BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah perairan Pantai Cilincing, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki luas 3.969.960 Ha dan memiliki batas Utara dangan Laut Jawa, 60.6’ LS dan 116.2’ BT, sebelah Timur dengan Kecamatan Taruma Jaya, Bekasi, sebelah Selatan dengan Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, dan sebelah Barat dengan Kecamatan Koja, Jakarta Utara (Lestari dan Edward 2004). Budidaya kerang hijau di kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilincing dapat dikatakan sebagai usaha yang cukup menjanjikan, hampir seluruh masyarakat perairan Pantai Cilincing menanamkan modal untuk budidaya kerang hijau maupun pengolahannya. Kegiatan budidaya dilakukan dengan cara sistem apung menggunakan tali dan bambu tancap (Primadiyasti 2004). Lebih lanjut Primadyasti (2004), menyatakan perairan Pantai Cilincing memiliki struktur Pantai yang tergolong rusak oleh erosi, abrasi, sedimentasi, dan reklamasi sampah oleh penduduk. Permasalahan khusus yang dihadapi oleh masyarakat nelayan di perairan Pantai Cilincing adalah pencemaran berasal dari limbah industri dan limbah rumah tangga, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir, belum adanya penataan ruang wilayah pesisir. 2.2 Plankton Plankton sebagai semua jasad hidup nabati (tumbuhan) dan hewani (hewan) yang hidup bebas di perairan dengan kemampuan gerak terbatas, sehingga sebagian besar geraknya secara pasif mengikuti pergerakan arus air (Newell 1963 dalam Ernawati 1996). Plankton berbeda dengan nekton, yang juga merupakan organisme pelagik, namun tidak dapat berenang cukup kuat sehingga tidak dapat melawan gerakan massa air. Plankton juga memiliki perbedaan dengan bentos yang terdiri dari organisme yang hidup di dasar perairan (Asriyana dan Yuliana 2012).
4
5
Berdasarkan batasan biologi, plankton dikelompokan menjadi fitoplankton (plankton nabati) dan zooplankton plankton (hewani). Berdasarkan definisi Tersebut kemudian timbul penggolongan plankton menurut batasan biologi, daur hidup dan ukuran (Basmi 1995). Menurut batasan daur hidup, plankton digolongkan menjadi holoplankton (plankton yang seluruh hidupnya sebagai daur plankton) dan meroplankton (plankton yang hanya sebagian daur hidupnya terutama stadia larva hidup sebagai plankton). Sebagai contohnya adalah copepoda, pada saat larva hidup sebagai plankton pada saat masa dewasa hidup sebagai hewan pelagik. Adapun batasan ukurannya plankton dikelompokan menjadi megaplankton, makroplankton, mikroplankton, nanoplankton dan ultraplankton (Asriyana dan Yuliana 2012). 2.2.1 Fitoplankton Fitoplankton tergolong organisme autotrof, yang mampu mensintesis senyawa organik yang kompleks melalui proses fotosintesis. Fitoplankton sebagai produsen primer, merupakan mata rantai yang pertama pada suatu tropic level sehingga tropic level diatasnya dapat dimanfaatkan (Nurruhwati 2004). Pengukuran fitoplankton sangatlah penting dalam studi produktivitas perairan, karena fitoplankton merupakan produsen primer yang memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi total di dalam ekosistem perairan. Adapun zooplankton merupakan konsumer pertama yang berperan besar dalam transfer energi dari produsen primer (fitoplankton) kejasad hidup yang berada pada tropic level lebih tinggi (golongan ikan dan udang) dengan demikian keberadaan plankton sangat menentukan stabilitas ekosistem perairan (Nurruhwati 2004). 2.2.2 Harmful Algae Blooms (HABs) Fitoplankton tidak semuanya menguntungkan. Sebagai salah satu contoh, kelas Cynophyceae hanya terdapat di laut tropik dan sering kali membentuk filamen yang padat dan dapat mewarnai air. Hal inilah yang kemudian disebut blooming atau ledakan populasi istilah HABs mulai sering digunakan di dunia internasional. Istilah HABs (Harmful Algae Blooms), merupakan fenomena yang umum terjadi pada suatu perairan, terutama pada wilayah laut. Definisi HABs yaitu penambahan populasi kelompok fitoplankton berbahaya, yang berdampak
6
negatif bagi perairan, kesehatan manusia, biota laut (GEOHAB 2001, Wiadyana 1996, Praseno 1996). Pada tahun 1993 pernah terjadi kematian massal pada ikan di Teluk Jakarta, hal tersebut dapat terjadi dikarenakan melimpahnya fitoplankton penyebab HABs (Lestari dan Edward 2004). Peristiwa HABs dibagi menjadi dua yaitu red tide dan toxin producer. Fenomena red tide yang terjadi pada suatu lokasi disebabkan oleh terjadinya peledakan populasi jenis-jenis fitoplankton. Peristiwa blooming pada umumnya disebabkan oleh fitoplankton kelas Dinoflagelata. Kelompok fitoplankton ini dapat bersifat toksik dan non toksik. Peristiwa red tide yang terjadi di suatu perairan akan memberikan pengaruh atau dampak negatif tehadap perairan maupun organisme yang terdapat di perairan tersebut. Pada perairan air tawar, terdapat juga jenis alga biru-hijau Microcystis aeruginusa dari fillum Cyanophyta, yang dapat berpotensi menyebabkan blooming. Apabila terjadi blooming dari jenis ini, maka bersamaan dengan peristiwa tersebut, terjadi juga proses pembusukan, yang sebagian besar disebabkan karena kurangnya kadar oksigen. Jenis ini juga tidak dapat dicerna oleh ikan karena keluaranya masih dalam keadaan tetap hidup (Nurruhwati 2004). Peristiwa red tide dapat menghalangi masuknya cahaya karena ledakan populasi fitoplankton dapat menutupi permukaan perairan (Sumadhiharga 1997). Hal tersebut dapat menyebabkan kondisi deplesi oksigen, yaitu anoksia dan hipoksia, sehingga menggangu sistem pernafasan bagi biota laut sehingga dapat mengakibatkan kematian massal bagi ikan-ikan. Pada lokasi terjadinya red tide, dapat menyebabkan kerang pada lokasi tersebut terkontaminasi zat toksis yang dapat menimbulkan korban bagi manusia yang mengkonsumsi kerang-kerangan dari perairan tempat terjadinya red tide. Sebagian besar spesies dari kelompok fitoplankton tersebut dapat juga menempel pada insang biota budidaya. Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan fungsi mekanik yang dapat menyebabkan kematian massal pada ikan (Hallegraef 1991). Peristiwa HABs juga dapat disebabkan oleh fitoplankton yang dapat menghasilkan toksin (Praseno 2000) toksin yang dihasilkan tersebut stabil tidak dapat terurai dengan pemasakan dan pengelolaan makanan (Andersson dkk
7
2008). Toksin dari fitoplanton penyebab HABs dapat terakumulasi pada jenis biota budidaya seperti ikan dan kerang, apabila biota tersebut dikonsumsi secara terus menurus oleh manusia maka akumulasi toksin tersebut akan berdampak buruk bagi manusia. Toksin yang dihasilkan oleh HABs dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yaitu Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP), Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Neurotoxic Shellfish Poisoning (NSP), Amnesic Shellfish poisoning (ASP), dan Ciguatera Fish Poisoning (CFP) (Asriyana dan Yuliana 2012). Keberadaan fitoplankton disuatu perairan memberikan pengaruh terbesar terhadap produktivitas primer di satu perairan (Steeman dan Nielsen 1952). Sekitar 95% produktivitas primer di laut disumbangkan oleh fitoplankton. Namun ternyata tidak selamanya populasi fitoplankton yang padat dapat memberikan dampak positif pada kesuburan perairan. Pada beberapa kasus, ledakan populasi fitoplankton justru menjadi bencana bagi kehidupan biota lainnya. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012), HABs merupakan istilah untuk menyatakan ledakan populasi fitoplankton yang berbahaya karena spesies-spesies penyebab HABs menghasilkan racun atau toksin dan dapat menimbulkan kerugian bagi manusia, biota laut maupun ekosistem disekitarnya. Spesies HABs sendiri dibagi ke dalam dua kelompok, red tide marker atau pasang merah dan toxin producer. Fenomena HABs sering terjadi begitu saja tanpa diketahui faktorfaktor yang menyebabkannya dan tanpa dapat diprediksi waktu terjadinya. Secara umum, penyebab terjadinya HABs juga berasal dari aktivitas manusia sehingga dapat meningkatkan pemasukan bahan organik ke perairan, transportasi dan pembuangan air ballast atau bekas pencucian kapal (Asriyana dan Yuliana 2012). Peristiwa HABs oleh red tide marker, dapat terjadi karena ledakan populasi fitoplankton berpigmen, sehingga warna air laut akan berubah sesuai warna pigmen pada spesies fitoplankton tertentu. Warna air laut dapat berubah dari biru menjadi merah, merah kecoklatan, hijau, ungu dan kuning. Namun pada perkembangannya, istilah ini sering menyesatkan karena ledakan fitoplankton ternyata tidak selalu dicirikan dengan warna merah (red) Bahkan dalam beberapa kasus, ledakan fitoplankton tidak mengubah warna apa-apa di permukaan laut.
8
Ledakan populasi fitoplankton tersebut dapat menyebabkan deplesi oksigen dan juga dapat menimbulkan gangguan fungsi mekanik maupun kimiawi pada insang ikan, hal tersebut dapat mengakibatkan kematian massal pada ikan (Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung 2013). Peristiwa HABs oleh toxin producer, terjadi melibatkan metabolit sekunder, yang bersifat toksik dari fitoplankton penyebab HABs tersebut. Toksik tersebut dapat terakumulasi dalam jaringan biota perairan seperti ikan dan kerang. Toksik tersebut dapat menyebabkan peristiwa keracunan, yaitu diarrhetic shellfish poisoning (DSP), paralytic shellfish poisoning (PSP),
neurotxic shellfish
poisoning (NSP), Ciguatera Fish Poisoning (CFP). Baik red tide maupun toxin producer, Keduanya memberikan dampak negatif bagi biota perairan maupun perairannya itu sendiri (BBPBL 2013). Spesies Fitoplankton dikategorikan sebagai mikroalga beracun karena dapat memproduksi toksin dan dianggap berbahaya (harmful) karena dalam kondisi blooming dapat merusak kualitas lingkungan perairan dan mengakibatkan kematian biota hidup. Ada sekitar 4000 spesies fitoplankton, dan baru sekitar 200 spesies (mendekati 6%)
telah
diindentifikasikan sebagai spesies berbahaya dan mengakibatkan blooming, serta sekitar 2% dari fitoplankton di dunia ini dapat menghasilkan toksin atau racun (Nontji 2006). Diperlihatkan pada Tabel 1 jenis-jenis mikroalga yang menyebabkan red tide / HABs yang ada di perairan Indonesia.
9
Tabel 1. Jenis-jenis Mikroalga Penyebab Red tide / HABs di Perairan Indonesia No Kelas / Spesies No Spesies Dinoflagellata 21 Osteopsis ovate 1 Alexandrium affine 22 Prorocentrum convacum 2 Alexandrium cohorticula 23 Prorocentrum emarginatum 3 Alexandrium tamiyavanichi 24 Prorocentrum lima 4 Ceratium fusus 25 Prorocentrum micans 5 6 7
Ceratium tripos Dinophysis acumunate Dinophysis caudate
8 Dinophysis miles 9 Dinophysis rotundata 10 Gambrierdiscus toxicus 11 Gonyaulax diegens 12 Gonyaulax polyedera 13 Gonyaulax polygramma 14 Gonyaulax spinifera 15 Gymnodinium catenatum 16 Gymnodium impudicum 17 Gymnodinium pulchellum 18 Notiluca scintillans 19 Ostereopsis lenticularis (Sumber: Asriyana dan Yuliana, 2012)
26 27 28
29 30 31 32 33 34 36 36 37
Prorocentrum microchepalus Prorocentrum triestinum Pyrodinium bahamense var compressum Raphydophyta Chattonella antique Chattonella subsalsa Diatom Chaetoceros socialis Chaetoceros convulotus Chaetoceros cocavicorne Pseudontizschia pungens Thallassiosira mala Cyanophyta Trichodesmium erythreum Trichodesmium thiebautii
2.3 Parameter Fisik dan Kimiawi Perairan a. Suhu Data suhu air laut dapat digunakan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut yang berhubungan dengan kehidupan hewan dan tumbuhan. Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan laut adalah dalam laju fotosintesis tumbuhan-tumbuhan dan proses fisiologis hewan, khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksinya. (Sverdrup et al 1943 dalam Ernawati 1996) suhu air laut perairan tropis berkisar antara 28-30 °C. Suhu memiliki pengaruh yang kuat pada fungsi fisiologis fitoplankton. Suhu tinggi akan mempengaruhi metabolisme, menaikan kecepatan perubahan sel, daya larut gas, respirasi, dan mempengaruhi pergerakan plankton karena adanya perubahan viskositas sitoplasma sel. Suhu optimal untuk pertumbuhan plankton adalah 2030°C dan proses fotosintesis optimal pada suhu 25-40°C (Effendi 2003).
10
Kenaikan suhu air secara mendadak dan berlangsung secara terus menerus dapat mengakibatkan kelarutan gas dalam air menurun, sehingga fitoplankton mengalami kekurangan oksigen dan karbondioksida, yang diperlukan pada proses fotosintesis dan respirasi (Effendi 2003). Menurut Sverdrup et al (1942) dalam Ernawati (1996), semakin dalam perairan, suhunya semakin rendah dan salinitas tinggi. Sehingga rapat air juga meningkat yang selanjutnya mengurangi laju penenggelaman fitoplankton. Perairan yang mempunyai stratifikasi kuat, dengan lapisan discontinue yang tajam, akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1980 dalam Ernawati 1996). Apabila fitoplankton tenggelam sampai ke bawah zona eurofik, maka akan mengalami disintegrasi kecuali bila ada sirkulasi vertikal yang dapat dengan segera menggangkatnya kembali ke zona eurofik (Sverdrup et al 1942 dalam Ernawati 1996). b. Kecepatan Arus Fitoplankton merupakan tumbuhan renik melayang, menurut Barus (2001), arus air adalah faktor yang mempunyai peranan yang sangat penting baik pada periran lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air akan bervariasi secara vertikal. Arus air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen yaitu arus air yang bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian dari perairan. Arus laut dapat terjadi karena perbedaan salinitas massa air laut, tiupan angin, pasang surut, atau perbedaan permukaan samudera. c. Transparansi Transparansi perairan sangat berpengaruh terhadap keadaan perairan tersebut, transparansi suatu perairan ditentukan oleh partikel-partikel terlarut dan Lumpur. Semakin banyak partikel atau bahan organik terlarut maka kekeruhan akan meningkat. Kekeruhan atau konsentrasi bahan tersuspensi dalam perairan akan menurunkan efisiensi makan dari organisme (Sembiring 2008). Transparansi air berkisar antara 40-85 cm tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Transparansi rendah adalah di bawah 100 cm (Akromi dan Subroto 2002).
11
d. Salinitas Salinitas perairan estuari biasanya lebih rendah daripada salinitas perairan sekelilingnya. Di mulut sungai, salinitas bervariasi sangat besar pada saat pergantian musim yaitu musim hujan dan musim kemarau (Arinardi et al 1997). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji 2007). Nilai salinitas perairan laut 30‰ - 40‰, pada perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40‰ - 80‰ (Effendi 2003). Perairan estuari memiliki salinitas yang berfluktuasi, suatu gradien salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu. Pola gradien bervariasi tergantung pada musim, topografi estuaria, pasang-surut dan jumlah air tawar (Nybakken 1992). Menurut Wyrtki (1961) dalam Arinardi et al (1997) pada bulan Maret angin barat masih berhembus tapi kecepatannya sudah berkurang. Musim barat biasanya mempunyai curah hujan yang tinggi yang dapat mempengaruhi kadar salinitas dan juga kelimpahan fitoplankton (terutama di perairan pantai). Tingginya salinitas di daerah intertidal bagian atas (arah ke hulu) sering kali memungkinkan binatang laut menyusup lebih jauh ke hulu estuaria di daerah intertidal bagian atas dari pada di daerah intertidal bagian bawah. e. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Karbonat, hidroksida dan bikarbonat akan meningkatkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam bikarbonat meningkatkan keasaman (Saeni 1989). Nilai pH ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologis misalnya, fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut (Pescod 1973). Perubahan nilai pH air laut (asam atau basa) akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas biologis. Keberadaan unsur hara di laut secara tidak langsung dapat dipengaruhi oleh perubahan nilai pH. Jika nilai pH di laut bersifat asam berarti kandungan oksigen terlarut rendah
12
hal ini akan mempengaruhi kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Salah satunya terjadi proses denitrifikasi yaitu proses mikrobiologi dimana ion nitrat dan nitrit diubah menjadi molekul nitrogen (N2). Produksi akhir dari proses tersebut akan menghasilkan gas inert yang tidak dapat dipakai secara langsung, akibatnya kandungan unsur hara yang dapat dimanfaatkan akan menurun. pH di perairan laut umumnya berkisar antara 8,18,3 pada lapisan permukaan. Pada perairan yang lebih dalam dimana kandungan oksigen lebih rendah, nilai pH umumnya 7,5 dan di lapisan dasar yang stagnan serta ditemui adanya gas H2S nilai pH biasanya 7,0 (Effendi 2003). f. DO (Dissolved Oxygen) DO menunjukkan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat di dalam air yang dinyatakan dalam ppm. Oksigen di perairan berasal dari proses fotosintesis dari fitoplankton atau jenis timbuhan air, dan melalui proses difusi dari udara (APHA 1989 dalam Waluyo 2011). Senyawa oksigen di air terdapat dalam dua bentuk yaitu terikat dengan unsur lain (NO3, NO2, PO4,CO2,CO3, dll) dan dalam bentuk senyawa bebas (O2). Kadar oksigen terlarut dalam perairan alami tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) masa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk kedalam badan air. Penurunan DO di air dapat terjadi karena suhu yang tinggi, proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta tingginya salinitas. Penurunan oksigen terlarut dalam air dapat disebabkan karena suhu yang tinggi, proses respirasi, masukan bahan organik, proses dekomposisi serta tingginya salinitas. Kelarutan oksigen dan gas- gas lainnya juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi 2003). Oksigen sangat penting bagi hampir seluruh kehidupan organisme, sehingga keberadaanya sangat membatasi distribusi dari berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Berkurangnya kadar oksigen di perairan disebabkan oleh beberapa hal yaitu, pertama proses respirasi dari jenis tumbuhan, hewan dan bakteri di semua
13
kolom perairan, kedua perpindahan oksigen dari permukaan air yang kadar oksigennya lewat jenuh (supersaturasi) ke atmosfir, ketiga reaksi kimia yang terjadi dalam air (Royce 1973). g. Unsur Hara Aktivitas yang terjadi di daratan dapat menyebabkan kandungan zat hara (terutama nitrat dan fosfat) di dalam air laut meningkat dan melebihi kondisi normal. Beban masukan hara yang di bawa dari daratan melebihi batas optimal akan sangat berbahaya bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton jenis tertentu. Apabila kandungan unsur hara nitrogen dan fosfor melebihi batas optimal maka akan menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan atau ledakan popuplasi fitoplankton (Asriyana dan Yuliana 2011). Menurut Mackentum (1969), untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat kisaran 0,9-3,5 mg/L dan ortofosfat adalah 0,09-1,80 mg/L. Kebutuhan akan hara makro dan hara mikro oleh fitoplankton pada dasarnya adalah sama namun jumlahnya berbeda. Penambahan beban masukan hara memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perubahan fitoplankton pada perairan yang oligotrofik dibandingkan terhadap perairan yang eutrofik (Basmi 1988). Kandungan unsur hara yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton di perairan diantaranya yaitu : 1. Nitrogen Nitrogen merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan protein di dalam organisme. Senyawa-senyawa nitrogen, baik di tanah maupun di air jumlahnya selalu terbatas, sedangkan tumbuhan (termasuk fitoplankton) membutuhkan senyawa tersebut dalam jumlah yang cukup besar. Fiksasi nitrogen oleh mikroba merupakan suatu proses penting yang menjamin keperluan senyawa nitrogen selalu tersedia untuk keperluan makhluk hidup. Daya manfaat senyawa N untuk fitoplankton adalah senyawa N dalam bentuk NO3-N (nitrat) (Basmi 1988). Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Kadar nitratnitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter, kadar
14
nitrat yang melebihi 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan (Effendi 2003). Menurut Raymont (1963) dalam Ernawati (1996), kadar nitrat dalam air permukaan pada lintang-lintang menengah dan di wilayah tropik pada umumnya rendah. Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat, dan antara nitrat dan gas nitrogen, Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Hasil-hasil penetapan kadar nitrit menunjukkan bahwa hampir semua perairan bahari kadar nitrit cenderung rendah, bahkan lebih rendah dari kadar nitrat dan ammonia (Raymont 1963 dalam Ernawati 1996). Ammonia di perairan merupakan racun bagi biota hewani. Nilai ammonia yang tinggi dapat memberikan efek negatif bagi kehidupan fitoplankton. Daya racun ammonia akan meningkat sebanding dengan meningkatnya pH dan kandungan CO2 bebas. Demikian pula sebaliknya, daya racun ammonia akan menurun dengan berkurangnya konsentrasi CO2 bebas dan pH (Basmi 1988). 2. Fosfat Fosfat merupakan faktor penting untuk pertumbuhan fitoplankton dan organisme lainnya. Fosfat sangat diperlukan sebagai transfer energi dari luar ke dalam sel organisme, karena itu fosfat dibutuhkan dalam jumlah yang kecil (sedikit). Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan 1972 dalam Effendi 2003). Menurut Barnes dan Hughes (1982), konsentrasi fosfat jauh lebih kecil daripada konsentrasi ammonia dan nitrat. Fosfor dan nitrogen biasanya berada dengan perbandingan 1 : 15. Kenaikan jumlah sel diatom diiringi dengan penurunan kadar fosfat (Raymont 1981 dalam Ernawati 1996). 3. Silika Silika merupakan hara yang sangat penting untuk membangun dinding sel dalam komunitas diatom. Oleh karena itu, silika diperlukan untuk mendukung perkembangan atau kehidupan biota laut. Tinggi rendahnya kelimpahan
15
fitoplankton di suatu perairan tergantung pada konsentrasi silika (Nybakken 1992). Silika termasuk salah satu unsur penting bagi makhluk hidup, beberapa algae,
terutama
membentuk
diatom
(Bacillariophyceae) membutuhkan
silika
untuk
frustule (dinding sel) (Effendi 2003). Keberadaan silika pada
perairan tidak menimbulkan masalah karena tidak bersifat toksik bagi makhluk hidup (Effendi 2003).