BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Minyak Solar Minyak solar adalah suatu produk destilasi minyak bumi yang khusus
digunakan untuk bahan bakar mesin Compretion Ignation (udara yang dikompresi menimbulkan tekanan dan panas yang tinggi sehingga membakar solar yang disemprotkan Injector) dan di Indonesia minyak solar ditetapkan dalam peraturan Dirjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/2007. Minyak solar berasal dari Gas Oil, yang merupakan fraksi minyak bumi dengan kisaran titik didih antara 2500C sampai 3500C yang disebut juga midle destilat. Komposisinya terdiri dari senyawa hidrokarbon dan non-hidrokarbon. Senyawa hidrokarbon yang ditemukan dalam minyak solar seperti parafinik, naftenik, olepin dan aromatik. Sedangkan untuk senyawa non-hidrokarbon terdiri dari senyawa yang mengandung unsur-unsur non-logam, yaitu sulfur, nitrogen, dan oksigen serta unsur logam seperti vanadium, nikel, dan besi.
2.2
Karakteristik Minyak Solar Syarat umum yang harus dimiliki oleh minyak solar adalah harus dapat
menyala dan terbakar sesuai kondisi ruang bakar. Minyak solar sebagai bahan bakar memiliki karakteristik yang dipengaruhi oleh sifat-sifat seperti Cetana Number (CN), Cetana Index (CI), nilai panas, densitas, titik analin dan kandungan sulfur.
2.2.1 Cetana Number (CN) Cetana Number menunjukkan bahan bakar minyak solar untuk menyala dengan sendirinya (auto ignation) dalam ruang bakar karena tekanan dan suhu ruang bakar. Angka CN yang tinggi menunjukkan bahwa minyak solar dapat menyala pada temperatur yang relatif rendah dan sebaliknya angka CN yang rendah menunjukkan minyak solar baru menyala pada temperatur yang relatif tinggi.
2.2.2 Cetana Index (CI) Cetana Index merupakan perkiraan matematis dari CN dengan basis suhu destilasi, densitas, titik anilin dan lain-lain. Apabila terdapat aditif yang bersifat meningkatkan CN maka perhitungan CI tidak dapat langsung digunakan tetapi variabel-variabel seperti API gravity dan suhu destilasi harus disesuaikan karena karakteristik bahan bakar akan berubah.
2.2.3 Nilai Panas Nilai panas bahan bakar dapat diukur dengan menggunakan Bomb kalorimeter dan hasilnya dimasukkan kedalam rumus perhitungan :
8100C + 3400 (H-0/8) Nilai panas =
kkal/kg 100
Nilai H,C, dan O dinyatakan dalam persentasi berat dalam setiap unsur yang terkadang dalam satu kilogram bahan bakar. Hasil perhitungan tersebut merupakan suatu nilai panas kotor (gross heating value) suatu bahan bakar dimana termasuk didalamnya panas laten dari uap air yang terbentuk pada pembakaran hidrogen dari bahan bakar. Selisih nilai panas kotor dan bersih umumnya berkisar antara 600-700 kkal/kg tergantung besar persentase hidrogen yang ikut terbakar. Secara kasar nilai panas suatu bahan bakar dapat diperkirakan dari berat jenis yang bersangkutan : Berat Jenis pada 150C
: 0,85; 0,87; 0,89; 0,91; 0,93
Nilai panas kotor (kkal/kg) : 10900; 10800; 10700; 10600; 10500.
Menurut spesifikasi minyak solar di indonesia mempunyai berat jenis antara 0,820 – 0.870 pada temperatur 600F, dengan demikian dapat diperkirakan mempunyai nilai panas kotor minimal 10800 kkal/kg karena semakin rendah berat jenisnya semakin tinggi nilai panas kotornya dan berdasarkan pengukuran
laboratorium minyak solar berat jenisnya 0,8521 dengan panas kotor 10917 kkal/kg.
2.2.4 Densitas Berat jenis adalah perbandingan antara berat persatuan volume minyak solar. Berat jenis suatu minyak solar mempunyai satuan kilogram per meter kubik (kg/m3). Karakteristik ini sangat berhubungan erat dengan nilai panas kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel persatuan bahan bakar yang digunakan. Densitas yang disarankan untuk minyak solar berdasarkan Masdent Point Refinery untuk tahun 2000 yaitu 826 – 859 km/m3.
2.2.5 Titik Anilin Titik yang menunjukkan suhu terendah saat dimana dalam volume yang sama destilasi anilin dan bahan bakar bersangkutan bercampur dengan sempurna. Titik anilin yang rendah menunjukkan bahwa minyak solar tersebut mempunyai angka cetana yang rendah.
2.3
Karakteristik Bahan Bakar Minyak Solar Indonesia Minyak solar berdasarkan CN dikategorikan menjadi tiga bagian, seperti
tabel 2.1. kategori 3 pada tabel 2.1 merupakan batasan yang tertinggi yang diharuskan pada tahun 2005. Negara swedia sudah menerapkannya sejak tahun 2000. Kebanyakan negara berkembang masuk kategori 1. Secara bertahap karakteristik dari minyak solar ini harus bergeser menuju pada kategori 3 dengan minyak solar ber CN diatas 55. Tabel 2.1 Kategori Minyak Solar SIFAT
Kategori 1
Kategori 2
Kkategori 3
Cetana Number
48
53
55
Cetana Index
45
50
52
Densitas @150C,kg/m3
820 – 860
820 – 850
820 – 840
Viscositas @400C,mm2/s
2 – 4.5
2 – 4.0
2 – 4.0
Kandungan Sulfur, %wt
0.5
0.03
Bebas
T95, 0C max
370
355
340
Sumber : Gaikindo, 2012
Minyak solar indonesia belum masuk kategori 1 karena CN minyak solar Indonesia 45 (lihat Tabel 2.1), walaupun hal ini memenuhi baku mutu dari pemerintah sesuai keputusan ditjend Migas No. 002/P/DM/MIGAS/1979. Karakteristis minyak solar Indonesia menurut keputusan diatas dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Karakteristik Minyak Solar Indonesia Unit
Min.
Max.
