BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demokrasi dan Pemilu Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat. 11 Demokrasi juga dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Demokrasi dan Pemilu sering disederhanakan sebagai dua hal yang sama. Ada klaim bahwa sebuah negara dikatakan demokratis manakala telah dilaksanakannya Pemilu di negara tersebut. Padahal demokrasi tidak identik dengan Pemilu, meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu, tetapi diselenggarakannya Pemilu bukanlah indikasi dari demokrasi. Kata demokrasi yang dalam bahasa Inggrisnya democracy berasal dari bahasa Perancis democratie yang baru dikenal abad ke 16, yang dirujuk dari bahasa Yunani (Greek) demokratia yang berasal dari kata demos berarti rakyat (people) dan kratos berarti tanaman (rule) 12 . Saat ini, demokrasi identik dengan legitimasi kehidupan politik modern, walaupun makna demokrasi menunjukkan modern yang sangat
11 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008, Ed. Ketiga, Cetakan Kelima), hlm. 249. Held, David, Model of Democracy, Stanford University Press, Cambridge, 1996, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
beragam dan luas, mulai dari pemerintah bervisi teknokrat sampai pada konsepsi kehidupan sosial yang ditandai oleh ektensifnya partisipasi politik. Demokrasi merupakan sebuah konsep yang berarti pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi (atau kedaulatan) ada di tangan rakyat atau sering juga dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau pemerintahan mayoritas. Salah satu defenisi demokrasi yang paling umum, bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi, di antaranya adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara langsung atau melalui perwakilan, kedaulan di tangan rakyat, sistem pemilihan yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat penting dalam konsepsi tersebut di atas. Selain prinsip-prinsip maka demokrasi juga mengandung unsur seperangkat praktek dan prosedur dari sebuah proses pelembagaan kebebasan yang panjang dan berliku. Dari prakteknya, maka demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk: langsung dan tidak langsung (sering disebut ‘demokrasi perwakilan’). Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang semua warga biasanya aktif terlibat di dalam pembuatan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara; mereka tidak mewakilkan pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung adalah yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tua atau lebih dikenal sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena. Demokrasi model ini biasanya dilaksanakan dalam sebuah negara yang kecil dan dengan penduduk yang jumlahnya kecil. Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan diberlakukan oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah negara yang sangat luas menyebabkan lebih dipilihnya model demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan ini. Dalam model ini warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan membuat keputusan atau kebijakan politik, merumuskan undang-undang dan menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama mereka. Warga mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka pada para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui Pemilu. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki oleh penguasa atau pemerintah baik untuk membuat keputusan atau kebijakan pemerintah dan untuk melaksanakannya diperoleh berdasarkan persetujuan warganya yang diberikan melalui Pemilu. Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Dengan kata lain ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat untuk mewakili mereka di dalam Pemilu maka warga sekaligus memberikan mandat pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau
Universitas Sumatera Utara
kebijakan dan melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil atau pejabat yang mengatasnamakan rakyat maka pemilihan harus demokratis. Untuk Indonesia, sejak masa pergolakan politik dalam rangka pencapaian kemerdekaan, para pendiri negara memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menentukan pemikiran politik yang melandasi praktek-praktek kenegaraan dan demokrasi. Secara historis, pelaksanaan (orde) demokrasi di Indonesia telah melampaui 4 (empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), demokrasi Pancasila (1966-1997), dan demokrasi pasca orde baru (1998-sekarang). Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan sudah lama dikenal, yang diperkirakan pertama kali diterapkan di Yunani kuno, sekitar 2500 tahun lalu. 13 Bisa dipahami, betapa demokrasi menjadi pokok pembahasan yang tidak lekang sepanjang zaman, hingga sekarang. Oleh karena itu, sebagaimana dilihat dari berbagai literatur, pendefenisian secara beragam mengenai demokrasi oleh para ahli dan demikian juga pilihan defenisi oleh negara-negara tertentu, menjadi tidak terelakkan. Pengertian itu bisa saja bertolak belakang atau bertabrakan, meski tidak jarang juga ditemukan defenisi yang bisa ditarik “benang merahnya”. Sebagai contoh perbedaan ini bisa diamati dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia—sejak merdeka
13
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi, terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta: Yay. Obor Indonesia, 2001), hlm.9.
Universitas Sumatera Utara
hingga sekarang—yang mengenal nama “Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi Pancasila”. Hingga kini, masih menjadi perdebatan yang tiada akhir tentang demokrasi. Ini artinya, demokrasi sebagai konsep masih layak dijelajahi dan dicari bentuk idealnya. Huntington, misalnya, mencatat bahwa pada pertengahan abad ke 20, dalam perdebatan mengenai arti demokrasi muncul tiga pendekatan umum. Sebagai suatu bentuk pemerintahan, demokrasi telah didefenisikan berdasarkan sumber kewenangan bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk membentuk pemerintahan. 14 Tidak ada defenisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa defenisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika membicarakan Pilkada sebagai sebuah proses politik yang sangat penting di negara kita dewasa ini. Prosedur utama demokrasi, adalah pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat yang mereka pimpin. Rumusan modern terpenting dari konsep demokrasi ini dikemukakan oleh Yoseph Schumpeter pada tahun 1942. Dalam studi perintisnya, Capitalism, Socialism, and Democracy, Schumpeter menyatakan secara rinci kekurangan dari apa yang diistilahkannya “teori demokrasi klasik” yang mendefenisikan demokrasi dengan istilah-istilah “kehendak rakyat [the will of the people]” (sumber) dan “kebaikan bersama [the common god]” (tujuan). Setelah meruntuhkan secara efektif pendekatan itu, Schumpeter mengemukakan apa yang ia
14
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terj. Asril Marjohan (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
namakan “teori lain mengenai demokrasi”. Metode demokratis”, katanya, “adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh suara rakyat”. 15 Huntington mendefenisikan sistem politik abad ke-20 sebagai demokratis sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Dengan demikian, menurut defenisi Huntington, demokrasi mengandung dua dimensi, yakni kompetisi dan partisipasi. Demokrasi juga, kata Huntington lebih lanjut, mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan untuk berbicara, menerbitkan, berkumpul dan berorganisasi, yang dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan kampanye-kampanye pemilihan itu. 16 Lebih lanjut, Huntington menjelaskan, defenisi demokrasi dari sudut prosedur ini memberikan sejumlah patokan yang memungkinkan kita untuk menilai sejauh manakah suatu sistem politik bersifat demokratis, membandingkan sistem-sistem dan menganalisis apakah suatu sistem bertambah atau berkurang demokratis. Bila di sebuah negara masih ada pembatasan hak pilih pada sebagian pihak, maka sistem itu tidak demokratis. Begitu pula, suatu sistem menjadi tidak demokratis apabila oposisi 15 16
Ibid., hal. 4-5 Ibid., hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
tidak diperbolehkan di dalam pemilihan umum, atau oposisi itu dikontrol atau dihalang-halangi dalam mencapai apa yang dapat dilakukannya, atau koran-koran oposisi disensor atau dibredel, atau hasilnya menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat kompetisi yang diperbolehkan oleh sistem itu. 17 Pendapat Huntington di atas tampaknya tidak jauh berbeda dengan pendapat Robert A. Dahl, yang dikenal sangat intens membahas tema demokrasi. Menurut Dahl,
18
demokrasi adalah suatu sistem politik yang memberikan kesempatan untuk
beberapa hal berikut ini. Pertama, partisipasi efektif. Sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya, sebagaimana seharusnya kebijakan itu dibuat. Kedua, persamaan suara. Ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama. Ketiga, pemahaman yang cerah. Dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi yang mungkin. Keempat, pengawasan agenda. Setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahn yang dibahas dalam 17 18
Ibid., hal. 6 Robert A. Dahl, op.cit., hal. 52-53.
Universitas Sumatera Utara
agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh tiga kriteria sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasional tersebut selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya jika mereka menginginkannya begitu. Kelima, pencakupan orang dewasa. Semua, atau paling tidak sebagian besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh yang ditunjukkan oleh empat kriteria sebelumnya. Lebih lanjut lagi, Dahl merumuskan lembaga-lembaga politik dalam pemerintahan demokrasi perwakilan modern sebagai berikut: 19 1.
2.
3.
4.
5.
