BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Marketing
2.1.1 Pengertian Marketing Aktivitas pemasaran banyak diartikan sebagai bagian dari aktivitas menawarkan dan menjual barang, tetapi bila kita telah lebih lanjut ternyata makna pemasaran lebih dari sekedar menawarkan dan menjual barang. Para ahli pemasaran telah mengemukakan definisi pemasaran yang berbeda-beda untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai arti dari pemasaran. Adapun beberapa pendapat dari para ahli tersebut yakni:
Menurut Kotler yang dikutip oleh Dharmasita (2003:1) yang dimaksud pemasaran: Marketing is a societal process by which individuals and groups obtain what they need and want through creating, offering, and freely exchanging products and services of value with others. Artinya: Pemasaran adalah proses sosial yang di dalamnya individu atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain.
Menurut William J. Stanton, Michael J. Etzel, dan Bruce J. Walker yang dikutip oleh Dharmasita (2003:2) yang dimaksud pemasaran: Marketing is total system of business designed to plan, price, promote, and distribute want satisfying product to target markets to achieve organizational objective. Artinya: Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang
untuk
mendistribusikan
barang-barang
yang
dapat
memuaskan keinginan dan mencapai sasaran serta tujuan organisasi. Menurut Warren J. Keegan yang dikutip oleh Dharmasita (2003:2) yang dimaksud pemasaran: Marketing is the process of focusing the resources and objective of an organization and environmental opportunities and needs. Artinya: Pemasaran adalah suatu proses yang berfokus pada sumber daya manusia dan bertujuan untuk memanfaatkan peluang-peluang pasar secara global. Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dari individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanya melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran (nilai) produk dengan yang lain.
2.1.2 Marketing Mix Dalam pemasaran terdapat salah satu strategi yang disebut bauran pemasaran. Bauran pemasaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi konsumen untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan dan keberhasilan pemasaran dalam memasarkan suatu produk baik barang maupun jasa yang ada di pasar. Cakupan kegiatan pemasaran ditentukan oleh alat pemasaran yang disebut dengan bauran pemasaran. Elemen-elemen bauran pemasaran terdiri dari semua variabel yang dapat dikontrol perusahaan dalam komunikasinya dengan dan akan dipakai untuk memuaskan konsumen sasaran. Adapun
variabel-variabel
bauran
pemasaran
menurut
Dharmasita
(2003:94). Bauran pemasaran terdiri dari 4P, yaitu: a. Product (produk) Adalah suatu sifat yang komplek baik dapat diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan dan pengecer, pelayanan perusahaan dan pengecer, yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya. Produk dibagi menjadi dua macam, yaitu: ● Barang adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tangible (berwujud fisik) dan menghasilkan kepemilikan sesuatu. ● Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
b. Price (harga) Adalah jumlah uang (ditambah beberapa barang kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya. (2003:147) c. Place (tempat/saluran distribusi) Adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri. (2003:190) d. Promotion (promosi) Adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran. (2003:237) Sementara definisi bauran pemasaran menurut beberapa ahli yaitu: Menurut Philip Kotler yang dikutip Dharmasita (2003:5) yang dimaksud bauran pemasaran: Marketing mix is the set of marketing tools that the firm uses to pursue its marketing objectives in the target market. Artinya: Bauran pemasaran adalah seperangkat variabel pemasaran yang dapat dikuasai oleh pemasaran dan digunakan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran.
Menurut P.R. Smith dialihbahasakan oleh Endi Achmadi, MBA (2003:40) yang dimaksud bauran pemasaran: Bauran pemasaran merupakan suatu kumpulan variabel yang dapat dikontrol yang ditawarkan kepada (dan mempengaruhi) pelanggan. Menurut Kotler disadur oleh Molan (2003:18) yang dimaksud bauran pemasaran: Bauran
pemasaran
adalah
seperangkat
alat
pemasaran
yang
digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran merupakan seperangkat alat yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mempengaruhi konsumen terhadap keputusan pembelian di pasar. 2.2
Jasa
2.2.1 Pengertian Jasa Sebenarnya pembedaan secara tegas antara barang dan jasa seringkali sukar dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian suatu barang seringkali disertai dengan jasa-jasa tertentu (misalnya: pemberian garansi, pelatihan dan bimbingan operasional, perawatan, dan reparasi) dan sebaliknya pembelian suatu jasa seringkali juga melibatkan barang-barang yang melengkapinya (misalnya: makanan di restoran, telepon dalam jasa telekomunikasi). Meskipun demikian jasa dapat didefinisikan sebagai berikut:
Menurut (Kotler,1994) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:6) yang dimaksud dengan jasa: Jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. 2.2.2 Karakteristik Jasa Menurut Kotler yang dikutip oleh Dharmasita (2003:135) terdapat empat karakteristik pokok jasa yang membedakannya dengan barang. Keempat karakteristik tersebut meliputi: 1.
Tidak Berwujud (Intangibility) Jasa mempunyai sifat tidak berwujud karena tidak bisa dilihat, dirasa, didengar, diraba atau dicium sebelum ada transaksi pembelian. Ada beberapa cara dan strategi yang bisa diterapkan dalam penjualan jasa. Misalnya sebuah bank, maka bank tersebut harus mampu menciptakan: a. Tempat (place), yaitu berupa pelayanan interior maupun eksterior bank yang mampu memberikan kesan yang meyakinkan atau menarik pelanggan, misalnya: mengenai kebersihan, penataan tempatnya dan lain-lain. b. Karyawan (people), yaitu berupa keramahtamahan, kecepatan dan kerapian para karyawan dalam melayani nasabahnya. c. Peralatan
(equipment),
yaitu
berupa
kecanggihan
peralatan
yang
dipergunakan (seperti komputer) dan lain-lain. d. Bahan Komunikasi (communication), yaitu berupa brosur-brosur yang dicetak dan ditata dengan baik serta bentuk-bentuk komunikasi lainnya.
e. Lambang (symbols), yaitu berupa nama atau lambang singkat, menarik dan memberikan kesan kejayaan bank. f. 2.
