamatan Demak Kabupaten Demak. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif yang diperoleh dari data primer yaitu interview, data sekunder yaitu dengan menggunakan buku-buku dan data tersier. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, interview, dan dokumentasi. Hasil dari penelitian ini yaitu setelah melakukan interview dan observasi kepada masyarakat Wonoketingal Kecamatan Demak Kabupaten Demak, meskipun MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan di tempat umum, mereka tetap menganggap bahwa hokum merokok adalah tetap pada hokum awalnya yaitu makruh. Tidak jelasnya hukum tentang masalah merokok membuat mereka memilih merokok adalah makruh bukan haram. Kebiasaan yang dilakukan yang dilakukan sejak remaja membuat mereka susah menghilangkannya, hal ini menjadi faktor yang mendasar, mereka menganggap jika mereka merokok dapat membuat dirinya menjadi lebih rileks dan tenang. Jika seorang memiliki orang tua yang perokok mungkin 70% anaknya akan ikut menjadi perokok. Untuk mendapatkan rokok
50
bukanlah hal yang sulit, melainkan sangat mudah sekali, karena banyak orang yang menjual rokok, dan siapa saja boleh membelinya. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Heri Susanto dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang pandangan/pendapat seseorang tentang fatwa MUI. Hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa dalam penelitian tersebut menjelaskan pandangan/pendapat masyarakat terhadap fatwa MUI tentang hukum merokok Yang kedua , skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Antara Pendapat NU
dengan
Muhammadiyah
Tentang
Kepemimpinan
Wanita”
oleh
Moh. Abdillah Jurusan Syari’ah STAIN Kudus Tahun 2011. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui pandangan NU dan Muhammadiyyah terhadap kepemimpinan wanita serta mengetahui bagaimana komparasi antara pendapat NU dengan Muhammadiyah tentang kepemimpinan wanita. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif yang diperoleh dari data sekunder yaitu dengan menggunakan buku-buku atau karya ilmiah. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui metode dokumentasi yaitu catatan peristiwa yang sudah lalu. Dalam penelitian ini menggunakan metode komparatif untuk menganalisa berbagai data dari dua arah yaitu data umum dan data khusus yang membandingkan pendapat para ulama NU dengan para ulama Muhammadiyah tentang kepemimpinan wamita. Hasil dari penelitian ini adalah, sebagian dari ulama NU berpendapat boleh menjadikan perempuan sebagai pemimpin karena berdasar dalam firman Allah yang menjadi sumber dari segala sumber hukum yang ada sekarang, lalu sebagian ulama NU ada yang menyatakan tidak memperbolehkan seorang wanita untuk menjadikan sebagai pemimpin karena juga sudah dijelaskan juga dalam firman Allah karena para laki-laki lah yang menjadi pemimpin perempuan tersebut. Sebaliknya berbeda dengan kubu Muhammadiyah yang para ulamanya berpendapat boleh untuk perempuan dijadikan pemimpin dan mereka berdasarkan atas dasar firman Allah surat At-Taubah ayat 71, para Ulama ini menjadikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah antara laki-laki dan perempuan mempunyai derajat yang sama.