19
Para pejabat yang dipilih. Kendali terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara konstitusional berada di tangan para pejabat yang dipilih oleh warga negara. Jadi, pemerintahan demokrasi skala besar yang modern merupakan perwakilan; Pemilihan umum yang bebas, adil dan berkala. Para pejabat yang dipilih ditentukan dalam pemilihan umum yang sering kali diadakan dan dilaksanakan dengan adil, di mana tindakan pemaksaan agak jarang terjadi; Kebebasan berkumpul. Warga negara berhak menyatakan pendapat mereka sendiri tanpa adanya bahaya hukuman yang keras mengenai masalah-masalah persamaan politik yang didefenisikan secara luas, termasuk kritik terhadap para pejabat, pemerintah, rezim, tatanan sosial ekonomi dan ideologi yang ada; Akses ke sumber-sumber informasi alternatif. Warga negara berhak mencari sumber-sumber informasi alternatif dan bebas dari warga lain, para ahli, surat kabar, majalah, buku, telekomunikasi dan lain-lain. Lagi pula, sumber-sumber informasi alternatif yang ada secara nyata tidak berada di bawah kendali pemerintah atau kelompok politik lain yang berusaha mempengaruhi keyakinan dan tingkah laku masyarakat dan sumber-sumber alternatif ini secara efektif dilindungi undang-undang; Otonomi asosiasional. Untuk mencapai hak mereka yang beraneka ragam itu, termasuk hak yang diperlukan untuk keefektifan tindakan lembaga-lembaga politik demokrasi, maka warga negara juga berhak membentuk perkumpulan atau
Ibid., hal. 118-120
Universitas Sumatera Utara
6.
organisasi yang relatif bebas, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas; Hak warga negara yang inklusif. Tak seorang dewasa pun yang menetap di suatu negara dan tunduk pada undang-undang tersebut dapat diabaikan hak-haknya, hal ini diberikan kepada warga lainnya dan diperlukan kelima lembaga politik yang baru saja disebutkan. Hak-hak tersebut meliputi hak memberikan suara untuk memilih para pejabat dalam pemilihan umum yang bebas dan adil; hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan; hak untuk bebas berpendapat; hak untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi politik; hak untuk mendapatkan sumber informasi yang bebas; dan hak untuk berbagai kebebasan dan kesempatan lainnya yang mungkin diperlukan bagi keberhasilan tindakan lembaga-lembaga politik pada demokrasi skala besar. Tidak jauh berbeda dengan Dahl maupun Huntington, dalam pembahasan
lainnya, Linz & Stepan, mendefenisikan demokrasi sebagai berikut:20 Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat, bebas berbicara, dan kebebasan dasar lain bagi setiap orang, persaingan yang bebas dan anti kekerasan di antara para pemimpin dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang pemerintahan; dimasukkannya seluruh jabatan politik yang efektif di dalam proses demokrasi; dan hak untuk berperan serta bagi semua anggota masyarakat politik, apapun pilihan mereka. Secara praktis, ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik dan menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas dan jujur pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politis efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan sejumlah indikator demokrasi yang dikemukakan sejumlah ilmuwan politik, Afan Gaffar mencoba menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk
20
Juan J. Linz & Stepan, “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi” dalam Juan Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara lain (Bandung: Mizan-LIPI & Ford Foundation), hal.26-27.
Universitas Sumatera Utara
mengamati apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yakni: 21 1.
2.
3.
4.
5.
21
Akuntabilitas. Dalam demokrasi setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertanggungjawabkan ucapan, perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas; Rotasi kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang untuk orang lain tertutup sama sekali; Rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan satu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup, hanya dinikmati oleh segelintir orang saja; Pemilihan umum. Dalam sebuah negara yang demokratis, Pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Warga bebas menentukan partai atau calon yang didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan kampanye dan menyaksikan perhitungan suara; Menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat dan hak menikmati pers yang bebas. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Dengan kata lain, ia punya hak untuk ikut menentukan agenda yang diperlukan. Hak untuk berkumpul dan berserikat dapat diwujudkan dengan memasuki berbagai organisasi politik dan nonpolitik tanpa dihalang-halangi oleh siapa pun dan institusi manapun. Kebebasan pers dalam masyarakat yang demokratis mempunyai makna bahwa masyarakat dunia pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang
Gaffar, Afan, Politik Indonesia:Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 7-9.
Universitas Sumatera Utara
perlu, sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, menghasut, ataupun mangadu-domba sesama warga masyarakat. Untuk melengkapi beberapa teori demokrasi di atas, berikut indikatornya, perlu kiranya dicatat satu hal penting lagi menyangkut hakekat demokrasi, yakni tersedianya mekanisme cheks & balances dalam berbagai proses politik.
Dalam
sistem politik demokrasi, menurut Ramlan Surbakti, 22 terdapat distribusi kekuasaan yang relatif merata di antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Situasi ini akan menimbulkan persaingan dan saling kontrol antara kelompok yang satu dan kelompok yang lainnya, antara lembaga pemerintah yang satu dengan lembaga yang lain (legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan antara kelompok sosial dan lembaga pemerintahan. Akan tetapi, pada pihak lain, kelompok-kelompok sosial maupun lembaga-lembaga pemerintah mempunyai suatu kesadaran dan kesepakatan bahwa kekuasaan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat umum. Maka untuk mewujudkan kesejahteraan umum diperlukan kesediaan untuk berkompromi dan bekerja sama, bahwa pemerintah sebagai lembaga yang memadai untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Jadi, persaingan dan saling kontrol di antara pusat-pusat kekuasaan akan melahirkan konflik, sedangkan kesadaran dan kesepakatan akan melahirkan konsensus.
2.2 Otonomi Daerah dan Desentralisasi 22
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh, Grasindo, Jakarta:2010, hal. 220-221.
Universitas Sumatera Utara
Otonomi daerah (desentralisasi) bisa diartikan dalam berbagai cara sesuai dengan perspektif masing-masing. Rodinelli dan Cheema mendefenisikan otonomi daerah adalah sebagai berikut :23 Decentralization is the transfer of planning, decision-making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal (italics in original) organization, local government or non-governmental orgainzation. (Otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang perencanaan, pengambilan keputusan atau pemerintahan dari pemerintah pusat kepada organisasi unit-unit pelaksana daerah, kepada organisasi semiotonom dan parastatal (teks aslinya berhuruf miring), ataupun kepada pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah.
Di Indonesia, salah satu wujud pengembangan desentralisasi dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa desentralisasi mengacu kepada pembentukan sebuah area (teritory) yang disebut sebagai daerah otonom yang berkedudukan sebagai tempat wewenang diserahkan atau diatur, diurus, dan dilaksanakan. Daerah tersebut memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun demikian desentralisasi (otonomi) tidaklah menghapuskan kekuasaan pemerintah pusat. Otonomi daerah atau desentralisasi akan membawa sejumlah manfaat bagi masyarakat di daerah ataupun pemerintah nasional. Shabbir Cheema dan Rondinelli 23
Said, M. Mas’ud, Arah Baru Otonomi Daerah Indonesia, Malang, UPT Penerbitan Univ. Muhammadiyah, 2008, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
menyampaikan paling tidak ada empat belas (14) alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu: 24 1.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitivitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistis dari pemerintah. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana sering kali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah. Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga private di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh departemen yang ada di pusat. Dengan desentralisasi maka peluang bagi masyarakat di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan manajerial. Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan supervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan.
24 Syaukani, HR, H, Drs, dkk., Otonomi Daerah, Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hal. 32-35.
Universitas Sumatera Utara
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur di mana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah. Propinsi, kabupaten, dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di dunia ke III di mana banyak sekali program pedesaan yang dijalankan. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti itu dapat merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikannya kepada pemerintah. Dengan menyediakan model alternatif cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitif terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan. Desentralisasi juga menghantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. Pemerintah daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifikasinya kepada seluruh wilayah negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah yang lainnya. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengahtengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik dari pada yang dilakukan oleh pejabat di pusat. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka di dalam memelihara sistem politik. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.
Selain dampak positif (alasan rasional) desentralisasi atau otonomi dalam sistem pemerintahan atau pola hubungan atara pemerintah pusat dan pemerintah
Universitas Sumatera Utara
daerah sebagaimana dijelaskan di atas, desentralisasi atau otonomi juga mengandung kelemahan, antara lain: 25 1. Karena besarnya unsur pemerintahan, struktur pemerintahan bertambah kompleks sehingga dapat mempersulit koordinasi. 2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu. 3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provinsialisme. 4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena memerlukan perundingan yang bertele-tele, dan 5. Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya lebih banyak dan sulit memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan. Namun demikian, di Indonesia, pilihan otonomi merupakan pilihan yang sangat strategis dalam rangka memelihara nation state (negara bangsa) yang sudah lama kita bangun, dan kita pelihara. Dengan otonomi kita dapat mengembalikan harkat, martabat, dan harga diri masyarakat di daerah, karena masyarakat di daerah selama puluhan tahun bahkan sejak kemerdekaan telah mengalami proses marginalisasi.
2.3 Perilaku Memilih dan Partisipasi Politik 2.3.1 Perilaku Memilih Perilaku memilih adalah aktifitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih atau tidak 25
Ishak, Posisi Politik Masyarakat Dalam Era Otonomi Daerah, Jakarta: Penaku, 2010, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
memilih (to vote or not to vote) dalam sebuah pemilihan umum, bila pemilih memutuskan untuk memilih (to vote) maka pemilih akan memilih atau mendukung suatu partai politik atau kandidat tertentu.26 Beragam fenomena politik dapat dilihat dengan menggunakan pendekatan tingkah laku (behavioral approach). Salah satu aspek tingkah laku politik itu adalah tingkah laku pemilih, yang khusus membahas tingkah laku individual warga negara dalam hubungannya dengan kegiatan pemilihan umum. Persoalan ini menyangkut serangkaian kegiatan untuk membuat keputusan apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum dan kalau memutuskan untuk memilih apakah memilih partai atau kandidat A ataukah partai atau kandidat B. Persoalan memilih dan tidak memilih merupakan hak seorang warga negara. Di Indonesia hak memilih dikenal dengan hak pilih aktif yakni hak yang dimiliki seseorang untuk ikut dalam memberikan suara pada saat pemilihan umum. Memilih dan tidak memilih juga dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik sepanjang kegiatan tersebut dilakukan secara sadar. Untuk menjelaskan perilaku memilih, ada dua model pendekatan yang umum digunakan, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis.
2.3.1.1 Pendekatan Sosiologis
26
Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 185-186.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan sosiologis merupakan produk Eropa yang disebut juga Mazhab Columbia (Columbia School). Dipelopori oleh kajian Lazarsfeld (1948) yang mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi perilaku memilih, agama, tempat tinggal (desa-kota) dan status ekonomi.
27
Pendekatan sosiologis menempatkan
kegiatan pemilih dalam kaitan konteks sosial yakni, latar belakang demografi dan sosial ekonomi seperti: jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), pendidikan, pekerjaan, kelas dan agama.