Harga (price), yaitu berupa bunga yang jelas dan bersaing.
Tidak Dapat Dipisahkan (Inseparability) Suatu bentuk jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, apakah sumber itu merupakan orang atau mesin, apakah sumber itu hadir atau tidak, produk fisik yang berwujud tetap ada.
3.
Berubah-ubah (Variability) Jasa sesungguhnya sangat mudah berubah-ubah karena jasa ini sangat bergantung pada siapa yang menyajikan, kapan dan di mana disajikan. Dalam hal pengendalian kualitas, perusahaan jasa dapat mengambil tiga langkah pokok, yaitu: a. Seleksi dan melatih karyawan yang cemerlang. Contoh: adanya pendidikan dan pelatihan karyawan, seminar-seminar. b. Selalu menstandarisasi proses pelayanan dan organisasi melalui berbagai macam cara, seperti penempatan ruangan dan personil pada tempattempat tertentu, adanya sarana telepon bagi konsumen yang ingin atau memerlukan telepon. c. Memonitor perkembangan tingkat kepuasan konsumen melalui sistem saran dan keluhan, survei pasar sehingga dengan demikian pelayanan yang buruk dapat dihindarkan.
4.
Daya Tahan (Perishability) Daya tahan suatu jasa tidak akan menjadi masalah jika permintaan selalu ada dan mantap karena menghasilkan jasa di muka dengan mudah. Bila permintaan turun, maka masalah yang sulit akan segera muncul.
2.2.3 Kategori Jasa Menurut Kotler (1994) yang dikutip oleh Dharmasita (2003:134) terdapat lima katagori atau kelompok jasa yang sering ditawarkan, yaitu: 1. Barang Berwujud Murni (Pure Tangible Good) Contoh: sabun dan pasta gigi. Pada produk ini sama sekali tidak melekat jasa pelayanan. 2. Barang Berwujud Dengan Jasa Pelayanan (Tangible Good With Accompanying Services) Tawaran terdiri atas tawaran barang berwujud yang diikuti satu atau beberapa jasa untuk meningkatkan daya tarik konsumen. Contoh: Penjual mobil memberikan jaminan atau garansi, misalnya: satu tahun gratis service kerusakan. 3. Jasa Campuran (Hybrid) Penawaran barang dan jasa dengan proporsi yang sama. Contoh: makanan ditawarkan di restoran disertai pelayanan yang mengesankan. 4. Jasa Pelayanan Pokok Disertai Barang-barang Jasa Tambahan (Major Service With Accompanying Minor Goods and Service) Contoh: Penumpang pesawat yang membeli jasa angkutan, diberi makan, koran dan lain-lain.
5. Jasa Murni (Pure Service) Tawaran hanya berupa jasa. Contoh: Panti Pijat. 2.2.4 Klasifikasi Jasa Sebagai konsekuensi dari adanya berbagai macam variasi bauran antara barang dan jasa di atas, maka sulit untuk menggeneralisir jasa bila tidak melakukan pembedaan lebih lanjut. Banyak pakar yang melakukan klasifikasi jasa, di mana masing-masing ahli menggunakan dasar pembedaan yang disesuaikan dengan sudut pandangnya masing-masing. Klasifikasi jasa dapat dilakukan berdasarkan tujuh kriteria (Lovelock, 1987, dalam Evans dan Berman, 1990) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:8-12) yaitu: 1.
Segmen pasar Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada konsumen akhir (misalnya: taksi, asuransi jiwa, dan pendidikan) dan jasa kepada konsumen organisasional (misalnya: jasa akuntansi dan perpajakan, jasa konsultasi manajemen dan jasa konsultasi hukum). Sebenarnya ada kesamaan di antara kedua segmen pasar tersebut dalam pembelian jasa. Baik konsumen akhir maupun konsumen organisasional sama-sama melalui proses pengambilan keputusan, meskipun faktor-faktor yang mempengaruhi pembeliannya berbeda. Perbedaan utama antara kedua segmen tersebut adalah alasan dalam memilih jasa, kuantitas jasa yang dibutuhkan dan kompleksitas pengerjaan jasa tersebut.
2.
Tingkat keberwujudan (tangibility) Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a. Rented goods service Dalam jenis ini, konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Konsumen hanya dapat menggunakan produk tersebut, karena kepemilikannya
tetap
berada
pada
pihak
perusahaan
yang
menyewakannya. Contohnya: penyewaan mobil, kaset video, laser disc, villa, dan apartemen. b. Owned goods service Pada owned goods service, produk-produk yang dimiliki konsumen direparasi, dikembangkan atau ditingkatkan untuk kerjanya, atau dipelihara/dirawat oleh perusahaan jasa. Contohnya: jasa reparasi (arloji, komputer), pencucian mobil, pencucian pakaian (laundry and dry clean) dan lain-lain. c. Non-goods service Karakteristik khusus pada jenis ini adalah jasa personal bersifat intangible (tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada para pelanggan. Contohnya: supir, baby-sitter dan dosen.
3.
Keterampilan penyedia jasa Berdasarkan tingkat keterampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas professional service (misalnya: konsultan manajemen, konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan sistem informasi, dokter, perawat, dan arsitek) dan non-professional service (misalnya: supir taksi dan penjaga malam).
4.
Tujuan organisasi jasa Berdasarkan tujuan organisasi, jasa dapat dibagi menjadi commercial service atau profit service (misalnya: penerbangan, bank dan jasa parsel) dan non-profit service (misalnya: sekolah, panti asuhan, perpustakaan dan museum).
5.
Regulasi Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service (misalnya: angkutan umum dan perbankan) dan non-regulated service (seperti: makelar dan catering).
6.
