BAB II Tinjauan Pustaka
2.1
Konsep, Kontruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Pengertian Otonomi Daerah Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal
1 ayat 6, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah memiliki makna sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan di dalam negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi, dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) dan daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang juga disebut dengan otonomi. Kata otonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani, Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. Winarna Surya Adisubrata (2003) mengatakan, bahwa otonomi daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada negara kesatuan maupun pada negara federasi. Di negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas daripada di negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangga daerah di negara kesatuan
14
15
meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali bebrapa urusan yang dipegang oleh pemerintahan pusat seperti: 1) Hubungan Luar Negeri, 2) Pengadilan, 3) Moneter dan Keuangan, 4) Pertahanan dan Keamanan. Pernyataan di atas disebut otonomi luas, sedangkan di negara federal negara bagian melaksanakan otonomi yang lebih luas karena negara bagian dapat mengurus peradilan dan keamanan sendiri. Dalam literatur pemerintahan dikenal 3 sistem otonomi yaitu: a. Otonomi formil yaitu suatu sisitem otonomi dimana yang diatur adalah kewenangan-kewenangan pemerintah pusat yang dipegang oleh pemerintah pusat, seperti pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, peradilan dan moneter fiskal dan kewenangan lainnya. Sedangkan kewenangan daerah otonom adalah kewenangan yang diluar kewenangan pemerintah pusat tersebut. b. Otonomi materiil yaitu kewenangan-kewenangan daerah otonom yang dilimpahkan oleh eksplisit disebutkan satu persatu (diatur dalam UU Pembentukan Daerah Otonom). Sedangkan kewenangan daerah otonom adalah kewenangan yang diluar kewenangan pemerintah tersebut. c. Otonomi riil yaitu kewenangan-kewenangan daerah otonom yang dilimpahkan oleh pemerinyah pusat, disesuaikan dengan kemampuan nyatra dari daerah otonom yang bersangkutan seperti SDM. Pendapatan daerah, PDRB dll. Jadi kewenangan daerah otonom yang satu dengan daerah otonom lainnya tidak sama.
16
Pemerintah daerah dalam rangka meningkatakn efisiensi dan efiktivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan pusat dan daerah serta potensi dan keanekaragamannya. Aspek hubungan wewenang memeperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem negara kesatuan republik indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan persaingan global dengan pemanfaatan perkembangan IPTEK. Agar mampu menjalankan perannya tersebut daerah diberi kewenangan yang seluasluasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Disamping itu, diberikan standar pemantauan dan evaluasi. Selain itu pemerintah juga wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan bantuan dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan perundangundangan (penjelasan umum UU No. 23 tahun 2014).
2.1.2
Landasan Hukum Otonomi Daerah Otonomi daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintah
yang berdasarkan asas desentralisasi yang diwujudkan agar otonomi luas, nyata
17
dan bertanggung jawab dilaksanakan dalam NKRI yang telah diatur dalam kerangka landasannya di dalam UUD 1945 antara lain: (i) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. (ii) Pasal 18 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dasar pemusyawaratan dalam sisitem pemerintah negara dan hak-hak, asal-usul dalm daerah yang bersifat istimewa.” (Bachrul Elmi, 2002:3). Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serat memperhatiakan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal- hal yang mendasar dalam
UU
ini
adalah
mendorong
untuk
memberdayakan
masyarakat,
menumbuhkan prakarasa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (Winarna Surya Adisubrata, 2003). Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Berdasar pada UU No.23/2014, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut : 1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek
demokrasi,keadilan,
pemerataan,
serta
potensi
dan
keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945
18
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom. 5. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional. 6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah. 8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
19
Dari sisi sejarah perkembangannya penyelenggaraan pemerintah di daerah, telah dikeluarkan berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah yang hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi ini dibuat pertama kali tahun 1948. Sejalan perlunya dilakukan reformasi di sektor publik, saat ini telah dikeluarkan juga peraturan pemrintah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi antara lain: 1 Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. 2 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 3 Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi Tugas Pembantuan. 4 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. 5 Peraturan
Pemerintah
No.
