BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ikan Sidat (Anguilla bicolor) Ikan sidat (Anguilla bicolor) merupakan salah satu ikan budidaya yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Sidat memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kandungan energi ikan sidat mencapai 270 kkal/100 g, Kandungan vitamin A sidat mencapai 4700 IU/100 g tujuh kali lipat lebih banyak dari telur ayam, 45 kali lipat dari susu sapi. Vitamin B1 sidat setara dengan 25 kali lipat kandungan vitamin B1 susu sapi dan vitamin B2 sidat sama dengan 5 kali lipat kandungan vitamin B2 susu sapi. Dibanding ikan salmon, sidat mengandung DHA (Decosahexaenoic acid, untuk pertumbuhan anak) sebanyak 1.337 mg/100 gram sementara ikan salmon hanya 820 mg/100 gram atau tenggiri 748 mg/100 gram. Sidat memiliki kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) sebesar 742 mg/100 gram sementara salmon hanya 492 mg/100 gram atau tenggiri 409 mg/100 gram (Baedah 2010). Menurut Deelder (1984) klasifikasi ikan sidat (Anguilla bicolor) (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Filum
: Vertebrata
Sub Filum
: Craniata
Super Kelas
: Gnathostomata
Kelas
: Teleostei
Sub Kelas
: Actynopterigii
Ordo
: Anguilliformes
Sun Ordo
: Anguilloidei
Famili
: Anguillidae
Genus
: Anguilla
Spesies
: Anguilla bicolor Ikan sidat (Anguilla sp.) sampai saat ini telah ditemukan 18 spesies yang
tersebar di Indo-Pasifik, Atlantik dan Oseania (Fahmi dan Hirnawati 2010). Ikan Sidat yang dikelompokkan menjadi 2 golongan besar yang didasarkan posisi dorsalnya yaitu long fin dan short fin (Skrzynski 1974). Indonesia memiliki tujuh
7
8
jenis ikan sidat dari total 18 jenis di dunia. Ketujuh jenis itu, dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu yang kelompok bersirip punggung pendek dan kelompok yang bersirip punggung panjang. Kelompok bersirip punggung pendek diantaranya adalah Anguilla bicolor (Gambar 1) dan Anguilla bicolor Pacifica, sedangkan kelompok yang memiliki sirip punggung panjang adalah Anguilla borneoensis, Anguilla marmorata, Anguilla celebesensis, Anguilla megastoma dan Anguilla interioris (KKP 2011).
Gambar 1. Anguilla bicolor1 Ciri utama sidat dewasa adalah bentuknya menyerupai belut. Apabila diperhatikan lebih teliti terdapat beberapa perbedaan morfologi (Gambar 2) yang membedakan antara sidat dengan belut. Sidat memiliki sirip dada (pectoral) yang sempurna yang terdapat pada bagian belakang tutup insang serta sirip punggung (dorsal), sirip ekor (caudal) dan sirip anal yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sirip sidat dilengkapi dengan jari-jari lunak yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Ciri-ciri ikan yang tergolong famili Anguillidae, yang telah dikemukakan oleh Saanin (1984) dalam Sasono (2001) adalah sebagai berikut : sisik kecil membujur berkumpul dalam kumpulan-kumpulan kecil dan masing-masing 1
http://selayarvet.blogspot.com/2010/12/peluang-kaya-dengan-budidaya-sidat.html, Akses 2 Januari 2013
9
kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan yang ada disampingnya, sirip dada sempurna, mata tertutup oleh kulit, lubang hidung di muka mata, lubang hidung berpipa dan terletak di ujung muka dari mulut, mulut berbentuk miring dan sampai melewati mata. Genus Anguilla merupakan satusatunya yang termasuk dalam famili Anguillidae sehingga ciri dari genus Anguilla merupaka ciri dari famili Anguillidae (Deelder 1984). Menurut Berg (1949) dalam Deelder (1984), ciri ikan sidat adalah tubuh memanjang seperti ular, sirip dorsal, sirip caudal dan sirip anal bergabung menjadi satu, sirip dada ada dan sirip perut tidak ada, tubuh diliputi sisik halus. Ikan sidat memiliki linea lateralis yang terbentuk dengan baik, perut jauh dari kepala, mulut terminal, rahang tidak memanjang secara khusus, gigi kecil, pektinat dan setiform dalam beberapa sisi rahang dan vomer, terdapat gigi halus pada tulang faring, membentuk “ovate patch” pada faring, bagian atas celah insang lateral vertical berkembang dengan baik dan terpisah satu sama lainnya. Insang dapat terbuka lebar, terdapat lidah, bibir tebal, tulang frontal, berpasangan tetapi tidak tumbuh bersama. Palatopterygoid berkembang baik, premaksila tidak berkembang sebagi suatu elemen yang dapat dibedakan pada ikan dewasa, lengkun pektoral terdiri dari 7-9 (untuk yang masih muda mencapai 11) elemen radial, tulang ekor tanpa proses transverse.