51
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moh. Abdillah dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang pandangan/ pendapat ulama NU dan Muhammadiyah. Hal yang membedakan penelitian tersebut adalah dalam penelitian tersebut membahas pendapat NU dan Muhammadiyyah tentang kepemimpinan wanita. Yang ketiga, skripsi yang berjudul “Ananlisis Ushul Fikih Terhadap Fatwa Majelis ulama Indonesia (MUI) Nomor : 4/Munas VII/MUI/8/2005 Dan Pemikiran Quraish Shihab Tentang Perkawinan Beda Agama” oleh Ahmad Ziat fakultas Syari’ah jurusan Ahwal Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang tahun 2011. Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui metode istinbath hukum antara fatwa MUI dan pemikiran Quraish Shihab tentang perkawinan beda agama. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif yang diperoleh dari data sekunder yaitu dengan menggunakan buku-buku atau karya ilmiah. Sedangkan teknik pengumpulan data melalui metode dokumentasi yaitu catatan peristiwa yang sudah lalu. Dalam penelitian ini menggunakan metode komparatif
untuk
menganalisa berbagai data dari dua arah yaitu data umum dan data khusus yang membandingkan metode istinbath hukum antara fatwa MUI dan pemikiran Quraish Sihab tentang perkawinan beda agama. Hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa antara fatwa MUI dan pemikiran Quraish Shihab berbeda dalam menggunakan metode istinbath hukum. Sehingga menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Hal ini terlihat bahwa Istinbath hukum MUI yang mengharamkan segala bentuk perkawinan beda agama yang didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 dengan menggunakan pendekatan dalalah al-ibarah, yaitu dengan melihat Zahir nashyang menunjukan cakupan pengertian yang dimaksud. Berbeda dengan Quraish Shihab yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahl al-Kitab dengan menggunakan pedekatan dalalah zahir terhadap surat al-Maidah (5): 5 yaitu suatu lafal nash yang dalalahnya menunjuk kepada pengertian yang jelas dan tidak perlu ada unsur dari luar untuk memahaminya, mudah dipahami dan jelas.
52
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Ziat dengan penelitian ini adalah meneliti tentang fatwa MUI dan pandangan/pendapat ulama. Sedangkan hal yang membedakan dalam penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah fatwa MUI yang dibahas tentang perkawinan beda agama, dalam penelitian tersebut yang diteliti adalah analisis Ushul Fikih antara fatwa MUI dan pemikiran ulama. Dari tiga penelitian di atas terdapat perbedaan dengan penelitian yang sekarang peneliti lakukan. Adapun penelitian sekarang ini belum dibahas oleh penelitian sebelumnya, yakni bagaimana Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Syi’ah Terhadap Fatwa MUI Tanggal 2 Juni 1988 Tentang Hukum Memerankan Nabi/Rasul dan Orang Suci Dalam Film. Akan tetapi mempunyai titik permasalahan yang sama yakni sama-sama meneliti tentang fatwa MUI. Dan perbedaannya, terletak pada sudut pandang dari fatwa itu sendiri, ada yang meneliti tentang istinbath yang digunakannya adapula yang menganalsis dan mengkomparasi fatwa dan pemikiran ulama, sehingga berbeda dengan penelitian ini.
G. Kerangka Berpikir Agama Islam tidak menghendaki supaya Nabi Muhammad itu dibuatkan pula gambar atau arcanya. Karena ummat Islam telah ittiqaf sependapat bahwa kebesaran yang dimiliki oleh Muhammad sebagai Rasul Allah yang terakhir dengan segala sifat-sifat pribadinya yang luar biasa, tidak akan dapat dan tidak akan mungkin dilukiskan oleh seniman manapun juga. Setiap percobaan untuk melukiskan bentuk Nabi Muhammad maka Muhammad bukanlah seperti itu. Setiap usaha untuk menggambarkan wajah Nabi Muhammad, akan mengurangi nilai kebesaran Nabi Muhammad SAW. Dengan perkataan lain, setiap percobaan untuk membuat lukisan maupun menggambarkan dalam bentuk apapun Nabi Muhammad, berarti suatu “penghinaan” terhadap Nabi yang mulia itu. Fatwa MUI juga telah memutuskan bahwa tidak boleh menggambarkan ataupun memvisualisasikan Nabi/Rasul beserta keluarganya, dan agar tidak
53
salah paham menggantikan Nabi Muhammad dengan cahaya hukumnya haram. Masyarakat Desa Bangsri Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara yang sangat beragam alirannya yaitu mulai penganut NU, Muhammadiyah dan Syi’ah masih menemukan buku-buku dan melihat acara televisi yang didalamnya menggambarkan ataupun memvisualisasikan sosok para Nabi. Hal ini perlu ditanyakan kepada ulama masing-masing aliran , sebab masyarakat masih bingung dan bahkan tidak tahu dengan fatwa yang dikeluarkan MUI tentang diharamkannya menggambarkan sosok Nabi. Pendapat para Ulama akan menghasilkan masyarakat menjadi lebih tau dan paham.