ASTM method
Spesifik grafite at 60/600F
0.815
0.87
D 1298
Cetana Number
45
-
D 613
Calculated Cetana Index
48
-
D 976
Viscosity kinematik at 400C
CSt
1.6
5.8
D 445
Pour point
0
F
-
65
D 97
Conradson carbon residue
%wt
-
0.1
D 189
-
3
D 1500
140
-
D 93
Color ASTM Flash point
0
Sulfur content
% wt
-
0.5
D 1551
Water content
% vol
-
0.05
D 95
F
Sediment
% wt
-
0.01
D 473
Ash content
% wt
-
0.01
D 482
Total acid number
MgKOH
-
0.6
D 974
Destilation : recovery at 3000C
% vol
40
-
D 86
Sumber : DITJEN MIGAS No. 113 K 172/DJM/1999, Tanggal 27 Oktober 2011. Dari tabel 2.2 dapat dilihat bahwa minyak solar Indonesia masih mempunyai CN dibawah 48.
2.4
Motor Diesel
2.4.1 Siklus Diesel Ideal Siklus diesel adalah siklus ideal untuk mesin torak pengapian-kompresi yang pertama kali dinyatakan oleh Rudolph Diesel tahun 1890. Prinsip kerjanya sama halnya dengan mesin torak pengapian-nyala, yang dinyatakan oleh Nikolaus A. Otto tahun 1876, hanya perbedaan utamanya dalam hal metode pembakarannya. Pada mesin torak pengapian-nyala (mesin bensin) campuran udara-bahan bakar dikompresi ke temperatur dibawah temperatur pembakaran sendiri (auto ignition) dari bahan bakarnya, kemudian proses pembakarannya oleh percikan bunga api dari busi. Sedangkan pada mesin torak pengapian kompresi (mesin diesel), udara dikompresi ke temperatur di atas temperatur auto ignition dari bahan bakarnya, kemudian pembakaran dimulai saat bahan bakar yang diinjeksikan kontak dengan udara panas tersebut. Maka pada mesin diesel, busi dan karburator digantikan oleh penginjeksi bahan bakar (fuel injector).
Gambar 2.1 Diagaram P-v dan Diagram T-s Siklus Ideal Diesel (Buku Thermodinamika Teknik Jilid 2) Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, 2006). Siklusnya seperti pada diagram P-v dan T-s di atas (Gambar 2.1). Siklus tersebut terdiri dari empat buah proses berantai yang reversible secara internal. Proses 1-2 isentropik, 2-3 penambahan kalor. Pada siklus Otto kalor dipindahkan ke fluida kerja pada volume konstan, sedangkan pada siklus diesel, kalor dipindahkan pada tekanan konstan. Proses 3-4 ekspansi isentropic, dan proses 4-1 pelepasan kalor pada volume konstan, di mana kalor keluar dari udara ketika piston berada pada titik mati bawah. 2.4.1.1 Air Fuel Ratio (AFR) Didalam mesin, bahan bakar dibakar oleh udara. Udara kering merupakan campuran berbagai gas yang memiliki komposisi representatif 20% oksigen, 78,09% nitrogen, 0,93% argon, dan sisanya berupa CO2, neon, helium, metana dan gas lainnya. Pada pembakaran, oksigen merupakan komponen reaktif dari udara. Bahan bakar yang digunakan pada motor bakar merupakan campuran dari berbagai komponen hidrokarbon yang didapat melalui proses penyulingan minyak. Bahan bakar ini didominasi oleh karbon sekitar 86% dan hidrogen 14%. Walaupun demikian bahan bakar diesel bisa mengandung kadar sulfur hingga 1 %. Pada pengujian mesin ini, aliran massa udara dan aliran massa bahan bakar
biasanya diukur, namun jika tak terdapat alat ukur dapat dihitung melalui rumus berikut: AFR =
. ............................................................................. (2.4.1)
2.4.1.2 Thermal Brake Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil daripada energi yang dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi rugi mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi thermal brake (thermal efficiency, ηb). Jika daya keluaran Pb dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar mf dalam satuan kg/jam, nilai kalor bawah bahan bakar LHV dalam satuan kJ/kg, maka:
ηb =
x 3600 ......................................................................... (2.4.2)
Motor diesel dikategorikan dalam motor bakar torak dan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) (simplenya biasanya disebut “motor bakar” saja). Prinsip kerja motor diesel adalah merubah energi kimia menjadi energi mekanis. Energi kimia di dapatkan melalui proses reakasi kimia (pembakaran) dari bahan bakar (solar) dan oksidiser (udara) di dalam silinder (ruang bakar). Pembakaran pada mesin Diesel terjadi karena kenaikan temperatur campuran udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai temperatur nyala. Tekanan gas hasil pembakaran bahan bakar dan udara akan mendorong torak yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerakan bolak-balik torak akan diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol (crank shaft). Dan sebaliknya gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada langkah kompresi. Motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur campuran udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai temperatur nyala. Karena prinsip penyalaan bahan bakarnya akibat tekanan maka
motor diesel juga disebut compression ignition engine (Mathur ML, 1980) seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses Kerja Motor Diesel (http://www.motordiesel.com)
Adapun langkah kerja motor diesel adalah sebagai berikut : 1. Langkah Isap Sewaktu piston bergerak dari TMA ke TMB, maka tekanan diruang pembakaran menjadi hampa (vakum). Perbedaan tekanan udara luar yang tinggi dengan tekanan hampa, mengakibatkan udara akan mengalir dan bercampur dengan gas. Selanjutnya udara murni tersebut masuk melalui katup masuk yang terbuka mengalir masuk dalam ruang cylinder. Prosesnya adalah : a. Piston bergerak dari Titik Mati Atas (TMA) menuju Titik Mati Bawah (TMB). b. Katup buang tertutup dan katup masuk terbuka, udara murni masuk ke silinder. c. Tekanan negatif piston menghisap udara murni dengan tekanan yang tinggi masuk ke silinder. (Seperti pada gambar 2.2)
Gambar 2.2 Langkah Isap (http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)