108
Tahun
2000
tentang
Tata
Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah. 6 Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 7 Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 8 Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
20
2.1.3
Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah Menurut UUD negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah
berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi yang berwujud desentralisasi dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatiakn prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serat potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI. Dalam hal untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menurut UU No, 33 Tahun 2004 melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Ada 2 alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi (Mardiasmo, 2002) yaitu: a. Intervensi pemerintah pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalh rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
21
b.Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung 3 misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu: 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2. Menciptakan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat atu publik untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
2.1.4
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahn daerah seperti yang
dijelaskan pada penjelasan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bahwa pembangunan daerah sebagi
22
bagian integral dari pembangunan nasional dilaksankan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatakan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ketrbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Hakekat suatu negara dalam menyelenggarakn pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan yaitu mengemban 3 fungsi, fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan dan fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanankeamanan, akonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat (Winarna Surya Adisubrata, 2003). Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa ada urusan pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan
23
keamanan, moneter, yustisi dan agama, urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah. Keserasian hubungan yang disebut juga pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemrintah yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperlihatkan cakupan kemanfaatannya. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada 2 urusan yaitu a) Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasrana lingkungan dasar, b) Urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang bersifat berkaitan dengan potensi daerah dan kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat berat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah pusat. Maka dari itu urusan pemerintah daerah dapat dilakukan menurut asas tugas pembantuan yang pada dasrnya merupakn keikutsertaan daerah atas penugasan dari pemerintah pusat atau daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang
24
menjadi kewenangan pemerintah, ada yang diserahkan kepada provinsi, dan ada yang diserahkan kepada kabupaten kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten kota maka, disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahn antar tingkat pemerintahn yang meliputi (Baban Sobandi et. Al, 2006:104-105): a Kriteria Eksternalitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahn dengan
mempertimbangkan
dampak
akibat
yang
ditimbulkan
dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemrintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten kota. Apabila dampaknya regional, maka menjadi kewenangan provinsi dan apabila dampaknya nasional, maka menjadi kewenangan pemerintah. b Kriteria Akuntabilitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung dekat dengan dampak akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. c Kriteria Efisiensi ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan) untuk mendapatakan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang
25
harus dicapai dalm penyelenggaraan bagian urusan. Untuk itu pembagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahn tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakn oleh masyarakt dan besar kecilnya resiko yang dihadapi.
2.2
Keuangan Daerah
2.2.1
Pengertian Keuangan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2005, tentang Pengelolaan keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Keuangan daerah menurut Mamesh dalam Halim (2012) dinyatakan bahwa keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Keuangan daerah menurut Rahardjo (2011) dinyatakan bahwa keuangan daerah
merupakan
semua
hak
dan
kewajiban
daerah
dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
26
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pemerintah daerah selaku pengelola yang harus menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipercaya. Untuk itu, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki sistem informasi akuntansi yang handal (Raharjo, 2011).
2.3
Pengelolaan Keuangan Daerah
2.3.1
Pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah Abdul Halim (2012) mengemukakan bahwa, pengelolaan keuangan
daerah terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang inventaris daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan bahwa
penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja,
analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005
27
menyebutkan bahwa untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.
