BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Merokok dan Kesehatan Kerja Merokok adalah kegiatan mengonsumsi tembakau dengan cara membakar olahan tembakau kemudian menghisap asap yang dihasilkan (Sitepoe, 2011). Munculnya bahaya yang diakibatkan rokok ini disebabkan oleh zat-zat beracun yang dihasilkan rokok saat dikonsumsi. Asap rokok terdiri atas campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Rokok mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia dan sebagian besar bahan atau senyawa-senyawa tersebut bersifat toksik bagi berbagai macam sel dalam tubuh, seperti karbon monoksida (CO), hidrogen sianida (HCN), dan oksida nitrogen, nitrosamin, formaldehid. Zat-zat ini dapat memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner & Blanc, 2007). Salah satu efek tidak langsung dari kebiasaan merokok adalah menyebabkan mortalitas dengan meningkatkan berbagai penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Hukkanen dkk, 2005; McPhee & Pignone, 2007).
8
9
Data lain juga menyatakan hal serupa, yaitu telah dijumpai angka mortalitas terbesar akibat rokok adalah penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%, kanker sebesar 28% dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sebesar 26% (Barber et al., 2008). Dampak negatif akibat asap rokok tersebut tidak hanya mengancam para perokok, namun juga orang di sekitar perokok yang ikut menghirup asap rokok yang disebut perokok pasif. Fenomena perokok pasif ini seringkali terjadi di tempat dengan oarng-orang yang berdiam secara rutin dan dalam waktu lama di suatu tempat, salah satunya adalah tempat kerja. Oleh karenanya telah banyak yang menghubungkan perilaku merokok dengan kesehatan kerja, sebab perilaku merokok terutama di tempat kerja ini tidak hanya membahayakan kesehatan perokok sendiri tapi juga berpotensi membahayakan kesehatan pekerja lain yang ikut menghirup asap rokok di tempat kerja. Menurut Takala (2005) sebanyak 200.000 pekerja meninggal setiap tahun karena paparan asap rokok orang lain di tempat kerja. Kematian karena paparan asap rokok orang lain ini merupakan 1 dari 7 penyebab kematian akibat kerja. Stark et al (2007) menyatakan bahwa pekerja yang tidak terlindungi dari asap rokok orang lain (AROL) di tempat kerja telah diketahui mampu meningkatkan kadar 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanol (NNAL) sebagai biomarker 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNK) dalam urine. Senyawa NNK ini merupakan zat karsinogen berbahaya yang berperan penting sebagai penyebab kanker paru. Penelitian Nurjanah dkk (2014) tentang dampak paparan asap rokok orang lain (AROL) di tempat kerja, menemukan sebanyak 14 orang (20%) dari 70 pekerja telah mengalami gangguan restriksi (penyempitan) ringan, dan obstruksi ringan hingga sedang sebanyak 2 orang (2,9%).
10
Penelitian BTCI pada tahun 2014 menyatakan bahwa dari 200 pekerja bar dan restoran di Kabupaten Badung Bali, sebanyak 44% adalah perokok aktif dan 56% pekerja adalah perokok pasif. Selain itu juga diketahui sebanyak 30% pekerja mengalami gangguan fungsi paru akibat asap rokok di tempat kerja. Penelitian lain yang dilakukan Nurjanah dkk (2014) tentang paparan asap rokok di bar dan restoran Kota Semarang menemukan dari 70 orang sampel, sebanyak 81,4% pekerja adalah perokok pasif yang berarti 18,6% pekerja lainnya adalah perokok aktif. Selain itu dari 13 lokasi, terdapat 4 lokasi (30,8%) dengan kualitas udara PM2.5 yang tidak sehat dan 4 lokasi (30,8%) menunjukkan level PM2.5 yang sangat tidak sehat. Menurut Cameron et al (2010), rata-rata PM2.5 akan meningkat sekitar 30% tiap ada penambahan orang merokok dalam jarak 1 meter dari monitor, dengan situasi tersebut diperkirakan rata-rata paparan orang yang berada setinggi atau di atas kepala perokok akan meningkat sekitar 50%. Hal ini berarti paparan asap rokok sangat berpengaruh dalam status kualitas udara di tempat kerja. Dalam upaya mengontrol paparan asap rokok di tempat kerja, telah banyak upaya pengendalian yang dilakukan salah satunya dengan penerapan perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Di Propinsi Bali telah ditetapkan Perda Propinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang kawasan tanpa rokok. Perda KTR ini mengatur pelarangan merokok di 7 kawasan meliputi tempat bermain anak, tempat ibadah, fasilitas kesehatan, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Perda ini diterapkan dengan tujuan melindungi hak masyarakat untuk menghirup udara sehat yang bebas asap rokok (Pemerintah Daerah Provinsi Bali, 2011). Tiap kabupaten/kota di Propinsi Bali juga telah menerapkan perda masing-