Tingkat intensitas karyawan Berdasarkan tingkat intensitas karyawan (keterlibatan tenaga kerja), jasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu equipment based service, seperti cuci mobil otomatis dan ATM (Automatic Teller Machine) dan people-based service, seperti: satpam dan jasa akuntan. People-based service masih dapat dikelompokkan menjadi kategori tidak terampil dan pekerja profesional (Kotler, 1994). Jasa yang padat karya (People-based) biasanya ditemukan pada perusahaan yang memang memerlukan banyak tenaga ahli dan apabila pemberian jasa itu harus dilakukan di rumah atau di tempat usaha pelanggan. Perusahaan juga akan bersifat padat karya bila proses penyampaian jasa kepada satu pelanggan memakan waktu sehingga
perusahaan membutuhkan personil yang relatif banyak untuk melayani pelanggan yang lain. Sementara itu perusahaan yang bersifat equipmentbased mengandalkan penggunaan mesin dan peralatan canggih yang dapat dikendalikan dan dipantau secara otomatis atau semi otomatis. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga konsistensi kualitas jasa yang diberikan. 7.
Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan Berdasarkan tingkat kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi high-contact service (seperti: universitas, bank, dokter dan pegadaian) dan low contact service (misalnya: bioskop).
2.2.5
Strategi Pemasaran Perusahaan Jasa Dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik unik dan khusus
dalam jasa, serta permasalahan-permasalahan yang muncul, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan perusahaan jasa yang terangkum dalam sa saran dan strategi bisnis jasa, menurut Dharmasita (2003:136-137), yaitu: A. Dari segi permintaan: 1. Harga Differensial (Differential Pricing) Artinya: bagaimana caranya menggeser sebagian permintaan dari jam waktu sibuk puncak ke jam waktu sepi. Contoh: Dengan menjual karcis lebih murah di pagi atau sore hari dibandingkan dengan malam hari.
2.
Menggagalkan
Sepinya
Permintaan
(Nonpeak
Demand
Can
be
Cultivate) Artinya: bagaimana caranya agar permintaan pada saat-saat sepi dapat diatasi agar pelanggan tetap cukup lumayan. Contoh: Para pengunjung di tempat-tempat hiburan biasanya sepi setelah beberapa
minggu
sehabis
lebaran.
Cara
mengatasinya,
dengan
mengadakan pertunjukan baru guna menarik pengunjung. 3. Pelayanan Pelengkap (Complementary Services) Artinya: adanya perusahaan jasa tersebut untuk menambah pelayanannya bagi konsumen pada saat-saat ramai. Contoh: Restoran di tempat hiburan cukup ramai pada saat liburan, maka ditambah meja dan tempat duduknya dan bila perlu dibuat atau ditambah restoran mini (bersifat sementara). 4. Sistem Pesan Tempat (Reservation Systems) Artinya: para pengusaha jasa memberikan kesempatan pada konsumen untuk pesan karcis sebelum penggunaan jasanya. Contoh: Angkutan kereta api menjelang lebaran ataupun sebelum lebaran memberikan kesempatan memesan karcis di loket beberapa hari sebelum memanfaatkan atau menggunakan kereta tersebut. B.
Dari segi penawaran dapat dicoba dengan: 1. Karyawan Paruh Waktu (Part Time Employees) Artinya pengerahan karyawan secara maksimal pada saat-saat ramai, bila perlu ditambah karyawannya.
Contoh: Swalayan HERO mengerahkan seluruh karyawannya secara masksimal, bahkan ada tambahan pada saat-saat mau lebaran. 2. Peningkatan Efisiensi Masa Puncak (Peak Time Effisiensi Routines) Artinya berusaha agar selalu diciptakan efisiensi pada saat-saat sibuk. Contoh: Pimpinan mengerahkan karyawan lainnya untuk membantu kesibukan di bidang lain yang sangat sibuk (pada pelayanan pelanggan). 3. Peningkatan Peranserta Konsumen (Increased Consumer Participation) Artinya usaha agar konsumen mengambil dan memasukkan sendiri belanjaannya ke tempat yang telah disediakan. Contoh: Swalayan HERO menyediakan keranjang jinjingan atau keranjang dorong untuk tempat belanjaan konsumen. 4. Bagian atau Peralatan Jasa Dikembangkan (Shared Services Can Be Developed) Bagian dari peralatan jasa dikembangkan sehingga lebih canggih. Contoh: Sistem perhitungan uang pada saat pelayanan pada pelanggan dengan menggunakan mesin (pada suatu bank). 5. Fasilitas Untuk Ekspansi Mendatang (Facilities For Future Expantion) Artinya:
melakukan
persiapan
peluasan
atau
ekspansi
bagi
pengembangan perusahaan jasa tersebut pada masa dating. Contoh: Membeli tanah di tempat-tempat yang belum ada dan cukup strategis (pada sebuah jasa bank).
Untuk lebih melengkapi strategi di atas, ada beberapa strategi pemasaran yang dapat diterapkan perusahaan jasa seperti yang dikemukakan oleh Dharmasita (2003:137-138) yaitu: 1. Pemasaran Eksternal (External Marketing) Strategi pemasaran ekternal ini dikenal dengan 4 P (product, price, place and promotion) 2. Pemasaran Internal (Internal Marketing) Untuk pemasaran jasa tidak cukup hanya dengan pemasaran eksternal (4 P) tetapi harus diikuti pula dengan peningkatan kualitas
atau
keterampilan para personil yang ada dalam perusahaan. Selain itu juga, harus ada kekompakan atau suatu tim yang tangguh dari personil yang ada dalam perusahaan tersebut, khususnya dalam menghadapi para pelanggan sehingga membawa kesan tersendiri yang meyakinkan pelanggan. 3. Pemasaran Interaktif (Interaktif Marketing) Kepuasan konsumen tidak hanya terletak pada mutu jasa, misalnya: restorannya yang megah dan makanannya yang bergizi. Tetapi juga harus dipadukan dengan melakukan service quality improvement, supaya peningkatan pelayanan benar-benar meyakinkan. Secara visual ketiga strategi pemasaran jasa di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Strategi Pemasaran Jasa
Perusahaan
Karyawan
Pemasaran
Konsumen
Interactive
Sumber: Dharmasita (Manajemen pemasaran, 2003) 2.3
Kualitas jasa
2.3.1
Pengertian Kualitas Jasa Sebenarnya tidaklah mudah mendefinisikan kualitas dengan tepat. Menurut Wyckof (dalam Lovelock,1988) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:59) yang dimaksud kualitas jasa: Kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Menurut Garvin (dalam Lovelock, 1994; loss, 1993) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:52-53) ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beranekaragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. Adapun kelima macam perspektif kualitas tersebut meliputi: 1. Transcendental approach Dalam pendekatan ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, di mana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni, misalnya: seni musik, seni drama, seni tari, dan seni rupa. Meskipun demikian suatu perusahaan dapat mempromosikan produknya melalui pernyataan-pernyataan maupun pesan-pesan komunikasi seperti: tempat berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan wajah (kosmetik), kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi) dan lainlain. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, pelayanan suatu perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas. 2. Product-based approach Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan dan preferensi individual.
3. User-based approach Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang misalnya: perceived quality merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya. 4. Manufacturing based approach Perspektif ini bersifat supply based dan terutama memperhatikan praktikpraktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai
kesesuaian/sama
dengan
persyaratan
(conformance
to
requirements). Dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar
yang
ditetapkan
perusahaan,
bukan
konsumen
yang
menggunakannya. 5. Value-based approach Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable excellence". Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli.
Seiring dengan perkembangan zaman, tepatnya pada tahun 1988, Parasuraman dan kawan-kawan (dalam Fitzsimmons dan Fitzsimmons, 1994; Zeithaml dan Bitner,1996) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:70) ada lima dimensi pokok jasa, yaitu: 1. Tangible ( bukti langsung ), yakni meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan dan sarana komunikasi. 2. Reliability (keandalan), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. 3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu keinginan para staf untuk membantu pelanggan dan memberi pelayanan yang cepat tanggap. 4. Assurance (jaminan), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya dan resiko keragu-raguan. 5. Emphaty (Empati), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami keutuhan para pelanggan. Dimensi pertama yaitu tangible, penting sebagai ukuaran pelayanan, karena pelayanan tidak dapat dilihat dan diraba. persepsi pelanggan dapat dipengaruhi oleh tangible yang baik karena merupakan bukti yang dapat dilihat berupa fasilitas fisik, perlengkapan yang digunakan, karyawan perusahaan dan sarana komunikasi yang ada. Kedua, yaitu reliability, mengukur keadaan perusahaan dalam memberikan pelayanan. Perusahaan yang reliable harus bisa meminimalisasikan kesalahan sehingga pelanggan merasa dipenuhi kebutuhannya dan merasa puas. Ketiga, yaitu responsiveness, lebih mementingkan segi waktu. Dengan kemajuan teknologi yang ada, pelanggan menuntut pelayanan yang diberikan lebih mudah dan cepat sehingga waktu yang digunakan lebih singkat. Keempat adalah assurance, berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan prilaku karyawan dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan pada pelanggannya. Dimensi terakhir yaitu emphaty sangat
memerlukan sentuhan pribadi dan akan sangat membantu jika perusahaan memiliki sistem database yang efektif. Pelayanan yang berempati akan mudah diciptakan apabila karyawan mengerti kebutuhan spesifik pelanggannya dan selalu berusaha memberikan pelayanan lebih baik kepada mereka. Kualitas pelayanan yang baik akan menciptakan kepuasan konsumen. Kualitas pelayanan yang baik biasanya menampakan hasil yang berupa semakin banyak pelanggan yang tetap bertahan serta kenaikan penjualan. 2.3.2
Mengukur Kualitas Jasa Langkah pertama dalam program penilaian kualitas adalah menentukan apa
yang diukur. Suatu pengukuran memang hanya akan efisien bila dipahami apa yang akan diukur sebelum bertanya bagaimana mengukurnya. Dalam hal ini tentu saja setiap perusahaan jasa memiliki pandangan sendiri-sendiri. Meskipun demikian kriteria-kriteria pokok penilaian pelanggan telah banyak diteliti dan diungkapkan, yang meliputi produk dasar suatui jasa dan penawaran jasa yang diperluas. Menurut Gummesson (1987) yang dikutip oleh Tjiptono (2004:98) ada empat sumber kualitas jasa yang menentukan suatu kualitas jasa, yaitu: 1. Design Quality, yang menjelaskan bahwa kualitas jasa ditentukan pada waktu pertama jasa didesain untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. 2. Production Quality, yang menjelaskan bahwa kualitas jasa ditentukan oleh kerja sama departemen manufaktur dan departemen pemasaran. 3. Delivery Quality, yang menjelaskan bahwa kualitas jasa dapat ditentukan oleh janji perusahaan kepada pelanggan. 4. Relationship Quality, yang menjelaskan bahwa kualitas jasa ditentukan oleh hubungan profesional dan sosial antara perusahaan dengan stakeholder (pelanggan, pemasok, agen dan pemerintah, serta karyawan perusahaan).
Mengukur kualitas jasa berarti mengevaluasi/membandingkan kinerja suatu jasa dengan seperangkat standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk model pengukuran Parasuraman dan kawan-kawan, telah dibuat sebuah skala multi-item yang diberi nama “servqual”. Alat ini dimaksudkan untuk mengukur harapan dan persepsi pelanggan, dan kesenjangan (gap) yang ada di model kualitas jasa. Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan skala likert maupun simatik differential, di mana responden tinggal memilih derajat kesetujuan/ketidaksetujuannya atas pernyataan mengenai penyampaian kualitas jasa. Ada banyak model yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas jasa. Pemilihan suatu model tergantung pada tujuan analisis, jenis perusahaan, dan situasi pasar. Tiga peneliti Amerika, Leonard L. Berry, A. Parasuraman, dan Valerie A. Zeithaml (1985) melakukan penelitian mengenai customer perceived quality pada empat industri jasa, yaitu retail banking, credit card, securities brokerage, dan product repair and maintenance. Dikutip oleh Tjiptono (2004:80-81). Dalam penelitian tersebut, mereka mengidentifikasi 5 gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Kelima gap tersebut adalah: 1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa seharusnya didesain dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan konsumen.
Contohnya: pengelola catering mungkin mengira para pelanggannya lebih mengutamakan ketepatan waktu pengantaran makanannya, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan. 2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya atau karena adanya kelebihan permintaan. Sebagai contoh: manajemen suatu bank meminta para stafnya agar memberikan pelayanan secara 'cepat' tanpa menentukan standar atau ukuran waktu pelayanan yang dapat dikategorikan cepat. 3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa Ada beberapa penyebab terjadinya gap ini, misalnya: karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja yang ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standar-standar yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain, misalnya:
para
juru
rawat
diharuskan
meluangkan
waktunya
untuk
mendengarkan keluhan atau masalah pasien, tetapi di sisi lain mereka juga harus melayani para pasien dengan cepat. 4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu lembaga pendidikan menyatakan bahwa lembaganya merupakan yang
terbaik, memiliki sarana kuliah, praktikum dan perpustakaan lengkap, dan staf pengajarnya profesional. Akan tetapi saat pelanggan datang dan merasakan bahwa ternyata fasilitas praktikum dan perpustakaannya biasa-biasa saja (hanya memiliki beberapa ruang kuliah, jumlah komputer relatif sedikit, judul dan eksemplar buku terbatas), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan terjadinya, persepsi negatif terhadap kualitas jasa lembaga tersebut. 5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Misalnya: seorang dokter bisa saja terus mengunjungi pasiennya untuk
menunjukkan
perhatiannya.
Akan
tetapi
pasien
dapat
menginterpretasikannya sebagai suatu indikasi bahwa ada yang tidak beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya. Secara visual kelima gap dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Model Kualitas Jasa (Gap Model) KONSUMEN
Komunikasi Dari Mulut ke Mulut
Kebutuhan
Pengalaman Yang Lalu
Personel
Jasa Yang Diharapkan
Jasa Yang Dirasakan Penyampaian Jasa Penjabaran Spesifikasi
PEMASAR Persepsi Manajemen
Konunikasi Eksternal
Sumber: Parasuraman, A., et al. (1985), “A Conceptual Model of Service Quality and its Implications Future Research”, Journal of Marketing, Vol.49 (Fall),p.44.
2.3.3 Faktor-faktor Penyebab Kualitas Jasa yang Buruk Menurut Tjiptono (2004:85-87) ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kualitas suatu menjadi buruk. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Produksi dan konsumsi yang terjadi secara simultan Salah satu karakteristik jasa yang penting adalah inseparability, artinya jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Dengan kata lain dalam memberikan jasa dibutuhkan kehadiran dan partisipasi pelanggan. Akibatnya timbul
masalah-masalah
sehubungan
dengan
interaksi
produsen
dan
konsumen jasa. Beberapa kekurangan yang mungkin ada pada karyawan pemberi jasa dan dapat berpengaruh terhadap persepsi pelanggan pada kualitas jasa misalnya:
Tidak terampil dalam melayani pelanggan,
Cara berpakaiannya tidak sesuai,
Tutur katanya kurang sopan atau bahkan menyebalkan,
Bau badannya mengganggu,
Selalu cemberut atau pasang tampang 'angker'.
2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi Keterlibatan tenaga kerja yang intensif dalam penyampaian jasa dapat pula menimbulkan masalah pada kualitas, yaitu tingkat variabilitas yang tinggi. Hal-hal yang bisa mempengaruhinya adalah upah rendah (umumnya karyawan yang melayani pelanggan memiliki tingkat pendidikan dan upah yang paling
rendah dalam suatu perusahaan), pelatihan yang kurang memadai atau bahkan tidak sesuai, tingkat turnover karyawan yang tinggi dan lain-lain. 3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang memadai Karyawan front-line merupakan ujung tombak dari sistem pemberian jasa. Supaya mereka dapat memberikan jasa yang efektif, maka mereka perlu mendapatkan dukungan dari fungsi-fungsi utama manajemen (operasi, pemasaran, keuangan, dan sumber daya manusia). Dukungan tersebut bisa berupa
peralatan
(perkakas,
material,
pakaian
seragam),
pelatihan
keterampilan, maupun informasi (misalnya prosedur operasi). Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah unsur pemberdayaan, baik terhadap karyawan front-line maupun para manajer. 4. Kesenjangan-kesenjangan komunikasi Tak dapat dipungkiri lagi bahwa komunikasi merupakon faktor yang sangat esensial dalam kontak dengan pelanggan. bila terjadi gap kesenjangan dalam komunikasi, maka akan timbul penilaian atau persepsi negatif terhadap kualitas jasa. 5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama Pelanggan adalah manusia yang bersifat unik, karena mereka memiliki perasaan dan emosi. Dalam hal interaksi dengan pemberi jasa, tidak semua pelanggan bersedia menerima pelayanan/jasa yang seragam (standardized service). Sering terjadi ada pelanggan yang menginginkan atau bahkan menuntut jasa yang bersifat personal dan berbeda dengan pelanggan lain. Hal ini menimbulkan tantangan bagi perusahaan agar dapat memahami kebutuhan-kebutuhan khusus pelanggan individual dan memahami perasaan pelanggan sehubungan dengan pelayanan perusahaan kepada mereka.
6. Perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan Di satu sisi, memperkenalkan jasa baru atau memperkaya jasa lama dapat meningkatkan peluang pemasaran dan menghindari terjadinya pelayanan yang buruk. Akan tetapi bila terlampau banyak menawarkan jasa baru dan tambahan terhadap jasa yang sudah ada, maka hasil yang diperoleh tidaklah selalu optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan timbul masalah-masalah seputar standar kualitas jasa. 7. Visi bisnis jangka pendek Visi jangka pendek (seperti: orientasi pada pencapaian target penjualan dan laba tahunan, penghematan biaya, peningkatan produktivitas tahunan dan lain-lain) bisa merusak kualitas jasa yang sedang dibentuk untuk jangka panjang. Sebagai contoh: kebijakan suatu bank untuk menekan biaya dengan cara mengurangi jumlah kasir (teller) menyebabkan semakin panjangnya antrian di bank tersebut. 2.3.4
Strategi Meningkatkan Kualitas Jasa Meningkatkan kualitas jasa tidaklah semudah membalikkan telapak tangan
atau menekan saklar lampu. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Upaya tersebut juga berdampak luas, yaitu terhadap budaya organisasi secara keseluruhan. Menurut Tjiptono (2004:88-93) ada berbagai macam strategi yang dapat membantu meningakatkan kualitas jasa, yaitu mengidentifikasi determinan utama kualitas jasa, mengelola harapan pelanggan, mengelola bukti (evidence) kualitas jasa, mendidik konsumen tentang jasa, mengembangkan budaya kualitas, menciptakan automating quality, menindaklanjuti jasa, dan mengembangkan sistem informasi kualitas jasa.
a. Mengidentifikasi Determinan Utama Kualitas Jasa Setiap perusahaan jasa perlu berupaya memberikan kualitas yang terbaik kepada pelanggannya. Untuk itu dibutuhkan identifikasi determinan utama kualitas jasa dari sudut pandang pelanggan. Oleh karena itu langkah pertama yang dilakukan adalah metakukan riset untuk mengideatifikasi determinan jasa yang paling penting bagi pasar sasaran. Langkah berikutnya adalah memperkirakan penilaian yang diberikan pasar sasaran terhadap perusahaan dan pesaing berdasarkan determinan-determinan tersebut. Dengan demikian dapat diketahui posisi relatif perusahaan di mata pelanggan dibandingkan para pesaing sehingga perusahaan dapat memfokuskan upaya peningkatan kualitasnya pada determinan-determinan tersebut. Namun perusahaan perlu memantau setiap determinan sepanjang waktu, karena sangat mungkin prioritas pasar mengalami perubahan. b. Mengelola Harapan Pelanggan Tidak jarang suatu perusahaan berusaha melebih-lebihkan pesan komunikasinya kepada pelanggan dengan maksud agar mereka terpikat. Hal seperti itu dapat menjadi 'bumerang' bagi perusahaan. Semakin banyak janji yang diberikan, maka semakin besar pula harapan pelanggan (bahkan bisa menjurus menjadi tidak realistis) yang pada gilirannya akan menambah peluang tidak dapat terpenuhinya harapan pelanggan oleh perusahaan. Untuk itu ada satu hal yang dapat dijadikan pedoman, yaitu "Jangan janjikan apa yang tidak bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari yang dijanjikan". c. Mengelola Bukti (Evidence) Kualitas Jasa Pengelolaan bukti kualitas jasa bertujuan untuk memperkuat persepsi pelanggan selama dan sesudah jasa diberikan. Oleh karena jasa merupakan kinerja dan tidak dapat dirasakan sebagaimana halnya barang, maka pelanggan cenderung memperhatikan fakta-fakta tangibles yang berkaitan dengan jasa sebagai bukti
kualitas. Dari sudut pandang perusahaan jasa, bukti kualitas meliputi segala sesuatu yang dipandang konsumen sebagai indikator 'seperti apa jasa yang akan diberikan' (preservice expectation) dan 'seperti apa jasa yang telah diterima' (post-service evaluation). Bukti-bukti kualitas jasa bisa berupa fasilitas fisik jasa (seperti gedung, kendaraan dan sebagainya), penampilan pemberi jasa, perlengkapan dan peralatan yang digunakan untuk memberikan jasa, laporan keuangan dan logo perusahaan. d. Mendidik Konsumen Tentang Jasa Membantu pelanggan dalam memahami suatu jasa merupakan upaya yang sangat positif dalam rangka menyampaikan kualitas jasa. Pelanggan yang lebih 'terdidik' akan dapat mengambil keputusan secara lebih baik. Oleh karenanya kepuasan mereka dapat tercipta lebih tinggi. Upaya mendidik konsumen dapat dilakukan dalam bentuk: 1. Perusahaan mendidik pelanggannya untuk melakukan sendiri jasa pelayanan tertentu, misalnya: mengisi blanko/formulir pendaftaran, mengangkut barang belanjaan sendiri dan lain-lain. 2. Perusahaan membantu pelanggan mengetahui kapan menggunakan suatu jasa, yaitu sebisa mungkin menghindari periode puncak/sibuk dan memanfaatkan periode biasa (bukan puncak). 3. Perusahaan mendidik pelanggannya mengenai cara menggunakan jasa. 4. Perusahaan dapat pula meningkatkan. persepsi terhadap kualitas dengan cara menjelaskan kepada
pelanggan
alasan-alasan
yang mendasari suatu
kebijaksanaan yang bisa mengecewakan mereka. e. Mengembangkan Budaya Kualitas Budaya kualitas merupakan sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan penyempurnaan kualitas secara, terus-menerus. Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma,
nilai, tradisi, prosedur dan harapan yang meningkatkan kualitas. Agar dapat tercipta budaya kualitas yang baik, dibutuhkan komitmen menyeluruh pada seluruh anggota organisasi. f.
Menciptakan Automating Quality Adanya otomatisasi dapat mengatasi variabilitas kualitas jasa yang disebabkan kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki. Meskipun demikian sebelum memutuskan melakukan otomatisasi, perusahaan harus melakukan penelitian secara seksama untuk menentukan bagian mana yang membutuhkan sentuhan manusia dan bagian mana yang memerlukan otomatisasi.
g. Menindaklanjuti Jasa Hal ini dapat membantu memisahkan aspek-aspek jasa yang perlu ditingkatkan oleh perusahaan, guna meningkatkan kepuasan pelanggan. h. Mengembangkan Sistem Informasi Kualitas Jasa Merupakan suatu sistem yang menggunakan berbagai macam pendekatan riset secara sistematis untuk menyebarluaskan serta mengumpulkan informasi mengenai kualitas jasa guna mendukung pengambilan keputusan. 2.4
Kepuasan Pelanggan
2.4.1
Pengertian Kepuasan Pelanggan Sebenarnya konsep kepuasan pelanggan masih bersifat abstrak. Pencapaian
kepuasan dapat merupakan proses yang sederhana maupun kompleks. Dalam hal ini peranan setiap individu dalam suatu pelayanan jasa sangatlah penting dan berpengaruh terhadap kepuasan yang dibentuk. Banyak pakar yang memberikan definisi mengenai kepuasan pelanggan.
Menurut Engel, et al. (1990) yang dikutp oleh Tjiptono (2004:146) menyatakan bahwa: Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purnabeli di mana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan. Sedangkan pakar pemasaran Kotler (1994) yang dikutp oleh Tjiptono (2004:147) menyatakan bahwa: Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan/ketidakpuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap hasil kinerja suatu produk dengan harapan-harapannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3 Konsep Kepuasan Pelanggan
Tujuan Perusahaan
Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan
PRODUK
Harapan Pelanggan Terhadap Produk
Nilai Produk Bagi Pelanggan
Tingkat Kepuasan Pelanggan
Sumber: Tjiptono, Fandy (1995), Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, p.28.
2.4.2 Teknik Pengukuran Kepuasan Pelanggan Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya (juga pelanggan perusahaan pesaing). Menurut Kotler (1994) yang dikutp oleh Tjiptono (2004:148) mengemukakan beberapa metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu: 1. Sistem keluhan dan saran Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah dijangkau atau sering dilewati pelanggan), menyediakan kartu komentar (yang bisa diisi langsung ataupun yang bisa dikirimkan via pos kepada perusahaan), menyediakan saluran telepon khusus (customer hot lines) dan lain-lain. Informasi yang diperoleh melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan sehingga memungkinkannya untuk memberikan respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul. 2. Survei kepuasan pelanggan Umumnya banyak penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan metode survei, baik melalui pos, telepon, maupun wawancara pribadi (Mc Neal dan Lamb dalam Peterson dan Wilson, 1992).
Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian kepada pelanggannya. 3. Ghost shopping Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai pelanggan/pembeli potensial produk perusahaan dan pesaing. Lalu ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut itu para ghost shopper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan. Ada baiknya para manajer perusahaan terjun langsung menjadi ghost shopper untuk mengetahui langsung bagaimana karyawannya berinteraksi dan memperlakukan para pelanggannya. Tentunya karyawan tidak boleh tahu kalau atasannya baru melakukan penilaian (misalnya: dengan cara menelpon perusahaannya sendiri dan mengajukan berbagai keluhan atau pertanyaan), karena bila hal ini terjadi, perilaku mereka akan sangat 'manis' dan penilaian akan menjadi bias. 4. Lost customer analysis Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusaha menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok. Yang diharapkan adalah akan diperolehnya informasi penyebab terjadinya hal tersebut. Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.
2.4.3
Faktor-faktor Timbulnya Ketidakpuasan Pelanggan Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan oleh beberapa faktor, di
antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan harapan seseorang biasa-biasa saja atau sangat kompleks. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.4 Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan
Pelanggan Keliru Mengkomunikasikan Jasa Yang diinginkan
Pelanggan Keliru Menafsirkan Signal (Harga, Positioning, dll)
Mengkomunikasikan Rekomendasi Mulut ke Mulut
Harapan Tidak Terpenuhi
Kinerja Karyawan Perusahaan Jasas Yang Buruk
Miskomunikasi Penyediaan Jasa Oleh Pesaing
Sumber : Mudie, Peter and Angola Cottam (1993), The Management And Marketing of Services. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd.,p.223
2.4.4
Strategi Kepuasan Pelanggan Upaya mewujudkan kepuasan pelanggan total bukanlah hal yang mudah.
Bahkan Mudie dan Cottam (1993) yang dikutp oleh Tjiptono (2004:160) menyatakan bahwa: Kepuasan pelanggan total tidak mungkin tercapai, sekalipun hanya untuk sementara waktu. Namun upaya perbaikan atau penyempurnaan kepuasan dapat dilakukan dengan berbagai strategi. Pada prinsipnya strategi kepuasan pelanggan akan menyebabkan para pesaing harus bekerja keras dan memerlukan biaya tinggi dalam usahanya merebut pelanggan suatu perusahaan. Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kepuasan pelanggan merupakan strategi panjang yang membutuhkan komitmen, baik menyangkut dana maupun sumber daya manusia. Menurut Tjiptono (2004:161-170) menyatakan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan kepuasan pelanggan, di antaranya: a. Relationship Marketing Dalam strategi ini, hubungan transaksi antara penyedia jasa dan
pelanggan
berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Dengan kata lain, dijalin suatu kemitraan jangka panjang dengan pelanggan secara terus-menerus sehingga diharapkan dapat terjadi bisnis ulangan (repeat business). b. Strategy Superior Customer Service Perusahaan yang menerapkan strategi ini berusaha menawarkan pelayanan yang lebih unggul daripada para pesaingnya. Untuk mewujudkannya dibutuhkan dana yang besar, kemampuan sumber daya manusia dan usaha gigih. Meskipun demikian, melalui pelayanan yang lebih unggul, perusahaan yang bersangkutan dapat membebankan harga yang lebih tinggi pada jasanya. Akan ada kelompok
konsumen yang tidak berkeberatan dengan harga mahal tersebut. Selain itu perusahaan dengan pelayanan superior akan meraih laba dan tingkat pertumbuhan yang lebih besar daripada pesaingnya yang memberikan pelayanan inferior. c. Strategy Unconditional Guarantees/Extraordinary Guarantees Untuk
meningkatkan
kepuasan
pelanggan,
perusahaan
jasa
dapat
mengembangkan augmented service terhadap core service-nya, misalnya: dengan merancang garansi tertentu atau dengan memberikan pelayanan purnajual yang baik. d. Strategi Penanganan Keluhan yang Efektif Penanganan keluhan yang baik memberikan peluang untuk mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas (atau bahkan pelanggan abadi ). Manfaat lainnya adalah (Mudie dan Cottam,1993): Penyedia
jasa
memperoleh
kesempatan
lagi
untuk
memperbaiki
hubungannya dengan pelanggan yang kecewa. Penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang pelanggan yang tidak puas akan menceritakan pengalamannya kepada 8 sampai 10 orang lain (keluarga, teman dan sejawat). Dengan demikian citra buruk jasa perusahaan dengan mudahnya berkembang di antara mereka dan ini sangat merugikan perusahaan. Kendati demikian, dewasa ini mulai banyak perusahaan yang dengan berbagai cara mencoba mendorung agar pelanggan menyampaikan ketidakpuasannya pertama kali kepada perusahaan sehingga bisa diatasi sebelum tersebar luas. Pesan-pesan komunikasi perusahaan berkaitan dengan hal ini misalnya: "Bila anda tidak puas beritahulah kami, tetapi bila anda puas bertahulah rekan-rekan anda”. Penyedia jasa akan mengetahui aspek-aspek yang perlu dibenahi dalam pelayanannya saat ini.
Penyedia jasa akan mengetahui sumber masalah operasinya. Karyawan dapat termotivasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas lebih baik. e. Strategi Peningkatan Kinerja Perusahaan Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan antara lain: Menyempurnakan proses dan produk (jasa) melalui upaya perbaikan berkesinambungan. Melalui proses ini diharapkan perusahaan mampu melayani konsumen lebih cepat, lebih efisien, lebih memuaskan dan lebih berkualitas. Melakukan pemantauan klien pengukuran kepuasan pelanggan secara berkesinambungan. Memberikan
pendidikan
dan
pelatihan
menyangkut
komunikasi,
salesmanship, dan public relations kepada setiap jajaran manajemen dan karyawan. Membentuk tin-tim kerja lintas fungsional yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuannya dalam melayani pelanggan. Memberdayakan (enpowerment) karyawannya sehingga mereka dapat mengambil keputusan tertentu yang berkaitan dengan tugasnya. f. Quality Function Depoyment Adalah praktik untuk merancang suatu proses sebagai tanggapan terhadap kebutuhan pelanggan.
2.5
Hubungan
Antara
Kualitas
Pelayanan
dengan
Kepuasan
Konsumen Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa jasa adalah tidak nyata (intangible) di mana jasa tersebut tidak dapat dirasakan, diraba, didengar atau diperbaharui sebelum dibeli. Dengan demikian konsumen akan akan mencari tanda/ bukti dari kualitas jasa (pelayanan) tersebut melalui orang lain, peralatan dan harga yang mereka lihat. Dalam pembedaan antara pelayanan pembelian dengan jasa sukar dilakukan. Hal ini dikarenakan pembelian suatu barang seringkali disertai dengan jasa-jasa tertentu (missal: toko TV) dan sebaliknya pembelian suatu jasa seringkali melibatkan barang-barang yang menyertainya (misal: restoran atau café ). Sudah menjadi tugas para penyedia jasa untuk “membuktikan” atau “menyatakan yang tidak nyata” sesuatu yang yang dapat memberikan bukti fisik dan citra dari penawaran abstrak mereka sehingga konsumen dapat merasakan jasa-jasa (pelayanan) yang diberikan perusahaan untuk kemudian dievaluasi oleh konsumen, apakah jasa tersebut sesuai dengan yang diharapkan, melebihi harapan mereka, ataukah berada di bawah harapan mereka. Pada saat proses konsumsi jasa terjadi, konsumen akan melakukan proses evaluasi pelayanan dalam hubungan dengan apa yang mereka cari dan harapkan, dengan apa yang mereka terima sehingga akhirnya mereka bersedia untuk membayarnya. Selama proses tersebut berlangsung, konsumen akan mengamati kemampuan perusahaan dalam memperhatikan dan menangani masalah-masalah mereka dan cara-cara perusahaan memberikan pelayanan di mana konsumen akan memperoleh kualitas teknis dan fungsional yang dapat diterima oleh mereka. Apabila konsumen merasa puas, maka mereka akan melakukan konsumsi yang baru atau pemakaian jasa yang lebih besar lagi sehingga hubungan dengan konsumen yang bertahan lama untuk jangka panjang akan tercapai, di mana pada gilirannya kepuasan konsumen dapat mencapai kesetiaan/ loyalitas pelanggan kepada perusahaan.
Akan tetapi bila konsumen merasa tidak puas terhadap pelayanan yang ada, maka konsumen tersebut akan meninggalkan perusahaan untuk mencari dan mencoba jasa dari perusahaan lain dan kemudian membandingkannya atau mereka benar-benar pergi meninggalkan perusahaan dan tidak ingin kembali lagi. Sesuatu hal yang penting di sini adalah jika para konsumen melepaskan diri karena mereka merasa tidak puas, maka mereka bisa jadi menyebarkan image buruk yang beredar dari mulut ke mulut tentang perusahaan dan lambat laun hal tersebut dapat merusak keberadaan suatu perusahaan (café). Oleh karena itu, kualitas pelayanan memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan konsumen.