2. Langkah Kompresi Setelah melakukan pengisian, piston yang sudah mencapai TMB kembali lagi bergerak menuju TMA, dimana katup masuk dan katup buang tertutup, ini memperkecil ruangan diatas piston, sehingga udara murni tersebut menjadi padat, tekanan dan suhunya naik. Tekanannya naik kira-kira tiga kali lipat. Beberapa derajat sebelum piston mencapai TMA terjadi semprotan bahan bakar dari nozle dalam bentuk kabut. Prosesnya sebagai berikut : a. Piston bergerak kembali dari TMB ke TMA; b. Katup masuk menutup, katup buang tetap tertutup; c. Bahan Bakar termampatkan ke dalam kubah pembakaran (combustion chamber) sehingga suhu dan tekanan akan naik; d. Sekitar ± 8 derajat sebelum TMA, injektor menyemprotkan bahan bakar keruang bakar dalam bentuk kabut dan memulai proses pembakaran. (Seperti pada gambar 2.3)
Gambar 2.3 Langkah Kompresi (http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)
3. Langkah Usaha/Tenaga Dengan cepat campuran yang terbakar ini merambat dan terjadilah ledakan yang tertahan oleh dinding kepala silinder sehingga menimbulkan tendangan balik bertekanan tinggi yang mendorong piston turun ke silinder bore. Gerakan linier dari piston ini dirubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol. Enersi rotasi diteruskan sebagai momentum menuju flywheel yang bukan hanya menghasilkan tenaga, counter balance weight pada kruk as membantu piston melakukan siklus berikutnya. Prosesnya sebagai berikut : a. Ledakan tercipta secara sempurna di ruang bakar, dan Piston terlempar dari TMA menuju TMB. b. Katup masuk menutup penuh, katup buang menutup tetapi menjelang akhir langkah usaha katup buang mulai sedikit terbuka. c. Terjadi transformasi energi gerak bolak-balik piston menjadi energi rotasi pada poros engkol.(Seperti pada gambar 2.4)
Gambar 2.4 Langkah Kerja (http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)
4. Langka Buang (Exhaust stroke) Pada langkah buang, piston bergerak dari TMB menuju TMA, katup masuk tertutup dan katup buang terbuka, Langkah buang ini menjadi sangat
penting untuk menghasilkan operasi kinerja mesin yang lembut dan efisien. Prosesnya adalah : a. Counter balance weight pada poros engkol memberikan gaya untuk menggerakkan piston dari TMB ke TMA; b. Katup buang terbuka Sempurna, katup masuk menutup penuh; c. Gas sisa hasil pembakaran didesak keluar oleh piston melalui port exhaust menuju knalpot.(Seperti pada gambar 2.5)
Gambar 2.5 Langkah Buang (http://www.prinsipkerjamotordiesel.com)
2.5
Pembakaran
2.5.1 Definisi Pembakaran Pembakaran merupakan suatu reaksi kimia yang melibatkan kombinasi bahan bakar dan oksigen untuk menghasilkan panas dan produk pembakaran. Definisi pembakaran adalah suatu reaksi oksidasi dan oksigen dan material yang mudah terbakar, yang ditandai nyala api dan menghasilkan cahaya panas. Dalam pembakaran dengan bahan bakar, yang dimaksud dengan Cumbutible materials adalah jenis-jenis material yang mudah terbakar, seperti hidrokarbon. Sedangkan yang bertindak sebagai oksidator adalah oksigen, yang sumber utamanya
diperoleh dari udara untuk pembakaran spontan yang mengandung 21 % O2. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada terjadinya peristiwa pembakaran atau oksidasi setidaknya ada tiga komponen yang dilibatkan, yaitu : 1. Material yang akan mengalami peristiwa pembakaran (dapat berupa cairan, gas, maupun padatan); 2. Oksigen (komponen dalam udara yang memicu terjadinya oksidasi); 3. Letupan energi yang terjadi saat pembakaran berlangsung (yang berfungsi sebagai pengaktivasi jalannya reaksi oksidasi). Jenis-jenis pembakaran ditentukan oleh rasio dari udara (air) dan bahan bakar (fuel) atau ratio A/F.
2.5.2 Proses Pembakaran Proses pembakaran dapat diklasifikasikan menjadi : a. Complete combution, terjadi apabila semua unsur C, H, dan S yang terkandung dalam bahan bakar bereaksi membentuk C02, H2O, dan SO2. Pembakaran ini umumnya dapat dicapai pada kondisi pembakaran dengan udara lebih. b. Perfect combution, terjadi apabila jumlah bahan bakar dan oksidatornya sesuai dengan reaksi stokiometris. Campuran dikatakan stokiometris jika jumlah oksigen dalam campuran tepat untuk bereaksi dengan unsur C, H, dan S membentuk CO2, H2O, dan SO2. c. Incomplete combution, terjadi proses pembakaran bahan bakar menghasilkan produk antara seperti CO, H2, dan aldehit disamping CO2, H2O, dan N2 (jika oksidatornya dalam udara). Pembakaran parsial ini dapat terjadi akibat suplai oksidator yang terbatas, nyala ditiup atau dihembus, nyala didinginkan dengan dikenai permukaan dingin, pencampuran bahan bakar, dan oksidator yang tidak sempurna. d. Spontaneous combution, terjadi apabila bahan bakar mengalami oksidasi secara perlahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak terlepas, menyebabkan temperatur bahan bakar naik secara perlahan sampai
mencai titik bakarnya (ignation point) hingga bahan bakar habis terbakar dan menyala. Pada kenyataannya sangat sulit bagi reaksi untuk pembakaran untuk berlangsung dalam kondisi stokiometris, karena itulah dikenal istilah pembakaran dengan udara berlebihan. Alasan utama akan kebutuhan terhadap udara berlebihan (excees air) adalah karena kegagalan aliran (bahan bakar) dan udara untuk dapat bercampur sempurna pada daerah diamana pembakaran dapat seharusnya dapat teradi.
Berlangsungnya
pembakaran
dipengaruhi
oleh
frekuensi
tumbukan antara molekul bahan bakar dengan molekul oksigen. Bila terjadi deefisiensi dari pencampuran kedua fluida, maka dibutuhkan oksigen berlebih untuk meningkatkan frekuensi tumbukan antara molekul tersebut. Metode yang digunakan untuk menghubungkan kondisi udara aktual dalam sistem pembakaran dengan jumlah teoritis yang diperlukan dinyatakan sebagai air factor (AF). Air factor (AF) dinyatakan sebagai ratio dari udara aktual yang digunakan (Arismunandar W, 1983).
