BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Bahan Bakar Diesel Bahan bakar diesel yang sering disebut solar (light oil) merupakan suatu
campuran hidrokarbon yang diperoleh dari penyulingan minyak mentah pada temperatur 200
o
C–340
o
C. Minyak solar yang sering digunakan adalah
hidrokarbon rantai lurus hetadecene (C16H34) dan alpha-methilnapthalene (Darmanto, 2006). Sifat-sifat bahan bakar diesel yang mempengaruhi prestasi dari motor diesel antara lain: Penguapan (volality), residu karbon, viskositas, belerang, abu dan endapan, titik nyala, titik tuang, sifat korosi, mutu nyala dan cetane number (Mathur, Sharma, 1980). a. Penguapan (Volality). Penguapan dari bahan bakar diesel diukur dengan 90% suhu penyulingan. Ini adalah suhu dengan 90 % dari contoh minyak yang telah disuling, semakin rendah suhu ini maka semakin tinggi penguapannya. b. Residu karbon. Residu karbon adalah karbon yang tertinggal setelah penguapan dan pembakaran habis Bahan yang diuapkan dari minyak, diperbolehkan residu karbon maksimum 0,10 %. c. Viskositas. Viskositas minyak dinyatakan oleh jumlah detik yang digunakan oleh volume tertentu dari minyak untuk mengalir melalui lubang dengan diameter kecil tertentu, semakin rendah jumlah detiknya berarti semakin rendah viskositasnya. d. Belerang. Belerang dalam bahan bakar terbakar bersama minyak dan menghasilkan gas yang sangat korosif yang diembunkan oleh dinding-dinding silinder, terutama ketika mesin beroperasi dengan beban ringan dan suhu silinder menurun; kandungan belerang dalam bahan bakar tidak boleh melebihi 0,5 %-1,5 %.
6
e. Abu dan endapan dalam bahan bakar adalah sumber dari bahan mengeras yang mengakibatkan keausan mesin. Kandungan abu maksimal yang diijinkan adalah 0,01% dan endapan 0,05%. f. Titik nyala. Titik nyala merupakan suhu yang paling rendah yang harus dicapai dalam pemanasan
minyak
untuk
menimbulkan
uap
terbakar
sesaat
ketika
disinggungkan dengan suatu nyala api. Titik nyala minimum untuk bahan bakar diesel adalah 60 oC. g. Titik Tuang Titik tuang adalah suhu minyak mulai membeku/berhenti mengalir. Titik tuang minimum untuk bahan bakar diesel adalah -15 oC. h. Sifat korosif. Bahan bakar minyak tidak boleh mengandung bahan yang bersifat korosif dan tidak boleh mengandung asam basa. i. Mutu penyalaan. Nama ini menyatakan kemampuan bahan bakar untuk menyala ketika diinjeksikan ke dalam pengisian udara tekan dalam silinder mesin diesel. Suatu bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan siap menyala, dengan sedikit keterlambatan penyalaan bahan bakar dengan mutu penyalaan yang buruk akan menyala dengan sangat terlambat. Mutu penyalaan adalah salah satu sifat yang paling penting dari bahan bakar diesel untuk dipergunakan dalam mesin kecepatan tinggi. Mutu penyalaan bahan bakar tidak hanya menentukan mudahnya penyalaan dan penstarteran ketika mesin dalam keadaan dingin tetapi juga jenis pembakaran yang diperoleh dari bahan bakar. Bahan bakar dengan mutu penyalaan yang baik akan memberikan mutu operasi mesin yang lebih halus, tidak bising, terutama akan menonjol pada beban ringan. j. Bilangan Cetana (Cetane Number). Mutu penyalaan yang diukur dengan indeks yang disebut Cetana. Mesin dieselmemerlukan bilangan cetana sekitar 50. Bilangan cetana bahan bakar adalah persen volume dari cetana dalam campuran cetana dan alpha-metyl naphthalene. Cetana mempunyai mutu penyalaaan yang sangat baik dan alpha7
metyl naphthalene mempunyai mutu penyalaaan yang buruk. Bilangan cetana 48 berarti bahan bakar cetana dengan campuran yang terdiri atas 48% cetana dan 52% alpha- metyl naphthalene.