2.3.2
Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah Chabib Soleh dan Rohcmansjah Heru (2010:10), prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi: 1. Akuntabilitas Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat atau amanah yang diterimanya. Untuk itu, baik dalam proses perumusan kebijakan, cara untuk mencapai keberhasilan atas kebijakan yang telah dirumuskan berikut hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal kepada masyarakat. Kerugian Daerah Berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga dan barang,yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 2. Value for Money Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakinbaik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan
28
serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadilan tersebuthanya akan tercapai apabila penyelenggaraan pemerintahan daerah dikelola dengan memperhatikan konsep value for money, yang mencakup: a. Ketidakhematan Temuan
mengenai
ketidakhematan
mengungkap
adanya
penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan denganpengadaan serupa pada waktu yang sama. b. Ketidakefektifan Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan
yang
tidakmemberikan
manfaat
atau
hasil
yang
direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. 3. Kejujuran dalam Mengelola Keuangan Publik (Probity) Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan, yang mencakup: a. Potensi kerugian daerah Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko
29
terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya. 4. Transparansi Transparansi adalah keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat kebijkankebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang mencakup: a. Administrasi Temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan
aset,
tetapi
penyimpangan
tersebut
tidak
mengakibatkan kerugian daerah atau potensi kerugian daerah, tidak mengurangi
hak
daerah
(kekurangan
penerimaan).
tidak
menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana. 5. Pengendalian Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sering dievaluasi yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendapatan dan belanja daerah
30
agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians untuk kemudian dilakukan tindakan antisipasi ke depan.
2.3.3
Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa tujuan pokok dari penyusunan keuangan daerah : a.
Memberdayakan dan meningkatkan perekonomian daerah.
b.
Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab, dan pasti.
c.
Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang mencerminkan pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendukung otonomi daerah penyelenggaraan pemerintah
daerah
yang
transparan,
memperhatikan
partisipasi
masyarakat dan pertanggungjawaban dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. d.
Menciptakan acuan dalam alokasi penerimaan negara dari daerah.
e.
Menjadikan pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan keuangan daerah adalah :
31
a.
Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparansi, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat bagi masyarakat.
b.
Keuangan daerah dibentuk bukan hanya semata-mata untuk mengurus masalah keuangan tetapi juga untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Abdul Halim (2004) mengemukakan bahwa tujuan dari pengelolaan keuangan daerah meliputi: 1. Tanggung jawab 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan 3. Kejujuran 4. Hasil guna dan kegiatan bunga 5. Pengendalian
2.3.4
Sumber-Sumber Keuangan Daerah Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU No.33 Tahun 2004 Pasal
157, meliputi: a. Pendapatan Asli Daerah 1. Hasil Pajak Daerah. 2. Hasil Retribusi Daerah. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan. 4. Lain-Lain PAD Yang Sah.
32
b. Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil. 2. Dana Alokasi Umum. 3. Dana Alokasi Khusus. c. Pinjaman Daerah 1. Pemerintah. 2. Pemerintahan Daerah. 3. Lembaga Keuangan Bank. 4. Lembaga Bukan Keuangan Bank. 5. Masyarakat. d. Lain-Lain Penerimaan Daerah 1. Hibah 2. Dana Darurat Adapun teori yang menghubungkan dalam penelitian ini yaitu menurut Abdul Halim (2012) yang menyatakan bahwa, pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah merupakan sesuatu yang penting untuk mendapatkan kepastian mengenai keberhasilan atau ketepatan suatu kegiatan pengelolaan keuangan daerah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Proses pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah dapat dilakukan melalui pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh unit-unit pengawasan yang ada.
33
2.4
Laporan Keuangan
2.4.1
Definisi Laporan Keuangan Pengertian laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No.1 revisi 2009 adalah: “Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas yang bertujuan memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi.” Sedangkan, laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah No.1 tahun 2005 adalah: “Laporan keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi – transaksi yang di lakukan suatu entitas pelaporan yang bertujuan untuk menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.” 2.4.2
Tujuan Laporan Keuangan Mardiasmo (2002), tujuan umum laporan keuangan bagi organisasi
pemerintahan adalah: 1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengeloloaan (stewarship). 2. Untuk mernberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional. Secara spesifik, tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan untuk
34
menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan sumber daya yang dipercayakan kepadanya, dengan: 1. Menyediakan informasi mengenai posisi sumber daya ekonomi, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah. 2. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi sumber daya ekonomi, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah. 3. Menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya ekonomi. 4. Menyediakan informasi mengenai ketaatan realisasi terhadap anggarannya. 5. Menyediakan informasi mengenai cara entitas pelaporan mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya. 6. Menyediakan informasi mengenai potensi pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 7. Menyediakan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemampuan entitas pelaporan dalam mendanai aktivitasnya.
2.4.3
Komponen-Komponen Laporan Keuangan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan, komponen-komponen yang terdapat dalam suatu laporan keuangan pokok adalah : 1. Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan
35
sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari : a.
Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak Pemda, dan tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda.
b.
Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh Pemda.
c.
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran Pemda terutama dimaksudkan untuk menutupi defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
2. Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut : a.
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemda sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh.
36
b.
Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemberdayaan daerah.
c.
Ekuitas dana adalah kekayaan bersih Pemda yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban Pemda.
3. Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atau nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas laporan keuangan juga mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di dalam standar akuntansi pemerintahan serta ungkapanungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar. Catatan atas laporan keuangan disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas harus memiliki referensi silang dengan informasi terkait dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan terdiri dari hal-hal sebagai berikut : a. Menyajikan informasi tentang ekonomi makro, kebijakan fiskal dan pencapaian target Perda APBD, serta kendala yang dihadapi dalam pencapaian target. b. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja selama tahun pelaporan. c. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting lainnya.
37
d. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.
2.5
Kinerja Keuangan Daerah
2.5.1
Pengertian Kinerja John Witmore dalam Rusydi (2010) menyatakan bahwa kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mahsun (2006) menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian
pelaksanaan
suatu
kegiatan/program/kebijakan
dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
2.5.2
Pengukuran Kinerja Salah satu
alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam
38
rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap laporan keuangan daerah perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam laporan keuangan daerah berbeda dengan laporan keuangan perusahaan swasta (Ihyaul Ulum, 2009).
2.5.3 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu system yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. (Mardiasmo, 2005). Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. (Dora Detisa:2008)
2.5.4
Tolok Ukur Kinerja keuangan Rahardjo (2011), Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang
dicapai pada setiap program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, terutama untuk menilai kewajaran anggaran biaya suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja mencakup dua hal yaitu unsur keberhasilan yang terukur dan tingkat pencapaian setiap unsur keberhasilan. Setiap program atau kegiatan minimal mempunyai satu unsur keberhasilan dan tingkat pencapaiannya (target kinerja)
39
yang digunakan sebagai tolok ukur kinerja. Program atau kegiatan tertentu dapat diukur berdasarkan lebih dari satu unsur ukuran keberhasilan. Untuk menentukan apakah suatu perusahaan sehat atau tidak dari sisi keuangan dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu : 1. Metode Lintas Waktu ( Time Series) Metode ini merupakan metode tolok ukur analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara membandingkan suatu rasio keuangan perusahaan dari satu periode tertentu dengan periode sebelumnya. 2. Metode Lintas Seksi/Industri ( Cross Section) Metode ini merupakan metode tolok ukur yang digunakan menentukan sehat tidaknya
posisi
keuangan
perusahaan
yang
dilakukan
dengan
cara
membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu dengan rasio keuangan rata-rata industrinya yang bersangkutan.
2.5.5. Jenis Indikator Kinerja Pemerintah Daerah Mohamad Mahsun (2006:77), Indikator kinerja Pemerintah Daerah terdapat beberapa jenis yaitu : 1. Indikator masukan (Input), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Misalnya : a. Jumlah dana yang dibutuhkan. b. Jumlah pegawai yang dibutuhkan. c. Jumlah infrastruktur yang ada. d. Jumlah waktu yang digunakan.
40
2 Indikator proses (Process). Dalam indikator ini, organisasi/ instansi merumuskan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan organisasi/ instansi. Misalnya : a. Ketaatan pada peraturan perundangan. b. Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan layanan jasa 3. Indikator keluaran (Output), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau non-fisik. Indikator ini digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan. Misalnya : a. hasil dari studi survey. 4. Indikator hasil (Outcomes), segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin mencakup kepentingan banyak pihak. Dengan indikator ini, organisasi/ instansi akan dapat mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak. 5. Indikator dampak (Impact), pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Misalnya:
41
a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Peningkatan pendapatan masyarakat.