Gambar 2. Anatomi ikan sidat (Anguilla bicolor)2
2
http://sciencevogel.wikibicoloraces.com/Eel+Anatomy, Akses 2 Januari 2013
10
Organ pernafasan utama ikan sidat adalah insang yang berfungsi sebagai paru-paru seperti pada hewan darat. Ikan ini memiliki empat pasang insang yang terletak pada rongga branchial. Setiap lembar insang terdiri atas beberapa filamen insang dan setiap filamen insang terbentuk dari sejumlah lamella yang di dalamnya terdapat jaringan pembuluh darah. Kemampuan ikan sidat dalam mengambil oksigen dari udara secara langsung menyebabkan ikan sidat dapat bertahan cukup lama di udara terbuka yang memiliki kelembaban yang tinggi. Keistimewaan lainnya adalah sidat memiliki kemampuan mengabsorbsi oksigen melalui seluruh permukaan tubuhnya. Sisik sidat yang kecil membantu dalam proses pernafasan melalui kulit, berdasarkan hasil penelitian 60% kebutuhan oksigen pada ikan sidat dipenuhi melalui pernafasan kulit. Sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa celah kecil yang terletak di bagian belakang kepala, ini berfungsi dalam mempertahankan kelembaban di dalam rongga branchial (Tesch 2003). Ikan sidat di Indonesia mempunyai nama daerah yang berbeda-beda antara lain ikan moa, ikan uling, ikan lubang, ikan lumbon, ikan larak, ikan lelus, ikan gateng,
ikan embu, ikan dundung, ikan laro dan ikan luncah (Schuster dan
Djadjadireja 1952 dalam Sasono 2001). Bentuk ikan sidat sangat berbeda antara stadia dengan stadia dewasanya. Telur yang telah dibuahi akan berkembang menjadi leptocephalus, pada saat tersebut bentuknya berupa daun. Leptocephalus tersebut akan mengalami metamorfosa menjadi larva transparan (elver, glass eel). Bentuk sidat pada saat stadia elver adalah silinder dan transparan, kemudian elver akan bermigrasi dari laut ke air payau atau air tawar. Selama migrasi tersebut setahap demi setahap larva mengalami pigmentasi hingga pada akhirnya seluruh tubuh larva berpigmen. Seluruh pigmentasi ini sejalan dengan pertumbuhan larva (Affaudi dan Riani 1994 dalam Sasono 2001). Ikan sidat termasuk dalam ikan diadrom yang masuk dalam kelompok ikan katadrom. Daur hidupnya terbagi menjadi 3 fase, fase di lautan, di estuaria dan di air sungai. Ikan sidat memijah di lautan pada kedalaman 400-500 meter dan setelah telurnya dikeluarkan telur-telur tersebut akan mengapung karena massa
11
jenis telur tersebut lebih ringan dari massa jenis air di sekitarnya maka telur-telur tersebut naik ke permukaan dan menetas menjadi larva leptocephalus (Usui 1974 dalam Sasono 2001). Daur hidup Anguilla sp. pada fase pelagik (larva) leptocephalus mencapai bentuk daun dan akan mengalami perubahan bentuk (metamorfosis). Bentuk ikan sidat sudah menyerupai bentuk ikan sidat dewasa tetapi tubuhnya belum memiliki pigmen sehingga disebut glass eel (sidat kaca). Selanjutnya sidat kaca tersebut mengikuti arus kearah pantai, kemudian beruaya ke muara sungai. Setelah memasuki habitatnya tersebut, peristiwa pigmentasi terjadi sehingga menjadi ikan sidat kecil yang disebut elver yang berpigmen. Elver akan bermigrasi ke arah hulu kemudian tumbuh menjadi ikan dengan ukuran dewasa. Ikan sidat dewasa yang memiliki pigmentasi kuning dan cokelat disebut ikan sidat kuning dan ikan sidat cokelat. Ikan sidat kuning ini bentuknya seperti sidat dewasa lainnya namun organ kelamin belum berkembang secara sempurna. Selanjutnya sidat tumbuh dan warnanya akan berubah menjadi perak
(Xanthocrhomatism)
yang
terlihat
pada
bagian
dasar
perutnya.
Perkembangan sidat menjadi silver eel terjadi di air tawar. Ikan ini tinggal di perairan air tawar selama 10-15 tahun dan kemudian akan masuk tahap memijah sehingga sidat harus bermigrasi ke lautan kembali. (Tesch 1977 dalam Sasono 2001). Larva ikan sidat mengalami siklus hidup atau metamorfosis dalam hidupnya. Siklus tersebut dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini. Telur (laut)
Larva/Leptoce phalus
Glass eel (payau)
(laut)
Silver eel
Yellow eel
Elver
(tawar)
(tawar)
(tawar)
Gambar 3. Siklus hidup ikan sidat (Sumber: Tesch 2003)
12
Ikan sidat betina lebih menyukai perairan esturia, danau dan sungai-sungai besar yang produktif, sedangkan ikan sidat jantan menghuni perairan berarus deras dengan produktifitas perairan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan produktifitas suatu perairan dapat mempengaruhi distribusi jenis kelamin dan rasio kelamin ikan sidat. Perubahan produktifitas juga sering dihubungkan dengan perubahan pertumbuhan dan fekunditas pada ikan sidat jantan tumbuh tidak lebih dari 44 cm dan matang gonad setelah berumur 3-10 tahun (KKP 2011). Apabila sudah datang masa untuk mengadakan ruaya, ikan sidat yang hidup dalam perairan tertutup akan keluar mencari sungai yang menuju ke laut. Selama perjalanan sampai ke tempat pemijahan, ikan sidat tidak makan dan mengalami perubahan akibat perjalanan tersebut. Perubahan tersebut diantaranya adalah tubuhnya menjadi kurus, matanya membesar sampai empat kali lipat, hidungnya semakin lancip dan warna tubuhnya berubah menjadi warna perak (silver eel). Ikan sidat mampu mencapai jarak perjalanan ruaya hingga 4000 mil. Toleransi kedalaman untuk pemijahannya yaitu pada kedalaman 400-500 meter, dengan suhu 16° – 17° C. Ikan sidat (Anguilla bicolor) di Indonesia diindikasikan berpijah di selatan Pulau Jawa, hal ini didasarkan terdapatnya larva ikan tersebut di pantai Selatan Pulau jawa, seperti Pelabuhan Ratu dan Cilacap (KKP 2011). Sidat (Anguilla sp.) tergolong gonokhoris yang tidak berdiferensiasi, yaitu kondisi seksual berganda yang keadaannya tidak stabil dan dapat terjadi intersex yang spontan (Grandi et al 2000). Waktu berpijah sidat di perairan Samudra Hindia berlangsung sepanjang tahun dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Mei dan Desember untuk Anguilla bicolor, Oktober untuk Anguilla marmorata, dan Mei untuk Anguilla nebulosa nebulosa. Anguilla bicolor dapat ditemukan pada bulan September dan Oktober di Perairan Segara Anakan, dengan kelimpahan tertinggi pada bulan September (KKP 2011). Makanan utama larva sidat adalah plankton, sedangkan sidat dewasa menyukai cacing, serangga, moluska, udang dan ikan lain. Sidat dapat diberi pakan buatan ketika dibudidayakan. Makanan terbaik untuk sidat pada stadia
13
preleptochepali adalah telur ikan hiu, dengan makanan ini sidat stadia preleptochepali mampu bertahan hidup hingga mencapai stadia leptochepalus. Berikut ini adalah bentuk sidat (Anguilla bicolor) dari fase leptocephalus sampai pada fase glass eel dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini (Aoyama 2009).
Gambar 4. Empat tahap larva Anguilla bicolor (a) leptocephalus muda (17 mm TL), (b) leptocephalus sepenuhnya (49 mm), (c) leptocephalus yang sedang bermetamorfosis (46 mm) dan (d) tahap Oceanic glass eel (47 mm). Sidat bersifat omnivora pada fase leptocephalus dan karnivora pada saat dewasa (silver eel). Sebagai karnivora, sidat memakan ikan dan binatang air yang berukuran lebih kecil dari bukaan mulutnya. Sidat juga bisa memakan sesamanya (kanibal). Saat fase leptocephalus, sidat bersifat omnivora, memakan organismeorganisme invertebrata. Sidat bisa memakan hewan-hewan kecil seperti anak kepiting, anak-anak ikan, cacing kecil, anak kerang atau siput dan tanaman air yang masih lembut (KKP 2011).
14
2.2
Bakteri Probiotik Probiotik menurut Fuller (1987) adalah produk yang tersusun oleh biakan
mikroba atau pakan alami mikroskopik yang bersifat menguntungkan dan memberikan dampak bagi peningkatan keseimbangan mikroba saluran usus hewan inang. Gram et al (1999) dalam definisinya menyatakan bahwa probiotik adalah segala bentuk pakan tambahan berupa mikroorganisme yang memiliki kemampuan dalam menyeimbangkan kompetisi mikroorganisme dalam tubuh inangnya. Salah satu keuntungan yang paling umum diakibatkan oleh adanya probiotik adalah meningkatkan kinerja sistem imun dengan menstimulasi imun non spesifik secara sistemik baik dalam kondisi in vitro maupun in vivo. Menurut Fuller (1989) dan Farzanfar (2006) agen biologis disebut probiotik
yang
baik
apabila
memenuhi
karakter
sebagai
berikut:
1)
menguntungkan inangnya, 2) mampu hidup walaupun tidak tumbuh di intestinum inang, 3) harus dapat hidup dan bermetabolisme di lingkungan usus, resisten pada suhu rendah dan asam organik, 4) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup dalam skala besar (industri), 5) dapat menjaga stabilitas dan sintasannya untuk waktu yang lama baik dalam penyimpanan maupun di lapangan, dan 6) tidak patogenik dan tidak menghasilkan senyawa toksik. Menurut Irianto (2003), mekanisme teknis kerja probiotik pada organisme akuatik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum.
Merubah
metabolisme
mikroba
dengan
meningkatkan
atau
menurunkan aktifitas enzim pengurai (selulase, protease, amilase, dll).
Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar antibodi organisme akuatik atau aktivitas makrofag.
Beberapa jenis bakteri yang mampu berperan sebagai probiotik pada organisme akuatik adalah V. algynolyticus, V. harveyi, Pseudomonas bicolor. Nitrobacter bicolor. untuk udang, Nitrosomonas bicolor. dan Bacillus bicolor. untuk kepiting, V. pelagis, Bacillus toyoi, Lactobacilus plantarum, L. helveticus
15
dan Streptococcus lactis untuk ikan turbot, Alteromonas bicolor. untuk oyster, Rodobacter bicolor, Vibrio bicolor. untuk scalop (Gatesoupe 1999). Berikut ini adalah gambar dari Lactobacillus plantarum (Gambar 5) yang dikultur pada media MRS (Mann Rogosa Sharpe) Agar.
Gambar 5. L. plantarum WCFS 1 yang dikultur pada media MRS agar3 2.3
Senyawa Antimikroba Bakteri Probiotik Senyawa antimikroba adalah substansi kimia yang diproduksi oleh bakteri,
dimana senyawa ini bersifat toksik atau inhibitor bagi mikroorganisme lainnya. Sebagian besar jenis bakteri probiotik mampu memproduksi senyawa antimikroba seperti asam organik, hidrogen peroksida, lisozim, sideropheros dan bakteriosin (Braun and Braun 2002; Yoshida et al. 2002; Vazquez et al. 2005; Sahu et al. 2008). Senyawa tersebut dapat menghambat aktivitas bakteri patogen baik dari jenis bakteri gram negatif maupun gram positif. Substansi dari senyawa antimikroba memiliki kemampuan dalam mengontrol jumlah bakteri patogen dalam saluran pencernaan ikan dan dalam beberapa kasus, substansi tersebut mampu mengubah metabolisme bakteri patogen (Vine et al. 2006). Balcázar et al. (2007a) telah mempelajari aktifitas lima bakteri asam laktat (BAL) yang dijadikan sebagai agen probiotik dalam menciptakan suasana kompetisi pelekatan pada dinding mukosa ikan dan produksi 3
http://aem.asm.org/content/77/15/5247/F4.large.jpg dan http://85.238.144.18/analytics/Micro_Manual/TEDISdata/prods/1_05413_0500.html, Akses 3 Januari 2013
16
senyawa antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen. Berdasarkan hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa seleksi bakteri probiotik pada tingkat strain memiliki potensi menjanjikan bagi industri perikanan dalam memproduksi agen biokontrol dalam kegiatan budidaya. Penelitian lain membuktikan bahwa kolonisasi bakteri asam laktat endogenous (Lactobacillus sakei, Lactococcus. lactis dan Leuconostoc mesenteroides) mampu mencegah perkembangan penyakit furunculosis pada ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) (Balcázar et al. 2007b).
2.4
Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri patogen adalah bakteri yang memberikan dampak merugikan bagi
ikan budidaya, bakteri ini biasanya akan menjangkiti dalam sistem budidaya perikanan yang intensif. Bakteri patogen yang menyerang ikan memiliki hubungan dengan kondisi stress yang dialami oleh ikan. Ikan akan mudah stress apabila ditangani secara kasar, ditempatkan pada kolam dengan kepadatan terlalu tinggi, sarana transportasi yang tidak memadai, kualitas pakan yang rendah dan kualitas air yang buruk (Strohmeyer 2009 dalam Tanjung et al. 2011). Ikan sidat adalah komoditas budidaya yang memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga dalam pembudidayaan ikan ini tidak terlepas dari serangan bakteri patogen. Bakteri patogen yang paling sering menyerang ikan sidat adalah Aeromonas hydrophila (Tomiyama dan Hibiya 1977). Serangan A. hydrophila yang merupakan bakteri oportunistik lebih cenderung pada ikan-ikan yang berada dalam tingkat stres yang tinggi, baik karena tingkat kepadatan yang tinggi, kualitas air budidaya yang buruk, penanganan yang kurang baik ataupun karena adanya patogen berbahaya lain yang terdapat di lingkungan tersebut (Leung et al. 1991). Sindermann (1988) dalam Harikrishnan dan Balasundaram (2005), menyatakan luka borok di permukaan kulit ikan yang disebabkan oleh A. hydrophila adalah salah satu penanda biologis utama yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan pencemaran pada lingkungan akuatik yang dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi bagi ikan yang hidup di dalamnya.
17
Bakteri Aeromonas spp. termasuk ke dalam Famili Vibrionaceae. Bentuknya seperti batang pendek dengan ujung membulat, Gram negatif, aerobikanaerobik fakultatif dan mampu bergerak berkat flagella polar, kecuali spesies A. salmonicida yang nonmotil (Bottarelli and Ossiprandi 1999). Bakteri Aeromonas spp. berbentuk batang halus pendek, berukuran 0,7-0,8 μm x 1.0-1.5μm (Kabata 1985) atau diameter 0,3-1,0μm dan panjang 1,0-3,5μm (Hayes 2000; Botterelli and Ossiprandi 1999), tidak berspora, biasanya tidak berkapsul, menyukai lingkungan yang bersuhu 150-300C dan tumbuh dengan baik pada suhu optimum 280C (Hayes 2000). A. hydrophila masih ditemukan dalam perairan umum pada kisaran suhu 40C-320C dan pertumbuhan mencapai tingkat tertinggi pada suhu 280C (Burton and Lanza 1986). Bakteri A. hydrophila biasanya ditemukan pada lingkungan perairan tawar dan merupakan penghuni saluran pencernaan ikan (gastrointestinal) (Tanjung et al. 2011). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini terutama menyerang ikan air tawar seperti ikan Gurami, Lele, ikan Mas dan spesies ikan tropis lainnya termasuk ikan hias. Bakteri A. hydrophila merupakan penyebab utama penyakit aeromonas (Motile Aeromonad Septicemia, MAS) atau Hemorrhagic Septicemia pada berbagai hewan air terutama ikan air tawar (Austin and Adams 1996; Thune et al. 1993). Aeromonas sp. dapat memproduksi racun atau toksin. Toksin dikeluarkan dalam bentuk terlarut sehingga dapat langsung menginfeksi sel, selain itu toksin ini dapat bertahan di permukaan sel dan akan masuk ketika sel sudah mati. Tiga protein ekstraseluler yang dimiliki dalam kaitannya dengan patogenitas A. hydrophila
adalah
aerolisin,
GCAT
(glycerophospolipid
cholesterol
acyltransferase), dan serin protease (Hayes 2000). Infeksi bakteri lain dapat menginduksi patogenitas bakteri A. hydrophila. Menurut Hidayat (2006), terdapat dua mekanisme patogenisitas pada Aeromonas sp. yaitu: 1) Tissue adherence yang diperantarai oleh S layers. S layers membantu pelekatan (adherence) dan kolonisasi bakteri pada mukosa usus. Proses ini juga dibantu oleh struktur filamentous (fimbriae) atau membranous
18
(adhesin) yang memiliki aktivitas hemaglutinasi, terutama ditemukan pada strain mesofilik (Botterelli and Ossiprandi 1999). 2) Toxic production; toksin Aeromonas dapat diklasifikasikan sebagai ekso dan endotoksin. Cytotoxins dan enterotoxins (termasuk dengan aktivitas haemolytic) merupakan yang paling penting dalam patogenisitas. (Botterelli and Ossiprandi 1999).
2.5
Identifikasi Molekuler dengan Primer 16S rRNA Gen 16S rRNA adalah polinukleotida besar yang memiliki sekitar 1500-
2000bp (base pair) nukleotida dan merupakan subunit kecil ribosomal RNA prokariotik yang ditemukan di semua bakteri dan archaea (Puspaningrum 2008). Gen ini digunakan untuk rRNA prokariotik yang akan membentuk bagian ribosom. Pemanfaatan gen 16S rRNA telah digunakan sebagai parameter sistematik
molekuler
yang
universal,
representatif,
dan
praktis
untuk
mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies (Case et al. 2007 dalam Aris 2011). Menurut Madigan et al (1997) dalam Aris (2011), dasar penggunaan gen 16S rRNA dengan berbagai alasan mendasar yaitu: (1) bersifat universal : protein synthesis machinery (2) sekuen basa-basanya bersifat konservatif; (3) jumlahnya melimpah dalam sel; (4) memenuhi ukuran untuk perhitungan secara statistika (tidak terlalu panjang dan terlalu pendek); (5) ketersediaan informasi (data bank/database di GenBank®). Oleh karena itulah penggunaan 16S rRNA dalam mengidentifikasi bakteri indigenous menjadi relevan dan dapat dilakukan dengan metode yang umum digunakan, yaitu dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Terdapat tiga jenis RNA ribosomal dalam sel prokariot, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam mengidentifikasi bakteri, molekul 16S rRNA adalah yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis. Analisis
19
gen penyandi 16S rRNA dalam metode PCR telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem (Pangastuti 2006). Teknik PCR adalah suatu teknik biologi molekuler untuk memperbanyak sekuen DNA tertentu (lebih dari 100 juta kopi) dengan waktu relatif singkat (beberapa jam), oleh karena itu teknik ini bisa disebut amplifikasi DNA. Molekul DNA dapat diperbanyak sampai jutaan kopi dalam tabung reaksi melalui penggunaaan metode PCR (Aris 2011). Penggunaan teknik isolasi DNA dari lingkungan yang kemudian dilanjutkan dengan amplifikasi dengan menggunakan primer spesifik untuk gen 16S rRNA dengan menggunakan metode PCR telah dapat diungkap adanya jenisjenis mikroba baru (Suryanto 2003). Menurut Suryanto (2003) pemilihan DNA ribosom untuk tujuan identifikasi suatu organisme didasarkan pada : 1) Secara fungsional dan evolusioner memiliki sifat homolog dari berbagai organisme yang berbeda, 2) Molekul purba dengan struktur dan sekuen nukelotida sangat konservatif, 3) Sangat banyak di dalam sel dan 4) Cukup besar untuk memungkinkan uji statistik perbedaan-perbedaannya satu sama lain.