2.2
Bahan Bakar Biodiesel Biodiesel merupakan monoalkil ester dari asam-asam lemak rantai
panjang yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterikasi trigliserida dan atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku. Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek seperti methanol atau etanol (pada saat ini sebagian besar produksi biodiesel menggunakan metanol) menghasilkan metal ester asam lemak (Fatty Acids Methyl Esters / FAME) atau biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. Katalis yang digunakan pada proses transeterifikasi adalah basa/alkali, biasanya digunakan natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH). Esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan alkohol rantai pendek (metanol atau etanol) menghasilkan metil ester asam lemak (FAME) dan air. Katalis yang digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah asam, biasanya asam sulfat (H 2 SO 4 ) atau asam fosfat (H 2 PO 4 ). Berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati maka proses pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi 2 yaitu : 1. Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah. 2. Esterifikasi dengan katalis asam ( umumnya menggunakan asam sulfat) untuk minyak
nabati
dengan
kandungan
FFA
tinggi
dilanjutkan
dengan
transesterifikasi dengan katalis basa. Proses pembuatan biodiesel dari minyak dengan kandungan FFA rendah secara keseluruhan terdiri dari reaksi transesterifikasi, pemisahan gliserol dari metil ester, pemurnian metil ester (netralisasi, pemisahan methanol, pencucian dan 8
pengeringan/dehidrasi), pengambilan gliserol sebagai produk samping (asidulasi dan pemisahan metanol) dan pemurnian metanol tak bereaksi secara destilasi/rectification. Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika minyak nabati mengandung FFA di atas 5%. Jika minyak berkadar FFA tinggi (>5%) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester.
Tabel 2.1 Standart Biodiesel Eropa ( EN 14214 )
Ester Content
% (m/m)
Lower Limits 96,5
Density at 15 0C
kg/m2
860
900
Viscocity at 40 0C Flash point Sulfur Content Tar remnant Cetane number
mm2/s 0 C mg/kg % (m/m) -
3,5 > 101
5,0
Property
Units
Upper Limits
10 0,3 51,0
Test - Method pr EN 14103d EN ISO 3675/EN 1SO 12185 EN ISO 3104 ISO CD 3679e EN ISO 10370 EN ISO 5165
Sulfated ash content % (m/m)
0,02
ISO 3987
Water content
500
EN ISO 12937
24
EN ISO 12662
mg/kg
Total contamination mg/kg Copper band corrosion (3 hours at 50 0C
rating
Class 1
Class 1
EN ISO 2160
Thermal stability
-
-
-
-
Oxidation stability, 110 0C
hours
6
-
EN 14112
Acid value
mg KOH/g
-
0,5
pr EN 14111
-
120
pr EN 14103d
Iodine Value
9
Linolenic Acid Methhlester
% (m/m)
-
12
pr EN 14103
polyunsaturated (>= 4 Double bonds) % (m/m) Methylester
-
1
pr EN 14103
Methanol content Monoglyceride content
% (m/m)
-
0,2
pr EN 141101
% (m/m)
-
0,8
pr EN 14105m
Diglyceride content
% (m/m)
-
0,2
pr EN 14105m
Triglyceride content % (m/m)
-
0,2
pr EN 14105m
pr EN 14105m/pr EN 14106 Total Glycerine % (m/m) 0,25 pr EN 14105m Alkali Metals pr EN 14108/pr EN mg/kg 5 (Na+K) 14109 Phosporus content mg/kg 10 pr EN 14107p Sumber : Kajian stabilitas Literatur, Armand Arief Ranaldi, FT UI, 2009 Free Glycerine
% (m/m)
-
0,02
EN 14214 merupakan standar internasional yang menggambarkan persyaratan minimal biodiesel, standar Eropa yang disahkan oleh CEN (Komite Eropa
untuk
Standarisasi)
pemberlakuannya
berbeda
pada dari
tanggal
tiap
14
Negara
Februari dimana
2003,
waktu
Finlandia
mulai
memberlakukan pada 8 Maret 2004. Standar ini mendunia berdasar DIN 51606. ASTM dan EN menggunakan metode yand serupa untuk analisis GC, khususnya mengenai kandungan methanol metode EN dianggap dapat digunakan oleh ASTM. Campuran (blends) ditulis sebagai “B” dengan dikuti angka. B99 berarti 99% biodiesel murni dan 1% fossildiesel/solar murni. B20 berarti 20% biodiesel dan 80% fossildiesel. Kandungan racun (toxicity) bahan bakr akan naik proporsional dengan turunnya kandungan biodiesel.
10
2.2.1
Biodiesel Minyak Jelantah Indonesia sangat potensial dalam pengembangan biodiesel karena
merupakan produsen minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm oil) terbesar kedua di dunia. Indonesia dengan penduduk saat ini berkisar 230 juta yang mengkonsumsi minyak goreng sebagai salah satu dari sembilan bahan pokok, menghasilkan sebanyak kurang lebih dari 3,9 juta ton minyak jelantah per tahun. Penggunaan minyak goreng bekas kelapa sawit atau minyak jelantah sebagai biodiesel secara teknis lebih menguntungkan karena telah melalui berbagai proses penghilangan impurities kandungan asam lemak dan lemak padat. Secara ekonomis penggunaan minyak jelantah sebagai bahan dasar biodiesel juga sangat menguntungkan karena minyak jelantah merupakan limbah yang sudah tidak digunakan lagi sehingga dapat diperoleh secara gratis namun dapat pula diperoleh dengan harga yang murah. Penggunaan minyak goreng yang benar menurut ilmu kesehatan hanya dapat digunakan paling banyak empat kali penggorengan atau pemanasan karena setelah melampaui empat kali pemanasan telah mengandung radikal bebas
yang dapat merugikan kesehatan sampai dengan dapat
berkembangnya sel kanker di tubuh manusia. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan serta pengawasan dari pemerintah dalam penggunaan minyak goreng disamping dapat memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat juga dapat menjamin pasokan bahan baku biodiesel berbasiskan minyak jelantah. Bila dibandingkan bahan bakar diesel berbasis minyak bumi, biodiesel minyak jelantah memiliki stabilitas oksidasi yang lebih rendah begitu pula blending biodiesel dengan solar, stabilitas oksidasi menentukan stabilitas penyimpanan bahan bakar dan stabilitas oksidasi yang memadai terhadap bahan bakar apapun merupakan persyaratan dasar untuk menjamin pengoperasian fuel injection (injeksi bahan bakar) mesin diesel yang baik dan bebas dari kerusakan. Secara ekonomis penggunaan minyak jelantah sebagai bahan dasar biodiesel juga sangat menguntungkan karena minyak jelantah merupakan limbah yang sudah tidak digunakn lagi sehingga dapat diperoleh secara gratis ataupun dapat pula diperoleh dengan harga yang murah. Berdasarkan laporan hasil uji laboratorium Lemigas terhadap biodiesel minyak jelantah produksi PT. Bumi Energi Equatorial (PT.BEE) Bogor 11
dan hasil uji stabilitas oksidasi Laboratorium Analisis Pangan Institut Pertanian Bogor, diperoleh karakteristik biodiesel jelantah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Karakteristik Biodiesel Minyak Jelantah Used Frying Oil Biodiesel
Metode
Hasil Biodiesel
2,3-6
2,77
ASTM D 445
Memenuhi
0,85-0,90
0,8794
ASTM D 1298
Memenuhi
< 0,8
0,8967
ASTM D 664
Memenuhi
> 100
211
> 18
20
maks 0.3
1b
ASTM D 130
Memenuhi
< 0,3
0,1323
ASTM D 4530
Memenuhi
< 0,05
0
Standart No
1
2
3 4 5
6
7 8
Uraian
Satuan
Solar
Viscosita s pada 40 c.St 1,6-5,8 0 C Densitas 0,82pada 40 gr/cm2 0,87 0 C total Acid mgKO < 0,6 Number H/gr (TAN) Flash 0 C < 100 Point Cloud 0 C < 18 Point Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50 C Micro Carbon % wt residue water % vol < 0,05 content
Biodiesel
9
Belerang
% wt
< 0,0001
0,0026
10
Fosfor
% wt
< 0,00001
0,003
% wt
< 0,24
0,2134
% wt
< 0,2
0,0204
% wt
< 96,5
83.2302
11 12 13
Total glycerol free glycerol Kadar ester alkil
12
ASTM D 93 ASTM D 2500
ASTM D 2709 ASTM D 1266 ASTM D 1091 FBI A02-03 FBI A02-03 AOCS
Memenuhi Tidak memenuhi
Memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi Memenuhi Memenuhi Memenuhi
Iodium % < 115 38.2893 AOCS Memenuhi number Bilangan ASTM Lebih 15 > 45 62,4 setana D 613 tinggi Stabilitas min 6 EN Tidak 16 jam >51 14112 memenuhi Oksidasi (110 0C) Nilai Kalor ASTM Lebih 17 kJ/kg 45300 36428,8 bawah D 240 rendah (LHV) Uji ASTM 18 Negatif negatif Memenuhi Halpen D 240 Sumber : Pertamina, BPPT, SNI Biodiesel No.04-7182-2006, Lemigas 14
No.November 2007
2.2.2
Biodiesel Biji Karet Biodiesel biji karet diproduksi tanpa mengalami proses ”degumming”
maupun esterifikasi. Transesterifikasi dilakukan pada sebuah reaktor (bubble column reactor) dengan memompakan superheated methanol ke dalam reaktor yang berisi cairan minyak biji karet (RSO).
Tabel 2.3 Hasil Uji Kwalitas Biodiesel Biji Karet Metode Non-Katalis dibandingkan Standar FBI Tahun 2005
No 1 2 3 4 5 6 7
Kwalitas Biodiesel Menurut Standart FBI 2005 Metode Batasan Sifat Kimia Satuan Pengujian Min Mak ASTM 3 Densitas pada 15 C Kg/m 850 890 D-1298 Viskositas cSt 2,3 6,0 D - 445 Kinematik ( 40 C Angka Cetane 51 D - 613 0 Titik Tuang (pour C 18 D - 97 point) 0 titik Nyala (Flash C 100 D - 93 Point) Korosi Lempeng No. No. 3 D - 130 tembaga (3 jam ASTM pada 50 C Residu Karbon % massa 0,05 D – 4530 Mikro 13
Biodiesel Biji Karet 882 5,19 47,5 -6 200 No. 1b
0,126
● dalam contoh asli ● dalam 10% ampas distilasi 8
2,87
D – 2709
0; 0,01
360
D – 1160
347
% massa 0,02 D - 874 Ppm – m D – 5453 (mg/kg) 100 12 Angka Asam Mg0,8 D – 664 KOH/g 13 Glyserol Bebas % massa 0,02 D - 6584 14 Glyserol Bebas % massa 0,24 D - 6584 Sumber: I Wayan Susila, *) Berdasarkan ASTM D 976-91
0,01 0,72
10 11
Temperatur distilasi 90% Abu tersulfatkan Belerang
2.3
% Volume 0 C
0,3
0,05
9
Air dan sedimen
-
-
0,01 -
Mesin Diesel Mesin diesel juga disebut “Motor Penyalaan Kompresi” oleh karena
penyalaannya dilakukan dengan menyemprotkan bahan bakar ke dalam udara yang telah bertekanan dan bertemperatur ringgi sebagai akibat dari proses kompresi di dalam ruang bakar. Mesin diesel pertama kali ditemukan oleh Rudolf Diesel pada tahun 1892. Prinsip kerja pembakaran motor diesel yaitu udara segar dihisap masuk kedalam silinder atau ruang bakar kemudian udara tersebut dikompressi oleh torak sehingga udara memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, dan sebelum torak mencapai titik mati atas, bahan bakar disemprotkan ke ruang bakar dan terjadilah pembakaran. Agar bahan bakar diesel dapat terbakar dengan sendirinya, maka perbandingan kompresi mesin diesel harus berkisar antara 15 – 22, sedangkan tekanan kompresinya mencapai 20 – 40 bar dengan suhu 500 – 700 0C. Aplikasi dari motor diesel banyak pada industri-industri sebagai motor stasioner ataupun untuk kendaraan-kendaraan dan kapal laut dengan ukuran yang besar. Hal ini dikarenakan motor diesel mengkonsumsi bahan bakar ± 25% lebih rendah dari motor bensin, lebih murah dan perawatannya lebih sederhana (Kubota, S., dkk, 2001). Mesin diesel menghasilkan tekanan kerja yang tinggi, itu sebabnya konstruksi motor diesel lebih kokoh dan lebih besar. Disamping itu, mesin diesel 14
menghasilkan bunyi yang lebih keras, warna dan bau gas yang kurang menyenangkan. Namun dipandang dari segi ekonomi, bahan bakar serta polusi udara, motor diesel masih lebih disukai (Mathur, 1980). Menurut Willard W.P (1996) efisiensi termis motor diesel berada di bawah 50% sedangkan menurut Khovakh (1979), efisiensi termis berkisar pada 29% 42% dan sisanya adalah kerugian-kerugian energi. Energi kalor yang dimanfaatkan oleh mesin tidaklah terlalu besar,sisanya merupakan kerugian kerugian energi, diantaranya energi kalor yang hilang akibat pendinginan mesin, energi kalor yang hilang bersama gas buang, energi kalor yang hilang akibat pembakaran tidak sempurna, energi kalor yang hilang karena kebocoran gas, dan kehilangan lainnya akibat radiasi dan konveksi. Siklus diesel (ideal) pembakaran tersebut dimisalkan dengan pemasukan panas pada volume konstan (Y. A. Çengel and M. A. Boles, Thermodynamics: An Engineering Approach, 5th ed, McGraw-Hill, 2006.).
Gambar 2.1 P-v diagram Mesin Diesel [13]
Keterangan Gambar: P
= Tekanan (atm)
V
= Volume Spesifik (m3/kg)
15
q in
= Kalor yang masuk (kJ)
q out
= Kalor yang dibuang (kJ)
Gambar 2.2 Diagram T-S Mesin Diesel [13]
Keterangan Gambar : T = Temperatur (K) S = Entropi (kJ/kg.K)
q in = Kalor yang masuk (kJ) q out = Kalor yang dibuang (kJ)
Keterangan Grafik: 1-2 Kompresi Isentropik 2-3 Pemasukan Kalor pada Tekanan Konstan 3-4 Ekspansi Isentropik 4-1 Pengeluaran Kalor pada Volume Konstan 16
2.3.1
Prinsip Kerja Mesin Diesel Prinsip kerja mesin diesel 4 tak sebenarnya sama dengan prinsip kerja
mesin otto, yang membedakan adalah cara memasukkan bahan bakarnya. Pada mesin diesel bahan bakar di semprotkan langsung ke ruang bakar dengan menggunakan injector. Dibawah ini adalah langkah dalam proses mesin diesel 4 langkah :
Gambar 2.3 Prinsip Kerja Mesin Diesel [15]
1. Langkah Isap Pada langkah ini piston bergerak dari TMA (Titik Mati Atas) ke TMB (Titik Mati Bawah). Saat piston bergerak ke bawah katup isap terbuka yang menyebabkan ruang didalam silinder menjadi vakum,sehingga udara murni langsung masuk ke ruang silinder melalui filter udara. 2. Langkah kompresi Poros engkol terus berputar, piston bergerak dari TMB ke TMA, kedua katup tertutup. Udara murni yang terhisap tadi terkompresi dalam ruang bakar. Karena terkompresi suhu dan tekanan udara tersebut naik hingga mencapai 35 atm dengan temperatur 500⁰ - 800⁰ (pada perbandingan kompresi 20 : 1).
17
3. Langkah Usaha Poros engkol masih terus berputar, beberapa derajat sebelum torak mencapai TMA di akhir langkah kompresi, bahan bahar diinjeksikan ke dalam ruang bakar. Karena suhu udara kompresi yang tinggi terjadilah pembakaran yang menghasilkan tekanan eksplosif yang mendorong piston bergerak dari TMA ke TMB. Kedua katup masih dalam keadaan tertutup. Gaya dorong ke bawah diteruskan oleh batang piston ke poros engkol untuk dirubah menjadi gerak rotasi. Langkah usaha ini berhenti ketika katup buang mulai membuka beberapa derajat sebelum torak mencapai TMB.
4. Langkah Buang Pada langkah ini, gaya yang masih terjadi di flywhell akan menaikkan kembali piston dari TMB ke TMA, bersamaan itu juga katup buang terbuka sehingga udara sisa pembakaran akan di dorong keluar dari ruang silinder menuju exhaust manifold dan langsung menuju knalpot
2.3.2
Performansi Mesin Diesel
2.3.2.1 Daya Poros Daya mesin adalah besarnya kerja mesin selama waktu tertentu. Pada motor bakar daya yang berguna adalah daya poros, dikarenakan poros tersebut menggerakan beban. Daya poros dibangkitkan oleh daya indikator , yang merupakan daya gas pembakaran yang menggerakan torak selanjutnya menggerakan semua mekanisme, sebagian daya indikator dibutuhkan untuk mengatasi gesekan mekanik, seperti pada torak dan dinding silinder dan gesekan antara poros dan bantalan. Prestasi motor bakar pertama-tama tergantung dari daya yang dapat ditimbulkannya. Semakin tinggi frekuensi putar motor makin tinggi daya yang diberikan hal ini disebabkan oleh semakin besarnya frekuensi semakin banyak langkah kerja yang dialami pada waktu yang sama. Dengan demikian besar daya poros itu adalah :
18
Dimana : P B = daya ( W ) T = torsi ( Nm ) n = putaran mesin ( Rpm )
2.3.2.2 Torsi Torsi adalah perkalian antara gaya dengan jarak. Selama proses usaha maka tekanan-tekanan yang terjadi di dalam silinder motor menimbulkan suatu gaya yang luar biasa kuatnya pada torak. Gaya tersebut dipindahkan kepada pena engkol melalui batang torak , dan mengakibatkan adanya momen putar atau torsi pada poros engkol. Untuk mengetahui besarnya torsi digunakan alat dynamometer. Biasanya motor pembakaran ini dihubungkan dengan dynamometer dengan maksud mendapatkan keluaran dari motor pembakaran dengan cara menghubungkan poros motor pembakaran dengan poros dynamometer dengan menggunakan kopling elastik.
T=
…………………………...(2.2)
2.3.3.3 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (SFC) Konsumsi bahan bakar spesifik merupakan salah satu parameter prestasi yang penting di dalam suatu motor bakar. Parameter ini biasa dipakai sebagai ukuran ekonomi pemakaian bahan bakar yang terpakai per jam untuk setiap daya kuda yang dihasilkan. SFC =
………………………… (2.3) …………… (2.4)
19
Dengan : SFC = konsumsi bahan bakar spesifik (kg/kw.h) PB
= daya (W) = konsumsi bahan bakar
sgf = spesifik grafity t
= waktu (jam)
2.3.3.4 Efisiensi Thermal Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang dibangkitkan piston karena sejumlah enegi hilang akibat adanya rugi-rugi mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja maksimium yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar. Efisiensi ini disebut juga sebagai efisiensi termal brake
( brake thermal efficiency, η b ).
Jika daya keluaran P B dalam satuan KW, laju aliran bahan bakar m f dalam satuan kg/jam, maka: ηb =
3600 ………………… (2.5)
2.3.3.5 Rasio Udara - Bahan Bakar (AFR) Energi yang masuk kedalam sebuah mesin
berasal dari pembakaran
bahan bakar hidrokarbon. Udara digunakan untuk menyuplai oksigen yang dibutuhkan untuk mendapatkan reaksi kimia didalam ruang bakar. Agar terjadinya reaksi pembakaran, jumlah oksigen dan bahan bakar harus tepat. Yang dirumuskan sebagai berikut: ……………………(2.6) ……………………..(2.7)
20
massa udara di dalam silinder per siklus
Dimana:
massa bahan bakar di dalam silinder per siklus laju aliran udara didalam mesin laju aliran bahan bakar di dalam mesin tekanan udara masuk silinder temperatur udara masuk silinder konstanta udara volume langkah (displacement) volume sisa
2.4
Nilai Kalor Bahan Bakar Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan
panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value, CV). Bedasarkan asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan menjadi nilai kalor atas dan nilai kalor bawah. Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor yang diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter dimana hasil pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan panas latennya. Secara teoritis, besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung bila diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan Dulong : HHV = 33950 + 144200 (H 2 - ) + 9400 S ........................... (2.8) [Lit. 3 hal 44]
Dimana:
HHV = Nilai kalor atas (kJ/kg) C
= Persentase karbon dalam bahan bakar 21
H2
= Persentase hidrogen dalam bahan bakar
O2
= Persentase oksigen dalam bahan bakar
S
= Persentase sulfur dalam bahan bakar
Nilai kalor bawah ( low Heating Value, LHV ), merupakan nilai kalor bahan bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 % yang berarti setiap satu satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari jumlah mol hidrogennya. Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : LHV = HHV – 2400 (M + 9 H 2 ) .......................................... (2.9) [Lit. 3 hal 44] Dimana:
LHV
= Nilai Kalor Bawah (kJ/kg)
M
= Persentase kandungan air dalam bahan bakar (moisture)
Dalam perhitungan efisiensi panas dari motor bakar, dapat menggunakan nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umumnya lebih cepat tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American of Mechanical Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan SAE (Society of Automotive Engineers) menentukan penggunaan nilai kalor bawah (LHV).
22
2.5
Emisi Gas Buang Untuk mesin Diesel emisi gas buang yang dilihat adalah opasitas
(ketebalan asap). Adapun Standart nilai opasitas berdasarkan peraturan menteri negara lingkungan hidup nomor 05 tahun 2006 tentang ambang batas emisi gas buang.
Tabel 2.4 Standard Emisi Gas Buang Parameter Kategori
Tahun Pembuatan
CO
HC
(%)
(ppm)
Opacity (% HSU)
Berpenggerak Motor Bakar
< 2007
4,5
1200
-
cetus api (bensin)
≥ 2007
1,5
200
-
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
40
< 2010
-
-
70
≥ 2010
-
-
50
Berpenggerak Motor Bakar Penyalaan Kompresi (Diesel) GVW ≤ 3,5 Ton GvVW ≥ 3,5 Ton
Sumber : Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
23
2.6
Asam Lemak Minyak sawit Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang
didapatkan dari bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan minyak mencapai 56% tiap buahnya. Tanaman ini berasal dari negara-negara Afrika Barat dan saat ini telah banyak tumbuh di negara tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia.
Gambar 2.4 Buah Kelapa Sawit [16]
Minyak
sawit
merupakan
minyak
nabati
yang
paling
banyak
diperdagangkan di dunia bahkan diprediksi hingga beberapa dekade ke depan (FAPRI). Teknologi pengolahan minyak sawit terdiri dari tahap ekstraksi, pemurnian, dan pengolahan lanjut menjadi produk pangan ataupun non pangan (Ketaren, 1996). Tahap ekstraksi meliputi proses pengepresan terhadap sabut kelapa sawit sehingga didapat minyak crude palm oil (CPO). Menurut Gotha et al. (2002), minyak dan lemak dapat digolongkan berdasarkan jenis asam lemak, sumber maupun konsumsinya. Berdasarkan asam lemak penyusunnya, minyak sawit dapat digolongkan ke dalam grup asam oleatlinoleat. Minyak sawit mengandung jumlah asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang hampir sama. Berdasarkan Orthoefer (1996), minyak kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak jenuh sekitar 43-56% dari total asam lemak dimana kandungan tertinggi adalah asam palmitat dengan kandungan asam lemak tak jenuh terutama berasal dari asam oleat. Minyak kelapa sawit mengandung 32-47% asam palmitat 24
dan 40-52% asam oleat. Minyak kelapa sawit juga mengandung asam lemak esensial linoleat (omega-6) sekitar 9-12% dari total asam lemak keseluruhan. Komposisi asam lemak pada minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi asam lemak minyak sawit Asam Lemak Asam Lemak Jenuh Laurat (C12) Miristat (C12) Palmitat (C16) Stearat (C18) Arakhidat (C20) Asam Lemak tidak Jenuh Palmitoleat (C16:1) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Lenolenat (C18:3) Sumber : Basiron (2005)
Jumlah (%) 0.1 - 1.0 0.9 - 1.5 41.8 - 46.8 4.2 - 5.1 0.2 - 0.7 0.1 - 0.3 37.3 - 40.8 9.1 - 11.0 0 - 0.6
Komponen minor yang terdapat dalam minyak sawit terdiri dari karotenoid (pigmen yang membentuk warna oranye), tokoferol, dan tokotrienol (sebagai antioksidan), sterol, triterpenic dan alifatik alkohol. Adanya karetenoid, tokoferol dan tokotrienol menyebabkan tingginya stabilitas oksidasi dan nilai gizi minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya. Beberapa fraksi minyak sawit memiliki kandungan karotenoid yang berbeda; CPO (630-700 ppm), CP olein (680-760ppm), dan CP stearin (380-540ppm) (Orthoefer, 1996). Komposisi asam lemak tersebut juga berpengaruh terhadap slip melting point yang dimiliki oleh minyak sawit yaitu berkisar antara 31.1ºC hingga 37.6 ºC (Basiron, 2005). Selain itu, sifat fisik lainnya seperti kandungan lemak padat yang terkandung di dalam minyak sawit juga dapat dipengaruhi oleh kandungan asam lemaknya. Nilai kandungan lemak padat dari berbagai suhu observasi disajikan pada Tabel 2.6.
25
Tabel 2.6 Nilai kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) minyak sawit (RBDPO) pada berbagai suhu
Suhu Observasi 50C 100C 150C 200C 250C 300C 350C 400C 450C Sumber : Basiron (2005)
Solid Fat Content (%) Rata - rata Kisaran 60.5 50.7 - 68.0 49.6 40.0 - 55.2 34.7 27.2 - 39.7 22.5 14.7 - 27.9 13.5 6.5 - 18.5 9.2 4.5 - 14.1 6.6 1.8 - 11.7 4.0 0.0 - 7.5 0.7 -
Minyak kelapa sawit pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu stearin (fraksi padatan) dan olein (fraksi cairan). Pemisahan kedua fraksi tersebut dilakukan melalui proses fraksinasi. Proses fraksinasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyaringan kering (dry fractionation), penyaringan basah (detergent fractionation). Industri pengolahan kelapa sawit cenderung memakai teknik penyaringan kering dengan menggunakan membrane filter press karena lebih ekonomis dan ramah lingkungan (Basiron, 2005). Pada proses fraksinasi akan didapatkan fraksi stearin sebanyak 25 persen dan fraksi olein (minyak makan) sebanyak 75 persen. Stearin memiliki slip melting point sekitar 44.556.2oC sedangkan olein pada kisaran 13-23oC. Hal ini menunjukkan bahwa stearin yang memiliki slip melting pont lebih tinggi akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris, 1994). Kandungan asam lemak pada stearin dapat dilihat pada Tabel 2.7.
26
Tabel 2.7 Komposisi asal lemak stearin Asam Lemak Asam Lemak Jenuh Laurat (C12) Miristat (C12) Palmitat (C16) Stearat (C18) Arakhidat (C20) Asam Lemak tidak Jenuh Palmitoleat (C16:1) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Lenolenat (C18:3) Sumber : Basiron (2005)
Jumlah (%) 0.1 - 0.6 1.1 - 1.9 47.2 - 73.8 4.4 - 5.6 0.1 - 0.6 0.05 - 0.2 15.6 - 37.0 3.2 - 9.8 0.1 - 0.6
Fraksi stearin merupakan produk sampingan yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama dengan fraksi olein. Stearin yang dihasilkan akan berbedabeda tergantung dari proses fraksinasi yang dilakukan. Stearin memiliki beberapa bentuk atau klasifikasi dalam perdagangan tergantung pada penggunaannya. Masing-masing jenis tersebut memiliki standar yang berbeda seperti standar Crude Palm Stearin, Pretreated Palm Stearin, dan Refined Bleached Deodorized (RBD) Palm Stearin. Crude Palm Stearin merupakan stearin yang dihasilkan dari proses fraksinasi CPO dengan karakter fisik berwarna kuning hingga jingga kemerahan (SNI 01-0019-1987). Sedangkan pretreated palm stearin merupakan stearin yang telah mengalami proses penggumpalan (degumming) dan pemutihan pendahuluan (pre-bleaching) untuk berikutnya mengalami proses pemurnian secara fisik (physical refining) (SNI 01-0020-1987). Berdasarkan SNI 01-00211998, RBD Stearin merupakan produk yang diperoleh dari hasil fraksinasi RBD PO dan telah mengalami proses pemurnian. Syarat mutu RBD yaitu kadar asam lemak bebas maksimal 0.15%, bilangan iod maksimal 40 g iod/100 g, cemaran arsen maksimal 0.1 ppm serta kadar air dan kotoran maksimal 0.1%. Standar RBD stearin harus dipenuhi jika stearin akan dipergunakan untuk membuat suatu produk pangan.
27
2.7
Bahan Bakar NusaFuel NusaFuel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati, seperti
halnya biodiesel, bioetanol, maupun bio-oil. NusaFuel merupakan hasil olahan dari asam lemak yang kadarnya terlalu tinggi dalam minyak kelapa sawit untuk dijadikan sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel. Proses produksi NusaFuel melalui beberapa tahapan yang dapat kita lihat pada diagram alir di bawah ini :
Gambar 2.5 Diagram Alir Proses Produksi NusaFuel ( Sumber : PT. Nusantara Bioenergy Investama )
2.7.1
Metanol Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus,
yaitu senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Metanol merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. 28
Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air. Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut: 2 CH3OH + 3 O2 L 2 CO2 + 4 H2O Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api yang tak terlihat. Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri. Penambahan racun ini akan menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena etanol merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol). Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida, kemudian, gas hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya adalah eksotermik.
2.7.1.1 Sifat - Sifat Metanol Sifat – sifat fisik dan kimia metanol ditunjukkan pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.8 Sifat – Sifat Fisika dan Kimia Metanol Massa molar Wujud Spesific gravity Titik leleh Titik didih Kelarutan dalam air Keasaman (pKa) Sumber : Perry (1984)
32.04 g/mol cairan tidak berwarna 0.7918 0 -97 C, -142.9 F (176 K) 64.7 0C, 148.4 0F (337.8 K) sangat larut ~ 15.5
29
2.7.1.2 Kegunaan Metanol Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran dalam, dikarenakan metanol tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol campuran merupakan bahan bakar dalam model radio kontrol. Salah satu kelemahan metanol sebagai bahan bakar adalah sifat korosi terhadap beberapa logam, termasuk aluminium. Metanol, merupakan asam lemah, menyerang lapisan oksida yang biasanya melindungi aluminium dari korosi: 6 CH3OH + Al2O3 L 2 Al(OCH3)3 + 3 H2O Ketika diproduksi dari kayu atau bahan oganik lainnya, metanol organik tersebut merupakan bahan bakar terbarui yang dapat menggantikan hidrokarbon. Namun mobil modern pun masih tidak bisa menggunakan BA100 (100% bioalkohol) sebagai bahan bakar tanpa modifikasi. Metanol juga digunakan sebagai solven dan sebagai antifreeze, dan fluida pencuci kaca depan mobil. Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde, dan dari sana menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil. Dalam beberapa pabrik pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol digunakan ke air limbah sebagai bahan makanan karbon untuk denitrifikasi bakteri, yang mengubah nitrat menjadi nitrogen. Bahan bakar direct- methanol unik karena suhunya yang rendah dan beroperasi pada tekanan atmosfer, ditambah lagi dengan penyimpanan dan penanganan yang mudah dan aman membuat methanol dapat digunakan dalam perlengkapan elektronik.
2.7.2
Esterifikasi Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.
Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat, dan karena ini, asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial (Soerawidjaja, 2006). Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam 30
jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam. Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester adalah : RCOOH + CH3OH ↔ RCOOH3 + H2O Asam Lemak Metanol
Metil Ester Air
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam P 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.
2.7.3
Karakteristik Nusafuel Untuk dapat digunakan sebagai bahan bakar, suatu bahan bakar alternatif
harus memenuhi spesifikasi dari engine manufacturers yakni :
Tabel 2.9 Spesifikasi engine manufacturers Density 150C Flash Point
900 - 930 kg/m > 600C
DIN EN ISO 3675, EN ISO 12185 DIN EN 22719
Lower Calorific Value
>35 MJ/kg ( typical : 37 MJ/kg )
DIN 51900-3
Viscosity 500C
< 40 cSt ( corresponds to viscosity/40 0C < 60 cSt)
DIN EN ISO 3104
> 40 < 0.4 % < 200 ppm
FIA DIN EN ISO 10370 DIN EN 12662
catane number Coke residue Sediment Content Oxidation stability (1100C) Phosphorus content
>5h < 15 ppm 31
ISO 6886 ASTM D3231
Na + K content Ash content Iodine Number Water content
< 15 ppm < 0.01 % < 125g/100g < 0.5%
< 4 mgKOH/g (TAN 2 mgKOH/g - 1% FFA) 0 < 10% C below lowset Cold Filter Plugging temperature in fuel point system) Sumber : PT. Nusantara Bioenergy Investama TAN ( total acid number )
DIN 51797-3 DIN EN SO 6245 DIN EN 14111 EN ISO 12537 DIN EN ISO 660
EN 116
NusaFuel merupakan bahan bakar alternatif yang telah memenuhi spesifikasi dari engine manufacturers diatas sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil dalam hal ini solar. NusaFuel memiliki spesifikasi seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.10 Spesifikasi Bahan Bakar NusaFuel PARAMETER Density Flash Point Coke residue Sediment Content Phoshporus content
UNIT kg/m3 C % Ppm Ppm cp % % mg KOH/ g %
LIMIT 890 - 910 >100 <0.4 <200 <10 Viscosity @ 60 C <10 Ash content <0.01 Water content <0.2 Acidity 4 max Sulphur content <0.05 Cetane number 41 min 20% min Methylester content Vegetable Oil Balance to 100% Sumber : PT. Nusantara Bioenergy Investama
32