11
masing tentang KTR, salah satunya Kota Denpasar yang telah mengeluarkan Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang KTR. Banyak pemilik usaha yang takut mengalami pengeluaran tambahan dalam merealisasikan kebijakan ini, namun nyatanya kebijakan ini memberikan dampak positif yang jauh lebih besar bagi perusahaan. Lopez et al (2011) merilis hasil penelitian yang dilakukan di Meksiko, yaitu penerapan peraturan KTR tidak akan berdampak negatif terhadap keuangan restauran, melainkan justru berdampak positif. Menurut Scollo et al (2003) tidak terdapat dampak negatif penerapan KTR terhadap keuangan hotel, justru hal ini bisa melindungi para pekerja dan pengelola sendiri dari racun yang dihasilkan oleh asap rokok, di mana hal ini justru membantu untuk mencegah dari biaya kesehatan.
2.2 Teori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) Pengetahuan adalah proses yang dihasilkan karena belajar tentang sesuatu hal, dari tidak tahu menjadi tahu. Proses belajar melalui panca indera meliputi, penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan menjadi faktor penting dalam membentuk perilaku, karena perilaku terbentuk didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan tentang rokok bisa didapat melalui penglihatan seperti melihat dan membaca berita tentang rokok melalui media massa. Selain itu bisa juga didapat melalui mendengarkan sosialisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan. Dalam konteks petugas kesehatan, pengetahuan tentang rokok didapatkan dari proses di bangku pendidikan, keterpaparan informasi di fasilitas kesehatan dan lainnya.
12
Telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok. Selain itu telah banyak pula yang menghubungkan tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok dengan perilaku merokok yang dilakukan. Behbehani et al (2004), menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang kurang terhadap bahaya rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Ceraso et al (2009) menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai hubungan merokok dengan penyakit dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok. Penelitian Naing et al (2004) menyatakan proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki pengetahuan baik tentang dampak buruk merokok 17,6% lebih rendah dibandingkan pada yang pengetahuannya kurang. Kemudian hasil penelitian Wahidien et al (2007) menyatakan perilaku merokok pengemudi ojek di Perumahan Taman Telkomas Kota Makassar dipengaruhi perilaku inisiasi merokok, ketergantungan merokok, persepsi dampak merokok dan usaha berhenti merokok. Semua ini merupakan faktor yang kompleks yang mana salah satu yang mempengaruhi adalah pengetahuan. Sikap adalah respon seseorang terhadap adanya rangsangan, objek atau situasi tertentu. Sikap merupakan pendapat seseorang terhadap suatu keadaan atau situasi tertentu. Dalam konteks kesehatan, sikap dapat berupa pendapat seseorang terhadap program atau upaya kesehatan yang sedang diterapkan. Ungkapan pendapat dapat berupa pernyataan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan mau atau tidak mau. Sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku. Sikap yang positif terhadap sesuatu (setuju, senang, mau) akan
13
memicu prilaku yang postif pula (Notoatmodjo, 2010). Beberapa penelitian yang membahas mengenai sikap yang dikaitkan dengan perilaku merokok telah banyak dilakukan. Naing et al (2004) menyatakan bahwa proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki sikap setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan 13,6% lebih rendah dibandingkan pada yang tidak setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Pada hakekatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia yang mempunyai rentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, kuliah, bekerja, menulis, dan sebagainya. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, yang artinya, subjek tahu terhadap stimulus berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap pada subjek terhadap objek. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek. Namun dalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo, 2007).
14
2.3 Petugas Kesehatan Petugas kesehatan (Health Worker) adalah semua orang yang bekerja di lingkungan fasilitas kesehatan. Secara umum petugas kesehatan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu petugas medis dan non medis. Menurut UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014, tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi saja (Kemenkes RI, 2014). Profesi keperawatan dan bidan tidak termasuk kelompok profesi medis dan juga tidak dapat dikelompokkan pada profesi non medis, sehingga dikelompokkan pada profesi paramedis. Profesi lainnya, seperti tenaga kesmas, kefarmasian dan sebagainya tidak dikelompokan secara jelas sehingga kelompok profesi ini berada di luar kelompok medis atau bisa disebut kelompok profesi non medis. Dalam fasilitas kesehatan, khususnya puskesmas terdapat beberapa profesi, yaitu dokter dan dokter gigi sebagai profesi medis, perawat dan bidan sebagai profesi paramedis, serta tenaga kesmas, ahli gizi, sanitarian, analis kesehatan, tenaga farmasi, rekam medis dan pegawai umum yang mecakup tenaga tata usaha, front office, petugas keamanan, dan petugas kebersihan sebagai tenaga non medis.
2.4 Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan Petugas kesehatan memiliki peran kunci dalam menyukseskan upaya penanggulangan masalah kesehatan salah satunya penanggulangan masalah rokok. Petugas kesehatan haruslah mampu menjadi contoh (role model) yang baik bagi pasien agar mampu mengarahkan pasien dalam upaya mencegah bahaya merokok.
15
Namun, saat ini masih banyak ditemukan petugas kesehatan yang merokok. Di berbagai negara prevalensi perokok masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 16% dari 18,9 juta tenaga kesehatan adalah perokok (Syamlal et al, 2015). Canadian Collaborative Center for Physicians Resources menyatakan terdapat 3% dokter merokok dan 10,8% perawat merokok (laki-laki: 11,4% dan perempuan: 10,8%) (Yungblut, 2010). Kaetsu et al (2002) menyatakan bahwa terdapat 75% petugas kesehatan merokok lebih dari 10 batang per hari dan 97% di antaranya ingin berhenti merokok namun 74% di antaranya gagal berhenti merokok. Menurut Abdullah et al (2014) di beberapa negara ternyata masih banyak petugas kesehatan yang melakukan perilaku merokok di depan pasien, yaitu 70% di Senegal, 66% di Costa Rica, 50% di Mesir, lebih dari 30% di Cina. Penelitian lain yang dilakukan di Kroasia menyebutkan sebanyak 26,4% pekerja di fasilitas kesehatan adalah perokok (Gazdek dan Samardzic, 2013). Data-data ini mencerminkan bahwa perilaku merokok pada petugas kesehatan masih menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius. Beberapa penelitian juga menjelaskan faktor yang terkait dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Penelitian di Jepang menyatakan bahwa terdapat 5 faktor utama petugas kesehatan memiliki perilaku merokok, yaitu jenis kelamin, kelompok umur, frekuensi kerja malam, kebiasaan minum alkohol, dan kebiasaan olah raga (Kaneita et al, 2013). Hasil penelitian Smith et al (2012) menyatakan jenis kelamin, umur, dan lama kerja berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Menurut Bahar dkk (2012) faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku merokok pada petugas
16
kesehatan adalah kepribadian, sikap terhadap pasien, lingkungan kerja, dan kesiapan menghentikan perilaku merokok. Petugas kesehatan yang memiliki perilaku merokok ternyata berdampak negatif terhadap upaya penanggulangan bahaya rokok. Menurut Perrin et al (2006) petugas kesehatan yang merokok cenderung kurang dalam memberikan nasehat untuk berhenti merokok kepada pasien. Parna et al (2005) menyatakan sebagian besar petugas kesehatan yang merokok telah gagal untuk menjadikan dirinya sebagai contoh (role model) yang baik kepada pasien. Gunes et al (2005) menyatakan petugas kesehatan laki-laki yang tidak merokok lebih sering melakukan konseling kepada pasien dibanding petugas kesehatan yang merokok. Ohida et al (2001) menyatakan petugas kesehatan yang tidak merokok memiliki lebih banyak sikap yang tidak baik mengenai perilaku merokok dan lebih aktif untuk menyemangati pasien agar tidak merokok dibanding petugas kesehatan yang merokok. Menurut Behbehani et al (2004) petugas kesehatan yang merokok memiliki sikap yang kurang baik mengenai upaya pengendalian rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Menurut Huang et al (2013), petugas kesehatan yang merokok di areal kerjanya terbukti lebih rendah dalam menyediakan pelayanan konseling berhenti merokok kepada pasien dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok di tempat kerja.