2.6
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.6.1
Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimana
dijelaskan dalam UU no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan dalam pasal 1 butir (17): “ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.” Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dari semua itu, pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2002:209).
42
Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005, pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu kesatuan yang terdiri atas Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Yang dimaksud dengan satu kesatuan dalam hal ini adalah bahwa dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber- sumber pembiayaannya (Bratakusumah dan Solihin, 2002:212). a. Pendapatan Daerah, dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan dan Lain Pendapatan yang sah. Jenis pendapatan meliputi Pajak Daerah, Retribusi, DAU dan DAK. b. Belanja Daerah, dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Yang dimaksud belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran serperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsifungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. c. Pembiayaan, dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dan
43
penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran antara lain seperti pembayaran huytang pokok. Dalam rangka mengelola keuangan, daerah dapat membentuk dana cadangan yang bersumber dari pemerintah daerah guna membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran tahun lalu/sumber pendapatan daerah. Dana cadangan dibentuk dan diadministrasikan secraterbukti tidak dirahasiakan, disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD. Menurut PERMENDAGRI No. 13 Tahun 2006, APBD mempunyai 6 fungsi utama, yaitu: 1. Fungsi Otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Fungsi Perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Fungsi Pengawasan, mengandung arti bahwa anggran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 4. Fungsi Alokasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi penganggaran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efiktivitas perekonomian. 5. Fungsi Distribusi, mengandung arti bahwa kebutuhan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
44
6. Fungsi Stabilisasi, menandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. 2.6.2
Analisis Rasio Keuangan Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Abdul Halim (2012) Menyatakan bahwa salah satu alat untuk
menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya. a)
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai
otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Soleh, 2010). b)
Rasio Efektivitas PAD Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio efektivitas menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah.
45
c)
Rasio Aktivitas/Keserasian Menurut Abdul Halim (2012), Rasio Aktivitas/Keserasian terdiri dari
Rasio Belanja tidak Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Langsung terhadap APBD.Rasio keserasian ini melihat Keserasian antara rasio belanja tidak langsung dan Rasio belanja Langsung. Rasio ini Menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja tidak langsung dan belanja langsung secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja tidak langsung berarti persentase belanja langsung yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cendrung semakin kecil. d)
Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio pertumbuhan (growth Ratio)
mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian. Mengacu pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PP No. 58 Tahun 2005 maka perhitungan rasio pertumbuhan dapat disesuaikan dengan mengganti belanja rutin dan belanja pembangunan menjadi belanja operasi dan belanja modal. e)
Derajat Desentralisasi Fiskal Menurut Ihyaul Ulum (2009), derajat desentralisasi fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel
46
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah (BHPBP) terhadap
Total
Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Tim peneliti FISIPOL UGM bekerja sama dengan Litbang Depdagri (1991; 19) menentukan tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio PAD terhadap total APBD sebagai berikut (Dasril Munir, 2004:106).
Tabel 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD %
Kemampuan Keuangan Daerah
00 – 10.00
Sangat kurang
10.01 – 20.00
Kurang
20.01 – 30.00
Cukup
30.01 – 40.00
Sedang
40.01 – 50.00
Baik
>50.00
Sangat baik
Sumber : Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah (Dasril Munir, 2004: 106). f)
Rasio Ketergantungan Rasio Ketergantungan daerah merupakan rasio yang menunjukan
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat maupun Provinsi. Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah dalam membiayai
aktifitas
pembangunan
daerah,
yang
diukur
dengan
cara
47
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi (Mahmudi, 2011).
2.6
Penelitian Sebelumnya Berbagai penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, diantaranya dilakukan oleh Agus Setiawan (2010) menyatakan bahwa pada penelitian ini analisis yang telah dilakukan tentang kemandirian daerah dengan pola hubungannya yang menggambarkan besarnya ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat pada tahun 2002 – 2008. Zaqi Vuadi (2013) yang berjudul “Analisis Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dilihat dari Rasio Keuangan pada APBD 2008-2012” menyatakan bahwa pada tahun anggaran 2008-2012 kemampuan keuangan daerah tergolong mempunyai pola hubungan rendah sekali (instruktif), yang berarti bahwa Kabupaten Boyolali belum mampu membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali berada pada pola tingkat ketergantungan keuangan daerah sangat tinggi, yang berarti pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dalam membiayai aktivitas pembangunan daerah melalui optimalisasi pendapatan masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.
48
Melisa Wisni (2014) yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2008-2012” menyatakan bahwa Kemandirian keuangan dan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung selama tahun 2008 -2012 mengalami peningkatan, namun berada pada kategori tidak optimal terlihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) menuju kemandirian dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) keuangan pemerintah Kota Bandung masih sangat rendah dengan rasio di bawah 100%. Dimas Saleh Alamsyah (2013) yang berjudul “Analisis Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Atas Peningkatan Belanja Operasi” menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Purwakarta terus mengalami peningkatan dari tahun 2009 -2012 begitu pula dengan Belanja Operasi yang mengalami Peningkatan untuk setiap tahun nya, namun besar nya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Purwakarta masih belum dapat memenuhi kebutuhan Belanja Operasi Daerahnya. Karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Purwakarta belum mampu untuk memenuhi besarnya Belanja Operasi belanja, maka untuk menutupi kekurangan tersebut diperoleh dari sumber dana lainnya, yaitu dana perimbangan dan lain lain pendapatan sah. Rizki Kusuma Nugraha (2013) yang berjudul “Pengaruh Karakteristik Pemerintah
Daerah
Terhadap
Kinerja
Keuangan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2010 – 2011” menyatakan bahwa Hasil pada tahun 2010 – 2011 Karakteristik Pemerintah Daerah tidak semuanya berpengaruh yang signifikan terhadap kinerja keuangan Pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat. Ukuran Aset yang meningkat cukup Besar pada tahun 2010
49
– 2011 tidak sejalan dengan peningkatan PAD sehingga dengan kenaikan aset yang tidak cukup besar maka akan terjadi peningkatan Kinerja Keuangan karena pemerintah daerah dianggap sudah mampu memanfaatkan asetnya untuk meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat dan provinsi.
Tabel 2.2 Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan No 1
2
Nama Peneliti Agus Setiawan
Zaqi Vuadi
Tahun
Judul Peneliti
Hasil Penelitian
2010
Analisis Kinerja Keuangan Daerah pada Era Otonomi Daerah di Kabupaten Boyolali.
Hasil analisis yang telah dilakukan, Kemandirian daerah dengan pola hubungannya yang menggambarkan besarnya ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat pada tahun 2002 – 2008.
2013
Analisis Kinerja Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dilihat dari Rasio Keuangan pada APBD 2008-2012
hasil pada tahun anggaran 2008 - 2012 tergolong mempunyai pola hubungan instruktif, kemampuan keuangan daerah tersebut rendah sekali, yang berarti bahwa Kabupaten Boyolali belum mampu membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunannya sendiri.
50
3
Melisa Wisni
2014
Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandung tahun 2008-2012
4.
Dimas Saleh Alamsyah
2013
5
Rizki Kusuma Nugraha
2013
Analisis Pendapatan Asli Daerah Pertumbuhan (PAD) kabupaten Purwakarta Pendapatan Asli terus mengalami peningkatan Daerah Atas dari tahun 2009 -2012 begitu Peningkatan Belanja pula dengan Belanja Operasi Operasi yang mengalami Peningkatan untuk setiap tahun nya, namun besar nya Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Purwakarta masih belum dapat memenuhi kebutuhan Belanja Operasi Daerahnya. Pengaruh Hasil pada tahun 2010 – 2011 Karakteristik Karakteristik Pemerintah Pemerintah Daerah Daerah tidak semuanya Terhadap Kinerja berpengaruh yang signifikan Keuangan terhadap kinerja keuangan Pemerintah Daerah Pemerintah daerah di Provinsi Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat tahun 2010 - 2011
2.7
Kemandirian keuangan Kota Bandung selama tahun 2008 2012 mengalami peningkatan, namun berada pada kategori tidak optimal terlihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) menuju kemandirian keuangan pemerintah Kota Bandung masih sangat rendah dengan rasio di bawah 100%, sehingga dana pemerintah pusat masih dominan dalam pembiayaan pemerintahan.
Kerangka Pemikiran APBD merupakan dasar pengelolaaan keuangan daerah dalam tahun
anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti bahwa APBD merupakan rencana
51
pelaksanaan semua pendapatan daerah dan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dari semua itu, pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2002:209). Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005, pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri atas Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Yang dimaksud dengan stu kesatuan dalam hal ini adalah bahwa dokumen APBD merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber- sumber pembiayaannya (Bratakusumah dan Solihin, 2002:212). a Pendapatan Daerah, dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan dan Lain Pendapatan yang sah. Jenis pendapatan meliputi Pajak Daerah, Retribusi, DAU dan DAK. b Belanja Daerah, dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Yang dimaksud belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran serperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsi-
52
fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. c Pembiayaan, dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dan penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran antara lain seperti pembayaran hutang pokok. Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, komponen-komponen yang terdapat dalam suatu laporan keuangan pokok adalah : Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari : a. Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak Pemda, dan tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda.
53
b. Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh Pemda. c. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam penganggaran Pemda terutama dimaksudkan untuk menutupi defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. Rusydi (2010) menyatakan bahwa kinerja adalah pelaksanaan fungsifungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang melibatkan suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu system yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. (Mardiasmo, 2005). Abdul Halim (2012) menyatakan bahwa salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya.
54
a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Soleh, 2010). b) Rasio Efektivitas PAD Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. c) Rasio Aktivitas/Keserasian Menurut Abdul Halim (2012), Rasio Aktivitas/Keserasian terdiri dari Rasio Belanja tidak Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Langsung terhadap APBD.Rasio keserasian ini melihat Keserasian antara rasio belanja tidak langsung dan Rasio belanja Langsung. Rasio ini Menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja tidak langsung dan belanja langsung secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja tidak langsung berarti persentase persentase belanja
55
langsung yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cendrung semakin kecil. d) Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio pertumbuhan (growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian. Mengacu pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PP No. 58 Tahun 2005 maka perhitungan rasio pertumbuhan dapat disesuaikan dengan mengganti belanja rutin dan belanja pembangunan menjadi belanja operasi dan belanja modal. e) Derajat Desentralisasi Fiskal Menurut Ihyaul Ulum (2009), derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah (BHPBP) terhadap
Total
Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Tim peneliti FISIPOL UGM bekerja sama dengan Litbang Depdagri (1991; 19) menentukan tolak ukur kemampuan daerah dilihat dari rasio PAD terhadap total APBD sebagai berikut (Dasril Munir, 2004:106).
56
Tabel 2.3 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD %
Kemampuan Keuangan Daerah
00 – 10.00
Sangat kurang
10.01 – 20.00
Kurang
20.01 – 30.00
Cukup
30.01 – 40.00
Sedang
40.01 – 50.00
Baik
>50.00
Sangat baik
Sumber : Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah (Dasril Munir, 2004: 106). g.)
Rasio Ketergantungan Rasio Ketergantungan daerah merupakan rasio yang menunjukan
ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat maupun Provinsi. Tingkat Ketergantungan Daerah adalah ukuran tingkat kemampuan daerah dalam membiayai
aktifitas
pembangunan
daerah,yang
diukur
dengan
cara
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi (Mahmudi, 2011).
57
Laporan Realisasi Anggaran
APBD
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu setelah Otonomi Daerah
Analisis Rasio Kemandirian, efektifitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Rasio Aktivitas/keserasian, Rasio pertumbuhan, Rasio desentralisasi fiskal, dan Rasio Ketergantungan
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran