BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ruang dan Wilayah Menurut UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Menurut istilah geografis umum, yang dimaksud dengan ruang (space) adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhtumbuhan, hewan, dan manusia. Sedangkan menurut geografis regional, ruang merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografis, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintah yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata 1999). Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sistem wilayah merupakan struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008). Kemudian, suatu wilayah (region) dalam pengertian geografis merupakan kesatuan alam. Kesatuan alam yang serbasama atau homogen dan kesatuan manusia yaitu masyarakat dengan kebudayaannya yang serbasama serta mempunyai ciri yang khas. Oleh karena itu, wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah yang lain. Bagian dari wilayah yang digunakan untuk suatu fungsi tertentu disebut kawasan, misalnya: wilayah pedesaan mempunyai kawasan perkampungan, kawasan pertanian, kawasan kehutanan; wilayah perkotaan terdiri dari kawasan tempat tinggal, kawasan perkantoran, kawasan industri, dan kawasan rekreasi (Jayadinata 1999).
2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menghasilkan rencana tata ruang.
Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang merupakan suatu upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman serta sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang merupakan ditribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008). Tata ruang berarti pengaturan geografis selain dari pembuatan rencana, yang penting adalah pelaksanaan rencana tersebut oleh masyarakat. Menurut Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan ruang wilayah tercakup dalam kegiatan perencanaan ruang, sedangkan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah (terutama aktivitas ekonomi) tercakup dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah. Perencanaan ruang wilayah diatur oleh pemerintah untuk kepentingan bersama agar tercipta kesesuaian peruntukan ruang dengan tujuan penggunaannya. Penggunaan lahan perlu diatur terutama dalam pegelolaan kawasan lindung yang menyangga kehidupan manusia, kemudian untuk melindungi masyarakat dari penggunaan lahan yang dapat menimbulkan bencana serta adanya kebutuhan terhadap keindahan, kenyamanan, keamanan dan ketentraman pada pengaturan ruang wilayah Berdasarkan Jayadinata (1999), perencanaan wilayah meliputi: kota-kota besar dan pemusatan penduduk (aglomerasi) di perkotaan, wilayah pedesaan dalam suatu daerah, himpunan (konurbasi) kota, dan sebagainya. Perencanaan menurut wilayah yaitu terdapat perencanaan nasional, perencanaan regional, dan perencanaan lokal. Perencanaan nasional untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan regional untuk wilayah luas (misalnya perencanaan
wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kotamadya). Perencanaan lokal untuk wilayah yang lebih kecil. Sedangkan perencanaan menurut waktu, terdapat perencanaan jangka panjang (25-30 tahun), perencanaan jangka menengah (misalnya Rencana Pembangunan Lima Tahun yang disesuaikan dengan pergantian pemerintah berkala dengan diadakannya pemilihan umum dan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan perencanaan jangka pendek (satu atau beberapa tahun). Perencanaan penggunaan tanah di Indonesia ditangani oleh Direktorat Tata Guna Tanah, Badan Pertahanan Nasional (BPN) yang mempunyai cabang di daerah baik provinsi maupun di kabupaten dan kotamadya. Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada: (1) RTRWKN dan rencana tata ruang wilayah provinsi, (2) pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang, dan (3) rencana pembangunan jangka panjang daerah (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008).
2.3 Kawasan Lindung Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan (UU No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008). Berdasarkan RTRW Kabupaten Cianjur (2005), rencana pola pemanfaatan ruang kawasan lindung bertujuan untuk mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan, dan menjaga keseimbangan ekosistem antar wilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan. Secara fisik kawasan lindung di wilayah Kabupaten Cianjur dibagi menjadi kawasan hutan dan kawasan non hutan. Kawasan hutan terdiri dari: hutan lindung, kawasan cagar alam, taman nasional, taman wisata alam, dan kawasan hutan lainnya yang diberi fungsi lindung termasuk hutan produksi atau hutan tanaman. Kawasan non hutan terdiri dari: kawasan konservasi dan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan
sekitar mata air, kawasan RTH dan hutan kota, kawasan rawan bencana, kawasan perlindungan plasma nutfah, dan kawasan pantai berhutan bakau (RTRW Kabupaten Cianjur 2005).
2.4 Evaluasi Kesesuaian Lahan Pemantauan perubahan tata guna lahan merupakan kegiatan mengevaluasi peruntukan suatu penutupan lahan yang dilakukan pada waktu tertentu secara berkesinambungan. Informasi mengenai perubahan tata guna lahan dapat diperoleh dari foto udara. Perubahan yang terjadi menunjukkan kecenderungan yang dapat digunakan untuk menduga tata guna lahan yang akan datang dengan atau tanpa bermacam-macam pembatasan perencanaan atau penetapan zona. Perubahan luas penutupan lahan suatu daerah, mungkin tidak akan sama pada waktu yang akan datang karena adanya rencana tata ruang yang terus direvisi setiap periode tertentu. Dalam evaluasi perencanaan wilayah menurut Simonds (1978) diacu dalam Jayadinata (1999), dapat diadakan empat tes yang sederhana yaitu sebagai berikut: 1. Apakah yang direncanakan itu serasi? Harus ada keyakinan bahwa tanah dan air digunakan untuk maksud yang paling bermanfaat; 2. Apakah hal yang direncanakan itu dapat dibangun tanpa melewati batas daya dukung (carrying capacity) dari tanah? Harus diperhatikan: sistem ekologi alam, persediaan air serta kualitasnya, kualitas udara, polusi udara, erosi, banjir, peninggalan historis, keadaan bentang alam, flora dan fauna, dan integritas dari ruang terbuka; 3. Apakah yang direncanakan itu akan membawa pengaruh yang baik terhadap sekitarnya? Yang tampak terhadap alam apakah pengaruh baik atau buruk, mengurangi atau menambah pemasukan pajak, melestarikan atau merusak kekhususan suatu wilayah (alam dan kebudayaan). Suatu proyek yang baik akan meningkatkan keadaan lingkungan dan tidak akan merusak; 4. Apakah pelayanan umum yang layak dapat disediakan? Harus dapat disediakan lalu lintas yang lancar, sistem penyediaan air dan energi, sekolah, tempat rekreasi, dan pencegahan kebakaran.
Menurut Jayadinata (1999), tindakan pemantauan adalah pengawasan terhadap kemajuan strategi yang dilakukan dalam waktu tertentu, dan mencatat serta memberi peringatan jika rencana menyimpang dari garis yang ditentukan, sehingga yang harus diperhatikan adalah: (1) memantau atau memonitor perkembangan di wilayah yang belum menetapkan kebijaksanaan tetapi telah terdapat persoalan yang mungkin menjadi masalah di kemudian hari, (2) memantau kemajuan yang dicapai dari hal yang telah diputuskan, dan menelaah pengaruh dari kebijaksanaan dan program tersebut, (3) memantau reaksi terhadap rencana, baik yang resmi maupun yang tidak resmi.
2.5 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) dan Citra Landsat 2.5.1 Pengertian dan Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Teknik penginderaan jauh biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasikan guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografis, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya (Lillesand dan Kiefer 1997 & Soenarmo 2003). Dalam penggunaan lahan dan pemetaan, data landsat dapat digunakan untuk mengklasifikasi bentuk penggunaan lahan, pembaharuan peta, kategorisasi kemampuan lahan, pembedaan lahan kota dan lahan desa, perencanaan wilayah, pemetaan jaringan transportasi, pemetaan batas air dan daratan, dan pemetaan daerah basah. Sensor satelit landsat menggunakan penyiam elektro-optik dan kamera Return Beam Videcon (RBV). Satelit Landsat melewati suatu wilayah yang sama di permukaan bumi setiap 16 hari sekali dengan resolusi spasial Citra Landsat TM adalah 30 meter (Howard 1996 & Paine 1993). Pengembangan satelit landsat mulai dari Landsat 1 hingga Landsat 7. Satelit yang masih aktif beroperasi yaitu Landsat 5 Thematic Mapper (TM) dan Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper (ETM) yang sudah mengalami Scan Line Corrector (SLC)-off membentuk stripping pada wilayah tertentu. Landsat 5 diorbitkan pada tahun
1984 dengan saluran spektral MMS dan Thematic Mapper (TM). Ketinggian orbit sebesar 705 km dengan luasan berukuran 79 x 79 m di permukaan bumi (0,62 hektar) dan setiap piksel landsat meliputi ± 0,05 km2.
2.5.2 Pengolahan dan Analisis Data Landsat Menurut Soenarmo (2003), data atau citra yang diperoleh dari teknik penginderaan jauh dapat diolah dengan dua cara yaitu manual dan digital. Pengolahan data manual sangat tergantung pada kemampuan manusia dalam membedakan tingkat keabuan (gray level) atau warna. Sedangkan pengolahan data atau citra digital dengan menggunakan komputer memiliki kemampuan dalam membedakan tingkat keabuan atau warna jauh lebih baik. Pengolahan data digital pada umumnya menggunakan perangkat lunak (software), baik yang disusun sendiri maupun berupa paket yang dapat dibeli. Langkah pengolahan data atau citra secara umum diawali dengan penentuan pusat lintasan (orbit), koordinat lintang dan bujur (georeferensitasi), membuat grid-grid sesuai lintang dan bujur. Pengolahan data atau citra secara digital dengan konsep digitasi perubahan data dari citra analog menjadi digital. Sehubungan dengan itu, Lillesand dan Kiefer (1997) menyatakan bahwa analisis data landsat dengan komputer dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu: 1. Pemulihan Citra (Image Restoration) Proses ini bertindak untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan tampilan aslinya. Langkahnya meliputi koreksi berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli. Contoh dari distorsi radiometrik adalah stripping pada Landsat 7 ETM. 2. Penajaman Citra (Image Enhancement) Teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak kontras diantara kenampakan di dalam tayangan (display). Pada berbagai terapan, langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari data citra. Baik pemulihan maupun penajaman citra keduanya termasuk di dalam tahap pengandaran pengolahan awal (preprocessing operation). Artinya langkah tersebut dilakukan sebelum interpretasi data secara aktual. Proses ini
mengubah ragam nilai citra ke dalam bentuk yang lebih sesuai untuk interpretasi, tetapi tidak secara langsung meliputi interpretasi data. Teknik penajaman citra yang dilakukan pada pogrenelitian ini yaitu Histogram Equalization. 3. Klasifikasi Citra (Image Classification) Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Pada proses ini maka tiap pengamatan pixel dievaluasi dan diterapkan pada suatu kelompok informasi.
2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.6.1 Pengertian dan Konsep Dasar SIG Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknologi sebagai alat bantu untuk menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (Prahasta 2002). Konsep dasar SIG merupakan sistem yang dikembangkan khusus dibuat untuk menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Menurut Lo (1995), SIG mengandung arti data dengan lokasi tertentu. Input untuk SIG dapat dipanggil dengan menggunakan komputer, tidak terbatas pada data penginderaan jauh. SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis data, dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan data mencakup pengambilan data, perbaikan, analisis, dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan adanya informasi relevan untuk menyelesaikan suatu masalah. Dalam rancangan SIG, komponen input dan output grafik tertentu seringkali memiliki peranan dominan dalam membentuk arsitektur dari sisa suatu sistem. Hal tersebut perlu dalam memahami kedalaman prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input atau output data, organisasi data, dan pemrosesan data. Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diuraikan menjadi beberapa tahapan yang terdiri dari: 1. Data Input Tahapan ini untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber, bertanggung jawab dalam mengkonversi atau
mentransportasikan format-format data asli ke dalam format yang dapat digunakan oleh SIG. 2. Data Output Tahapan ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy. 3. Data Manajemen Tahapan ini mengorganisasikan baik data spasial maupun atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, di-update, dan di-edit. 4. Data Manipulasi dan Analisis Tahapan ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG serta manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
2.6.2 Perangkat Lunak ARC VIEW dan ERDAS Software Arc View adalah alat yang mudah digunakan, memungkinkan untuk melakukan organisasi, memelihara, menggambarkan, dan menganalisis peta informasi spasial. Arc View berjalan pada sistem desktop mapping dan menyediakan suatu kerangka kerja guna pembuatan keputusan spasial juga mempunyai kemampuan untuk menggambarkan, menyelidiki, melakukan query dan menganalisa data spasial. Arc View dapat dengan cepat mengubah simbol peta, menambah gambar citra atau grafik, menempatkan tanda arah udara, skala batang, dan judul serta mencetak peta dengan kualitas baik. Arc View bekerja dengan data tabular, citra, data teks, data spreadsheet, dan data grafik dengan Arc View yang dapat memodifikasi interface yang ada guna mendukung suatu aplikasi. Arc View juga dapat merubah icon-icon dan terminologi yang digunakan pada interface, mengoptimalisasikan operasi-operasi atau membuat interface tertentu untuk melakukan akses ke data dasar tertentu dengan dapat melakukan komunikasi dengan produk software lain, dimana kita dapat mengubah data tanpa melakukan perubahan dan tanpa meninggalkan Arc View (Prahasta 2002).
ERDAS IMAGINE, merupakan alat untuk membuat, manajemen, dan analisa data penginderaan jauh dan merupakan alat utama dalam pemrosesan citra digital (Anonim 2008). Pengolahan data landsat yang dilakukan dengan menggunakan software ERDAS pada umumnya dilakukan dengan proses sebagai berikut: (1) Landsat imagery, (2) import to image, (3) band selection, (4) layer stacking, (5) geometric correction, (4) radiometric correction, (5) image subset, (6) land cover classification, dan (7) rejected (ground truthing & accuracy assestment). Pada proses klasifikasi penutupan lahan, dilakukan proses klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang kemudian dapat dilakukan interpretasi sesuai dengan tujuan pemanfaatan data landsat tersebut.
2.7 Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh Aplikasi SIG dan penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, misalnya mengetahui penutupan suatu lahan, pemetaan penyebaran satwa atau vegetasi tertentu, dan sebagainya. Tabel 1 merupakan beberapa contoh aplikasi dari penginderaan jauh. Tabel 1 Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan penutupan lahan atau RTRW No 1
Peneliti Edwar Firdaus
Tahun 2007
Lokasi Kabupaten Garut
2
Lia Fracillia
2007
DKI Jakarta
3
Sabri
2004
DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat
4
Zulfikar
1999
DAS Bancak, Jawa Tengah
Hasil Penelitian Luas kawasan lindung aktual di Kab Garut sebesar 89.382,51 Ha (29,2%). Jumlah ini lebih kecil dibanding kan dengan luasan kawasan hutan lindung yang diharapkan berdasarkan UU No.41 Tahun 1999. Terjadi penurunan luas RTH dari tahun 1997-2004 sebesar 8,79% dan mengalami kenaikan temperatur permukaan sebesar 0,40C. Luas tutupan lahan permukiman mencapai 1.473 Ha (10%), jika dibandingkan dengan ketentuan RTRW Kabupaten Bogor yang hanya merekomendasikan luasan terbangun sebesar 169,6 Ha (1,1%), berarti konversi yang terjadi telah melampaui ketentuan RTRW Kabupaten yang sudah ditetapkan. Citra yang terbaik untuk mengidentifikasi penutupan lahan dalam keperluan analisis lahan kritis adalah citra yang direkam pada musim penghujan. Hal tersebut karena pada musim kemarau semua jenis penutupan lahan menjadi kering sehingga reflektan yang dihasilkan pada penutupan lahan tersebut hampir sama. Sehingga, akurasi hasil klasifikasi penutupan lahan pada citra musim hujan lebih tinggi jika dibandingkan dengan citra musim kemarau.
Beberapa contoh aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk berbagai kegiatan seperti: evaluasi perubahan penutupan lahan, analisis kesesuaian lahan, dan perkiraan luas areal kebakaran hutan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk berbagai kegiatan No 1
Peneliti Puji Waluyo
Tahun 2009
Lokasi Kota Semarang
2
Edwin Pramudia
2008
3
Lalu Atikdar Firman Hakim
2007
Kabupaten Agam, Sumatera Barat Pesisir Pantai Selatan Pulau Lombok, NTB
4
Achmad Siddik Thoha
2006
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau
5
Endang Hernawan
2001
Batas TNKS, Provinsi Bengkulu
Hasil Penelitian Selama periode 2001-2006 terjadi peningkatan perubahan lahan area terbangun, diikuti peningkatan luas distribusi suhu permukaan dengan nilai tinggi ≥ 340C dan penurunan RTH. Objek wisata di Kab. Agam sebanyak 58 obyek wisata, diperoleh 6 wisata dengan potensi tinggi, 31 dengan potensi sedang, 15 obyek dengan potensi tinggi, dan 6 obyek potensi sangat tinggi. Didapatkan daerah kesesuaian lahan untuk kegiatan wisata, yaitu kegiatan wisata selam yang sesuai dilakukan pada daerah terumbu karang dengan kecerahan di atas 15 meter, memiliki spesies ikan dan terumbu karang yang beragam dengan kecepatan arus di bawah 1 knot dan daerah pariwisata pantai, wisata selancar dengan daerah pecah gelombang. Terjadi penurunan luas areal terbakar antara tahun 2002-2004 dengan persentase penurunan sebesar 5% atau seluas 63.298,00 Ha. Penurunan luas areal terbakar pada tahun 2004 terjadi karena makin menurunnya jumlah kejadian kebakaran yang dapat diindikasikan oleh menurunnya jumlah hotspot dari tahun 2002-2004. SIG dapat membantu kegiatatan evaluasi perubahan penutupan lahan (klasifikasi kelas lahan) dan mengetahui perubahan penutupan hutan akibat perambahan hutan, namun tidak dapat digunakan untuk mengetahui perubahan hutan akibat penebangan ilegal karena kegiatan logging pada lokasi cukup sedikit.
Berdasarkan contoh-contoh aplikasi dari Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh di atas, maka dapat diketahui bahwa aplikasi tersebut efektif digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan dan luas suatu areal. Kemudian, dapat digunakan untuk analisis lahan kritis dan daerah kesesuaian lahan serta distribusi suhu permukaan suatu wilayah. Aplikasi dari Sistem Informasi Geografis dan penginderaan jauh, juga efektif digunakan untuk studi evaluasi penutupan lahan atau evaluasi suatu kawasan.