2.5.3 Pembakaran Dalam Mesin Diesel a. Mesin Injeksi Udara Pemecahan, yang disebut pengabutan, dan distribusi bahan bakar dalam mesin injeksi udara adalah sedemikian efisien sehingga keterlambatan penyalaan sangat sedikit dan tidak timbul masalah yang berkaitan dengan pembakaran sampai injeksi tanpa udara menjadi makin diterima secara luas dan kecepatan putar mulai jauh melebihi kecepatan dari mesin injeksi udara. b. Mesin Injeksi tanpa Udara Ketika injeksi dimulai, partikel bahan bakar yang dikabutkan halus dan bersinggungan dengan udara yang telah dipanasi lebih dahulu oleh langkah kompresi. Pertama kali, suhunya naik, kemudian mulai menguap, dan suhu partikel uap meningkat. Kalau suhunya mencapai
titik nyala, maka reaksi cepat akan dimulai, yang mengakibatkan kenaikan tekanan dan suhu akan menyebar kepada sisa bahan bakar dalam ruang bakar. Penyalaan tidak selalu melalui pada titik yang sama, tetapi pada tempat atau beberapa tempat yang ditentukan oleh keadaan suhu dan distribusi bahan bakar, dan dapat berawal pada beberapa titik secara serentak. c. Pusaran (turbulence) Keadaan yang terpenting untuk pembakaran yang efisien, terutama dalam mesin kecepatan tinggi, adalah gerakan yang cukup antara tetesan bahan bakar dengan udara. Kalau bahan bahan bakar dipecahkan dalam bentuk kabut, maka kecepatan semprotan dan jangkauan penyusupannya ketitik yang jauh dalam ruang bakar akan turun sampai nilai yang agak rendah. Jadi distribusi bahan bakar dan campurannya dengan udara harus tergantung pada gerakan udara. Gerakan ini yang disebut pusaran, didapatkan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan bentuk tertentu pada ruang bakar atau puncak torak atau dengan mengarahkan aliran dari pemasukan udara dalam jalur tertentu, dan sebagainya. d. Mesin dengan Kecepatan Tinggi Pemahaman yang lebih baik tentang apa yang dalam silinder mesin diesel selama priode pembakaran dapat diperoleh dengan penyajian grafik. Perubahan tekanan dibuat petanya sebagai ordinat terhadap sebagai absis. Karena putaran poros engkol untuk kegunaan umumnya dapat dianggap seragam, maka derajat dari perjalanan engkol dapat dianggap sebanding dengan waktu, dan absisnya dapat dinyatakan secara sesuai dalam sudut dari perjalanan engkol. Sebuah diagram tekanan tertentu ditunjukkan pada gambar dibawah ini, diagram ini menunjukkan perubahan tekanan selama 1800 dari 900 sebelum titik mati atas (TMA). Sampai 900 sesudahnya. Belahan pertama dari diagram, yaitu garis penuh sampai titik 2 yang titik-titik sampai titik 0, menyatakan
perubahan tekanan dalam sislinder selama langkah kompresi, seperti pada grafik berikut:
Gambar 2.6 Grafik tingkat pembakaran motor diesel pada kecepatan tinggi
Kalau bahan bakar di injeksikan dan terjadi pembakaran, maka proses dalam sebuah mesin diesel dengan kecepatan tinggi dapat dianggap terbagi menjadi empat tingkat atau periode yang terpisah. Periode pertama mulai pada titik 1, ketika injeksi dimulai, bahan bakar mulai memasuki silinder, dan berakhir sampai pada titik 2. Ini adalah periode keterlambatan (delay priode), ini sesuai dengan sudut perjalanan engkol. Selama periode ini tidak terdapat kenaikan tekanan melebihi yang dihasilkan dengan kompresi udara oleh torak. Bahan bakar terus menerus masuk melalui nosel dan titik 2, terdapat sejumlah bahan bakar dalam ruang bakar, yang dipecah halus dan sebagian menguap, dan siap untuk pembakaran. Ketika bahan bakar akhirnya dinyalakan, akan menyala dengan cepat yang mengakibatkan kenaikan tekanan mandadak sampai titik 3 tercapai. Priode pembakaran cepat ini yang sesaui dengan sudut engkol b, membentuk tingkat kedua. Setelah titik 3, bahan bakar yang belum terbakar dan bahan bakar yang masih tetap diinjeksikan terbakar pada kecepatan yang tergantung pada kecepatan injeksi dan jumlah serta distribusi oksigen yang masih ada dalam udara pengisian.
Periode ini adalah tingkat ketiga dari pembakaran terkendali atau pembakaran sedikit demi sedikit, ini berakhir pada titik 4 dengan berhentinya injeksi. Selama tingkat ini tekan dapat naik, tetap konstan, atau turun. Pembakaran pasca tidak terlihat pada diagram karena pemunduran torak mengakibatkan turunnya tekanan meskipun panas ditimbulkan oleh pembakaran bagian akhir bahan bakar (Cengel, Yunus A, 1994).
2.5.4 Nilai Kalor Bahan Bakar Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value). Berdasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nilai kalor bawah. Nilai kalor atas (High Heating Value) HHV, merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan bom kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Data yang diperoleh dari hasil pengujian bom kalorimeter adalah temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan. Selanjutnya untuk menghitung nilai High Heating Value (HHV), dapat dihitung dengan persamaan berikut : HHV = ( T2 – T1 – Tkp ) x cv………(persamaan 2.5.4.1) Dimana : HHV = Nilai Kalor Atas (kJ/kg) T1
= Temperatur air pendingin sebelum penyalaan (0C)
T2
= Temperatur air pendingin sesudah penyalaan (0C)
Cv = Panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg 0C) Tkp = Kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 0C) Sedangkan nilai kalor bawah atau Low Heating Value (LHV) dihitung dengan persamaan berikut:
LHVrata-rata = HHVrata-rata - 3240………(persamaan 2.5.4.2)
Secara teoritis besarnya nilai kalor atas
(HHV) dapat dihitung bila
diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulog :
HHV = 33950 C + 144200 (H2 – (O2/8)) + 9400 S………(persamaan 2.5.4.3)
Dimana : HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg) C
= Komposisi karbon dalam bahan bakar
H2
= Komposisi hidrogen dalam bahan bakar
O2
= Komposisi oksigen dalam bahan bakar
S
= Komposisi sulfur dalam bahan bakar
Nilai kalor bawah Low Heating Value (LHV), merupakan nilai dari kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15% yang berarti setiap satu satuan bahan bakar 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogen. Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besar nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut: LHV = HHV – 2400 (H20 + 9H2)………(persamaan 2.5.4.4) Dimana: LHV
= Nilai kalor bawah (kJ/kg)
H2O
= komposisi uap air dalam bahan bakar (moisture
Dalam perhitungan efisiensi panas dari mesin bakar, dapat menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umunya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American Society of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society OF Automotive Engineers) menentukan nilai kalor bawah (LHV) (Amir Isril, 1996).