28
Singkatnya, karakteristik sosial masyarakat
menentukan pilihan politiknya. Menurut Gaffar, kelemahan dari pendekatan sosiologis terletak pada metodologinya. Bagaimana mengukur dan memastikan konsep kelas atau konsep pendidikan misalnya? 29 Faktor aliran merupakan salah satu contoh pendekatan sosiologis. Menurut Afan Gaffar, politik aliran merupakan orientasi dan perilaku keagamaan yang mendasari pembentukan organisasi sosial dan politik. Perbedaan orientasi keagamaan mengakibatkan orang-orang “abangan” memiliki orientasi politik yang berbeda dengan orang-orang “santri”. Orang-orang abangan cenderung memilih partai politik yang tradisional, sekuler dan nasionalistik, sedangkan orang-orang santri cenderung memilih partai-partai Islam. 30 Peranan aliran dalam menjelaskan perilaku memilih pasca orde baru terdapat dua pendapat yang berbeda. Dwight Y. King, menyatakan
27
Dennis Kavanagh, Political Science and Political Behavior, London: George Allen & Unwin, 1983, hal 84. Gaffar, Afan, Javanese Voters. A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992, hal. 4. 29 Ibid, hal. 7. 30 Gaffar, op,cit, hal. 126. 28
Universitas Sumatera Utara
pada pemilu 1999 aliran masih mampu menjelaskan perilaku memilih di Indonesia, 31 namun penelitian William Liddle dan Saiful Mujani menyatakan pemilu 1999 dan 2004, aliran tidak begitu penting lagi peranannya dalam menjelaskan perilaku memilih. 32 Model pendekatan sosiologis menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih. Pengelompokan sosial seperti umur (muda-tua), jenis kelamin (laki-laki), agama dan semacamnya, dianggap memiliki peran yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya, merupakan suatu yang sangat vital dalam memahami perilaku kelompok, karena kelompokkelompok ini memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Model pendekatan sosiologis menggambarkan peta kelompok masyarakat dan setiap kelompok dilihat sebagai basis dukungan terhadap partai tertentu, setiap kelompok dalam masyarakat mempunyai tujuan, memiliki pemimpin aktivitas rutin
31
King, Dwight Y, Half-Hearted Reform: Electoral Institutions and the Struggle for Democracy in Indonesia, (Westport: Praeger, 2003), Chapter 6. 32 ).Liddle, R. William dan Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Lihat www. Isi.or.id.
Universitas Sumatera Utara
dan sistem komunikasi sendiri-sendiri, peranan masyarakat sebagai sistem yang mempunyai stratifikasi dan kajian terhadap pekerjaan serta kedudukan seseorang di tengah masyarakat sangat penting dalam memahami perilaku memilih, pendekatan sosiologis mengasumsikan bahwa preferensi partai politik, sebagaimana juga preferensi voting, adalah produk karakteristik sosio-ekonomi, seperti pekerjaan, kelas, agama, dan ideologi. 33 Dalam memahami perilaku kelompok, hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemahaman terhadap kognisi individu dalam interaksi dengan kelompok, di mana kognisi yang sama antara anggota sub kultur terjadi karena sepanjang hidup mereka yang dipengaruhi lingkungan fisik dan sosio-cultural yang relatif sama, mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pihak politik. 34 Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu, pengetahuan dan informasi sekarang dan persepsi yang berkesinambungan. Nilai melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan seperti apa keadaan setelah tindakan. Dalam pendekatan sosiologis, karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan
33
Adman Nursal, Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal.54. 34 Ibid
Universitas Sumatera Utara
faktor yang mempengaruhi perilaku memilih dan pemberian suara yang pada hakekatnya adalah pengalaman kelompok. 35
2.3.1.2 Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis lahir di Amerika disebut juga dengan Mazhab Michigan (Michigan School). Pendekatan psikologis merujuk pada persepsi pemilih terhadap partai-partai atau kedekatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Salah satu konsep penting dari pendekatan psikologis adalah identifikasi partai. 36 Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain. Menurut Gaffar, kelemahan pendekatan psikologis karena kurang
37
mampu
menjelaskan hubungan sikap dan perilaku. Bagaimana sikap mempengaruhi perilaku dalam membuat keputusan? Dengan kata lain yang mana lebih dahulu sikap atau perilaku dalam membuat keputusan? Disamping itu apakah sikap dan perilaku perorangan merefleksikan sikap dan perilaku kelompok? 38 Menurut Gaffar, studi tentang perilaku memilih di Indonesia masih diliputi perdebatan klasik apakah perilaku memilih ditentukan oleh faktor budaya atau kelas. Di Barat kelas golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan 35
Ibid ). Kavanagh, op,cit, hal. 86. 37 ). Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 187. 38 ). Gaffar, op,cit, hal. 9. 36
Universitas Sumatera Utara
oleh posisi tertentu dalam proses produksi, memainkan peranan yang sangat penting dalam membentuk perilaku politik. Menurut Seymour Martin Lipset, Pemilu di Barat merupakan “ekspresi dari perjuangan kelas“. 39 Sementara di Indonesia diyakini perilaku memilih masyarakatnya lebih ditentukan faktor budaya dibandingkan faktor kelas. Kajian Gaffar tentang perilaku memilih pada masa orde baru menyimpulkan, aliran, identifikasi partai politik dan kepemimpinan merupakan faktor yang lebih berperan penting dalam mempengaruhi perilaku memilih dibanding dengan faktor kelas atau status ekonomi. 40 Pasca orde baru, kajian berdasarkan hasil Pemilu 1999 menunjukkan faktor agama dan etnis lebih berperan dalam mempengaruhi perilaku memilih dibanding status ekonomi.
41
Penelitian ini secara eksplisit kembali
mengkonfirmasi bahwa faktor kelas bukan faktor determinan dalam membentuk perilaku memilih di Indonesia. Dari beberapa penelitian tersebut, faktor kelas kurang penting peranannya dalam menjelaskan perilaku memilih. Angus Campbell seperti dikutip Afan Gaffar menyatakan dalam pendekatan psikologis, selain konsep identifikasi partai, preferensi terhadap kandidat/pemimpin dan preferensi terhadap isu-isu politik mempengaruhi perilaku memilih. 42 Pertama, identifikasi partai. Identifikasi partai merupakan orientasi individual terhadap partai politik tertentu. Kedekatan seseorang secara emosional dengan partai 39
). Ibid, hal. 5-6. ). Ibid, hal. 164. 41 ). Aris Ananta,dkk, Indonesia Electoral Behavior. A Statistical Perspective (Singapore: Insitute Of Southeast Asian Studies ( ISEAS ), 2004), hal. 373-378, 391-395. 42 Gaffar, op. cit, hal 133. 40
Universitas Sumatera Utara
tertentu dibangun melalui proses sosialisasi politik. Sosialisasi politik merupakan proses menanamkan nilai-nilai dan norma-norma politik dari generasi ke generasi melalui orang tua, sekolah, media massa dan partai politik. Proses sosialisasi politik ini menyebabkan kedekatan seseorang dengan partai tertentu dan menimbulkan sikap pada orang itu cenderung memilih partai tertentu. Kajian Afan Gaffar pada masa orde baru menunjukkan faktor identifikasi partai paling penting mempengaruhi perilaku memilih. 43 Demikian juga penelitian R. William Liddle dan Saiful Mujani pada Pemilu 1999 dan 2004 mengungkapkan bahwa faktor identifikasi partai adalah faktor penting menjelaskan perilaku memilih. 44 Kedua, Kepemimpinan. Menurut William Liddle, preferensi terhadap pemimpin-pemimpin politik mempengaruhi perilaku memilih baik pada masa orde lama, orde baru maupun pasca orde baru. Penelitian
Liddle dan Mujani pada
pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 menunjukkan preferensi terhadap kepemimpinan merupakan faktor terpenting menjelaskan perilaku memilih. 45 Untuk mengkaji perilaku memilih di daerah-daerah yang kultur tradisionalnya masih kuat, diperlukan uraian terhadap pemimpin tradisional dan kharismatis.
43
). Gaffar, op,cit, hal. 124. ). Liddle, R. William dan Saiful Mujani, Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia. Lihat www. Isi.or.id. 45 ). Ibid. 44
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa pendekatan yang telah diuraikan itu, menurut Afan Gaffar, baik pendekatan sosiologis maupun pendekata psikologis mempengaruhi perilaku pemilih di Indonesia. 46 Sementara itu, Ramlan Surbakti, mengelompokkan perilaku memilih menjadi lima model pendekatan. Ke-lima model pendekatan tersebut adalah struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial, dan pilihan rasional: 47 Pendekatan struktural. Pendekatan ini menekankan bahwa kegiatan memilih terjadi dalam konteks yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, peraturan Pemilu, dan lain-lain. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial, sistem partai, dan program-program yang ditonjolkan mungkin berbeda dari satu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut. Partai Republik di Amerika, misalnya, basisnya adalah masyarakat industri dan kaum kapitalis, sementara Partai Demokrat berbasiskan petani. Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Konkretnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti
46 47
Gaffar, op, cit, hal. 10. Ramlan Surbakti, op. cit., hal.186-187.
