13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Respon Nyeri Bayi Saat Imunisasi
2.1.1 Imunisasi a. Pengertian Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.
Tujuan pemberian imunisasi adalah
untuk meningkatkan kekebalan bayi dan anak secara aktif terhadap suatu penyakit yang dapat didegah dengan imunisasi (PD3I), sehingga bila kelak terpapar tidak akan menderita penyakit tersebut atau sakit ringan (Ditjen PP dan PL, 2009). Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit yang bersangkutan, yang telah dilemahkan atau dimatikan, atau diambil sebagian, atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja dimasukkan ke dalam tubuh seseorang atau sekelompok orang, yang bertujuan untuk merangsang timbulnya zat antipenyakit tertentu pada orang– orang tersebut. Sebagai akibatnya,maka orang yang diberikan vaksin akan memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Achmadi, 2006). Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kekebalan diatas ambang
13
14
perlindungan . Pemberian imunisasi memberikan manfaat kepada anak berupa mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian. Keluarga juga merasakan manfaat berupa hilangnya kecemasan dan stress akibat anak sering sakit serta dengan pemberian imunisasi, Negara dapat memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan cerdas untuk melanjutkan pembangunan Negara (Pusat Promkes Depkes RI, 2009). b. Jenis – Jenis Imunisasi Dasar Pemerintah Indonesia menerapkan lima jenis imunisasi dasar yang wajib bagi anak – anak, yang disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI) meliputi pemberian vaksin BCG (baciulus Callmete Guerin), polio, hepatitis B (HepB), DPT (dipteri, pertusis, tetanus) dan campak (IDAI, 2011). Saat ini sudah dianjurkan penggunaan vaksin kombinasi (vaksin combo, combine vaccine), mengingat anak sampai usia lima tahun akan mendapatkan suntikan sebanyak 13 kali suntikan vaksin secara terpisah. Dengan adanya vaksin combo jumlah kunjungan dan biaya ke fasilitas kesehatan berkurang, meningkatkan cakupan imunisasi, pengurangan biaya pengadaan vaksin dan mengejar imunisasi yang terlambat. Vaksin combo saat ini adalah DTP/Hib yaitu untuk mencegah penyakit dipteri, pertusis, tetanus dan haemophillus influenzae tipe B atau DTP/HepB (Sarimin, 2012). Penjelasan masing – masing vaksin sebagai berikut :
15
1) Vaksin BCG Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup namun telah dilemahkan. Pemberiannya secara intrakutan tepat di insersio muskulus deltoideus. Kontraindikasi pada anak yang berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyakit kulit berat/menahun serta penderita HIV/AIDS (Probandari dkk., 2013). 2) Vaksin DPT (Diphteri,Pertusis dan Tetanus) Vaksin diphteri terbuat dari toksin kuman diphteri yang telah dilemahkan (toksoid), biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Vaksin tetanus yang digunakan untuk imunisasi aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Ada tiga kemasan vaksin tetanus yaitu tunggal, kombinasi dengan diphteri dan kombinasi dengan diphteri dan pertusis. Vaksin pertusis terbuat dari kuman Bordetella pertusis yang telah dimatikan. Pemberian secara intramuscular pada paha aterolateral (vastus lateralis). Reaksi imunisasi yang ditimbulkan berupa demam ringan, pembengkakan dan nyeri ditempat suntikan selama 1-2 hari. Kontraindikasi pada anak yang sakit parah, anak yang menderita penyakit kejang demam kompleks, anak yang diduga menderita batuk rejan, anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan (Probandari dkk., 2013).
16
3) Vaksin Poliomelitis Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II dan III; yaitu (1) vaksin yang mengandung virus polio yang sudah dimatikan (salk), biasa diberikan dengan cara injeksi, (2) vaksin yang mengandung virus polio yang hidup tapi dilemahkan (sabin), cara pemberian per oral dalam bentuk pil atau cairan lebih banyak dipakai di Indonesia. Kontraindikasi pada diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan (Probandari dkk., 2013). 4) Vaksin Campak Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Kemasan untuk program imunisasi dasar berbentuk kemasan kering tunggal. Namun ada vaksin dengan kemasan kering kombinasi dengan vaksin gondong/ mumps dan rubella (campak jerman) disebut MMR. Pemberian secara sub cutan biasanya di lengan kiri atas. Reaksi imunisasi berupa pembengkakan dan nyeri di daerah injeksi. Kontraindikasi pada anak dengan sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan (Probandari dkk., 2013). 5) Vaksin Hepatitis B Imunisasi aktif dilakukan dengan suntikan 3 kali dengan jarak waktu satu bulan antara suntikan 1 dan 2, lima bulan antara suntikan 2 dan 3. Namun cara pemberian imunisasi tersebut dapat berbeda tergantung pabrik pembuat
17
vaksin. Vaksin hepatitis B dapat diberikan pada ibu hamil dengan aman dan tidak membahayakan janin, bahkan akan membekali janin dengan kekebalan sampai berumur beberapa bulan
setelah lahir. Pemberian secara
Intramuskular pada paha anterolateral (vastus lateralis).Reaksi imunisasi berupa nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin disertai rasa panas atau pembengkakan. Akan menghilang dalam 2 hari. Kontraindikasi pada anak dengan penyakit berat (Probandari dkk., 2013). 6) Vaksin DPT/HB (COMBO) Mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis yang inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unit vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious. Pemberian secara Intramuskular pada paha anterolateral (vastus lateralis) dengan kontraindikasi pada Syok dan kejang setelah 3 hari injeksi sebelumnya (Probandari dkk., 2013). c.
Jadwal Imunisasi Jadwal pemberian vaksin merupakan gabungan dari pemberian vaksin
18
wajib dan vaksin disarakan. Vaksin COMBO tidak terjadwal, akan tetapi tetap diberikan dengan pertimbangan efisiensi dan cost effective. Berikut adalah jadwal imunisasi yang direkomendasikan oleh IDAI : Gambar 1. Jadwal Imunisasi (Sumber : IDAI, 2012)
d. Reaksi Suntikan Imunisasi Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri, bengkak dan kemerahan pada area suntikan. Efek tidak langsung berkaitan dengan status psikologis bayi dimana bayi merasa ketakutan dan ketidaknyamanan yang dimanifestasikan dengan tangisan, gerakan, hiperventilasi, mual dan bahkan pingsan sebagai bentuk gangguan dari gangguan psikologis akibat reaksi suntikan imunisasi (IDAI, 2011). Menurut telaah Pokja KIPI Depkes RI, penyebab timbulnya KIPI sebagian besar karena kesalahan prosedur dan tehnik pelaksanaan imunisasi dan faktor kebetulan. Penanganan menurut rekomendasi IDAI dalam pencegahan KIPI akibat reaksi suntikan, dengan menganjurkan menggunakan teknik penyuntikan yang benar, menciptakan suasana ruangan tempat penyuntikan yang tenang, serta mengatasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar (IDAI, 2011). Agar imunisasi bisa diterima oleh orang tua dapat melalui metode pencegahan KIPI bahwa memberikan instruksi kepada orang tua bagaimana cara menurunkan nyeri pada anak, dapat menurunkan respon nyeri pada anak
19
saat menerima suntikan imunisasi, sehingga anak dan orang tua tidak mengalami trauma dan membuat orang tua kembali membawa anaknya untuk imunisasi selanjutnya (Sarimin, 2012).
2.1.2 Respon Nyeri Pada Bayi a. Pengertian Nyeri International association for the study of pain (IASP) dalam (Astuti, 2012) mendefinisikan nyeri sebagai sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi dimana terjadi kerusakan. Nyeri merupakan suatu kondisi perasaan yang tidak nyaman disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang bersifat fisik maupun mental. Nyeri bersifat subjektif sehingga respon setiap orang tidak sama merasakan nyeri (Potter & Perry, 2006). Nyeri digolongkan ke dalam tanda vital ke 5 yang dapat memberikan perubahan fisiologi, ekonomi, sosial dan emosional yang berkepanjangan (Yudhowibowo, 2011). b. Respon Nyeri Bayi Bayi belum dapat menyampaikan rasa nyeri yang dirasakan secara verbal. Sehingga diperlukan metode pengukuran secara khusus. Salah satu metode pengukurannya dengan melihat gerak-gerik, ekspresi wajah dan irama jantung. Respon prilaku pada bayi dibedakan berdasarkan tahapan tumbuh
20
kembangnya. Perbedaan tersebut ada pada respon motorik, respon ekspresif dan kemampuan mengantisipasi nyeri. Adapun penjelasannya menurut Astuti (2011) adalah sebagai berikut : 1) Bayi Muda Respon motorik berupa generalisata termasuk gerakan memukul/ menebah, kekakuan, reflek menarik yang berlebihan,kehilangan reflek mengisap yang tidak terorganisasi, mulai untuk makan atau minum dan tidak dilanjutkan. Respon ekpresif berupa menangis keras, mata tertutup rapat, mulut terbuka dan meringis. Sedangkan kemampuan mengantisipasi nyeri tidak ada kaitan mendekati stimulus dengan nyeri. 2) Bayi Respon motorik pada bayi bersifat lokalisata, menarik apa yang terkena, perilaku mengisap atau makan seperti bayi muda. Respon ekspresif seperti bayi muda kecuali mata mungkin terbuka. Sedangkan kemampuan mengantisipasi nyeri berupa tahanan fisik setelah stimulus nyeri. c.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Nyeri Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri
dijelaskan menurut Potter dan Perry (2006) sebagai berikut : 1) Usia
pada bayi
21
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. 2) Kebudayaan Anak akan belajar dari budaya orang tuanya,bagaimana seharusnya ia berespon terhadap nyeri misalnya tidak pantas laki–laki mengeluh nyeri, sedangkan wanita boleh mengeluh nyeri.
3) Ansietas Cemas dan perasaan tidak nyaman dapat meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 4) Keletihan Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. 5) Pengalaman sebelumnya Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 6) Dukungan sosial dan keluarga
22
Anak yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan. d. Dampak Nyeri Wong, et al, dalam (Astuti,2011) menjelaskan bahwa akibat akut dan jangka panjang dari nyeri pada bayi masih dalam penelitian oleh banyak peneliti. Akan tetapi, keterbatasan pengetahuan yang ada memperlihatkan adanya potensi dampak buruk yang serius dari nyeri yang tidak ditangani. Dampak tersebut antara lain : 1) Dampak Akut Dampak akut yang ditimbulkan pada bayi berupa : perdarahan ventrikuler/intraventrikuler, peningkatan pelepasan kimia dan hormone, pemecahan cadangan lemak dan karbohidrat, hiperglikemia berkepanjangan, peningkatan morbiditas di NICU, mempori kejadian nyeri, hipersensitifitas terhadap nyeri, respon terhadap nyeri memanjang, inervasi korda spinalis yang tidak tepat, respon terhadap rangsang yang tidak berbahaya yang tidak tepat dan penurunan ambang nyeri. 2) Dampak Potensi jangka Panjang Akibat potensi jangka panjang yang dapat terjadi dari nyeri pada byi antara lain : peningkatan keluhan somatic tanpa sebab yang jelas, peningkatan respon fisiologis dan tingkah laku terhadap nyeri, peningkatan prevalensi deficit neurologi, masalah psikososial, penolakan terhadap kontak manusia.
23
Dampak yang dapat diamati antara lain keterlambatan perkembangan, gangguan neurobehavioral, penurunan kognitif, gangguan belajar, kinerja mototrik menurun, masalah prilaku, deficit perhatian, tingkah laku adaptif buruk, ketidakmampuan menghadapi situasi baru, masalah dengan impulsivitas dan kontrol sosial, perubahan tempramen emosi pada masa bayi dan kanakk-kanak, dan peningkatan stres hormonal dikehidupannya kelak. e.
Penatalaksanaan Nyeri Pemberian terapi tidak hanya memperhitungkan efek jangka pendek dari
manfaat yang ditimbulkan, akan tetapi juga memperhatikan efek jangka panjang yang mungkin memberi efek negatif pada anak. Intervensi untuk mencegah terjadinya trauma karena nyeri pada anak dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu farmakologi dan non farmakologi (Sreptiani, 2013;Taddio, 2010). Penjabaran pendekatan masing-masing intervensi sebagai berikut : 1. Farmakologi Segala bentuk intervensi untuk mereduksi nyeri yang sifatnya melalui proses fisiologis dan metabolism tubuh dimasukkan dalam golongan intervensi farmakologi. Adapun tindakan yang digunakan untuk membantu mengatasi nyeri bayi saat diimunisasi meliputi pemberian anestesi topikal (eutectic mixture of local anasthetics (EMLA)), regional (seperti blok syaraf perifer
24
dan blok syaraf sentral) ataupun sistemik (non steroid anti inflamatory drugs (NSAIDs)) 2. Non Farmakologi Intervensi dengan pendekatan non faramokologi memiliki efek samping yang minimal dibandingkan dengan intervensi farmakologi. Intervensi non farmakologi menggunakan pendekatan terapi analgesic, fisik dan psikologis. Adapun penjelasan tindakan non faramakologi meliputi : 1. Analgesik Non Farmakologi a) Sweet Solution Sebelum tindakan imunisasi, bayi akan diberikan cairan manis yang mengandung glukosa, sukrosa atau sweet solution lainnya yang langsung dioleskan pada mulut bayi atau melalui media pacifier.
25
b) Non nutritive sucking (NNS) NNS adalah penyediaan dot silikon ke mulut bayi yang menyebabkan mekanisme pengisapan tanpa pemberian ASI dan formula gizi.NNS menghasilkan analgesia pada neonatus melalui stimulasi orotaktil dan mekanoreseptor ketika dot masuk kedalam mulut bayi (Devi, 2012). c) Breastfeeding Analgesia Penelitian yang dilakukan Indra Tri Astuti (2011) diperoleh perbedaan respon nyeri yang bermakna antara kelompok yang diberikan intervensi ASI, air gula dan kelompok kontrol, dimana respon nyeri pada kelompok yang diberikan ASI lebih rendah dibandingkan dua kelompok lainnya. 2. Fisik a. Posisi anak Intervensi fisik seperti menggendong dengan sitting up adalah teknik yang sangat mudah dilakukan oleh orang tua dan mudah diterapkan tanpa tambahan biaya dan waktu (Taddio et al., 2009). Manfaat posisi ini dijelaskan oleh Kuttner (1989 dalam Lacey et al., 2008) bahwa bayi merasa terlindungi, aman dan nyaman sehingga respon perilaku nyeri berkurang disamping itu orang tua dengan mudah membatasi pergerakan tangan dan kaki bayi. Adapun tekniknya yaitu bayi digendong dengan posisi menghadap pada ibu dimana posisi kepala
26
bayi lebih tinggi dari posisi ektremnitas bawahnya. Dalam Ilmu Keperawatan, sitting up diidentikkan dengan posisi fowler/semi fowler. Penelitian yang dilakukan oleh Lacey Cm, et al. (2008), bertujuan untuk mengetahui perbedaan posisi bayi antara sitting up dengan supine terhadap respon nyeri saat imunisasi bayi. Penelitian menggunakan quasy experiment dengan dua grup intervensi dengan design pre – post test. Hasil penelitian menunjukkan posisi sitting up lebih membuat bayi nyaman daripada supine sehingga dapat mengurangi terjadinya nyeri saat injeksi. b. Terapi es Memberikan es pada area kulit yang akan disuntik dapat menyebabkan sensasi “mati rasa”. Akan tetapi pemberian es di area suntikan pada anak usia dibawah 3 tahun tidak memahami peran sensasi dingin dalam menurunkan nyeri dan menyebabkan perhatian anak terfokus pada prosedur (Sarimin, 2012). c. Skin to skin Contact (Kangaroo Care) Pemberian kangaroo care antara ibu dan anaknya dapat mengurangi tangisan dan nadi selama prosedur imunisasi. Metode skin to skin contact ini dapat menurunkan nyeri akut secara signifikan pada neonates (Cousins dkk., 2011).
27
3. Psikologis a. Distraksi Intervensi ini berupa upaya mengalihkan perhatian anak terhadap nyeri baik yang dilakukan oleh anak sendiri seperti mendengarkan musik atau mainan, dilakukan oleh orang tua seperti orang tua memimpin distraksi anaknya dengan memberi instruksi, atau dengan menggunakan mainan dan kata-kata yang diungkapkan secara verbal serta dilakukan oleh perawat (Sarimin, 2012). b. Humor dari orang tua Orang tua memberi dukungan pada anak selama prosedur, menggunakan
bantuan alat maianan, orang tua bersuara dan
menggoyang-goyangkan anak. Teknik ini dapat dilakukan pada semua usia anak (Taddio, 2012). f. Skala Pengukuran Nyeri Skala pengukuran nyeri pada bayi disesuaikan dengan batas respon bayi yang diindikasikan sebagai respon terhadap nyeri. Beberapa skala yang sering digunakan meliputi FLACC behavior scale dengan lima indicator meliputi face (F), Legs (L), Activity(A), Cry(C) dan Consolability (C). Skala ini valid
28
digunakan pada usia 2 bulan samapi 7 tahun. Skala ini menggunakan lima indicator dengan rentang skor 0-2 (Lewis et al., 2010). Skala pengukuran lainnya yaitu Neonatal Infant Pain Scale (NIPS). NIPS menggunakan enam indicator meliputi facial expression (skor 0-1), Cry (skor 0-2), Breathing Pattern (skor 0-1), Arms (skor 0-1), Legs (skor 0-1) dan State of Arousal (skor 0-1). Skala direkomendasikan untuk anak dibawah satu tahun (Sarhangi et al, 2010). Modified Behavioral Pain Scale (MBPS) telah diuji cobakan untuk mengukur tingkat nyeri dan stress bayi dan sudah divalidasi untuk digunakan pada populasi imunisasi (Hogan,2011). MBPS menggunakan tiga indikator meliputi Ekspresi wajah (skor 0-3), Menangis (skor 0-4) dan Pergerakan (skor 0-3) dengan total antara skor 0-10. Skor MPBS adalah jumlah poin dari tiga parameter tersebut, dimana skor 0 adalah skor minimum dan skor 10 adalah skor maksimum. Pengukuran respon nyeri dilakukan melalui dua tahap, yaitu skor MBPS sebelum suntikan dan setelah suntikan yang kemudian diselisihkan untuk mendapatkan skor MBPS (Taddio et al,2011). Taddio dan Hogan, (2011) dalam evaluasi reliabilitas dan validitas skala nyeri MBPS, di mana konsistensi internal dievaluasi melalui cronbach’s alpha dan didapatkan nilai 0,83-0,94. Dengan demikian alat ukur ini dinyatakan memiliki Efektivitas konsistensi yang sangat tinggi (Cronbach’s α > 0,7) untuk mengukur nyeri pada bayi saat menerima suntikan imunisasi. Uji validitas alat
29
ukur MBPS dengan melihat skor kelompok bayi yang menerima suntikan DPTaP-Hib dengan PCV melalui uji t validitas kontruk didapat
p<0.001
sehingga alat ukur ini dinyatakan valid mengukur apa yang sebenarnya harus diukur. Berdasarkan tingkat kepraktisan penggunaan MBPS dibanding dengan NIPS dan FLACC pada lima intereter
tentang kecepatan dan kemudahan
penggunaan alat ukur MBPS, NIPS dan FLACC yaitu memperoleh rerata skor kecepatan penggunaan alat ukur berturut-turut adalah 4,6; 3,6 dan 2,4. Sedangkan rata-rata skor kemudahan dalam penggunaan ketiga alat ukur ini berturut-turut 4,4; 4,0 dan 3,2. Pada penelitian ini untuk mengukur respon nyeri bayi digunakan MBPS yang dinyatakan sebagai alat ukur utama untuk melihat respon nyeri bayi yang menerima suntikan imunisasi karena memiliki rerata skor kecepatan dan skor kemudahan yang tinggi dibanding dengan alat ukur lainnya. Pengukuran respon perilaku nyeri bayi selama prosedur suntikan imunisasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu 5 detik sebelum penyuntikan dan 15 detik setelah suntikan. (Sarimin, 2012). 2.1.3
Respon Nyeri Bayi Saat Imunisasi Respon nyeri yang dialami bayi sebelum, selama dan setelah prosedur
imunisasi merupakan mekanisme signal yang diberikan kepada lingkungannya akan ketidaknyamanan yang dialaminya. Respon nyeri bayi saat diimunisasi biasanya disebabkan karena pengaruh psikologis berupa kurangnya rasa nyaman yang dirasakan bayi oleh karena kurangnya dukungan orang tua dan pengaruh fisik akibat
30
dari ketidaknyamanan berupa kerusakan integritas jaringan akibat dari injeksi vaksin imunisasi. Respon bayi akan nyeri yang dialami meliputi bayi akan menangis, meringis, peningkatan nadi, dan respon psikologis lainnya (Razek & El-Dein, 2009). Melalui indikator Modified Behavioral Pain Scale (MBPS), respon nyeri bayi saat imunisasi dapat diidentifikasi melalui tiga indikator meliputi ekspresi wajah, menangis dan pergerakan. Penilaian dari ekspresi wajah berupa dahi/alis mengkerut dan menutup mata dengan kencang. Indikator tangisan dilihat dari intensitas tangisan sedangkan respon pergerakan dilihat dari adanya bayi menggeliat, mencoba menghindari
sakit
hingga
sampai
kekakuan
(Taddio
2.2
Family Triple Support (FTS) Berbasis Atraumatic Care
2.2.1
Atraumatic Care
et
al,
2011).
a. Pengertian Atraumatic care adalah asuhan keperawatan yang tidak menimbulkan trauma pada anak dan keluarganya, merupakan asuhan yang terapeutik karena bertujuan sebagai terapi bagi anak. Atraumatic care dapat diberikan kepada anak dan keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan yang diberikan. Perawatan tersebut difokuskan dalam pencegahan terhadap trauma yang merupakan bagian dalam keperawatan anak (Anggraini, 2012). Nyeri merupakan salah satu yang menjadi perhatian khusus kepada anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang. Nyeri akan
31
berefek pada kondisi fisik dan psikologis anak dan orang tua. Oleh karena itu diperlukan penerapan atraumatic care dalam penangan nyeri pada anak. Untuk mencapai perawatan tersebut beberapa prinsip yang dapat dilakukan oleh perawat antara lain : menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga, mencegah atau mengurangi cedera dan nyeri, dan memodifikasi lingkungan fisik (Anggraini, 2012). b. Aplikasi Atraumatic Care dalam Imunisasi Perawat berperan memberikan asuhan keperawatan yang terkandung prinsip atraumatic care pada pasien yang diimunisasi. Beberapa yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak trauma akibat imunisasi meliputi : 1) Pencegahan Dampak Perpisahan dari Keluarga Dari hasil pennelitian disebutkan bahwa semua orang tua memberi dukungan secara emosional pada anak,sebagian besarnya (91%) berbicara untuk dan/atau menenangkan anak dan 73% mengusap dan/atau mencium anaknya. Hal ini yang membuat anak merasa tenang dan nyaman selama prosedur perawatan atau pengobatan (Sufriani, 2010).Perpisahan tidak hanya berdampak pada anak akan tetapi keluarga juga merasakan cemas akan kondisi anaknya. Penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku orang tua seperti mengalihkan perhatian lewat teknik distraksi, humor, kata-kata penguatan dengan penurunan distress anak saat menerima prosedur yang menyebabkan nyeri (Taddio, 2012).
32
2) Mencegah atau Mengurangi Cedera dan Nyeri Tindakan pencegahan untuk mengurangi nyeri saat imunisasi dapat dilakukan dengan pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Tindakan Farmakologi berupa anestesi dan EMLA sedangkan tindakan non farmakologi dapat diberikan berupa posisi sitting up, sweet solution, distraksi, breasfeeding analgesic, skin to skin contact dll (Taddio, 2012;Taddio, 2009). Untuk mengurangi cedera diperlukan pemilihan jarum yang sesuai, tempat penusukan yang mengurangi dapat suntukan dan prosedur tindakan yang benar (IDAI, 2011). 3) Memodifikasi Lingkungan Menciptakan suasana yang nyaman merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecemasan anak terhadap tindakan keperawatan yang akan ditrimanya.Lingkungan dapat dikondisikan sesuai dengan lingkungannya sehari-hari di rumah atau menambah tempat bermain sebagai salah satu bentuk upaya menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan seperti marah, takut, cemas, sedih dengan cara yang aman diamana anak dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainan dan kesenangan yangdiperoleh berdampak sebagai relaksasi bagi anak (Sarimin, 2012).
33
2.2.2
Family Triple Support (FTS) sebagai Manajemen Nyeri saat Imunisasi Bayi a. Pengertian Family Triple Support (FTS) merupakan salah satu intervensi terintegrasi yang melibatkan peran orang tua dalam mengatasi permasalahan nyeri saat prosedur imunisasi bayi. Intervensi ini terdiri atas pemberian informasi tentang metode reduksi nyeri pada bayi dan dilanjutkan dengan pelaksanaan metode mengurangi nyeri saat prosedur imunisasi pada bayi. FTS memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan orang tua khususnya ibu mengenai peran ibu dalam mengatasi nyeri bayi saat diimunisasi. Perawat juga dapat mengoptimalkan prinsip atraumatic care saat prosedur imunisasi dengan pendekatan keluarga sebagai cetered care.
Selain memiliki cost
effective yang tinggi, FTS juga menerapkan intervensi keperawatan yang berpusat pada keluarga (Sufriani. 2010; Taddio A et al., 2009;Sarimin, 2012). b. Peningkatan Pengetahuan Orang Tua Peningkatan pengetahuan dapat diwujudkan dengan cara pemberian informasi melalui pendidikan. Memberikan informasi merupakan bagian dari persiapan psikologis yang dibutuhkan oleh orang tua dan anak sebelum tindakan keperawatan. Pengetahuan tentang informasi prosedur akan berguna bagi orang tua ketika mengatasi anaknya sebelum, selama dan setelah tindakan. Penelitian menyebutkan bahwa pengetahuan yang diberikan pada
34
orang tua ketika anaknya akan diberikan imunisasi menunjukkan hasil yang diharapkan,
bahwa
orang
tua
yang
mendapat
bimbingan
dari
perawatmenunjukkan perilaku koping yang lebih baik dan distress yang menurun (Sufriani, 2010). FTS memfasilitasi orang tua akan pemenuhan informasi mengenai prosedur imunisasi yang dijalani anak dan tindakan yang dapat orang tua lakukan untuk mengurangi respon nyeri bayi saat diimunisasi. Dalam Pelaksananaan, pemberian informasi diberikan dengan sasaran individu atau kelompok dengan metode ceramah dan tanya jawab. Media informasi yang membantu proses pemberian pendidikan berupa leaflat, video dan flipcart. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya literatur berupa leaflet
yang
ditujukan pada ibu berhubungan dengan hasil yang buruk pada anak yang diimunisasi yaitu meningkatnya distress anak (Sarimin, 2012). c. Keterlibatan Keluarga dalam Mengurangi Respon Nyeri Bayi saat Imunisasi Kesibukan perawat dan keterkaitan pembiayaan masih menjadi alasan kurang optimalnya penatalaksanaan nyeri pada bayi saat prosedur imunisasi. Penatalaksanaan yang mengarah pada salah satu bentuk pemerdayaan dapat diterapkan perawat di dalam mengatasi hambatan pelaksanaan atraumatic care pada bayi yang diimunisasi. Keluarga dapat diberdayakan untuk ikut berpartisipasi aktif dalam mengatasi permasalahan nyeri pada bayinya. FTS
35
mengambil intervensi dengan pendekatan family centered care untuk mengatasi permasalahan pembiayaan dan kesibukan perawat. FTS berbasis pada terapi non farmakologi yang merupakan pemberian metode mengurangi nyeri dengan kombinasi intervensi pemberian ASI sebagai analgesik non farmakologi,
intervensi
psikologi
distraksi
dengan
mainan
beruara
(krincingan) yang dalam penerapan dilakukan oleh orang tua sendiri dan penatalaksanaan fisik berupa sitting up (posisi bayi dengan kepala lebih tinggi dari ektremnitas bawah atau semi fowler) untuk menciptakan perasaan nyaman pada bayi saat diimunisasi (Sufriani, 2010; Taddio A et al., 2009). Sebelum intervensi dilakukan, orang tua akan diberikan pembekalan berupa pemberian materi penatalaksanaan nyeri FTS yang akan diaplikasikan saat prosedur imunisasi anak. Pemberian ASI menjadi salah satu komponen FTS yang mempunyai efek psikologis. Saat menyusui terjadi kontak kulit ibu dengan kulit bayi yang dapat memberikan kehangatan pada bayi. Interaksi antara ibu dengan bayi saat menyusui menimbulkan rasa nyaman, aman dang hangat bagi bayi. Perasaan ini mengingatkan bayi akan nyamannya berada di dalam Rahim ibu, sehingga bayi menikmati kegiatan menyusui (Astuti, 2011). Penelitian yang dilakukan Aida Abdul Razek dan Nagwa AZ El-Dein (2009), bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ASI pada penurunan nyeri selama injeksi imunisasi pada bayi. Penelitian menggunakan design quasi experiment dengan group kontrol. Hasil penelitian menunjukkan pemberian
36
ASI dan skin–to-skin contact secara signifikan mampu menurunkan intensitas menangis pada bayi yang mendapat injeksi imunisasi. FTS memberikan distraksi yang dilakukan oleh orang tua dengan media mainan. Strategi ini dapat menurunkan nyeri dengan cara memberi stimulus lain sehingga menghambat impuls nyeri ke otak, ini didasari bahwa aktivasi retikuler dapat menghambat nyeri dimana jika seseorang diberi stimulus yang banyak maka akan menghambat input sensori nyeri sampai ke otak. Selain itu stimulus yang menyenangkan seperti bermain dengan mainan yang menimbulkan bunyi, dengan berbagai macam
warna mainan dapat
merangsang sekresi endorfin. Endorfin merupakan asam amino yang mengikat reseptor opiat yang berada di area otak yang dapat memberikan efek analgesik (Sarimin, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gedam GS, Verma M, Patil U dan Gedam S (2013), bertujuan untuk mengetahui efektifitas teknik distraksi audiovisual pada anak selama dan setelah imunisasi. Penelitian menggunakan quasi experiment tiga kelompok pre test post test design. Hasil penelitian menunjukkan dua kelompok yang diberikan distraksi memiliki skor nyeri yang rendah dibandingkan kelompok kontrol pada anak yang diimunisasi. Hal selanjutnya yang dapat dilakukan keluarga untuk mengatasi nyeri saat prosedur imunisasi adalah memposisikan anak sitting up. Posisi ini dirasa lebih efektif dibandingkan memisahkan anak dengan orang tua dengan
37
membaringkannya kemudian dipegang oleh ibu dan perawat. Posisi sitting up menggunakan pendekatan prinsip skin to skin contact yang dapat memberikan efek nyaman dan aman serta merasa dilindungi dari orang tua kepada bayi (Taddio A et al., 2009;Lacey, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Lacey Cm, et al. (2008), bertujuan untuk mengetahui perbedaan posisi bayi antara sitting up dengan supine terhadap respon nyeri saat imunisasi bayi. Penelitian menggunakan quasy experiment dengan dua grup intervensi dengan design pre – post test. Hasil penelitian menunjukkan posisi sitting up lebih membuat bayi nyaman daripada supine sehingga dapat mengurangi terjadinya nyeri saat injeksi. Ketiga kombinasi intervensi diatas dilaksanakan dengan pendekatan family centerd care melalui peran orang tua dalam mengurangi nyeri pada bayi saat prosedur imunisasi. Orang tua yang memiliki ikatan yang kuat dengan bayi sejak dalam kandungan diharapkan dapat mengoptimalkan upaya reduksi nyeri saat prosedur imunisasi.
Intervensi ini memiliki nilai cost
effective sebagai sarana optimalisasi atraumatic care pada bayi yang menjalani prosedur imunisasi (Lacey, 2008;Gedam et al, 2013;Razek dan ElDein, 2009). d. Langkah-Langkah Pelaksanaan Family Triple Support (FTS) Pelaksanaan Family Triple Support (FTS) melalui tahapan sebagai berikut :
38
1. Beri pendidikan/edukasi mengenai metode mengurangi nyeri saat prosedur suntikan imunisasi pada ibu bayi dimana edukasi diberikan sebelum prosedur imunisasi dimulai 2. Saat prosedur suntikan imunisasi, ibu mengimplementasikan metode mengurangi nyeri saat prosedur suntikan imunisasi melalui tahapan : a. Ibu mulai menyusui anaknya selama 2 menit sebelum injeksi imunisasi dengan posisi menyusui sitting up (posisi kepala lebih tinggi dari badan /semi fowler). Menyusui berlanjut sampai 1 menit setelah injeksi. b. Selama menyusui, ibu melakukan distraksi pada bayi dengan mainan bersuara (krincingan). c. Pertahankan menyusui dengan posisi sitting up dan distraksi dengan mainan selama 1 menit setelah injeksi 3. FTS berakhir setelah 1 menit setelah suntikan imunisasi
2.3
Pengaruh Family Triple Support (FTS) Berbasis Atraumatic care terhadap Respon Nyeri Bayi saat Prosedur Imunisasi Imunisasi merupakan salah satu bentuk kebutuhan akan layanan kesehatan.
Dalam pelaksanaannya, orang tua dan bayi dihadapkan pada ketidaknyamanan akibat prosedur imunisasi. Nyeri merupakan salah satu respon bayi akibat dari pengaruh psikologis berupa kurangnya dukungan keluarga terhadap bayi dan pengaruh fisik akibat injeksi saat prosedur imunisasi (Razek & El-Dein, 2009). Oleh karena itu
39
untuk mengurangi dampak jangka pendek dan panjang dari nyeri akibat prosedur imunisasi, diperlukan intervensi berbasis atraumatic care dengan pertimbangan cost effectiveness melalui pelayanan berfokus pada keluarga(Anggraini, 2012). Family Triple Support (FTS) merupakan salah satu intervensi terintegrasi yang melibatkan peran orang tua dalam mengatasi permasalahan nyeri saat prosedur imunisasi bayi. Intervensi ini terdiri atas pemberian informasi tentang metode reduksi nyeri pada bayi dan dilanjutkan dengan pelaksanaan metode mengurangi nyeri saat prosedur imunisasi pada bayi. Metode mengurangi nyeri meliputi kombinasi pemberian ASI, distraksi mainan (krincingan) dan pemberian posisi sitting up (posisi kepala lebih tinggi dari ektremnitas atau fowler/semifowler) saat imunisasi. Pemberian ASI mampu mendorong opioid endogen sehingga terjadi pelepasan neuromodulator yang mampu menghambat impuls nyeri (Ismanto, 2010). Pemberian distraksi mampu mengaktivasi retikuler untuk menghambat stimulus nyeri, dimana jika seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak. Pemberian posisi sitting up saat prosedur imunisasi mampu memberikan rasa nyaman dan menyenangkan bagi bayi sehingga mampu merangsang endorphin yang mampu menghambat impuls nyeri ke otak (Sukarwan dan Rachmat, 2011). Sehingga apabila ketiga intervensi ini dikombinasikan sehingga dapat mengoptimalkan hambatan impuls nyeri ke otak (Ismanto, 2010). Terkontrolnya nyeri mampu memberikan efek nyaman pada bayi yang berimbas pada pertumbuhan dan perkembangan yang
40
optimal. Intervensi ini didukung melalui pemberian pendidikan mengenai metode mengurangi nyeri kepada orang tua sehingga mampu mengoptimalkan efektivitas FTS terhadap respon nyeri bayi saat prosedur imunisasi (Sufriani. 2010).