BAB II TINJAUAN PUSTAKA Virus Avian Influenza H5N1 Morfologi Virus Avian Influenza H5N1 merupakan salah satu penyebab penyakit unggas yang bersifat
zoonosis. Virus ini menyebabkan penyakit flu pada
unggas dan kematian baik unggas domestik maupun unggas liar. Kejadian penyakit Flu burung pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia lebih dari 100 tahun lalu. Penyakit ini menyebar di seluruh dunia dan mengakibatkan penyakit dengan gejala yang ringan sampai kematian. Infeksi virus flu burung pada manusia pertama kali dilaporkan di Hongkong yang mengakibatkan 6 orang meninggal dunia (WHO, 2004). Virus influenza H5N1 penyebab penyakit flu burung merupakan virus anggota famili Orthomyxoviridae (ICTV 2006). Famili ini terdiri dari tiga tipe virus yaitu tipe A , B dan C, berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein dan matriks
(Payungporn et al. 2004). Virus influenza bersifat
pleiomorfik, berbentuk filamen atau steroid (bola) dengan diameter 80-120 nm (Harris et al. 2006). Virus yang ditumbuhkan secara in vitro lebih banyak berbentuk
steroid
dengan
diameter
dan
panjang
konstan,
karena
pertumbuhannya yang cepat (Whittaker 2001). Virus yang diisolasi dari infeksi alami biasanya berbentuk filamen dengan diameter konstan 100-150nm tetapi panjangnya bervariasi. Virus influenza mempunyai amplop yang dilapisi protein matriks dengan glikoprotein integral yang menjulur keluar membentuk duri (spike) di permukaan virion (Harris et al. 2006). Virus yang berbentuk filamen lebih infektif dan lebih banyak mengandung RNA dibanding virus berbentuk steroid (Robert & Compans 1998).
Virus influenza tipe A secara alam dapat menginfeksi unggas dan manusia (Khawaja et al. 2005) Virus ini di bagi kedalam berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetis glikoprotein hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA) (Lee et al. 2004). Sampai saat ini ada 16 subtipe HA (H1H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) (Webster 2005). Subtipe H 16 baru ditemukan tahun 2004, diisolasi dan diidentifikasi pada burung camar laut kepala hitam. Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas air, dan hanya 3 subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1-N2) ditemukan pada manusia (Hoffman et al. 2001) Subtipe H5 dan H7 bersifat sangat virulen pada unggas (Lee et al. 2004) dan dilaporkan berpotensi sebagai penyebab pandemi (Webster et al. 2004) Struktur Genom eksternal virus Influenza A terdiri atas genom hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang akan mengekspresikan protein HA dan NA. Kedua protein ini sebagai protein dari amplop yang berfungsi untuk perlekatan dengan sel inang melalui reseptor spesifik yang terdapat pada permukaan sel inang. Semua virus Influenza A memerlukan reseptor permukaan berupa oligosakarida yang terikat pada asam sialat pada ujung terminalnya. Asam sialat mempunyai struktur sembilan karbon (C), gula dan asam amino (5amino-3,5-dideoxy). Ujung amino selalu diganti dengan salah satu dari Nacetyl atau dengan N-glycolyl menghasilkan N-acetylneuraminic (NeuAc) atau N-glycolylneuraminic (NeuGc). Ujung hidroksil dari struktur asam sialat ini dapat diganti dengan asetil,laktoil, metil, sulfat atau fosfat. Protein HA pada virus influenza akan berikatan dengan reseptor dan protein NA akan menghancurkan reseptor. Spesifisitas reseptor dari HA dan spesifisitas substrat untuk NA akan bekerja bersama-sama untuk menentukan efisiensi replikasi virus Influenza (Suzuki et al., 2000). Asam amino yang merupakan bagian dari tempat pengikatan reseptor (Receptor-binding Site -
RBS) sangat stabil susunannya, meskipun subtipenya berbeda. Virus influenza A yang menginfeksi manusia mempunyai variabilitas yang berbeda dengan virus yang menginfeksi unggas. Pada manusia bagian protein HA yang mengandung asam amino leusin pada posisi 226 dan serin pada posisi 228 akan lebih mengenal 2,6
(SA
2,6 Gal). Sebaliknya virus AI pada unggas
protein HA pada posisi 226 asam amino glutamin (Gln) dan glisin (Gly) pada posisi 228 akan lebih menempel reseptor 2,3
(SA a 2,3 Gal) (Vines et al.,
1998). Sementara itu, virus Avian Influenza H5Nl pada posisi tersebut diisi oleh asam amino yang lain dan belum diketahui secara pasti perannya pada pengikatan dengan reseptor. Virus Influenza A manusia yang lebih dikenal mempunyai reseptor 2,6 (SA
2,6 Gal) dapat mengaglutinasi sel darah merah ayam, bebek, marmut,
domba, tetapi bukan sel darah merah dari kuda atau sapi. Virus Avian Influenza yang menempel pada reseptor 2,3
(SA
2,3 Gal) dapat
mengaglutinasi semuanya. Hal ini menunjukkan bahwa sel darah merah masing-masing spesies mempunyai reseptor yang berbeda. Sel darah merah kuda lebih banyak mempunyai 2,3
(SA
2,3 Gal) dari pada 2,6
(SA
2,6
Gal), sedangkan sel darah merah manusia dan ayam mempunyai keduanya (Vines et al., 1998). Dua macam reseptor spesifik virus Avian Influenza yaitu
2,3 asam
sialat merupakan reseptor yang terdapat pada tubuh unggas, kuda dan babi dan reseptor
2,6 asam sialat merupakan reseptor yang terdapat dalam tubuh
manusia dan babi. Pada prinsipnya virus Avian Influenza yang menginfeksi unggas mempunyai spesifisitas reseptor spesifisitasnya
2,3 dan yang menginfeksi manusia
2,6. Kedua protein permukaan ini, (protein HA dan NA)
dijadikan dasar untuk identifikasi serologis dengan menggunakan simbol H dan N.
Gambar 1. Struktur morfologi virus influenza A (Webster 2001) Genom internal virus Influenza A terdiri atas genom polymerase basic 2 (PB2); polymerase basic 1 (PBI) ; polymerase acidic (PA) ; nukleoprotein (NP) ; Matriks (M) dan nonstructural (NS). Genom internal akan mengekspresikan delapan macam protein internal, masing-masing genom menghasilkan satu macam protein, kecuali fragmen M dan NS, masing-masing menghasilkan dua macam protein yaitu protein MI dan M2, serta protein NS1 dan NS2. Protein HA pada situs pencelah dapat digunakan untuk membedakan virulensi virus Influenza. Umumnya virus Influenza 1 mempunyai asam amino arginin (R) pada ujung karboksil HA1 dan asam amino glisin (G) pada ujung amino HA2. Urutan nukleotida atau asam amino pada region HA1 yang berperan sebagai
antigenisitas merupakan faktor pembeda antarsubtipe. Perbedaan antarsubtipe pada regio ini minimal sebesar 30% I (Horimoto dan Kawaoka, 2001). Patogenesa penyakit Avian Influenza Patogenesa merupakan suatu interaksi antara inang dan virus. Virus influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu bersifat patogenik untuk spesies yang lainnya. Target jaringan atau organ suatu virus berpengaruh terhadap tingkat patogenesitasnya. Virus AI dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu bentuk akut yang disebut dengan Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan yang bentuk ringan disebut Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI). Virus pada unggas yang mempunyai subtipe H5 atau H7 telah diketahui mempunyai hubungan yang erat dengan penyakit yang bersifat patogenik, sebaliknya banyak juga virus influenza A subtipe H5 atau H7 yang bersifat tidak patogen (Tabbu, 2000)
Office
Intenational des Epizootic (OIE) mengklasifikasi suatu virus sebagai HPAI berdasarkan kemampuan virus dalam menyebabkan kematian 6, 7 atau 8 dari 8 ekor ayam umur 4-8 minggu yang peka dalam waktu 10 hari setelah pemberian intra vena 0,2 ml pengenceran 1 : 10 cairan alantois infektif yang bebas bakteri. Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel inang setelah terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel inangnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel inang, dan dengan menggunakan mesin genetik dari sel inang, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Fase penempelan (attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk atau tidak ke dalam sel inang untuk melanjutkan replikasinya. Virus influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel inang. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor
yang ada pada manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Virus flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor oligosakharida yang mengandung N-acethylneuraminic acid (SA
2,3 Gal), molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia.
Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA (SA
2,3 galactose 2,6 galactose
2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa menginfeksi
manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Masa inkubasi pada unggas berkisar antara beberapa jam sampai 3 hari, masa inkubasi tersebut tergantung pada dosis virus, rute kontak dan spesies unggas yang terserang. Avian influenza dapat ditemukan dalam dua bentuk,yaitu bentuk akut (HPAI) dan bentuk ringan. Bentuk akut ditandai dengan adanya proses penyakit yang cepat disertai mortalitas tinggi, gangguan pernafasan, lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, edema di daerah kepala dan muka, perdarahan jaringan subkutan yang diikuti oleh sianosis pada kulit terutama di daerah muka, jengger, pial, dada dan telapak kaki selain itu pula diare gangguan produksi telur dan gangguan syaraf. Pada HPAI bentuk yang sangat akut, dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu (Tabbu 2000). Avian influenza bentuk ringan yang tidak diikuti oleh infeksi sekunder , akan terlihat adanya gangguan pernapasan, anoreksia depresi, sinusitis gangguan produksi dan mortalitas yang rendah tetapi gradual. Ayam yang terinfeksi LPAI bila diikuti infeksi sekunder oleh bakteri atau ayam dalam keadaan stress akibat lingkungan gejala klinik dapat menjadi parah. Pada HPAI maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100 %. Di alam, yang bertindak sebagai reservoir utama virus AI adalah unggas air antara lain itik liar. Dalam tubuh hewan tersebut ditemukan semua subtipe virus dan dapat bersembunyi pada saluran pernapasan serta saluran pencernaan kemudian menyebar ke unggas lain melalui inhalasi. Penularan avian influenza dapat terjadi melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari
saluran pernapasan, konjungtiva dan feses. Penularan juga dapat terjadi secara
tidak
material/debu
langsung, yang
misalnya
mengandung
melalui virus
udara
yang
influenza,
tercemar oleh
makanan/minuman,
alat/perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur, nampan telur, burung dan mamalia yang tercemar virus influenza. Satu gram feses yang mengandung virus avian influenza dapat menginfeksi ayam sebanyak satu juta ekor. Agen infeksi lain, faktor lingkungan/stress dapat berpengaruh
pada
berat/ringannya
suatu
penyakit.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi penularan flu burung yaitu kepadatan penduduk dan kepadatan unggas, sirkulasi virus, biosekuriti, kerentanan daya tahan tubuh manusia dan hewan. Teknik Diagnosis Diagnosa HPAI dapat dilakukan dengan uji serologis, isolasi virus maupun teknik molekuler. Koleksi spesimen lainnya dapat berupa serum dan usap trakhea atau rektal. Hewan laboratorium yang sering digunakan untuk penelitian adalah ayam, kalkun, dan itik. Virus ini juga bereplikasi pada musang, kucing, hamster, tikus, kera dan babi. Isolasi virus dapat dilakukan pada telur ayam berembrio yang SPF (Specific Pathogen Free) umur 10-11 hari. Pemeriksaan serologis dapat digunakan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus avian influenza A, yang dapat diamati pada hari ke-7 sampai ke-10 pasca infeksi. Uji serologi yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) prinsip uji HI adalah deteksi ada tidaknya antibodi yang menghambat ikatan antara haemagglutin yang ada pada dinding virus dengan reseptor yang ada pada dinding sel darah merah kucing dan uji agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuramidase (N). Uji ini disebut agar gel presipitation test. Prinsip dari uji ini yaitu adanya ikatan antibodi spesifik dengan antigen. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah serum atau antibody yang ditest merupakan antibody
spesifik terhadap virus digunakan yang telah diketahui. Uji ini dapat pula digunakan untuk mengetahui virus spesifik yang dapat bereaksi dengan antibody yang telah diketahui. Reaksi positif akan ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi yang berwarna putih yang ada antara antibody dengan virus yang digunakan. Hal ini terjadi karena virus atau antigen dapat berdifusi melalui pori-pori gel dan bereaksi. Virus yang memiliki kecocokkan dengan jenis antibody yang digunakan akan bereaksi positip dengan membentuk ikatan antigen-antibodi berupa garis presipitat berwarna putih. Kelembaban harus sesuai untuk interaksi virus dengan antibodi. Jika kelembaban rendah maka agar akan cepat kering sehingga pori – pori mengecil dan antigen – antibodi tidak bisa bereaksi dan difusi tidak bisa berjalan secara maksimal. Suhu yang cocok juga harus dipertimbangkan karena suhu dapat berpengaruh terhadap kelembaban, suhu yang baik adalah suhu kamar antara 27- 300 C dan sesuai dengan suhu dimana virus dapat bertahan dan survive. Konsentrasi antigen dan antibodi akan menentukan apakah masing – masing memiliki kecukupan jumlah molekul sehingga virus dapat berikatan. Antibodi dan antigen yang cocok menentukan ada tidaknya garis presipitasi. Konsentrasi agar menentukan lebarnya pori – pori, sehingga menentukan kemampuan difusi dari antigen dan antibodi, pH akan mempengaruhi kestabilan struktur antigen antibodi yang keduanya merupakan protein (Josep et al , 2008). Pasar Tradisional Sebagai Penyebar Penyakit AI Secara umum usaha perunggasan di Indonesia terbagi menjadi dua bagian yaitu sektor modern dan sektor tradisional. Sektor modern merupakan usaha perunggasan yang dilakukan dengan skala besar, menggunakan teknologi modern dan dilakukan oleh perusahaan dengan modal yang besar. Sektor tradisional merupakan usaha yang dilakukan dengan skala kecil, menggunakan teknologi yang sederhana dan dilakukan oleh peternak rakyat.
Selain itu perbedaan antara keduanya juga dapat dilihat dari aspek pemasarannya. Pemasaran merupakan proses kegiatan atau aktivitas menyalurkan produk dari produsen ke konsumen. Terjaminnya aspek permintaan dan penawaran produk unggas tersebut merupakan tujuan dari usaha perunggasan yang dilakukan. Oleh karena itu agar produk unggas sampai ke konsumen dengan kualitas baik, maka selain fasilitas rumah potong ternak, pasar yang baik serta memenuhi standar juga mutlak diperlukan. Penataan pasar menjadi salah satu faktor penting dalam melakukan restrukturisasi perunggasan di samping pembenahan pada subsistem hulu dan budidaya. Dalam pemasaran unggas, pasar tradisional mendominasi total pasar yang ada di Indonesia. Jumlah perdagangan unggas di pasar tradisional rata-rata mencapai 71,6 % tiap tahunnya dan sisanya adalah pasar modern yang meliputi hipermarket, supermarket dan minimarket. Data tersebut menunjukkan pasar tradisional berperan besar dalam pendistribusian produk-produk perunggasan. Di sisi lain, pasar tradisional juga kerap mengalami permasalahan-permasalahan yang membutuhkan perhatian serius dalam pelaksanaannya. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung. Bangunan biasanya terdiri atas kios-kios atau gerai, los dan lapak terbuka yang digelar penjual atau oleh pengelola pasar. Pasar umumnya terletak dekat kawasan pemukiman agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Pasar tradisional mempunyai daya tarik tersendiri terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Di Indonesia pasar tradisional masih merupakan wadah utama penjualan produkproduk kebutuhan pokok yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi berskala menengah, kecil dan mikro. Harga yang relatif lebih murah, adanya proses tawar menawar dan lokasi yang dekat dengan tempat tinggal merupakan keunggulan dan daya tarik dari pasar tradisional. Alasan lain yang sering dikemukakan konsumen pasar tradisional adalah produk yang disediakan lebih
segar dan lengkap, suasananya hidup, ramai dan jumlah pembelian bersifat fleksibel. Namun demikian di balik peran yang besar tersebut, pasar tradisional diduga berpotensi menjadi ancaman penyebaran penyakit flu burung (Avian Influenza) atau penyakit unggas menular lainnya. Penyebaran wabah penyakit flu burung (Avian Influenza/AI) melalui lalu lintas berbagai jenis unggas hidup dan produknya. Penataan pasar khususnya pasar tradisional menjadi komponen yang sangat penting dalam salah satu usaha dalam pembenahan agribisnis perunggasan. Kelemahan-kelemahan manajemen pasar tradisional antara lain adalah kesadaran
rendah
terhadap
kedisplinan,
kebersihan
dan
ketertiban;
pemahaman rendah terhadap perilaku konsumen; pengelola pasar belum berfungsi dan bertugas secara efektif; Standard Operation Procedure (SOP) yang tidak jelas; manajemen keuangan yang tidak akuntabel dan transparan; kurang perhatian terhadap pemeliharaan sarana fisik; pedagang kaki lima tidak tertib karena tidak mendapatkan tempat yang layak; premanisme; tidak ada pengawasan terhadap barang yang dijual dan standarisasi ukuran dan timbangan; masalah fasilitas umum; dan penataan los/kios/lapak yang tidak teratur. Namun demikian pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat Indonesia. Pasar tradisional berperan besar dalam proses pendistribusian produk unggas bagi masyarakat yang berada pada lapisan menengah ke bawah. Restrukturisasi
perunggasan,
penataan
dan
pembenahan
pasar
tradisional juga menjadi salah satu faktor penting yang harus dilakukan dalam meningkatkan kesehjahteraan masyarakat dan menggerakkan perekonomian rakyat khususnya lapisan menengah ke bawah. Mengingat besarnya peran pasar tradisional dalam memajukan agribisnis
perunggasan
sekaligus
mengerakkan perekonomian nasional, pemerintah beserta stakeholders yang terkait haruslah berhati-hati dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam penataan dan pembenahan pasar tersebut dengan mempertimbangkan
manfaat dan kerugian yang akan ditimbulkannya. Penentuan kebijakan tidak hanya dilihat dari kacamata kesehatan dan kenyamanan semata melainkan harus tetap memperhitungkan aspek ekonominya. (Daryanto. 2007) Pasar tradisional menjual berbagai jenis unggas seperti ayam, itik, entok, angsa, burung, dan bahkan mamalia seperti babi yang berasal dari berbagai daerah, kemudian dari pasar akan menyebar ke daerah lain. Di Pasar, unggas diletakan dalam area yang sangat berdekatan. Kondisi tersebut mempermudah penularan Virus AI antar unggas (Nguyen et al., 2001) Banyaknya itik yang diperdagangkan dalam kondisi hidup dalam suatu area di pasar tradisional, menyebabkan sirkulasi VAI secara kontinyu dan berpotensi mengalami mutasi, reassortment, dan rekombinasi (Hulse et al 2005 ; Choi et al., 2005). Virus AI
jarang menyebabkan sakit pada itik tetapi itik terus
mengeluarkan virus sepanjang hari (Suarez et al., 1998). Kondisi tersebut memiliki resiko sangat tinggi bagi pengunjung pasar hewan, karena dapat tertular secara tidak langsung dan dapat sebagai sumber penyebar virus ke hewan lain (Susanti et al., 2008). Upaya penurunan beban virus yang bersirkulasi di pasar tradisional sangat dipengaruhi oleh perilaku pedagang unggas dan distribusi unggas yang dijual. Pola penyebaran unggas di pasar unggas ditentukan oleh beberapa hal yaitu pedagang, daerah asal unggas, dan pembeli unggas. Pengendalian Penyakit Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memutus rantai penularan penyakit tersebut. Hal ini untuk
mengetahui
tindakan
apa
yang
sebaiknya
dilakukan.
Melihat
perkembangan jalur penularan AI ke manusia yang saat ini terjadi masih berasal dari unggas maka tindakan memotong rantai penularan dari unggas ke manusia merupakan langkah yang tepat. Komersialisasi komoditi unggas sehat ini sangat penting memperhatikan rantai distribusi unggas dan produknya. Ada
empat titik kritis dalam rantai distribusi unggas dan produknya (daging) yaitu peternakan, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas dan tempat penjualan unggas dan produknya (pasar). Salah satu titik kritis yang perlu segera mendapat penanganan adalah pasar. Sebagian besar pasar tradisional yang ada di Indonesia terdapat tempat penjualan unggas hidup dan produknya (pasar unggas). Hal ini harus mendapat perhatian serius mengingat bahwa pasar yang terdapat penjualan unggas dan produknya (pasar unggas) merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi dalam penyebaran virus AI. Pasar unggas di Asia merupakan pusat aktivitas sosial dan ekonomi, namun pasar juga dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. Hal ini mengingat pasar sebagai tempat yang memungkinkan kontak langsung antara unggas pembawa virus AI dengan manusia. Lemahnya biosekuriti dan buruknya higiene sanitasi yang ada memicu terjadinya penyebaran dan penularan virus AI di pasar yang menjual unggas hidup dan produknya. Pasar tradisional di Indonesia umumnya terdapat penjualan unggas hidup dan produknya. Selain itu, pada pasar tradisional juga terdapat tempat penampungan unggas (TPnU), tempat pemotongan unggas (TPU) dan tempat penjualan karkas. Pada tahun 1997 FAO menyatakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hong Kong menunjukkan sebesar 20% unggas yang dijual di pasar terinfeksi virus avian influenza (H5N1). Tahun 2006 terdeteksi keberadaan H5N1 pada pasar makanan yang menjual unggas hidup di Guangzhou, China. Penelitian ini menyatakan bahwa pasar makanan yang terdapat penjualan unggas hidup dapat menjadi sumber infeksi virus AI dan keberadaan virus dimungkinkan dibawa oleh unggas sehat. Pada penelitian ini juga ditemukan adanya antibodi pada pekerja yang menangani unggas di pasar. Sementara di Asia Tenggara keberadaan virus AI di pasar unggas hidup dilaporkan pada tahun 2001. Pada saat itu terdeteksi H5N1 pada unggas lokal yang dijual di pasar unggas hidup di Hanoi, Vietnam (Nguyen et al. 2001).
Berikut beberapa kondisi yang bisa ditemui di pasar yang menjual unggas hidup dan produknya antara lain : 1. Belum adanya pemeriksaan kesehatan hewan dan produknya secara rutin. 2. Biosekuriti yang masih buruk. 3. Tidak ada proses/program pembersihan dan desinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan. Kalaupun ada tidak dilaksanakan secara rutin. 4. Tidak ada batas yang jelas antara tempat penampungan, pemotongan dan penjualan unggas dan produknya dengan tempat komoditi lain. 5. Sumber asal-usul ayam tidak diketahui asal peternakannya dan status kesehatannya. 6. Transportasi unggas belum memenuhi standar (menggunakan motor) dan tidak memenuhi kaidah animal welfare. 7. Tidak ada pintu khusus buat keluar masuknya unggas ke pasar. 8. Tempat pengumpulan/penampungan dan pemotongan unggas yang tidak memenuhi standar minimal higine dan sanitasi yang baik. 9. Penjualan multi spesies unggas (ayam buras, bebek, ayam ras) dalam satu tempat. 10. Masih terdapat penjualan ayam hidup (konsumen membawa ayam hidup ke rumahnya). 11. Belum ada peraturan tentang penataan unggas hidup dan produknya di pasar. 12. Higiene personal yang masih buruk. 13. Kurangnya kesadaran dari para penjual dan pembeli mengenai produk yang aman sehat utuh halal (ASUH). Beberapa program pengendalian yang perlu dilakukan di pasar yang menjual unggas hidup dan produknya antara lain dilakukannya pemeriksaan kesehatan hewan dan produknya secara rutin serta adanya program
pembersihan dan desinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan. Program pengendalian penyakit AI di pasar meliputi : 1.
Keberadaan pasar, penerapan biosekuriti, higiene dan sanitasi, zoning antara tempat aktifitas penanganan unggas dan produknya (tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas, tempat penjualan karkas/daging unggas) dengan tempat penjualan komoditi lain,
2.
Aktifitas penanganan unggas dan produknya terletak dalam satu area, kelayakan fasilitas dan infrastruktur
3.
Pemeriksaan kesehatan unggas, sistem pengawasan keamanan daging unggas (meat inspection system)
4.
Konsep produk unggas yang keluar dari pasar dalam bentuk karkas bukan dalam bentuk unggas hidup
5.
Pemberdayaan masyarakat pasar (pengelola pasar, pemasok unggas hidup, pengumpul unggas hidup, pedagang unggas hidup, pemotong, pedagang daging/karkas unggas, pemerintah daerah, pihak swasta, konsumen), dan kerjasama semua pihak yang terkait. Tindakan pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah mencegah
kontak antara produk unggas dengan burung liar atau hewan liar disekitarnya, pengendalian limbah peternakan unggas, surveilans dan penelusuran, penerapan kebersihan kandang tempat penampungan, penyemprotan dengan desinfektan terhadap kandang dan tempat berjualan produknya sebelum pemasukan unggas atau ayam baru, peningkatan kesadaran masyarakat, serta monitoring dan evaluasi (Rahardjo, 2004). Pencegahan yang lain adalah mencuci tangan dengan sabun cair pada air yang mengalir sebelum dan sesudah melakukan suatu pekerjaan, Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata khusus), Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak dengan suhu 80o C selama satu menit, telur unggas dipanaskan dengan suhu 64o C selama lima menit (Patu. 2006).