BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Perairan Wilayah Kepulauan Seribu Pulau Pramuka berada pada bagian tengah gugusan kepulauan seribu. Secara administratif, Pulau Pramuka berada di kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta. Posisi Pulau Pramuka dapat digambarkan secara umum melalui topografi dan batas wilayah kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Topografinya mendatar dengan tingkat ketinggian dan permukaan laut antara 1 sampau dengan 2 meter, tanah berpasir dengan tingkat kesuburan yang relatif rendah. Letak geografis Pulau Pramuka
5°44’19”-5°45’05” LS dan 106°36’35-106°37’07” BT
(Biro
Pusat
Statistik 2006). Secara umum, kondisi perairan Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta dipengaruhi oleh empat musim yaitu Musim Barat yang mewakili Bulan Desember-Februari, Musim peralihan Barat-Timur mewakili Bulan Maret-Mei, Musim Timut mewakili Juni-Agustus dan Musim Peralihan Timur-Barat mewakili Bulan September-November. Selama musim-musim tersebut terjadi perubahan kondisi umum perairan Teluk Jakarta, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologis. Kondisi suhu air permukaan pada Musim Barat berkisar antara 28,5ºC - 30ºC, pada Musim peralihan Barat-Timur antara 29,5ºC - 30,7ºC, pada Musim Timur suhu berkisar antara 28,5ºC - 31ºC dan pada Musim peralihan Timur Barat berkisar antara 28,5ºC - 31ºC. Salinitas minimum di perairan Teluk Jakarta yang berkisar antara 25‰ - 32,5‰ terjadi pada Musim Barat dengan kisaran 29 - 32‰. Kondisi salinitas maksimum dijumpai pada Musim peralihan Barat-Timur yaitu berkisar antara 28‰ - 32,5‰ serta pada Musim peralihan Timur-Barat berkisar antara 28‰ - 32‰ (Ilahude 1995 dalam Paonganan 2008). 2.2 Bulu babi Bulu babi merupakan biota laut penghuni ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang sangat umum dijumpai di perairan dangkal. Biota ini tersebar luas mengikuti penyebaran terumbu karang (Sugiarto dan Supardi 1995). Fauna 6
7
menyukai substrat yang agak keras terutama substrat di padang lamun campuran yang terdiri dari pasir dan pecahan karang (Aziz dan Sugiarto 1994). Di dunia terdapat kurang lebih 6000 jenis fauna Echinodermata dan diperkirakan 950 jenis diantaranya adalah bulu babi yang terbagi dalam 15 ordo, 46 famili dan 121 genus (Aziz 1987). Di Indonesia, terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 famili dan 48 genus (Clark & Rowe 1971). Bulu babi mempunyai Ciri lainnya adalah mulutnya yang terdapat di permukaan oral dilengkapi dengan 5 buah gigi sebagai alat untuk mengambil makanan.Hewan ini pada umumnya merupakan herbivora, yang memakan alga dan lamun.Namun, pada kondisi perairan yang berbeda hewan ini dapat bersifat omnivora (Aziz 1987). Bentuk umum dari bulu babi marga Diadema sebagaimana kelompok regularia lainnya adalah seperti bola tertekan yang membulat-oval. Berbeda dari kelompok bintang laut dan bintang mengular, pada biota ini tangan teredukasi sama sekali tetapi tetap memperlihatkan pola simetris pentaradial (Sugiarto & Supardi 1995). Bulu babi marga Diadema terdiri dari empat jenis yaitu D. antillarum, D. setosum, D. savignyi dan D. mexicanum.Biota ini hidup tersebar pada kedalaman antara 0 – 30 meter. Di ekosistem terumbu karang, bulu babi marga Diadema dapat menempati zona rataan pasir, zona pertumbuhan algae, zona lamun dan daerah tubir (Birkeland 1989). 2.3 Klasifikasi Bulu Babi Bulu babi marga Diadema termasuk kedalam filum Echinodermata.Nama echino berarti duri dan dermata/dermis berarti lapisan kulit. Jadi nama Echinodermata kurang lebih berarti binatang yang mempunyai kulit berduri. Bulu babi termasuk kedalam kelas Echinoidea. Kelas Echinoidea ini mempunyai dua anak
kelas
yaitu
anak
kelas
Perischoechinoidea
dan
anak
kelas
Euechinoidea.Anak kelas Euechinoidea ini mempunyai empat induk bangsa (super ordo) yaitu induk bangsa Diadematacea, Echinacea, Guathostomata dan Atelostomata (Arnold & Birtles 1989). Bulu babi marga Diadema termasuk kedalam induk bangsa Diadematacea. Klasifikasi Bulu babi (D. setosum) (Gambar 1) menurut Clark &Courtman-Stock (dalam Arnold & Birtles 1989) adalah sebagai berikut:
8
Gambar 1. Bulu Babi D. setosum Kingdom
: Animalia
Phylum
: Echinodermata
Kelas
: Echinoidea
Ordo
: Diadematoida
Famili
: Diadematoidae
Genus
: Diadema
Spesies
: Diadema setosum
Famili Diadematidae mempunyai sekitar 6 Genus yaitu marga Astropyga, Centrostephanus, Chaetodiadema, D. Echinothrix dan Lissodiadema.Genus Diadema merupakan marga yang relatif kecil yaitu dengan 4 jenis. Keempat jenis dari marga Diadema hidup di perairan tropis dan subtropis menurut Sugiarto & Supardi (1995), yaitu : 1. D. antillarum, hidup di Karibia 2. D. mexicanum, hidup di pantai barat Amerika 3. D. setosum, hidup di Indo Pasifik Barat 4. D. savignyi, hidup di Indo Pasifik Barat 2.4 Morfologi Bulu Babi Bulu babi Diadema Setosum termasuk kedalam kelompok bulu babi yang mempunyai cangkang beraturan (regularia). Bentuk luar cangkang berupa buah
9
delima atau dengan bentuk lebih tertekan/memipih memberikan kesan setengah bola.Sebagaimana bentuk umum bulu babi regularia, cangkang Diadema tersusun dari ratusan keping-keping kecil yang terpolakan dengan arsitektur yang unik (Gambar 2). Berbeda dengan kelas Asteroidea dan Ophiuroidea, pada bulu babi tangan yang berpola pentaradial absen sama sekali. Tetapi lempengan-lempengan kapur tetap tersusun dengan pola pentaradial simetri. Lima pasang jalur keping ambulakral tersusun bergantian dengan lima pasang jalur keping interambulakral (Clark & Rowe 1971).
Gambar 2. Bentuk Bulu Babi Regularia Berbeda dengan bintang laut dan bintang ular, bulu babi (Echinoidea) tidak memiliki lengan. Tubuh bulu babi berbentuk agak bulat seperti bola dengan cangkang yang keras berkapur dan dipenuhi duri-duri. Duri-duri terletak berderet dalam garis-garis membujur dan dapat di gerakkan. Mulut terletak di bawah menghadap ke bawah dan anus terletak diatas menghadap ke atas di puncak cangkang yang membulat (Sugiarto & Supardi 1995). D.setosum memiliki ciri-ciri berwarna hitam dengan dari-duri berwarna hitam pula yang memanjang keatas untuk pertahanan diri sedangkan bagian bawah pendek sebagai alat pergerakan. Memiliki 5 titik putih pada bagian atas dan terletak di antara segmen setiap 1 titik putih (Aziz 1987).
10
Tubuh bulu babi sendiri terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian oral, aboral, dan bagian diantara oral dan aboral. Pada bagian tengah sisi aboral terdapat sistem apikal dan pada bagian tengah sisi oral terdapat sistem peristomial (Birkeland 1989). Lempeng-lempeng ambulakral dan interambulakral berada diantara sistem apikal dan sistem peristomial. Di tengah-tengah sistem apikal dan sistem peristomial termasuk lubang anus yang dikelilingi oleh sejumlah keping anal (periproct) termasuk diantaranya adalah keping-keping genital. Salah satu diantara keping genital yang berukuran paling besar merupakan tempat bermuaranya sistem pembuluh air (waste vascular system). Sistem ini menjadi ciri khas Filum Echinodermata, berfungsi dalam pergerakan, makan, respirasi, dan ekskresi (Aziz 1987). Sedangkan pada sistem peristomial terdapat pada selaput kulit tempat menempelnya organ “lentera aristoteles” (Gambar 3), yakni semacam rahang yang berfungsi sebagai alat pemotong dan penghancur makanan. Organ ini juga mampu memotong cangkang teritip, molusca ataupun jenis bulu babi lainnya. Di sekitar mulut bulu babi beraturan kecuali ordo Cidaroidea terdapat lima pasang insang yang kecil dan berdinding tipis (Aziz 1987).
11
Gambar 3.Struktur Lentera Aristoteles pada Bulu Babi Tubuh bulu babi memiliki satu rongga utama yang berisi lentera aristoteles dan organ pencernaan. Lentera aristoteles terdiri dari lima buah gigi yang disatukan oleh suatu substansi berkampur dan dikelilingi oleh otot pengulur dan penarik. Otot ini berperan mengatur pergerakan gigi (Sugiarto & Supardi1995). Lentera aristoteles berfungsi seperti mulut dan gigi yang bertugas mengambil, memotong dan menghaluskan makanan, Esophagus, usus halus, usus besar dan anus tersusun melingkari lentera aristoteles membentuk suatu sistem pencernaan (Thamrin 2011). Pada bulu babi D. setosum kaki tabung memiliki banyak fungsi.Selain untuk bergerak, kaki tabung juga digunakan sebagai indera peraba, organ respirasi dan tempat pengeluaran air dari tubuh (Aziz & Sugiarto 1994). 2.5 Habitat dan Penyebaran Bulu babi Bulu babi hidup pada ekosistem terumbu karang (zona pertumbuhan alga) dan lamun. Bulu babi dapat ditemui dari daerah intertidal sampai kedalaman 10 m dan merupakan penghuni sejati laut dengan batas toleransi salinitas antara 30-
12
34‰ (Aziz 1995 dalam Hasan 2002). Hyman (1955) dalam Ratna (2002) menambahkan bahwa bulu babi termasuk hewan benthonic, ditemui di semua laut dan lautan dengan batas kedalaman antara 0-8000 m. Karena echinoidae memiliki kemampuan beradaptasi dengan air payau lebih rendah dibandingkan invertebrate lain. Kebanyakan bulu babi beraturan hidup pada substrat yang keras, yakni batubatuan atau terumbu karang dan hanya sebagian kecil yang menghuni substrat pasir dan lumpur, karena pada kondisi demikian kaki tabung sulit untuk mendapatkan tempat melekat. Kelompok tersebut khusus hidup pada teluk yang tenang dan perairan yang lebih dalam, sehingga kecil kemungkinan dipengaruhi ombak. 2.6 Pola Makan dan Makanan Bulu Babi Pada bulu babi yang hidup di tempat dangkal, makanan utamanya terdiri dari berbagai jenis algae dan lamun (Sugiarto & Supardi 1995). Bulu babi marga Diadema menggunakan organ lentera Aristoteles secara aktif untuk memotong dan mengunyah makanannya. Menurut Lawrence (1975) melaporkan bahwa bulu babi jenis D. antillarum dan D. setosum mengkonsumsi lamun, algae coklat, algae benang sebagai makanannya. Hal yang serupa juga dilaporkan Dix (1970) melaporkan bahwa bulu babi jenis Evechinus chloroticus yang hidup di perairan sekitar New Zealand mengkonsumsi sekitar 7 jenis algae coklat, 4 jenis algae merah, 1 jenis alga hijau, dan 5 jenis alga lainnya yang tidak teridentifikasikan. Dalam pencernaan makanan, pada bulu babi terdapat semacam kelenjar penghasil enzim, yaitu proteinase, amylase dan lipase yang membantu sistem pencernaan. Absennya enzim selulose diduga digantikan fungsinya oleh aktifitas bakteri lambung (Aziz 1987). 2.7 Daur Hidup Bulu Babi Fauna echinodermata pada umumnya bulu babi marga Diadema mempunyai kelamin yang terpisah (Aziz & Sugiarto 1994). Pada musim memijah sel telur dan sperma dilepas ke medium air laut di sekitarnya. Sifat agregrasi atau hidup mengelompok diduga ikut membantu mempermudah proses fertilisasi. Zigot sebagai hasil pertemuan sperma dan sel telur akan mengalami fase-fase pembelahan sampai ke stadium morula, blastula, dan gastrula. Gastrula
13
selanjutnya akan berkembang menjadi larva pluteus yang hidup bebas sebagai plankton yang mempunyai bentuk simetris bilateral (Sugiarto & Supardi 1995). Larva pluteus bila menemui substrat keras seperti karang mati, cangkang keong atau batu akan mengalami penempelan (set-tling larva), kemudian akan mengalami metamorfosa dan menjelma menjadi bulu babi kecil. Hal yang mempengaruhi pemijahan adalah suhu dan tersedianya makanan yang cukup. Batas suhu bagi Diadema setosum adalah untuk melakukan reproduksi adalah sekitar 25°C. Bila suhu berada dibawah batas tersebut, maka aktifitas reproduksi dapat terhambat (Young dalam Horiet al. 1986). Pada daerah tropis, dimana suhu air selalu diatas 25°C, memungkinkan D. setosum untuk memijah sepanjang tahun (Pearse 1970). 2.8 Peranan Bulu babi dalam Ekosistem Selain pemanfaatan bulu babi sebagai bahan pangan,
bulu babi juga
sangat berperan dalam kesetimbangan ekosistem habitatnya. Salah satu contohnya, yaitu peran bulu babi jenis D. antillarum bagi terumbu karang. Bila populasi jenis D. antillarum turun (absence grazing), maka karang akan ditumbuhi oleh alga yang dapat berakibat kematian pada karang dewasa dan tidak adanya tempat bagi larva karang (Sugiarto dan Supardi 1995). Kehadiran populasi bulu babi jenis D. antillarum penting bagi terumbu karang, karena menurut Sugiarto dan Supardi (1995), organisme bulu babi dapat bersifat sebagai penyeimbang.
Kepadatan
dari
populasi
D.
antillarum
akan
menjaga
kesetimbangan populasi dari alga yang hidup pada karang, sehingga akan menghindari adanya kompetisi penempatan ruang antara alga dan karang (Lawrence 1975). Kematian massal bulu babi pernah terjadi pada tahun 1983-1984 di Pasifik Barat, yang dimulai dari Panama di awal Januari 1983 yang menyebar ke Karibia, Teluk Meksiko, Bahama, Bermuda dengan tingkat kematian mencapai 93-100%. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, namun diduga terinfeksi bakteri. Dampak kematian bulu babi ini menyebabkan biomassa alga meningkat, karena makanan utama bulu babi adalah alga coklat, alga hijau dan lamun (Lasker dan Giese 1952; Herring 1972; Chiu 1985 dalam Azis 1993 diacu dari Ratna 2002).
14
Wilayah perairan St. Croix mengalami peningkatan biomassa alga yang pesat hingga 400-500%, hanya berselang 5 hari setelah kematian bulu babi. Bila pada masa sebelum kematian alga perairan tersebut didominasi oleh turf algae dan crustose algae, maka setelah kematian massal bulu babi perairan itu didominasi oleh makroalga seperti Sargassum dan Turbinaria turbinata. Selain itu, kematian massal ini menyebabkan tutupan alga crustose, tutupan karang, dan gorgonian menurun drastis. Pada kasus ini, kompetitor bulu babi yang memakan turf algae ternyata tidak menunjukkan penambahan populasi yang berarti. Peningkatan populasi kompetitor baru meningkat berarti setelah beberapa tahun dari kematian masal (Lawrence 1975). 2.9 Makroalga Makroalga digolongkan kedalam tumbuhan tingkat rendah, secara taksonomi termasuk Divisi Thallophyta yang merupakan peralihan antara tumbuhan tingkat rendah ke tumbuhan tingkat tinggi. Makroalga bersifat multiselluler yang dapat dilihat pada thallus yang secara morfologi menyerupai tumbuhan tingkat tinggi seperti daun, batang dan akar. Makroalga umunya hidup di air baik itu air tawar maupun air laut (Rusli 2006). Makroalga pada umumnya terlihat oleh mata telanjang. Makroalga diklasifikasikan sebagai tumbuhan laut karena mereka berfotosintesis dan memiliki persamaan ekologi dengan tumbuhan lainnya (McCook & Price 1997). Makroalga berbeda dengan tumbuhan laut lainnya seperti lamun dan mangrove karena pada makroalga hanya memiliki sedikit akar, daun, bunga (McCook & Price 1997). Selain itu makroalga juga berbeda dengan mikroalga dimana makroalga memiliki banyak sel dan berkuran besar. Namun beberapa diantaranya seperti Acetabularia dan Caulerpa memiliki satu sel (Rusli 2006). Makroalga memiliki bentuk yang besar dan memiliki bagian-bagian tubuh seperti jaringan kulit yang sederhana, foliose (daun melambai) sampai filamentous (menyerupai benang) dengan struktur cabang yang sederhana sampai bentuk yang komplek dengan memiliki spesialisasi untuk menangkap cahaya, reproduksi, pengapungan, dan menempel pada dasar perairan seperti karang mati dan bebatuan. Ukuran makroalga dapat mencapai 3 – 4 meter (seperti Sargassum).
15
Makroalga tidak memiliki akar yang kuat untuk tumbuh pada perairan yang berlumpur dan berpasir (Dawes 1981). Berdasarkan pada fungsi karakteristik ekologi (seperti bentuk tumbuhan, ukuran, kekuatan, kemampuan berfotosintesis), kemampuan bertahan terhadap grazing (perumputan) dan pertumbuhan, makroalga dapat diklasifisikasikan sebagai berikut (McCook 2001) : 1. Turf algae : Kumpulan atau asosiasi beberapa spesies dari alga, sebagian besar filamentous algae dengan pertumbuhan yang cepat, produktivitas yang tinggi, dan rata-rata berkoloni. Turf algae memiliki biomassa yang rendah per unit area, tetapi mendominasi dalam proporsi yang besar pada area terumbu karang, walaupun dalam terumbu karang yang sehat. Ikan herbivor sangat menyukai kelompok alga ini karena memiliki ukuran kurang dari 2 cm memudahkan ikan untuk memakannya. Disamping itu turf algae tidak mengandung bahan kimia yang dapat menghalangi ikan untuk makan. 2. Fleshy algae : bentuk alga yang besar lebih kaku dan secara anatomi lebih komplek dibandingkan dengan turf algae, lebih sering ditemukan di daerah terumbu karang yang datar. Di daerah ekosistem terumbu karang yang jumlah kelimpahan herbivor relatif rendah, kelompok alga ini relatif dominan, karena fleshy algae diperkirakan memproduksi senyawa kimia yang menghalangi grazing oleh ikan. 3. Crustose algae : Tumbuhan keras yang tumbuh melekat pada karang keras sehingga tampak seperti lapisan cat daripada tumbuhan biasa. Kelompok alga ini memiliki pertumbuhan yang lambat dan menghasilkan calcium carbonate (batu kapur) serta diperkirakan memiliki berperan dalam sementasi kerangka terumbu karang secara bersama-sama. Makroalga terutama turf algae di ekosistem terumbu karang merupakan produsen primer penting karena dapat berfotosintesis sehingga menjadikan makroalga sebagai makanan favorit bagi hewan herbivor (Morissey 1985; McCook 2001 dalam Rusli 2006) dan menempati posisi dasar pada jejaring makanan di ekosistem terumbu karang Pada Tabel 1 dapat dilihat estimasi keragaman spesies
16
dari makaroalga pada Great Barrier Reef (GBR) dibandingkan dengan seluruh pantai Australia dan dunia. Peningkatan populasi dari organisme makroalga akan menimbulkan degradasi terumbu karang, yaitu terjadi pergantian fase tutupan dasar dari tutupan terumbu karang menjadi tutupan makroalga (McCook 2001). Tabel 1. Estimasi keragaman spesies dari makroalga pada Great Barrier Reef (GBR) dibandingkan dengan seluruh pantai Australia dan dunia (www.algaebase.org in McCook & Price (1997). Jumlah spesies (Perairan Laut) Makroalga
Great Barrier
Dunia
Australia
Alga merah (Red Algae)
3900 – 9500
1253
323
Alga coklat (Brown Algae)
1500 - 2151
373
111
Alga hijau (Green Algae)
>800 - 1597
350
195
Total
6200 - 13284
1976
432, 629
Reef
2.10 Klasifikasi Makroalga Klasifikasi makroalga menurut Trono dan Fortes (1998) dibagi kedalam tiga divisi utama yaitu Chlorophyta (alga hijau), Phaeophyta (alga coklat), Rhodophyta (alga merah). Penamaan pada divisi tersebut tergantung pada pigmen fotosintesanya. Divisi Chlorophyta terdiri dari satu kelas, yaitu Cholorphyceae. Divisi Phaeophyta terdiri dari satu kelas, yaitu Phaeophyceae dan divisi Phodophyta terdiri dari satu kelas, yaitu Rhodophyceae. Jenis Caulerpa spp, Halimedaspp, Ulva spp, Enteromorpha sp, merupakan contoh makroalga dari kelas Chlorophyseae. Turbinaria spp, Sargassum spp, Padina spp, Hormophysa sp merupakan contoh makroalga dari kelas Phaeophyceae. Gracilaria spp, Eucheuma spp, Hypnea spp, Acanthophora spp merupakan contoh dari kelas Phodophyceae. Dawes (1981) pengklasifikasian alga berdasarkan fragmentasinya, selain mempunyai klorofil, alga juga mengandung zat warna (merah, coklat, hijau dan biru hijau). Divisi ini mempunyai empat kelas besar yaitu Rhodophyceae (alga merah), Phaeophyceae (alga coklat), chlorophyceae (alga hijau), dan Cyanophyceae (alga hijau biru) (Dawes 1981).
17
2.11 Ekologi Makroalga Dalam Pertumbuhan dan perkembangbiakkannya, makroalga mempunyai fktor-faktor yang mempengaruhi, adapun faktor- faktor tersebut (Luning 1990), antara lain: 1) Gerakan Air Air laut selalu dalam keadaan bergerak. Gerakan-gerakan air laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas permukaan laut, pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan, perbedaan tinggi permukaan laut, pasang-surut, dan lain-lain. Gerakan air laut ini sangat penting bagi berbagai proses alam laut, baik itu biologik atau hayati ataupun non biologik. Pasang-surut merupakan salah satu gejala laut yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan biota laut, khususnya di wilayah pantai (Luning 1990). 2) Kedalaman Makroalga hidup di daerah litoral dan sublitoral di mana penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman hingga 200 m. Namun sebagian besar makroalgae dijumpai pada kedalaman 0–30 m. Keberadaan suatu jenis makroalgae pada kedalaman tertentu dipengaruhi oleh penetrasi cahaya matahari.Algae hijau yang mengabsorbsi cahaya merah (650 nm) terdapat dalam jumlah yang melimpah pada kedalaman 0-5 m, di mana penetrasi cahaya merah mencapai batas maksimum pada kedalaman tersebut. Sedangkan alga coklat dan merah ditemukan di tempat yang lebih dalam, yaitu pada kedalaman 0-15 m. Alga ini menyerap cahaya hijau (500 nm-550 nm) yang mencapai batas penetrasi maksimal pada kedalaman 15 meter di daerah pantai (Luning 1990). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Kepulauan Spermonde (Kepulauan Sangkarang), Eric Verheij (1993), menyatakan bahwa makroalgae di pantai barat Sulawesi Selatan umumnya dijumpai melimpah pada kedalaman 0 - 15 m, baik dari Divisi Chlorophyta, Phaeophyta maupun Rhodophyta.
18
3) Cahaya Matahari Kualitas dan kuantitas cahaya secara luas menentukan tipe dan terdapatnya alga. Sejauh ini fotosintesis dan fotomorfogenesis banyak mendapat perhatian. Pada kebanyakan makroalga fotosintesis terjadi dengan panjang gelombang 300700 nm. Setiap makroalga berbeda dalam menerima jumlah cahaya alga coklat yang tumbuh paling dalam di air laut memerlukan lebih banyak cahaya. Jumlah cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis bervariasi tergantung pada letak makroalga. Makroalga yang hidup pada zona litoral paling atas memerlukan intensitas cahaya tinggi dibandingkan dengan yang ada di dalam air laut. 4) Suhu Kisaran suhu normal untuk pertumbuhan makroalga adalah 27 – 30ºC. Suhu pada kisarab tersebut masih baik untuk kepentingan budidaya rumput laut. Menurut Dawes (1981), menyatakan suhu normal untuk pertumbuhan makroalga adalah 25 – 35ºC. Suhu optimum yang sesuai untuk pertumbuhan makroalga di perairan laut tropis adalah 25ºC. Beberapa jenis makroalga memiliki suhu optimum yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kisaran tersebut. 5) Salinitas Salinitas menentukan sebagian besar komonitas kehidupan di air. Konsentrasi relatif
tinggi NaCl pada air laut menentukan perbedaan
perkembangan fisiologis organisme air laut. Kisaran salinitas optimum untuk pertumbuhan makroalga antara 33 – 40‰ (Bold dan Wynne 1985). 6) Derajat Keasaman (pH) Derajat
keasaman
perairan
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan makroalga. Nilai pH sangat menentukan molekul karbon yang dapat digunakan makroalga untuk fotosintesis. pH yang baik untuk budidaya rumput laut berkisar antara 6 – 9. Beberapa jenis alga toleran terhadap kondisi pH (Bold 1985). Makroalga banyak dijumpai tumbuh di daerah perairan yang agak dangkal dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur atau
19
campuran keduanya. Memiliki sifat benthik (melekat) dan sering disebut sebagai bentik alga. 7) Nutrien Unsur nutrien (nitrogen dan posfat) sangat diperlukan makroalga (rumput laut) untuk pertumbuhannya. Umumnya unsur fosfat yang dapat diserap oleh makroalga (rumput laut) dalam bentuk ortho-fosfat, sedangkan nitrogen di perairan diserap dalam bentuk nitrat. kisaran nitrat yang baik di lautan bagi kehidupan organisme nabati adalah 0,01-5mgL-1 (Luning 1990). Keberadaan diaton di sekitar ekosistem makroalga (rumput laut) dapat mengganggu kehidupan organisme hayati ini, terutama saat rumput laut pada stadia mikroalga. pada stadia ini diatom dapat memakan bahkan masuk dalam sel rumput laut. Sedangkan dalam stadia makroalga (dewasa), diatom menempel dam hidup sebagai parasit pada thalli rumput laut bersama tumbuhan epifit lain. Kebutuhan minimal diatom akan silikat untuk pertumbuhan adalah 0,5mgL-1
20