2.5.5 Proses Terbentuknya Gas Buang Setiap pembakaran pasti mempunyai gas produk atau yang kita kenal emisi, dibawah ini merupakan emisi yang dihasilkan dari pembakaran selain dari gas CO2 yaitu : a. Karbon monoksida (CO) Bila karbon didalam bahan bakar terbakar dengan sempurna, akan terjadi reaksi yang menghasilkan CO2 seperti yang terlihat dibawah ini : C + O2
CO2
Apabila oksigen dalam udara tidak cukup, maka pembakaran akan berlangsung secara tidak sempurna, sehingga karbon yang terbakar akan menjadi : C + ½ O2
CO
Dengan kata lain, emisi CO dalam suatu pembakaran dipengaruhi oleh perbandingan campuran antara udara dengan bahan bakar. b. Hidrokarbon Sumber emisi hidrokarbon dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Bahan bakar yang tidak terbakar dan keluar menjadi gas mentah: 2. Bahan bakar terpecah karena reaksi panas berubah menjadi gugusan hidrokarbon lain yang keluar bersama dengan gas buang.
Sebab utama timbulnya hidrokarbon pada emisi gas buang adalah sekitar tempat terjadinya pembakaran bersuhu rendah, diamana suhu itu tidak mampu melakukan pembakaran. c. Nitrogen Oksigen (NOX) Jika terdapat N2 dan O2 pada suhu 18000C s/d 20000C, akan terjadi reaksi pembentukan gas NO seperti berikut ini: N2 + O2
2NO
Di udara NO mudah berubah menjadi NO2, NOx, didalam gas terpilih dari 95% NO, 3-4% NOx, dan sisanya N2O, N2O3, dan sebagainya. d. Sulfur Oksidasi (SOx) Bahan bakar minyak solar mengandung unsur belakang (sulfur). Pada saat terjadi pembakaran, S akan bereaksi dengan H dan O untuk membentuk senyawa sulfat dan sulfur oksidasi. H + S + O
HSO
S + O2
SO2
e. Nitrogen (N2) Udara yang digunakan untuk pembakaran sebagian besar terdiri dari senyawa nitrogen (N2). Pada saat terjadi pembakaran, sebagian kecil N2 akan bereaksi dengan O2 dan membentuk NO2. Sebagian besar lainnya tetap berupa senyawa nitrogen hingga keluar sebagai emisi. f. Uap air (H2O) H2O merupakan hasil reaksi pembakaran, dimana air yang dihasilkan tergantung dar mutu bahan bakar. Makin banyak uap air dalam gas buang, menandakan pembakaran makin baik.
2.6
Magnet
2.6.1 Asal Kemagnetan Sifat kemagnetan makroskopik material adalah konsekuensi momen magnet material penyusun, karena adanya pergerakan partikel listrik. Pada skala atom,
momen magnet berasal dari pergerakan elektron, ini dipengaruhi oleh konfigurasi elektron yang berbeda tiap atom atau ikatan antara atom. Elektron mempunyai dua pergerakan, yakni spin dan orbit, dimana momen magnet magnet spin elektron memberikan efek lebih besar dari pada orbitnya. Besar momen magnet di indikasikan oleh Borh magneton, μB = 9,27 x 10-24 A-M2. Untuk spin keatas dan kebawah bernilai berturut-turut + μB dan - μB. Untuk orbital yang bernilai μB. m, dimana m nilai kuatum magnetik. Pada orbital atom yang terisi penuh, momen orbital dan spin dari pasangan elektron saling meniadakan, material menjadi bukan magnet permanen (Sears & Zemansky Addison Wesley 5th edision).
2.6.2 Dipol Magnetik Dipol magnet dapat dianalogikan sebagai magnet batang yang terdiri dari kutub utara dan kutub selatan, pengganti dengan kutub + dan – dari dipol listrik. Pada lingkungan suatu medan magnet, dipol magnetik pada suatu material cenderung terorientasi terhadap medan. Dipol magnet dapat menimbulkan medan magnet, yang dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Dipol Magnetik (http://www.dipolmagnetik.com)
2.6.3 Medan Magnet Suatu partikel bermuatan listrik yang bergerak pada suatu medan magnet akan mengalami gaya Lorentz yang mendorongnya kearah tegak lurus dengan medan magnet dan arah gerak (kaidah tangan kanan). Medan magnet aksternal, H dapat diubah dengan kumparan kawat silinder yang dialiri kawat listrik, sehingga memberikan medan magnet terinduksi B. Medan magnet terinduksi, B (wb.m-2), adalah besar kekuatan magnet internal suatu material yang diberikan H, dimana H = (N/I) I, dengan I adalah arus listrik. (Seperti pada gambar 2.8)
Gambar 2.8 Medan Magnet Induksi (http://www.elektronikabersama.com)
Dari gambar diatas, menjelaskan derajat magnetasi material atau suatu material dapat diinduksi oleh H. Magnetasi suatu material M, dapat memperkuat pengorientasian momen magnet terhadap H. B = μ0 H + μ0 M Dimana: M = XM H dan XM = k-1. Medan magnet yang timbul pada magnet permanen dihasilkan dari medanmedan magnet yang sangat kecil dari tiap atom dalam magnet tersebut yang saling menguatkan. Tingkatan ini dihasilkan oleh pergerakan spin dan orbital dari elktron. Material feromagnetik yang dapat menghasilkan fenomena ini. Unsur yang umumnya digunakan sebagai bahan utama material ferromegnetik adalah besi, cobal, dan nikel.
Kekuatan magnet dihasilkan oleh magnetik flux density. Yang diukur dalam satuan Gauss. Jenis magnet yang digunakan untuk refrigerator mempunyai kekuatan sekitar 1000 Gauss sedangkan water treatment dan bahan bakar mempunyai tingkatan sekitar 2000 sampai 4000 Gauss.
2.6.4 Jenis Material Magnet Berdasarkan konfigurasi elektron, efek magnet pada material terbagi : a. Diamagnetik Material yang semua momen spin elektronnya bercouple. Pada suatu
medan
magnet
elsternal
momen,
magnet
terinduksi
(termagnetisasi) secara lemah karena Xm ˂ O (lemah); Xm menandakan magnetisasi yang didapat pada suatu medan magnet. Asal momen magnet berasal dari orbit elektron sekitar inti, yang menghasilkan medan magnet. Pada suatu medan magnet eksternal, ekstra torque diaplikasikan ke elektron menghasilkan orientasi anti-paralel mmomen magnet atom, yang lemah terhadap medan magnet, karena XM ˂ 0. b. Paramagnetik Material yang memiliki atom, ion, dan molekul yang berspin tak terkompensasi dan batas momen magnet spin permanen. Pada non medan magnet eksternal, orientasi momen magnet atom acak, karena dipol atom bergerak bebas. Momen spin yang lebih besar dari pada momen orbitnya menyebabkan perilaku material saat medan magnet eksternal mengindikasikan momen magnet spin. Pada suatu medan magnet, momen spin yang tak terkompensasi terorientasi (terinduksi, Xm ˃ 0) hingga beberapa derajat terhadap arah medan magnet(magnetisasi). c. Ferromagnetik Kasus khusus parakmagnetik dimana momen magnet spin atomatom terdekat (coupling) terorientasi (matually spin alignment) saat nonmedan eksternal. Material memiliki Xm ˃˃˃ 0 (magnetic susceptibility yang sangat kuat). Spin yang tak terkompensasi pada individu atom-
atom dapat saling berpasangan langsung (direct exchange) atau melalui anion intermediat seperti oksigen (super exchange). Tidak seperti paramagnetik, saat medan magnet eksternal dilepas, material menyisakan bagian yang termagnetisasi permanen (penomena histerisis). Magnetisasi maxsimum (saturasi), MS menggambarkan magnetisasi yang dihasilkan semua dipol magnet yang terorientasi dengan medan magnet eksternal.
2.6.5 Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Magnet Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan vibrasi atom-atom, sehingga mengacak beberapa momen yang terorientasi. Pada ferro-, antiferro-,dan ferrimagnetik, vibrasi termal meniadakan gaya coupling antara momen dipol atomatom berdekatan (beberapa dipol akan kehilangan orientasi), sehingga magnetisasi menurun. Magnetisasi bernilai maksimum pada saat vibrasi minimum (0 K). Peningkatan suhu menurunkan secara perlahan magnetisasi, yang turun hingga nol pada suhu curie Tc (spesifik untuk material). Saat Tc gaya coupling spin mutual (ferro- dan ferri- magnetik) hilang sempurna (paramagnetik). Peningkatan suhu juga menurunkan kemagnetan anti ferromagnetik hingga suhu Neel, TNe, setelah itu kemagnetan meningkat.
2.7
Efek Magnetisasi pada Bahan Bakar Diesel
2.7.1 Reaktifitas Molekul Adanya medan magnet statis yang besar, awan elektron mengelilingi molekul, sehingga molekul bersifat terpolarisasi dan memberikan kenaikan pada medan yang kecil. Posisi inti atom, pada medan yang sesungguhnya tidak hanya tergantung sekitarnya, akan tetapi sekeliling molekul sendiri. Pada keadaan cair, reorientasi molekul terjadi secara acak. Jika atom yang diletakkan dalam medan magnet yang seragam, elektron yang mengelilingi inti menjadi berputar. Perputaran ini menyebabkan medan magnet sekunder yang arahnya berlawanan dengan arah medan magnet yang diberikan.
Ketika solar masih berada dalam suatu penyimpanan bahan bakar, molekul hidrokarbon, yang merupakan penyusun utama solar, cenderung untuk saling tertarik satu sama lain, membentuk molekul-molekul yang bergerombol (clustering). Penggumpalan ini akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan molekul-molekul hidrokarbon tidak saling berpisah pada saat bereaksi dengan oksigen diruang bakar. Akibat buruk yang ditimbulkannya adalah ketidak sempurnaan pembakaran yang dapat dibuktikan secara sederhana dengan ditemuinya kandungan hidokarbon pada gas buang. Adanya suatu medan magnet permanen yang cukup kuat pada melekul hidrokarbon yang bersifat diamagnetik akan menyebabkan reaksi penolakan antar molekul hidrokarbon (desclustering) sehingga terbentuk jarak yang optimal antar molekul hidrokarbon. Partikel-partikel atom yang membentuk molekul hidrokarbon tersebut akan terpengaruh oleh medan magnet yang ditimbulkan sehingga akhirnya akan menjadi semakin aktif dan arahnya akan tersejajar (reorientasi) sesuai dengan arah medan magnet. Aktifitas molekular yang meningkat akibat medan magnet akan menyebabkan pengumpulan molekular terpecah. Oksigen akan lebih mudah bereaksi dengan masing-masing molekul hidrokarbon yang tidak lagi berada dalam gumpalan, sehingga menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna dan penurunan kadar emisi gas buang. (Seperti pada gambar 2.9)
Gambar 2.9 Declustering molekul hidrokarbon yang melewati magnet (:http://www.bahanbakarsolarmelewatimagnetcom)
Pemecah gumpalan-gumpalan (desclustering) molekul hidrokarbon ini dapat dijelaskan juga melalui teori mengenai momen ikatan. Sebagai contoh, apabila ikatan polar seperti O-H dibiarkan dalam medan magnet, maka ikatan akan mengalami sejumlah gaya balik tertentu. Gaya ini secara sederhana mendorong medan magnet untuk membebaskan ikatan dalam medan. Ikatan yang lebih polar mengalami gaya lebih besar daripada ikatan yang kurang polar. H-C termasuk ikatan non-polar, karena nilai momen ikatannya hanya sebesar 0,4 D (Debye). Namun medan magnet yang kuat dapat mengganggu dan mempengaruhi ikatan HC. Meskipun ikatan antara atom H-C tidak sampai terlepas satu sama lain, namun setidaknya kekuatan ikatannya akan sedikit melemah, sehingga atom-atom hidrogen dan karbon akan lebih mudah tertarik dengan oksigen pada proses pembakaran.
2.7.2 Perubahan Spin Elektron Hidrogen Hidrokarbon pada dasarnya memiliki struktur seperti sangkar (cage like). Sebagai contoh metana (CH4), tersusun atas satu atom karbon yang posisinya berada dibagian paling dalam dan 4 atom hidrogen yang mengelilinginya, dimana secara kelistrikan netral. Itulah sebanya timbul hambatan untuk mengoksidasi secara sempurna atom-atom karbon bagian dalam selama proses pembakaran. Kondisi ini dideteksi dari kadar CO dalam gas buang kendaraan bermotor, disamping gas CO2. Berbeda halnya dengan atom-atom hidrogen, karena berada pada posisi paling luar, maka atom-atom hidrogen akan lebih dulu bereaksi dengan atom-atom oksigen. Sangat menarik untuk meneliti atom hidrogen, karena dari sudut pandang energi, jumlah energi terbesar yang besar yang bisa dilepas terletak pada atom hidrogen. Pada oktana (C8H18), persentasi karbon yang terdapat dalam molekul adalah 84,2% dari berat molekul total. Ketika dibakar, atom karbon melepaskan energi sebesar 12,224 BTU/lbm. Sementara itu, atom hidrogen yang persentasinya hanya 15,8% dari berat molekul total dapat melepaskan energi panas sebesar 9.810 BTU/lbm. Ini menunjukkan bahwa hidrogen secara nyata merupakan unsur utama dalam menghasilkan energi pada pembakaran hidrokarbon.
Hidrogen memiliki satu muatan positif (proton) dan satu muatan negatif (elektron) sehingga menimbulkan momen dipol. Hidrogen juga mempunyai sifat kemagnetan yang berbeda, yakni bisa menjadi diamagnetik atau paramagnetik tergantung orientasi relatif dari spin-spin intinya. Hidrogen memiliki dua jenis isomer yang berbeda sifat yaitu para dan ortho, yang karakternya ditandai melalui perbedaan spin-spin inti yang berlawanan. Dalam molekul para, keadaan spin antara satu atom hidrogen dengan atom hidrogen yang lain saling berlawanan arah (counter clockwise/ antiparalel/ one up - one down), sehingga sifat kemagnetan yang ditimbulkan adalah diamagnetik. Sedangkan dalam molekul ortho, keadaan spin antara satu atom hidrogen dengan yang lainnya adalah searah, sehingga sifat kemagnetan yang ditimbulkan adalah paramagnetik. Orientasi spin memiliki efek nyata pada prilaku fisik (panas spesifik, tekan uap) sama seperti perilaku molekul gas. Bentuk orthohidrogen sangat tidak stabil dan pada kenyataannya akan lebih mudah bereaksi bila dibandingkan dengan parahidrogen. Bentuk orthohidrogen lebih menguntungkan, karena kemungkinan meningkatkan energi hasil pembakaran. Untuk menjaga perubahan dari bentuk para ke ortho maka penting untuk mengubah energi dari interaksi antara arah spin dari molekul hidrogen Pada suhu 200C (suhu kamar), 75% hidrogen dalam keadaan parahidrogen. Hanya dengan jalan menurunkan suhu hidrogen cair hingga -2350. Medan magnet dapat menimbulkan efek terhadap perubahan arah putaran spin-spin elektron dari hidrogen. Seperti telah diketahui bahwa hidrogen memiliki momen magnet dan momentum sudut yang tidak dapat dihilangkan, dan tidak ada cara yang dapat dilakukan untuk mengubah besarnya. Namun arah sumbuh putaran elektron dapat diubah dengan bantuan torsi yang dikerjakan oleh medan magnet.
2.7.3 Polarisasi Senyawa Hidrokarbon Ketika
ikatan
kimia
terbentuk
antara
dua
atom
yang
berbeda
elektrinegativitasnya, maka terdapat beda kerapatan elektron pada dua atom tersebut. Atom dengan kerapatan elektron yang rendah akan bersifat parsial positif dan atom dengan kerapatan elektron yang tinggi akan bersifat parsial negatif. Hal
ini mengakibatkan muatan dipol, yang didefinisikan sebuah muatan positif dan negatif yang setara (+Q) pada jarak tertentu (r). Sebuah molekul poliatomik terdiri dari dua atau lebih dipol pada ikatan yang berbeda, jaringan momen dipol dari molekul tesebut merupakan resultan vektor dari tiap momen dipol ikatan. Ketika molekul diletakkan pada sebuah medan magnet, momen dipol dapat terinduksi sesuai dengan arah yang diberikan. Oksigen yang terdapat pada udara diperlukan untuk pembakaran merupakan senyawa yang bersifat polar, sedangkan solar memiliki struktur molekular netral (non polar). Oleh sebab itu, ketika kedua atom tersebut bertemu, keduanya akan cenderung sulit terlarut/bercampur dalam proses pembakaran. Sehingga dihasilkan pembakaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan pembakaran dapat dibuktikan secara sederhana dengan ditemuinya kandungan hidrokarbon pada gas buang. Salah satu tujuan pemagnetan adalah mempolarisasi solar agar memiliki kecenderungan bersifat polar. Apabila hal ini dapat terlaksana, ketertarikan senyawa hidrokarbon dengan oksigen akan lebih kuat bila dibandingkan hidrokarbon tersebut sama sekali netral. Seperti diketahui, apabila suatu molekul bersifat polar, maka kecenderungan menarik molekul lain yang bersifat polar akan semakin kuat. Hal ini kan meningkatkan proses pencampuran oksigen dan molekul hidrokarbon sehingga akan menyempurnakan pembakaran. Pendekatan ini menyebutkan bahwa sebagian besar senyawa hidrokarbon apabila dikenai medan magnet maka akan mempengaruhi bidang rotasi dari molekul pembentuk hidrogen.
2.7.4 Sistem Monopol Magnet Arah gaya medan magnet bergerak/dari kutub selatan dan masuk kekutub utara. Sistem monopol (selatan-selatan) akan memberiakan gaya tolak (repulsif) yang lebih besar dibanding sistem dipol, namun demikian, sistem dipol mempunyai garis gaya medan magnet yang lebih padat dan seragam. Menurut Peter Kulish, sifat dan pengaruh kutub magnet utara dan selatan berbeda pada suatu sistem magnetisasi dalam proses pembakaran atau treatment
yang lain. Penggunaan dua kutub yang bersamaan (dipol), menjadi kurang efektif karena penggabungan kedua kutub magnet memberikan efek yang saling menetralkan magnetisasi. Magnetisasi monopol, dalam hal ini kutub selatanselatan, akan menghasilkan efek yang lebih baik dalam meningkatkan efesiensi pembakaran.
2.8
Sistem Pelumasan Pada Motor Diesel
2.8.1 Pengertian Pelumasan Pada dasarnya pelumasan adalah pemisahan dari dua permukaan benda padat yang begerak secara tangensial terhadap satu sama lain dengan cara menempatkan suatu zat diantara kedua benda padat tadi yang (Karyanto E, 1986): a. Mempunyai jumlah yang cukup dan secara terus menerus dan dapat memisahkan kedua benda sesuai dengan kondisi beban dan suhu. b. Tetap membasahi permukaan kedua benda. c. Mempunyai sifat netral secara kimia terhadap kedua benda. d. Mempunyai komposisi tetap stabil secara kimia pada kondisi operasional. Suatu zat yang dapat memenuhi persyaratan tersebut diatas disebut pelumas / lubricant. Suatu benda atau logam yang tampak halus, sebenarnya tidak pernah mempunyai permukaan yang licin secara sempurna, seperti yang terlihat dengan mata biasa, tetapi jika dilihat dengan mikroskop akan terlihat bahwa pada permukaan tersebut merupakan tonjolan - tonjolan dan lekukan - lekukan mikroskopis. Sehingga bila kedua permukaan tersebut bersinggunan satu dengan yang lain, bagian yang merupakan tonjolan dan lekukan pada kedua benda akan saling mengait. Sehingga apabila kedua permukaan tadi bergerak satu dengan yang lain maka terjadi suatu tahanan yang besar karena tonjolan dan lekukan yang saling mengait harus saling mematahkan. Patah nya tonjolan dan lekukan tadi akan menimbulkan panas, dan tahanan tadi disebut tahanan gesekan. Dan gesekan yang tadi di sebut gesekan kering.
Permukaan yang kasar tidak dapat dihaluskan seluruhnya dengan cara digosok atau diamplas, karena tonjolan dan lekukan tadi sangat tidak teratur, sehingga efek keausan akan berjalan terus. Jika pemisahan antara kedua permukaan dengan menggunakan pelumas, gesekan masih tetap ada, yang di sebut gesekan cair. Nilai gesekan cair jauh lebih kecil dibandingkan gesekan kering. Fungsi Pelumasan a.
Mengurangi tingkat keausan pada benda yang saling bergerak bergesekan.
b.
Mengurangi timbulnya panas yang berlebihan
Fungsi lain dari pelumasan : • Sebagai media pendingin Maksudnya, menghilangkan panas dari bsagian-bagian yang bergesekan • Sebagai zat perapat kebocoran Artinya, menyekat udara antara ring piston dengan dinding silinder • Sebagai zat pembersih. Menghilangkan karbon didalam silinder, debu dan menyaringnya. • Sebagai peredam suara dari getaran
2.8.2 Sifat-Sifat Minyak Pelumas a. Umum Agar menghasilkan suatu pelumasan yang baik, maka diperlukan minyak pelumas yang dapat memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai kebutuhan. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan minyak pelumas adalah : 1) Tekanan bantalan 2) Kecepatan pergesekan 3) Bahan yang bergesekan 4) Ruang antara bahan yang bergesekan 5) Aksesabilitas 6) Suhu dan tekanan kerja
b. Viskositas Viskositas adalah sifat dari suatu fluida, sebagai gesekan internal, yang menyebabkan fluida tersebut melawan untuk mengalir. Tabel 2.3 Viskositas SAE Untuk Pelumas Motor Angka
Rentangan Viskositas, Saybolt seconds
viskositas Pada suhu 1300F SAE
Min
Max
10
90
119
20
120
184
30
185
254
40
255
Pada suhu 2100F Min
Max
80
50
80
104
60
105
124
70
125
150
c. Viskositas Index Viskositas index adalah suatu ukuran perubahan viskositas dari minyak terhadap suhu dibandingkan dengan dua macam minyak referensi yang mempunyai viskositas yang sama pada suhu tertentu. d. Pour Point Pour point atau suhu tuang (titik tuang) ialah suhu terendah dimana minyak dapat mengalir. e. Flash Point Flash point atau titik nyala adalah suhu dimana minyak harus dipanaskan didalam alat percobaan, sehingga timbul uap yang dapat menyala sebentar bila suatu nyala api kecil didekatkan pada uap tadi. Titik nyala minyak pelumas yang digunakan pada motor berkisar antara 175º C - 260º C tergantung pada penggunaan motor dan jenis minyak pelumasnya.
f. Karbon Residu Karbon residu ialah berat sisa dari minyak pelumas yang telah terbakar. g. Acidity atau Neutralization Number Acidity atau keasaman dinyatakan sebagai jumlah dalam milligram dari potassium hydroxide, yang diperlukan untuk menetralkan suatu gram minyak. h. Warna Warna minyak pelumas berguna hanya untuk tujuan identifikasi, dan bukan menunjukan kualitas suatu minyak.
2.8.3 Bagian-Bagian yang Dilumasi Umumnya bagian-bagian yang dilumasi pada motor diesel ialah semua bagian-bagian yang saling bergesekan misalnya : a. Antara torak dan tabung silinder b. Antara poros dengan bantalan poros c. Antara roda-roda gigi dan sebagainya.
2.8.4
Macam-Macam Sistem Pelumasan
1. Sistem pelumasan sump kering Sistem pelumasan motor yang tidak memanfaatkan karakternya sebagai penampung minyak pelumas, tetapi menggunakan tanki tersendiri diluar motor. Minyak pelumas yang jatuh ke dalam sump, selanjutnya dialirkan dengan pompa, melalui sebuah filter, dan dikembalikan lagi ke dalam tangki supply yang terletak diluar dari pada motor tersebut. Pompa ini mempunyai kapasitas yang besar, sehingga dapat mengosongkan sama sekali sumpnya. Pada umumnya dengan sistem ini, dipergunakan juga sebuah oil cooler, baik yang menggunakan air atau udara sebagai medium pendinginannya untuk keperluan pendinginan dari pada minyak pelumasnya.
2.
Sistem pelumasan sump basah Sistem pelumasan sump basah ialah sistem pelumasan motor yang
memanfaatkan karakternya sebagai penampung minyak pelumas. Dalam sistem ini, dibagian bawah pada karter terdapat sebuah piringan (pan) yang merupakan tangki supply, dan ada kalanya sebagai alat pendingin untuk minyak pelumasnya. Minyak yang jatuh menetes dari silinder-silinder dan bantalan-bantalan kembali jatuh ke tempat ini, yang selanjutnya dialirkan kembali dengan sebuah pompa minyak kedalam sistem pelumasanya lagi. Tipe sistem sump basah yang umum diguunakan ialah: a.
Sistem percikan dan sirkulasi pompa
b.
Sistem percikan dan tekanan
c.
Sistem tekanan