Universitas Sumatera Utara
jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama. Pendekatan Ekologis. Pendekatan ini hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kalau di Amerika Serikat terdapat distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, subkultur tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum. Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat propinsi berbeda dengan karakteristik data kabupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan. Pendekatan Psikologi Sosial. Pendekatan ini melihat faktor psikologis yang melatarbelakangi pilihan seseorang. Konsep yang ditawarkan adalah identifikasi partai. Konsep ini mengacu kepada proses pemilihan melalui nama seseorang yang merasa dekat dengan salah satu partai. Salah satu variabel yang banyak ditawarkan oleh pendekatan ini adalah identifikasi partai. Identifikasi partai ini diartikan sebagai perasaan yang dekat dan rasa memiliki dari seseorang kepada salah satu partai politik. Konkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan Rasional. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih? Yang terakhir ini membawa kita bukan pada pertanyaan, mengapa warga negara yang berhak memilih tidak menggunakan hak pilih? Melainkan, pada pertanyaan mengapa banyak warga masyarakat bersusah payah menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum? Jawaban yang diberikan dengan pendekatan pilihan rasional tidak selalu memuaskan karena cukup banyak warga masyarakat menggunakan hak pilih sebagai kebanggaan psikologis, seperti menunaikan kewajiban sebagai warga negara, menegaskan identitas kelompok, dan menunjukkan
loyalitas
terhadap
partai.
Sebagian
warga
masyarakat
juga
menggunakan hak pilih berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan akurat, seperti tradisi, ideologi, dan citra partai. Keempat pendekatan di atas sama-sama berasumsi bahwa memilih merupakan kegiatan yang otonom, dalam arti tanpa desakan dan paksaan dari pihak lain. Namun, dalam kenyataan di negara-negara berkembang, perilaku memilih bukan hanya ditentukan oleh pemilih sebagaimana disebutkan oleh
Universitas Sumatera Utara
keempat pendekatan di atas, tetapi dalam banyak hal justru ditentukan oleh tekanan kelompok, intimidasi, dan paksaan dari kelompok atau pemimpin tertentu.
2.3.2 Partisipasi Politik Partisipasi
merupakan
salah
satu
aspek
penting
dalam
kehidupan
berdemokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan memengaruhi kehidupan warga masyarakat, maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya. 48 Dampak dari adanya komunikasi politik yang efektif adalah adanya partisipasi politik rakyat yang sering diperhatikan dalam pelaksanaan pemilihan umum di negara-negara demokratis. Karena itu, tingkat partisipasi politik masyarakat di negara berkembang merupakan masalah yang menarik bagi para ahli politik. Secara umum defenisi partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung dan tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah 48
Ibid, hal. 179-180.
Universitas Sumatera Utara
(public policy). Kegiatan berpartisispasi tersebut di antaranya, memberikan suara pada Pemilu, menghadiri rapat umum (kampanye), menjadi anggota parpol atau organisasi sosial politik yang underbauw
partai politik, mengadakan hubungan
dengan pejabat pemerintah atau parlemen yang bertujuan politik. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries menyatakan bahwa: partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. 49 Pemikiran mengenai partisipasi politik bagi negara demokratis berangkat dari prinsip kedaulatan adalah di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan menduduki jabatan-jabatan publik dan politis. Jadi partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh masyarakat. Dalam negara demokratis makin banyak masyarakat mengambil peran maka akan makin baik proses demokrasi terlaksana. Partisipasi dapat berbentuk otonom (autonomous participation) dan partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Pada umumnya orang beranggapan 49 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 368.
Universitas Sumatera Utara
bahwa demonstrasi, teror, pembunuhan (lawan) politik, dan bentuk kekuasaan lain yang bermotif politik juga merupakan bentuk partisipasi. Namun Verba 50 tidak mau masuk dalam bentuk partisipasi yang rumit tersebut, akan tetapi membatasi diri pada tindakan-tindakan yang legal. Metode atau cara berpartisipasi, intensitasnya terkait dengan keterikatan atau posisi politik yang dimiliki seseorang. Menurut Surbakti, ada beberapa rambu-rambu partisipasi politik:
51
Pertama, partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi. Hal ini perlu ditegaskan karena sikap dan orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya. Kedua, kegiatan itu diarahkan untuk memengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk ke dalam pengertian ini, seperti kegiatan mengajukan alternatif kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik dan kegiatan mendukung ataupun menentang keputusan politik yang dibuat pemerintah. Ketiga, baik kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal memengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik. Keempat, kegiatan memengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara individu dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Kegiatan yang langsung berarti individu memengaruhi pemerintah melalui pihak lain yang dianggap dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak berupa kekerasan (nonviolence) seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, melakukan kontak tatap muka, dan menulis surat, maupun dengan cara-cara diluar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence), seperti demonstrasi (unjuk rasa), melakukan pembangkangan halus (seperti lebih memilih kotak kosong daripada memilih calon yang disodorkan pemerintah), huru-hara, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik seperti kudeta dan revolusi.
Dalam pandangan Surbakti ini, pada sistem politik yang mantap, melembaga, dan mendapat dukungan, hanya kegiatan konvensional dan tidak berupa kekerasan 50 51
Ibid. Ramlan Surbakti, op. cit, hal. 180-181.
Universitas Sumatera Utara
yang dimasukkan ke dalam kategori partisipasi politik. Partisipasi politik di negaranegara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara, tetapi dalam kenyataannya, persentase warga negara yang berpartisipasi berbeda dari satu negara dengan negara lain.
2.4 Sistem Politik Orde Baru dan Pasca-Orde Baru
Pembangunan ekonomi dan politik Indonesia sejak awal orde baru didasarkan pada dua kebijakan utama, yaitu memacu pertumbuhan ekonomi yang setinggitingginya dan hal ini ditumpukan pada pengetatan stabilitas politik dan keamanan. 52 Kedua pilar kebijakan ini didasarkan pada tesis bahwa untuk menyelamatkan perekonomian dari kehancuran yang diwariskan rezim orde lama, masa depan Indonesia harus bebas dari politik yang didasarkan pada ideologi. Konflik ideologi dilihat sebagai dosa masa lalu, yang menyebabkan ketidakstabilan politik dan kehancuran ekonomi. Atas dasar itulah dilakukan pengaturan kembali (restrukturisasi) sistem politik yaitu dengan penyederhanaan sistem kepartaian dan berbagai bentuk regulasi yang melarang aktivis-aktivis partai politik sampai ke tingkat desa dan dalam upaya menjauhkan rakyat dari aktivitas politik (floating mass). Eksistensi organisasi52
Hal ini telah dieksplorasi secara komprehensif oleh banyak ahli, antara lain, lihat Mohtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (terjemahan disertasi), Jakarta: LP3ES, 1989, terutama Bab I.
Universitas Sumatera Utara
organisasi kemasyarakatan lainnya juga tidak luput dari pembatasan dan penekanan. Pemilu dirancang untuk kemenangan mutlak (Partai) Golongan Karya sebagai partai pemerintah, susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD diwarnai oleh sistem pengangkatan dari berbagai golongan dan ABRI yang biasanya diidentifikasi sebagai pendukung setia penguasa. Militer diberi ruang hampir tak terbatas dalam kehidupan sosial-politik (dwi fungsi) yang melahirkan apa yang sering disebut security approach, di mana militer mendapatkan peran yang sangat signifikan dalam melakukan supervisi dan manajemen politik, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum. 53 Militer, dengan demikian, bukan sekedar alat pertahanan negara yang kita kenal dalam konsep negara demokrasi modern. Semua pembatasan dan pengekangan itu dituangkan dalam “5 Paket UU Politik”, yang secara praktis mampu memasung kebebasan rakyat dan memotong jalur-jalur komunikasi aspirasi masyarakat secara fundamental. Oleh karenanya, hampir tidak ada organisasi sosial yang luput dari campur tangan negara. Bahkan, semua potensi kekuatan sosial-politik itu direkayasa sedemikian rupa melalui organisasi-organisasi korporatik negara (state corporatism). Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, kita menyaksikan perubahanperubahan besar berbagai aspek dalam sistem politik Indonesia kontemporer, 53
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Security Approach dan Prospek Penegakan Hukum”, makalah seminar “Demokrastisasi Menegakkan Rule of Law”, CESDA, Jakarta, 29 April 1993, hal. 47-50.
Universitas Sumatera Utara
khususnya liberalisasi politik yang begitu luas pasca-lengsernya rezim otoritarian Soeharto sejak tahun 1998. Perubahan itu, antara lain, adalah kebebasan hak-hak sipil dan politik utamanya kebebasan mengemukakan pendapat, berorganisasi, pers; desentralisasi pemerintahan; kebijakan multi-partai; perubahan dalam sistem kepemiluan; serta perubahan dalam aspek ketata-negaraan yakni dengan munculnya lembaga-lembaga negara baru untuk menopang demokratisasi seperti mahkamah konstitusi, komisi yudisial, dewan perwakilan daerah, komisi pemilihan umum, dan lain-lain. 54 Bahkan, di tingkat global Indonesia kini sudah dikategorikan sebagai salah satu negara demokratis, walaupun harus diakui berkembangnya berbagai persoalan pelik yang mengancam kualitas demokrasi itu sendiri, seperti menguatnya politik identitas antara lain ditandai munculnya peraturan-peraturan daerah bernuansa agama, kekerasan berbasis suku dan agama, terorisme, dan lainnya. 55 Secara
sederhana,
perubahan
politik
pasca-Orde
Baru
ini
dapat
disederhanakan seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Perubahan Politik Pasca-Orde Baru Orde Baru Demokrasi Pancasila (1966-1998)
Reformasi Demokrasi Era Transisi (1998sekarang)
54
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. 55 Noorhaidi Hassan, “Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalism after Soeharto”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Volume One, 2008, hal. 23-51.
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik
Karakteristik
• Kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan sangat tinggi. • Partai politik dibatasi jumlah dan peran politiknya. • Pemilu terselenggara teratur setiap lima tahun; tapi partai politik pemenangnya sudah dapat dipastikan. • Tidak ada pergantian kekuasaan politik, Soeharto berkuasa selama lima periode Pemilu. • Rekruitmen politik bersifat tertutup. • Peran militer sangat kuat dengan konsep dwi-fungsi ABRI. • Kebebasan pers dibatasi, Pembreidelan media massa kerap terjadi. • Sistem pemerintahan sentralistik.
• Sistem pemerintahan presidensial, tetapi parlemen terdiri dari banyak partai (multi-partai). • Sistem pemilihan langsung untuk presiden dan kepala daerah. • Pemilu setiap lima tahun dengan asas luber dan jurdil. • Lembaga perwakilan dibagi menjadi DPR dan DPD. • Peran militer dikurangi, menjadi hanya alat pertahanan negara (kembali ke barak). • Lahir komisi-komisi independen negara. • Pers bebas. • Desentralisasi kekuasaan dengan model otonomi daerah.
Sumber: Diolah dari Kompas, 13 Agustus 2010.
2.5 Perkembangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah 2.5.1 Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Rakyat Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik di masa orde baru maupun di era
Universitas Sumatera Utara
reformasi, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan di tangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan seolah-olah berada di tangan partai politik. Partai politik, melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sitem parlementer padahal negara kita menganut sistem presidentil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya. Kekuasaan yang dimiliki partai politik ini, antara lain disebabkan oleh sistem Pemilu yang kita anut di masa lalu, yaitu sistem proporsional. Dalam sistem ini para pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik tertentu. Selanjutnya, partai politiklah yang berhak menentukan siapa-siapa yang akan duduk sebagai wakil rakyat (wakil partai politik?) di DPR atau DPRD. Akibatnya anggota dewan lebih merasakan dirinya sebagai wakil partai politik, dari pada sebagai wakil rakyat sehingga mereka lebih banyak berbuat untuk kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat. Dalam sistem ini seseorang yang tidak disukai dan tidak didukung oleh rakyat pemilih, sepanjang yang bersangkutan masih disukai pimpinan partainya, keberadaannya di dewan akan selalu terjamin. Satu-satunya hak politik yang masih dimiliki rakyat adalah hak memberikan suara pada saat Pemilu berlangsung. Sesudah itu semua hak politik yang dimiliki
Universitas Sumatera Utara
rakyat beralih kepada partai politik sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan sudah dilupakan sama sekali. Untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sistem Pemilu harus diubah, dengan sistem yang memberi peluang kepada rakyat pemilih, untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Melalui amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan menambahkan pasal 6A dan pasal 22E, sistem Pemilu kita diubah menjadi Pemilu secara langsung, baik untuk Pemilu legislatif, maupun untuk Pemilu presiden dan wakil presiden. Untuk Pemilu legislatif yang diatur dengan pasal 22E, selanjutnya dijabarkan pada UU No. 12 tahun 2003 dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 10 tahun 2008, sedangkan untuk Pemilu presiden dan wakil presiden, diatur dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan dalam UU No. 23 tahun 2003, dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 42 tahun 2008. Sementara itu, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sesuai dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004, merupakan jawaban atas tuntutan pemberian otonomi daerah yang lebih luas. Karena daerah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sudah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
Warga masyarakat di daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka yang telah dijamin oleh konstitusi kita, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberikan kesempatan untuk ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Pemilihan Kepala daerah secara langsung ini sangat penting, antara lain untuk: 56 1.
Legitimasi yang sama antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan DPRD Seperti kita ketahui, anggota DPRD dipilih secara langsung oleg rakyat
pemilih melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, tingkat legitimasi anggota DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2.
Kedudukan yang Sejajar
Antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dengan DPRD
56
Abdullah, H. Rozali, Prof. SH., Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 53-55.
Universitas Sumatera Utara
Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 16 ayat (2) dijelaskan bahwa DPRD, sebagai badan legislatif daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Pasal 34 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara dalam pasal 31 ayat (2) jo pasal 32 ayat (3) UU No. 22 tahun 1999, dijelaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam hal ini, logikanya adalah bahwa apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dan bertanggungjawab kepada DPRD, berarti kedudukan DPRD berada di atas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan DPRD, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah, harus dipilih secara langsung oleh rakyat. 3.
Mencegah Terjadinya Politik Uang Pada era berlakunya UU nomor 22 tahun 1999, sering kita dengar isu,
mengenai terjadinya politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini sudah merupakan rahasia umum, dan terjadi hampir di semua daerah. Masalah politik uang ini, dimungkinkan terjadi karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan dilakukannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, kemungkinan terjadinya politik uang ini bisa dicegah atau
Universitas Sumatera Utara
setidak-tidaknya bisa dikurangi. Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin melakukannya, mereka akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup banyak.
2.5.2 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada Era Orde Baru Prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah pada era orde baru diatur dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Perangkat hukum tersebut menjadi satu-satunya UU Pemerintahan Daerah yang telah diimplementasikan selama sekurang-kurangnya 25 tahun lamanya. Pada dasarnya UU ini melengkapi paket 5 UU politik lainnya (pemilu, partai politik, susunan kedudukan legislatif, referendum, organisasi kemasyarakatan) yang mendukung gagasan sentralisme kekuasaan politik dan stabilitas politik, yang pada muaranya mendukung proyek pembangunisme yang menjadi ciri utama rezim orde baru. Potret ketidak-demokratisan UU ini bisa dilihat dari uraian berikut ini. Pola pemilihan kepala daerah ini dituangkan dalam pasal 15 dan 16. Dalam pasal 15 UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa:
Kepala Daerah Tingkat 1 dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitdikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan
Universitas Sumatera Utara
DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut kemudian diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.
Tidak
jauh
berbeda
dengan
pola
pemilihan
gubernur,
pemilihan
bupati/walikota juga diatur sebagai berikut: Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitdikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Hasil pemilihan ini diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikit-dikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang di antaranya. 57
Dari bunyi pasal di atas, terlihat jelas bahwa kewenangan pemerintahan pusat dalam proses pemilihan kepala daerah sangat besar dan menentukan. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan apa saja peran partai politik tersebut. Dalam hal ini, peran DPRD hanya sekedar ikut mengusulkan, karena proses pengusulan itu sendiri dilakukan bersama pejabat pemerintah satu tingkat di atasnya. Penentuan hasil akhir berada di tangan pemerintahan pusat. Dalam hal ini, Presiden diberi kewenangan yang sangat besar dan menentukan karena bisa mengabaikan hasil pemilihan DPRD.
Hal ini diperjelas dalam pengaturan yang berbunyi: 57
Dikutip dari Pasal 16 UU No. 5/1974.
Universitas Sumatera Utara
Presiden dalam mengangkat kepala daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masingmasing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden. 58
Tidak jauh berbeda dengan pola pengambilan keputusan dalam proses pengangkatan dan penetapan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dalam bagian penjelasan pasal 16 UU No. 5 tahun 1974 juga ditegaskan bahwa Menteri Dalam Negeri, yang bertindak atas nama Presiden, menetapkan calon bupati/walikota terpilih dan tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon. Ada alasan tersendiri kenapa intervensi pemerintahan pusat begitu besar dan dibenarkan dalam proses pengangkatan kepala daerah. Dalam bagian penjelasan umum (poin 4-e-1) UU No. 5/1974 ini disebutkan bahwa: Dalam diri kepala daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang kepala daerah; dalam pengangkatan seorang kepala daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai kepala wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan. Dan sebagai kepala daerah otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.
58
Dikutip dari penjelasan Pasal 15 UU No. 5/1974.
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 22/1999 Setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, lahirlah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang merevisi secara total Undangundang Pemerintahan Daerah yang berlaku pada era orde baru. Undang-undang yang dilahirkan pada era Presiden B.J. Habibie ini memperkenalkan sebuah pola baru pemilihan dan pembentukan kepala daerah, yang pada muaranya membawa implikasi terhadap hubungan antara kepala daerah dengan DPRD dan pemerintah pusat. Karena mengandung semangat pemberian otonomi yang lebih luas bagi daerah, maka UU ini sering juga disebut sebagai UU Otonomi Daerah. Regulasi yang berkaitan dengan kepala daerah, telah dimuat dalam UU No. 22 tahun 1999, mulai dari Pasal 30 sampai dengan pasal 58. Untuk kebutuhan yang lebih operasional, pemerintah juga menerbitkan beberapa regulasi, di antaranya Peraturan Pemerintah No. 151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan
Pemerintah No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Bila pada UU No. 5 tahun 1974 peran dan posisi DPRD sangat lemah, maka dalam UU No. 22 tahun 1999 ini posisi DPRD justru begitu dominan atau menentukan dalam proses pemilihan dan pemberhentian kepala daerah. Dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, disebutkan bahwa tugas dan kewenangan DPRD
Universitas Sumatera Utara
di antaranya adalah memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota. Dalam UU nomor 22 tahun 1999 tersebut, prosedur pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: “Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. Hampir keseluruhan proses politik yang berkaitan dengan pemilihan kepala
daerah,
lebih
banyak
dikendalikan
oleh
lembaga
DPRD.
Panitia
penyelenggaraan pemilihan 59, misalnya, berasal dari kalangan DPRD. Seperti dimuat dalam pasal 34 ayat (4) yang berbunyi: “Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota”. Selanjutnya dalam pasal 35 disebutkan, bahwa tugas panitia pemilihan tersebut adalah a) melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakal calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; b) melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan c) menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan. Selain kepanitiaan berasal dari DPRD, proses penjaringan bakal calon juga dilakukan
59
Dalam pasal 8 PP No. 151/2000 diatur lebih rinci tentang kepanitian.
Universitas Sumatera Utara
oleh fraksi di DPRD, bukan oleh partai politik. 60 Berdasarkan pasal 36 UU No. 22 tahun 1999, dinyatakan bahwa setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk kemudian disampaikan ke pimpinan DPRD. Dengan catatan, dua fraksi atau lebih diberikan kesempatan untuk bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon tertentu. Dalam proses selanjutnya diatur bahwa sebelum bakal calon ditetapkan menjadi calon, maka terlebih dahulu setiap fraksi atau beberapa fraksi memberi penjelasan mengenai bakal calonnya. Pimpinan DPRD juga diberi peluang untuk mengundang bakal calon agar bisa menjelaskan visi, misi serta rencana-rencana kebijakannya. Dari proses itu, maka pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan dan kepribadian para bakal calon. Langkah selanjutnya adalah proses penetapan sekurang-kurangnya dua pasang calon, yang dihasilkan lewat mekanisme musyawarah atau voting di kalangan DPRD. 61 Setelah proses penetapan calon, maka agenda selanjutnya adalah pemilihan. Khusus calon gubernur/wakil gubernur, sebelum dilakukan pemilihan, masih perlu dikonsultasikan dengan presiden. 62 Proses pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah 60
Dalam Pasal 15 Ayat (3) PP No. 151/2000 disebutkan bahwa dalam proses penjaringan dan penelitian dokumen, masing-masing fraksi menerima dan menampung aspirasi dari perorangan, masyarakat, organisasi sosial politik dan lembaga kemasyarakatan serta menyosialisasikan nama-nama bakal calon. 61 Pasal 37 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. 62 Pasal 38 Ayat (2) UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Universitas Sumatera Utara
anggota DPRD. Dalam hal ini, setiap anggota DPRD berhak untuk memberikan suaranya kepada satu pasang calon. Pasangan calon yang dianggap sebagai pemenang adalah pasangan calon yang mendapat suara terbanyak 63, dalam pengertian mendapat suara di atas 50% dari total suara yang ada. Ini artinya bila pada putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara di atas 50%, maka dilakukan pemilihan putaran kedua dengan memilih dua pasang calon yang mendapat suara rangking pertama dan kedua pemilihan putaran pertama. 64 Setelah penentuan calon terpilih, maka proses selanjutnya adalah penetapan yang dilakukan oleh DPRD, pengesahan oleh presiden, serta pelantikan.
2.5.4 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat pengaturan dasar tentang tahapan dan kegiatan pemilihan umum kepala daerah/wakil kepala daerah. Selanjutnya sebagai tindak lanjut UU tersebut, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam perkembangannya, beberapa materi dari UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 6 tahun
63
Pasal 40 Ayat (3) UU No.22/1999. Tentang pengertian suara terbanyak dan mekanisme pemilihan dua kali putaran dapat dilihat Pasal 24 PP 151/2000.
64
Universitas Sumatera Utara
2005 tersebut mengalami sejumlah revisi sebagai dampak hasil uji material (judicial review) yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 65 Sebagai respon terhadap keputusan MK tersebut, maka pada 27 April 2005, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 3 tahun 2005 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR, yakni UU No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Perppu No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 tahun 2004). Menyusul Perppu No. 3 tahun 2005 tersebut, maka terbit PP No. 17 tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selanjutnya,
pada tanggal 30
November
2006,
Mahkamah
Agung
menerbitkan sebuah putusan atas uji materi pasal 40 PP No. 6 tahun 2005, yakni berkaitan dengan wajib-mundurnya seorang kepala daerah yang sedang memerintah ketika mencalonkan diri kembali. Menyusul keputusan MA tersebut, maka pemerintah kembali menerbitkan PP No. 25 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas PP 6 tahun 2005. Dalam perkembangan berikutnya, UU No. 32 tahun 2004 ini dijudicial-review lagi, yang menghasilkan sebuah keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 5/PPU–V/2007 berkaitan dengan dibukanya peluang bagi calon independen dalam pemilu kepala daerah.
65
Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai tindak lanjut dari keputusan MK tersebut, maka lahirlah UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam UU tersebut diatur berbagai prosedur dan syaratsyarat bagi calon perseorangan, termasuk tentang wajib mundurnya kepala daerah atau wakil kepala daerah jika kembali mencalonkan diri. Setelah keluarnya UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka pemilihan kepala daerah sudah dimasukkan sebagai rezim pemilihan umum, dengan menegaskan hirarkisme lembaga penyelenggara Pemilu. Dalam Perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan melalui putusan No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 04 Agustus 2008, yang menyebutkan bahwa pasal 58 (q) Undang-undang No. 12 tahun 2008 tidak mengikat, dengan demikian sejak dibacakannya putusan tersebut, tidak ada kewajiban mengundurkan diri bagi calon yang sedang menduduki jabatannya, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah. Selanjutnya menteri dalam negeri mensyaratkan bahwa calon incumbent hanya diwajibkan cuti pada saat melakukan kampanye.
Universitas Sumatera Utara
2.5.5 Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya, perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam undang-undang baru ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal. Dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119. Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, UU ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dalam perkembangan berikutnya, sesuai dengan Undangundang No. 12 tahun 2008, pasangan calon juga dimungkinkan lewat jalur perseorangan. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008 dan Undang-undang nomor 42 tahun 2008, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).
Universitas Sumatera Utara
Sebagai sebuah “rezim” Pemilu, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dalam hal ini adalah KPU kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam undang-undang No. 22 tahun 2007 ini, DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Kewenangan itu sekarang beralih kepada KPU. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPU dalam menyelenggarakan Pilkada, dari kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD. Substansi terpenting dari pembentukan KPU maupun KPU kabupaten/kota adalah untuk mencegah adanya campur tangan penguasa dan pihak-pihak lain terhadap penyelenggaraan Pemilu. Artinya adalah harus ada institusi yang independen. Sifat independen KPU yang ditegaskan dalam pasal 22E ayat (5) perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang mengharuskan KPU tidak saja bersifat nasional dan tetap, melainkan juga harus mandiri alias independen. Undang-undang Pemilu berbunyi: Komisi Pemilihan Umum yang mandiri adalah Komisi Pemilihan Umum yang tidak berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok, golongan, partai, ataupun pemerintah. Artinya, dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya, KPU berpedoman semata-mata pada peraturan perundangundangan, dan membuat keputusan serta mengambil tindakan tanpa campur tangan
Universitas Sumatera Utara
ataupun intervensi dari manapun. Untuk itu sebagai organisasi yang ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai penyelenggara pemilu, KPU tentu harus memiliki anggota dalam jumlah yang cukup, struktur organisasi dan tata kerja, kelompok personel dengan kualifikasi dan jumlah yang memadai, serta anggaran yang cukup untuk melaksanakan visi, misi, tujuan, dan sasaran strategisnya. Karena itu, independensi KPU dapat dilihat dari (1) persyaratan dan mekanisme penentuan keanggotaan, (2) susunan organisasi dan tata kerjanya, (3) persyaratan dan mekanisme penentuan personel, dan (3) perumusan dan pengajuan anggaran. KPU dinyatakan mandiri apabila keanggotaannya bersifat nonpartisan dan dipilih secara terbuka secara kompetitif. Selain itu, KPU sendirilah yang menentukan susunan organisasi dan personelnya, serta menyusun dan mengajukan anggaran kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Penyelenggaraan Pemilu, termasuk Pilkada dipandang tidak tepat bila dilaksanakan oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif karena keduanya merupakan peserta Pemilu. Sementara itu, lembaga yudikatif dipandang tidak tepat karena bertugas menegakkan hukum, termasuk penegakan peraturan Pemilu. Karena itu, penyelenggaraan Pemilu seyogyanya diserahkan kepada lembaga independen yang orang-orangnya bersikap dan bertindak nonpartisan. Independensi KPU tidak saja merupakan kepentingan setiap peserta Pemilu karena akan mencegah keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada pesaing tertentu
Universitas Sumatera Utara
dan lebih menjamin perlakuan yang adil dan setara kepada setiap pesaing. Tapi, juga merupakan kebutuhan rakyat pemilih karena akan lebih menjamin pilihan mereka yang akan menentukan siapa yang menjadi penyelenggara negara di pusat dan daerah. Karena Pemilu menyangkut soal kepercayaan, independensi KPU akan lebih menjamin kepercayaan dari seluruh peserta Pemilu maupun dari rakyat pemilih terhadap hasil Pemilu.
2.6 Syarat-syarat Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan Undangundang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya boleh diikuti oleh pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Namun berdasarkan Undangundang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, calon perseorangan telah dimungkinkan mencalonkan diri menjadi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada pasal 56 undang-undang nomor 12 tahun 2008 disebutkan: (1) kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selanjutnya pada ayat (2) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang
Universitas Sumatera Utara
didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam undang-undang ini. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah merupakan rezim Pemilu, dengan asas yang sama dengan asas Pemilu (ayat 1). Sedangkan ayat (2) telah menegaskan dibolehkannya calon perseorangan mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan merupakan perubahan mendasar dan sangat fundamental pada proses penentuan pimpinan di tingkat lokal. Secara umum syarat-syarat warga negara untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilihat pada pasal 58 undang-undang nomor 12 tahun 2008.
2.6.1 Calon Yang Diusung Partai Politik Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi perolehan sekurang-kurangnya 15 % (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15 % (lima belas persen) dari akumulasi
Universitas Sumatera Utara
perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. 66 Jika dukungan 15 % dari jumlah kursi DPRD oleh partai politik atau gabungan partai politik menghasilkan angka pecahan (desimal) maka jumlah kursi syarat dukungan adalah pembulatan ke atas. Sedangkan jumlah dukungan 15 % dari akumulasi perolehan suara sah memungkinkan gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD setempat untuk dapat mengusung pasangan calon sendiri.
2.6.2 Calon Perseorangan Pada pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota, pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: 67
a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 % (enam koma lima persen); b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 % (lima persen);
66 67
UU No. 12 tahun 2008, pasal. 59 ayat (2). Ibid, pasal 59 ayat (2b)
Universitas Sumatera Utara
c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4 % (empat persen); d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3 % (tiga persen).
Dukungan sebagaimana tersebut di atas harus tersebar pada lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud untuk pemilihan bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota. Dukungan yang dimaksudkan adalah dukungan yang dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.7 Modal Calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) di Indonesia dilaksanakan berdasarkan keputusan politik, yaitu dengan lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Undang-ungdang ini mulai dijalankan bulan Juni 2005 ditandai dengan Pilkada langsung pertama di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dengan Pilkada langsung ini, maka rakyat ditingkat lokal dapat berpartisipasi menentukan sendiri pimpinan daerahnya, sehingga pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat dengan
Universitas Sumatera Utara
sendirinya telah berakhir. Pada Pilkada yang pertama kali dilaksanakan tersebut, menghasilkan Syaukani Hassan Rais/Samsuri Aspar (Partai Golkar) sebagai pasangan calon terpilih dengan perolehan suara mencapai 60,85 %. Pilkada memiliki dua makna, sebagai keberhasilan dan kegagalan demokrasi. Pilkada dikatakan berhasil karena sudah menunjukkan adanya partisipasi rakyat, proses pencalonan yang diseleksi, kampanye, dan kontrak politik. Dalam hal ini, prosedur sebagai demokrasi sudah dipenuhi dan dipraktekkan, terlepas dari hasil yang dicapai. Sedangkan Pilkada disebut gagal karena masih menunjukkan praktik uang, besarnya angka golput, ketidaktahuan pemilih dengan hak-hak politiknya sebagai warga negara yang memiliki otonomi, pola rekruitmen calon, dan lainnya. 68 Beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam Pilkada langsung, adalah : 69 1. Dengan Pilkada langsung penguatan demokrasi di tingkat lokal dapat terwujud, khususnya yang berkaitan dengan legitimasi politik. Karena asumsinya kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar warga. 2. Dengan Pilkada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas (pemerintah) lokal (local accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena obligasi moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai wujud pembangunan legitimasi politik. 68 69
Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Ed 21, Tahun VI 2005, Pilkadal, Yogyakarta: Insist Press, 2005, hal. 86 Agustino, Leo, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal. 9-11.
Universitas Sumatera Utara
3. Apabila local accountability berhasil diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium checks and balances antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif dan legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal. 4. Melalui Pilkada, peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat diharapkan muncul. Masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dia anggap pantas dan/atau layak untuk menjadi pemimpin mereka ditingkat propinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, mekanisme ini juga memberikan jalan untuk “me-melekkan” elite politik bahwasanya pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya tidak berada di tangannya, melainkan terletak di tangan rakyat.
Kalau mencermati prosedur maupun proses pemilihan dalam Pilkada secara langsung, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berkemungkinan memenangkan Pilkada secara langsung manakala memiliki tiga modal utama. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital) dan modal ekonomi (economical capital). 70 Ketiga modal itu memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tetapi di antara ketiganya acapkali berkait satu dengan yang lain. Artinya, calon kepala daerah itu memiliki peluang besar terpilih manakala memiliki akumulasi lebih dari satu modal. Argumen yang terbagun adalah bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, semakin berpeluang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. 70
Marijan, Kacung, Demokratisasi Di Daerah, (Pelajaran Dari Pilkada Secara Langsung), Surabaya: Eureka dan PusDeHAM, 2006, hal 85.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Modal Politik Modal politik berarti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal ini menjadi sentral bagi semua calon, baik dalam tahap pencalonan maupun dalam tahap pemilihan. 71 Peranan partai politik maupun tim sukses sangat besar karena akan menjadi “mesin” dalam menggerakkan upaya pencarian dukungan pemilih. Dalam setiap pelaksanaan Pilkada, peranan partai politik pengusung pasangan calon dan tim sukses sangat besar. Hal ini karena partai politik pengusung dan tim sukses-lah yang bekerja sampai ke lapisan “akar rumput”. Dapat dipastikan, bahwa jika partai politik pengusung maupun tim sukses bekerja dengan baik, maka hasilnya akan baik pula. Demikian pula sebaliknya, jika partai politik pengusung maupun tim sukses tidak bekerja dengan baik, maka hasilnya juga tidak baik. Biasanya setiap pasangan calon kepala daerah, baik yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun calon perseorangan, akan membentuk tim sukses mulai dari tingkatan paling tinggi hingga tingkatan paling rendah (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa). Bahkan biasanya yang “dipasang” sebagai saksi pada setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) adalah para tim sukses itu sendiri. 71
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Uang memang dibutuhkan dalam rangka persiapan dan pelaksanaan kampanye serta segala hal yang berkaitan dengan pengawasan penghitungan suara di tingkat TPS, PPK, KPU kabupaten/kota, atau KPU propinsi. Namun saat ini masyarakat pemilih sudah lebih dewasa dalam menghadapi godaan politik uang. Tidak semua pemilih dengan gampang diiming-imingi sejumlah uang. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mesti sudah memahami dan menyadari bahwa jika seorang atau sekelompok pemilih bersedia menerima suap untuk memilih mereka maka bersiap dirilah untuk tidak terpilih. 72 Secara teori an sich mungkin banyak calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secara mendalam sudah menguasai teori ilmu politik. Bagaimana implementasi di lapangan, tentu saja merupakan hal lain yang terkadang tidak selalu match karena adanya distorsi antara teori dan praktek di lapangan. Tanpa bermaksud mengesampingkan teori-teori yang ada, berikut ini disampaikan panduan 9 (sembilan) kunci sukses yang tepat dijalankan oleh para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah: 73 (1) Bercermin pada hasil analisis SWOT dan memenuhi kriteria standar seorang pemimpin (2) Menawarkan visi, misi, strategi, kebijakan dan program kerja yang sederhana dan menyentuh kepentingan “akar rumput”. Untuk mensukseskan hal itu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus berpola pikir dan berperilaku sebagaimana chief executive officers (CEO’s) pada perusahaan holding company. 72
Herry, Achmad, SE, 9 Kunci Sukses Tim Sukses Dalam Pilkada Langsung, Yogyakarta: Galang Press, 2005, hal. 13. 73 Ibid, hal 15-16.
Universitas Sumatera Utara
(3) Memahami dan mematuhi semua aturan main yang ditetapkan oleh KPUD, termasuk jadwal, tahapan, dan jenis-jenis formulir. (4) Menetapkan bentuk organisasi tim sukses yang efektif dan efisien dari tingkat propinsi atau kabupaten/kota hingga ke tingkat TPS. Memilih personalia yang profesional dan berpengalaman, memiliki integritas, loyalitas, komitmen, dan solidaritas sebagai anggota tim sukses. (5) Menerapkan manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, sebelum, pada saat, dan sesudah masa kampanye. Memahami secara rinci aturan mengenai sumbangan dan dana kampanye serta audit dana kampanye. (6) Menjalankan soft dan hard campaign yang efektif dan efisien. Memahami karakteristik pemilih dan melakukan komunikasi sambung rasa. (7) Secara khusus membentuk Kelompok Pendukung Tingkat Kecamatan (KPC), Kelompok Pendukung Tingkat Desa/Kelurahan (KPD/L), dan kelompok pendukung untuk setiap TPS (KP-TPS). (8) Menguasai secara detail mekanisme pendaftaran, pemutakhiran data, dan persyaratan pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS). (9) Setiap anggota tim sukses di tingkat propinsi/kabupaten/kota dan KPC, KPD/L, KP-TPS memahami prosedur penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara disemua tingkatan termasuk pengisian berbagai jenis formulir.
2.7.2 Modal Sosial Modal sosial adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk di dalamnya adalah sejauh mana pasangan calon itu mampu meyakinkan para pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya 74 dan memiliki integritas yang baik. Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja
74
Marijan, Kacung, op.cit, hal 91.
Universitas Sumatera Utara
tanpa didahului oleh adanya perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya integritas. Dalam Pilkada, modal sosial memiliki makna yang sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya kalau dibandingkan dengan modal politik. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari itu, melalui pengenalan itu, lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial berjarak dekat, para pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu benar-benar layak untuk dipilih atau tidak. Seseorang dikatakan memiliki modal sosial, berarti calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainkan juga diberi kepercayaan. 75 Saat ini, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berlogika: bagaimana para kandidat mampu memengaruhi dan merebut hati rakyat. Sebaliknya, rakyat akan memberikan hak pilihnya pada kandidat yang sudah dia kenal, dalam pengertian lain, bahwa jauh sebelumnya, kandidat tersebut sudah memiliki modal sosial di tengah-tengah masyarakat. Jika kandidat belum memiliki modal sosial, dan baru memperkenalkan diri sesaat menjelang dilaksanakannya Pilkada, dapat dipastikan bahwa kandidat tersebut sulit mendapatkan dukungan yang mayoritas dari masyarakat.
75
Ibid, hal 92.
Universitas Sumatera Utara
Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Agustiono, 2009). Dalam konteks tersebut, disepakati bahwa kualitas demokrasi amat ditentukan oleh berkualitas atau tidaknya proses rekruitmen para wakil dan pemimpin-pemimpin rakyat. Karena itu, dihubungkan dengan Pilkada, demokrasi di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para wakil rakyat berjalan dengan kompetisi yang adil. Selain itu, calon pemimpin yang berkualitas juga akan mendapat dukungan dari masyarakat pemilih. Dalam menentukan pilihannya, masyarakat akan melihat integritas seorang calon pemimpin. Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran.
76
Calon yang memiliki integritas akan
mendapat mandat dari rakyatnya.
2.7.3 Modal Ekonomi Pilkada secara langsung jelas membutuhkan biaya yang besar. Modal yang besar tidak hanya dipakai untuk membiayai kampanye, tetapi juga untuk membangun 76
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. Ketiga, Cet. Kelima, Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hal. 437.
Universitas Sumatera Utara
relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih. Misalnya saja, banyak ditemui kasus ada calon yang membagi-bagikan uang atau barang kepada para pemilih. Biasanya pemberian barang atau uang itu tidak diberikan oleh pasangan calon secara langsung, melainkan oleh tim sukses pasangan calon.
77
Sangat sulit membedakan modal ekonomi atau politik uang, karena
pembuktian politik uang sangat sulit walaupun sering terjadi. Meskipun demikian, modal ekonomi memiliki makna penting sebagai ‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai. Di dalam musim kampanye misalnya, membutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak poster, mencetak spanduk, membayar iklan, menyewa kendaraan untuk mengangkut pendukung, dan berbagai kebutuhan lainnya termasuk untuk pengamanan. Modal ekonomi bisa menjadi prasyarat utama ketika calon itu bukan berasal dari partai politik yang mencalonkannya. Dalam prakteknya modal ini tidak sepenuhnya berasal dari calon, tetapi dapat berasal dari simpatisan dan pengusaha. Jika modal ekonomi hanya digunakan sebagai cost politic semata, tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika modal ekonomi tersebut menjadi politik uang, karena dapat merusak proses demokrasi yang sedang dibangun.
77
Marijan, Kacung, op.cit, hal. 94-95.
Universitas Sumatera Utara
Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau calon yang bersangkutan. Sejumlah potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dapat diidentifikasi. Motifnya bermacam-macam, antara lain adalah : 1. Untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar. 2. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas
Universitas Sumatera Utara
sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar, maka sulit mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. 3. Untuk kabupaten/kota yang wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih untuk memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa. 4. Untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 30 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon. Apabila identifikasi di atas benar sebagian atau seluruhnya, Setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah politik uang tersebut, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye Pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Akan tetapi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 12 tahun 2008 serta peraturan turunannya, ternyata tidak memberikan sanksi bagi
Universitas Sumatera Utara
penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut. Selanjutnya, apabila para pemilih mampu mengorganisasikan diri berdasarkan preferensi pola dan arah kebijakan lokal dan berdasarkan preferensi watak dan kapabilitas calon, gerakan para pemilih ini sekurang-kurangnya dapat menjadi pesaing tangguh terhadap praktik kriminalitas yang terorganisasi (praktik politik uang) tersebut. Pada Pemilu yang lalu sudah ada sejumlah embrio gerakan para pemilih di beberapa tempat untuk bernegosiasi dengan partai/calon. Namun, memang masih dibutuhkan banyak penggerak untuk pemilih terorganisasi untuk dapat menghadapi kriminalitas terorganisasi tersebut.
2.8 Kampanye
Kampanye adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan dalam parlemen dan sebagainya untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu pemungutan suara. 78 Dalam Pilkada, kampanye merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pasangan calon dan/atau tim kampanye/juru kampanye untuk meyakinkan para pemilih dalam rangka mendapatkan dukungan sebesar-besarnya dengan menawarkan visi, misi dan program pasangan calon. Kampanye dalam Pilkada, yang dijadwalkan oleh KPUD,
78
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 498.
Universitas Sumatera Utara
disampaikan dengan cara yang sopan, tertib, dan mendidik yaitu dengan tidak bersifat provokatif, sehingga diharapkan tidak mengganggu stabilitas keamanan.
Dalam Pilkada, peranan kampanye ini sangat penting karena melalui kampanyelah calon pemilih dapat mengenal para calon dan mengetahui programprogram yang ditawarkan jika terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga para calon pemilih dapat menentukan pilihannya. Tanpa kampanye, dapat dipastikan bahwa calon pemilih tidak mengenal calon secara mendalam. Semakin efektif kampanye yang dilakukan, akan semakin baik pula tingkat keterkenalan calon tersebut bagi calon pemilih. Kampanye umumnya dilakukan dengan slogan, pembicaraan, barang cetakan, penyiaran barang rekaman berbentuk gambar atau suara, dan simbol-simbol. Pada sistem politik totaliter atau otoriter kampanye sering dan biasa dilakukan ke dalam bentuk tindakan teror, intimidasi, dan propaganda.
Secara umum, dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dikenal berbagai bentuk kampanye, yaitu (1) Pertemuan Terbatas, (2) Tatap Muka dan Dialog, dan (3) Melalui Media Massa. 79
2.8.1 Pertemuan Terbatas 79
Agustino, Leo, op. cit, hal 101-109.
Universitas Sumatera Utara
Kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dilaksanakan dalam ruangan, gedung atau tempat yang bersifat tertutup, jumlah peserta tidak melampaui kapasitas sesuai dengan jumlah tempat duduk dengan peserta pendukung dan/atau undangan lainnya yang bukan pendukung. Dalam kampanye ini dibenarkan membawa atau menggunakan atribut, yaitu nomor urut dan foto pasangan calon, serta tanda gambar partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan, simbol-simbol dan/atau bendera atau umbul-umbul dari pasangan calon yang mengadakan kampanye di tempat pertemuan terbatas. Atribut pasangan calon, hanya dibenarkan dipasang sampai halaman gedung atau tempat pertemuan terbatas, dan tidak dibenarkan dipasang di luar halaman gedung atau tempat pertemuan terbatas. Dalam kampanye bentuk pertemuan terbatas, harus disertai dengan undangan tertulis.
Biasanya, dalam kampanye pertemuan terbatas ini, pasangan calon atau tim kampanye pasangan calon akan menyampaikan visi, misi dan program pasangan calon dalam bentuk orasi atau pidato politik dan berlangsung satu arah.
2.8.2 Tatap Muka dan Dialog
Kampanye dalam bentuk tatap muka dan dialog dilaksanakan dalam ruangan tertutup/gedung dengan jumlah peserta tidak melampaui kapasitas, sesuai dengan jumlah tempat duduk dengan peserta pendukung dan/atau undangan lainnya yang
Universitas Sumatera Utara
bukan pendukung, atau lapangan terbuka. Dalam kampanye ini diadakan kegiatan interaktif dan hanya dibenarkan menggunakan foto pasangan calon atau atribut, simbol-simbol dan/atau bendera atau umbul-umbul dari pasangan calon yang mengadakan kampanye di tempat pertemuan tatap muka dan dialog. Atribut pasangan calon, hanya dibenarkan dipasang di luar halaman gedung atau tempat pertemuan tatap muka dan dialog sampai dengan jarak tertentu sesuai dengan aturan KPU. Kampanye dalam bentuk tatap muka dan dialog harus disertai dengan undangan tertulis.
2.8.3 Melalui Media Massa
Kampanye melalui media massa adalah dalam bentuk penyebaran melalui media cetak dan media elektronik dengan memberi kesempatan yang sama kepada pasangan calon untuk menyampaikan visi, misi dan program dengan menentukan durasi, frekuensi, bentuk, substansi pemberitaan/penyiaran berdasarkan kebijakan redaksional. Materi dan substansi peliputan berita harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta media cetak dan media elektronik dapat menyediaakn rubrik khusus bagi para pasangan calon sehingga penyelenggaraan dan penyampaian visi, misi, dan program kampanye dapat dilakukan panjang disertai penjelasan
Universitas Sumatera Utara
kelebihan dan kekurangan metodologi yang digunakan, misalnya jajak pendapat umum (polling) dan survey, sehingga tidak mengelabui pemilih.
Saat ini, sesuai dengan kemajuan dunia maya, kampanye dapat juga dilakukan melalui internet yang dimaksudkan untuk sebuah rekayasa pencitraan, kemudian berkembang menjadi upaya persamaan pengenalan sebuah gagasan atau isu kepada suatu
kelompok
tertentu
yang
diharapkan
mendapatkan
feedback/timbal
balik/tanggapan. Secara umum pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin pembicaraan tentang isu-isu kebijakan. Poin-poin ini dirangkum dari ide utama kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak kampanye, para kandidat suatu partai politik atau seorang calon berupaya mencoba untuk menjatuhkan kandidat atau calon lain (black campaign).
2.9 Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pelaksanan Pilkada, apabila terdapat keberatan terhadap hasil perhitungan suara, maka pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung (MA) dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 80 Dalam perkembangan berikutnya, sesuai dengan Undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
81
Ini berarti bahwa sengketa hasil penghitungan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sesuai dengan Undang-undang nomor 12 tahun 2008, menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah, lembaga kehakiman yang dibentuk berdasarkan perubahan ketiga atas Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945, yang putusannya bersifat final. 82 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk: 83 a. b. c. d.
Menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
80
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 106. Undang-undang No. 12 tahun 2008 pasal 236 C. 82 Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 pasal 24 dan 24C. 83 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 81
Universitas Sumatera Utara
Dalam peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 15 tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah, disebutkan bahwa objek perselisihan Pemilukada adalah hasil perhitungan suara yang ditetapkan oleh termohon yang mempengaruhi: 84 a. b.
Penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putara kedua pemilukada, atau Terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun demikian, dari sejumlah perselisihan Pilkada yang telah diputus oleh
Mahkamah Konstitusi, tidak lagi hanya terkait pada perolehan suara, tetapi Mahkamah Konstitusi melakukan terobosan hukum lain, dengan memberikan putusan yang menyangkut pada tahapan/proses Pilkada, seperti yang terjadi pada putusan atas Pilkada Kabupaten Tapanuli Utara.
84
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara