BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Biaya dan Klasifikasi Biaya Menurut Perilaku Biaya
Biaya merupakan unsur yang digunakan dalam melakukan analisis Break
Even Point. Untuk dapat menentukan tingkat Break Even Point maka biaya yang
terjadi pada perusahaan harus dapat dipisahkan terlebih dahulu menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Berhubungan dengan hal tersebut, penulis dirasakan untuk perlu terlebih dahulu mengetahui mengenai pengertian biaya dan pengklasifikasian biaya. Oleh sebab itu, berikut mengenai pengertian biaya dan pengklasifikasian biaya. 2.1.1
Pengertian Biaya Biaya berkaitan dengan semua tipe organisasi baik organisasi bisnis,
nonbisnis, manufaktur, dagang dan jasa. Biaya memengaruhi secara langsung terhadap tingkat keuntungan perusahaan karena dalam setiap aktivitas usaha tidak akan terlepas dari pengorbanan yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan usaha. Ikatan Akuntan Indonesia (2009:17) menyatakan bahwa biaya adalah ”pengeluaran kas (atau setara kas) yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan (consideration) yang diberikan untuk memperoleh aset pada saat perolehan”. Sedangkan menurut Carter (2009:7) menyatakan bahwa definisi dari biaya sebagai “Suatu nilai tukar, pengeluaran atau pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat”. 15
16
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa biaya merupakan
pengorbanan yang dilakukan baik dalam bentuk arus keluar atau pengurangan
aktiva atau adanya kewajiban guna memperoleh manfaat. Artinya apabila
pengorbanan itu tidak menghasilkan manfaat, maka hal tersebut merupakan
kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan. 2.1.2
Pengklasifikasian Biaya Menurut Perilaku Biaya Pada umumnya, berbagai macam biaya yang terjadi dan cara klasifikasi
biaya tergantung pada tipe perusahaan. Biaya perlu diklasifikasikan dengan tujuan untuk memudahkan dalam perencanaan. Hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah biaya tertentu bereaksi atau merespon terhadap perubahan aktivitas usaha. Bila aktivitas usaha meningkat atau menurun, biaya tertentu mungkin akan ikut naik atau turun atau mungkin juga tetap. Berdasarkan perilaku biaya tersebut, maka biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu : 1.
Biaya Variabel
2.
Biaya Tetap
3.
Biaya Semi Variabel Adapun penjelasan dari masing-masing golongan biaya, adalah sebagai
berikut : 1.
Biaya Variabel Menurut Garrison (2006:66) bahwa ”Biaya variabel adalah biaya yang berubah secara proporsional dengan perubahan aktivitas”. Menurut Riwayadi (2006:30) ”Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang totalnya berubah secara proporsional dengan perubahan output
17
aktivitas, sedangkan biaya per unitnya adalah tetap dalam batas relevan
tertentu”. Sedangkan menurut Mulyadi (2009:15) “Biaya variabel adalah biaya yang
jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan”.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dilihat bahwa perubahan biaya variabel sangat dipengaruhi oleh volume kegiatan dan berubah secara proporsional sesuai dengan aktivitas yang terjadi. Semakin besar volume kegiatan,
semakin besar pula jumlah total biaya variabel, dan semakin rendah volume kegiatan, maka jumlah total biaya variabel akan semakin rendah pula. Tetapi untuk biaya variabel per satuan tidak dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan. 2.
Biaya Tetap Menurut Carter (2009:68) ”Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang secara total tidak berubah ketika aktivitas bisnis meningkat atau menurun”. Menurut Munawir (2004:185) ”Biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap tidak berubah dalam range output tertentu, tetapi untuk setiap satuan produksi akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan produksi”. Dijelaskan juga oleh Mulyadi (2009:15) “Biaya yang jumlah totalnya tetap dalam kisaran volume kegiatan tertentu” . Berdasarkan pengertian di atas dapat dilihat bahwa biaya tetap adalah
biaya yang tidak akan mengalami perubahan secara namun berubah untuk setiap satuan produksi. Semakin besar atau pun semakin kecil volume kegiatan tidak mempengaruhi biaya tetap. Karena Biaya Tetap merupakan biaya yang konstan
18
secara keseluruhan. Terdapat pula beberapa biaya yang dianggap sebagai biaya tetap sesuai dengan kebijakan manajemen.
3.
Biaya Semivariabel
Menurut Carter (2009:70) biaya semivariabel adalah ”Biaya yang
memperlihatkan baik karakteristik biaya variabel maupun karakteristik
biaya tetap”.
Menurut Riwayadi (2006:31) menyatakan bahwa : ”Biaya semivariabel (semivariable cost) adalah biaya yang totalnya berubah secara tidak proporsional dengan perubahan output aktivitas, dan biaya per unitnya berubah berbanding terbalik dengan perubahan output aktivitas”. Berdasarkan
pengertian
tersebut
dapat
dinyatakan
bahwa
biaya
semivariabel memiliki elemen biaya tetap dan biaya variabel. Dalam analisis Break Even Point, jenis biaya ini harus dipisahkan menurut unsur tetap dan variabel. Untuk memisahkan unsur tetap dan variabel yang terkandung dalam biaya semivariabel, ada beberapa metode yang bisa digunakan. Menurut Riwayadi (2006:156) metode yang bisa digunakan untuk memilah biaya semivariabel menjadi biaya variabel dan biaya tetap yaitu ”metode biaya berjaga (standby cost method), metode titik tertinggi dan titik terendah (high and low point method), metode diagram pencar (scattergraph), dan metode kuadrat terkecil (least squares method)”. Berikut uraian dari ketiga metode tersebut. 1.
Metode Tinggi-Rendah (High and Low Points) Nafarin (2008:504) menyatakan bahwa “Metode titik tertinggi dan terendah (high and low method) merupakan metode untuk memisahkan biaya semivariabel menjadi biaya variabel dan biaya tetap dengan cara mencari selisih antara tingkat biaya dan satuan tertinggi dengan tingkat biaya dan satuan terendah”.
19
Untuk memperkirakan fungsi biaya dalam metode ini suatu biaya pada
tingkat kegiatan yang paling tinggi dibandingkan dengan biaya tersebut pada
tingkat kegiatan terendah dimasa yang lalu, selisih biaya yang dihitung merupakan
unsur biaya variabel dalam biaya tersebut (Mulyadi,2009). Dari penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dalam metode ini
yang digunakan adalah biaya dengan aktivitas tertinggi dan terendah dalam biaya periode tersebut. Sehingga untuk mencari tarif biaya variabel dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Keterangan : b = Tarif Biaya Variabel Y = Tarif X = Aktifitas Dan untuk mencari biaya tetap dapat digunakan rumus biaya sederhana dengan cara substitusi. Berikut rumusnya : TC = FC + VC FC = TC + VC FC = TC – b(X) 2.
Metode Scattergraph Metode Scattergraph merupakan kemajuan dari metode tinggi-rendah
karena metode ini menggunakan semua data yang tersedia, bukan hanya dua titik data (Carter, 2006:65). Cara Scattergraph dapat digunakan untuk analisis perilaku biaya sehingga
20
dapat ditentukan biaya variabel dalam jenis biaya yang mengandung biaya tetap dan biaya variabel. Dalam cara ini biaya variabel dihitung melalui tahapan berikut
1.
yang melekat pada jenis biaya semivariabel.
2.
Hitung rata-rata biaya per bulan.
3.
Hitung biaya variabel rata-rata per bulan, yaitu biaya rata-rata per bulan
Tentukan (dengan taksiran yang realistis) rata-rata per bulan biaya tetap
4.
dikurangi dengan taksiran biaya tetap per bulan. Hitung biaya variabel per satuan, yaitu biaya variabel rata-rata per bulan dibagi dengan rata-rata kapasitas per bulan. (Mursyidi, 2008:21)
Rumus yang digunakan dalam metode scattergraph 1.
Rumus untuk menetapkan biaya tetap Rata-rata Biaya bulanan – Elemen tetap = Rata-rata bulanan elemen variabel dari biaya
2.
Rumus untuk menentukan tarif biaya variabel
Dapat disimpulkan bahwa metode scattergraph merupakan perkembangan dari metode tinggi-rendah karena dalam metode ini seluruh biaya yang terjadi pada periode tersebut digunakan untuk menetapkan biaya tetap dan tarif biaya variabel. Dalam metode ini seluruh biaya beserta aktivitas pemicu selama periode tersebut digambarkan dalam grafik. 3.
Metode Kuadrat Terkecil (Least Square) Metode least square disebut juga analisis regresi, yang menggunakan
21
matematika linear regresi. Dalam metode ini diperlukan tahapan sebagai berikut : 1.
2.
Tentukan biaya rata-rata (y) ; dan dasar pembebanan rata-rata (x). Hitung selisih biaya per bulan (Yi) dengan biaya rata-ratanya; dan selisih
dasar pembebanan per bulan (Xi) dengan dasar pembebanan rata-ratanya.
Jumlah selisih dalam satu tahun akan menjadi nol. 3.
Kuadratkan hasil perhitungan nomor 2, dan jumlahkan hasilnya.
4.
Kalikan antara selisih Xi dan selisih Yi.
(Mursyidi, 2008:22) Tarif biaya overhead b, dapat dihitung dengan formula :
Biaya tetap, a, dapat dihitung menggunakan rumus untuk garis lurus sebagai berikut : Y=a+b Dari ketiga metode pemisahan biaya semivariabel, metode least square merupakan metode yang tingkat keakuratannya paling tinggi karena dilakukan dengan rumus matematis dan seluruh biaya pada periode tersebut dengan berbagai tingkat aktivitas digunakan dalam perhitungan.
2.2
Metode Penentuan Harga Pokok Produksi Setelah pembahasan pada sub bab sebelumnya mengenai biaya dan
pengklasifikasian biaya, selanjutnya penulis harus mengetahui mengenai penentuan
metode harga pokok produksi yang dapat dgunakan dalam proses
22
analisis Break Even Point. Metode penentuan harga pokok produksi ini terdiri dari dua pendekatan, yaitu pendekatan Full Costing dan Variable Costing. Perhitungan
kedua metode tersebut berbeda dan akan menghasilkan hasil yang berbeda pula.
Untuk lebih memahami mengenai perbedaan antara penggunaan kedua metode
tersebut, pada sub bab ini akan dijelaskan uraian teori mengenai metode penentuan pokok produksi. harga
Metode penentuan harga pokok produksi adalah cara memperhitungkan
unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Menurut Mulyadi (2001:18), dalam memperhitungkan unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi terdapat dua pendekatan yaitu : 1.
Full Costing Merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead
pabrik,
baik
yang
berperilaku variable
maupun tetap.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ony, Sri dan Dony (2012:16) bahwa : “Full Costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik yang berlaku variabel maupun tetap”. Oleh sebab itu, perhitungan harga pokok produksi menggunakan metode Full Costing tidak memerlukan pemisahan antara biaya variabel dan biaya tetap pada biaya overhead pabrik. 2.
Variable Costing Merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang
23
memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variable kedalam harga
pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik langsung. Sebagaimana dinyatakan oleh Ony, Sri dan Dony (2012:17) bahwa :
“Variable Costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel.” Oleh sebab itu, perhitungan harga pokok produksi menggunakan
metode Variabel Costing memerlukan pemisahan antara biaya variabel dan biaya tetap terlebih dahulu.
2.3
Analisis Break Even Point Setelah mengetahui mengenai pengklasifikkasian biaya dan metode
penentuan harga pokok produksi yang menjadi unsur dalam melakukan analisis Break Even Point pada sub bab sebelumnya, maka kali ini penulis akan menguraikan penjelasan berdasarkan teori-teori mengenai Break Even Point itu sendiri untuk dapat memaparkan secara lebih jelas mengenai analisis Break Even Point. Pertama akan dimulai dengan penjelasan mengenai pengertian Break Even Point, kemudian asumsi dasar dalam melakukan analisis Break Even Point, dan metode perhitungan Break Even Point. Berikut penjelasan-penjelasan tersebut. 2.3.1
Pengertian Break Even Point Suatu perusahaan akan berada pada titik break event apabila dalam suatu
periode aktivitas usaha, tidak memperoleh laba dan tidak juga menderita kerugian.
24
Artinya, jika seluruh pendapatan yang diperoleh perusahaan dijumlahkan, maka jumlah tersebut akan sama besarnya dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan.
Menurut Munawir (2004:184) bahwa “Break Even dapat diartikan suatu
keadaan dimana dalam operasi perusahaan, perusahaan tidak memperoleh
laba dan tidak menderita rugi (Penghasilan = Total Biaya)”.
Suatu usaha dikatakan impas jika jumlah pendapatan (revenues) sama
dengan jumlah biaya, atau apabila laba kontribusi hanya dapat digunakan untuk
menutup biaya tetap saja. Menurut Sadeli (2001:55) mengungkapkan bahwa : “Titik kembali pokok adalah tingkat operasi yang perlu bagi perusahaan agar tidak menghasilkan suatu kerugian neto atau pendapatan neto, titik operasi yang total biayanya sama dengan total pendapatan dapat dinyatakan dalam unit atau rupiah”. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa Break Even Point adalah suatu keadaan dimana jika seluruh pendapatan yang diperoleh perusahaan dijumlahkan, maka jumlah tersebut akan sama besarnya dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan. Dapat dilihat bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan perhitungan Break Even Point adalah harus terdapat biaya, yang dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Dimana pemisahan antara kedua biaya ini harus dilakukan secara cermat dan benar sehingga hasil perhitungan Break Even Point nantinya akan lebih akurat. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa metode penentuan harga pokok produksi yang digunakan dalam analisis Break Even Point adalah metode penentuan harga pokok produksi dengan pendekatan Variable Costing.
25
2.3.2
Asumsi Dasar Dalam Analisis Break Even Point Untuk mengalinisis Break Even Point terdapat beberapa anggapan dasar
atau asumsi yang harus dipenuhi. Mulyadi (2001:260-261) menyatakan secara
rinci asumsi yang mendasari analisis Break Even Point yaitu :
1.
Variabilitas biaya dianggap akan mendekati pola perilaku yang
2.
diramalkan. Harga jual produk dianggap tidak berubah-ubah pada berbagai tingkatan kegiatan.
3.
Kapasitas produksi pabrik dianggap secara relatif konstan. Penambahan fasilitas produksi akan berakibat pada penambahan biaya tetap.
4.
Harga faktor-faktor produksi dianggap tidak berubah.
5.
Efisiensi produksi dianggap tidak berubah.
6.
Perubahan jumlah sediaan awal dan akhir dianggap tidak signifikan.
7.
Komposisi produk yang akan dijual dianggap tidak berubah. Dengan adanya anggapan-anggapan tersebut, maka dalam grafik Break
Even Point garis-garis jumlah penjualan, jumlah biaya (baik biaya tetap maupun biaya variabel), semua nampak lurus karena semua perubahan dianggap sebanding dengan volume penjualan. 2.3.3 Kegunaan Break Even Point Analisis break even point juga dapat digunakan oleh pihak menejemen perusahaan dalam berbagai pengambilan keputusan, antara lain mengenai : 1.
Jumlah minimal produk yang harus terjual agar perusahaan tidak mengalami kerugian.
26
2.
Jumlah penjualan yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak
3.
Besarnya penyimpanan penjualan berupa penurunan volume yang terjual agar perusahaan tidak menderita kerugian.
mengalami kerugian.
4.
Untuk mengetahui efek perubahan harga jual, biaya maupun volume
penjualan terhadap laba yang diperoleh.
Menurut Munawir (2004:185) kita dapat menggunakan analisis break even
point untuk mengetahui : 1.
Hubungan antara penjualan biaya dan laba.
2.
Untuk mengetahui struktur biaya tetap dan biaya variabel.
3.
Untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menekan biaya dan batas dimana perusahaan tidak mengalami laba dan rugi.
4.
Untuk mengetahui hubungan antara cost, volume, harga dan laba. Analisais break even point memberikan penerapan yang luas untuk
menguji tindakan-tindakan yang diusulkan dalam mempertimbangkan alternatifalternatif atau tujuan pengambilan keputusan yang lain. Analisa break even point tidak hanya semata-mata untuk mengetahui keadaan perusahaan yang break even saja, akan tetapi analisa break even point mampu memeberikan informasi kepada pimpinan perusahaan mengenai berbagai tingkat volume penjualan, serta hubungan dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan yang bersangkutan. 2.3.4 Metode Perhitungan Break Even Point Untuk melakukan perhitungan Break Even Point maka dapat digunakan
27
dua metode perhitungan, yaitu perhitungan Break Even Point dengan pendekatan matematis dan perhitungan Break Even Point dengan pendekatan grafis.
2.3.4.1 Perhitungan Break Even Point Dengan Pendekatan Matematis
Analisis Break Even Point dengan pendekatan matematis dilakukan
berdasarkan pendapatan penjualan sama dengan jumlah biaya ditambah laba sama dengan pendapatan penjualan dikurangi dengan jumlah biaya. Untuk bersih jelasnya maka dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut: lebih
Pendapatan Penjualan = Biaya Variabel + Biaya Tetap + Laba Bersih Atau
Laba Bersih = Pendapatan Penjualan – Biaya Variabel – Biaya Tetap
Dalam Menghitung tingkat Break Even Point dengan pendekatan matematis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1.
Atas Dasar Unit Perhitungan Break Even Point atas dasar unit dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus menurut Mulyadi (2001:234) Sebagai berikut:
Impas (unit) =
Biaya Tetap Harga Jual perunit - Biaya Variabel perunit
Selisih dari penjualan dengan biaya variabel akan menghasilkan sisa atau margin yang tersedia untuk mencukupi biaya tetap dan laba sehingga setiap satuan produk akan memberikan sumbangan yang sama besar untuk menutup biaya tetap
28
dan laba tersebut. Karena dalam keadaan Break Even Point laba sama dengan nol. Sebagaimana dijelaskan oleh Munawir (2004:186) mengenai Break Even Point
2.
“Dalam keadaan Break Even Point labanya adalah nol, maka dengan membagi jumlah biaya tetap dengan margin persatuan barang akan diperoleh jumlah satuan barang yang harus dijual sehingga perusahaan tidak menderita rugi maupun memperoleh laba”. Atas Dasar Rupiah
Perhitungan Break Even Point atas dasar rupiah dapat dilakukan
menggunakan rumus Mulyadi (2001:235) sebagai berikut:
Impas (Rp) = 1-
Biaya Tetap Biaya Variabel Pendapatan penjualan
Atau Impas (Rp) = 1-
Biaya Tetap Biaya Variabel perunit Harga Jual Perunit
2.3.4.2 Perhitungan Break Even Point Dengan Pendekatan Grafis Analisis Break Even Point dengan pendekatan grafis digambarkan dengan suatu grafik yang disebut bagan impas (Break Even Point). Perhitungan Break Even Point dapat dilakukan dengan menentukan titik pertemuan atau titik potong antara garis pendapatan penjualan dengan biaya. Titik pertemuan tersebut merupakan titik impas. Munawir (2004:190) menjelaskan mengenai break even pendekatan grafis “Dalam penentuan titik break even dapat pula dilakukan dengan grafik atau bagan , dengan grafik break even, manajemen akan dapat mengetahui
29
hubungan antara biaya, penjualan (volume penjualan), dan laba”.
Untuk menentukan titik impas, harus dibuat grafik dengan sumbu datar
(horizontal) yang menunjukan volume penjualan, sedangkan sumbu tegak
(vertikal) menunjukan biaya dan pendapatan. Dengan melihat grafik Break Even
Point dapat diketahui titik Break Even terjadi pada suatu titik dimana terjadi perpotongan antara garis penjualan dengan garis jumlah biaya (biaya variabel + tetap), sehingga apabila tingkat penjualan terjadi pada Break Even Point biaya
perusahaan tidak menderita laba juga tidak memperoleh keuntungan, apabila titik tingkat penjualan perusahaan berada diseblah kiri dari titik Break Even perusahaan dikatakan menderita kerugian, dan apabila tingkat penjualan perusahaan berada pada titik di sebelah kanan titik Break Even berarti perusahaan mendapatkan keuntungan. Untuk lebih jelasnya, maka dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
Pendapatan & Biaya (rupiah) Garis Pendapatan Penjualan Daerah Laba Titik Impas
Garis total biaya
Garis Biaya Tetap
Daerah Rugi
Garis biaya variabel
0
Volume Penjualan (unit)
Gambar 2.1 Grafik Break Even Point Pendekatan Grafis
30
Keterangan : 1.
2.
Sumbuh datar (X) menunjukan volume penjualan yang dapat dinyatakan dalam satuan kuantitas atau rupiah pendapatan penjualan. Sumbu tegak (Y) menunjukan pendapatan penjualan dan biaya dala rupiah.
3.
Pembuatan garis penjualan dilakukan dengan cara sebagai berikut: b.
Pada volume penjualan sama dengan nol dan pendapatan sama dengan nol.
c.
Garis lurus kemudian ditarik untuk mengubungkan titik x = 0 dan y = 0.
4.
Pembuatan garis tetap dilakukan sebagai berikut : karena biaya tetap pada volume penjualan berapapun tidak mengalami perubahan dalam kapasitas tertentu.
5.
Impas adalah terletak pada titik potong garis pendapatan penjualan dengan garis biaya.
6.
Daerah sebelah kiri titik impas, yaitu bidang di antara garis total biaya dengan garis pendapatan penjualan merupakan daerah rugi, karena pendapatan penjualan lebih rendah dari total biaya, sedangkan daerah sebelah kanan titik impas, yaitu bidang diantara pendapatan penjualan dengan garis total biaya merupakan daerah laba, karena pendapatan penjualan lebih tinggi dari total biaya.
31
2.4
Titik Impas Multiproduk
Tidak semua perusahaan dalam kegiatan produksinya hanya memproduksi
satu jenis produk saja. Bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu jenis produk
maka dalam menghitung titik impasnya harus terlebih dahulu dihitung bauran penjualannya. Garrison (2005:346) menyatakan bahwa
“Bauran penjualan (sales mix) mengacu pada proporsi relatif dimana produk perusahaan dijual. Laba akan bergantung pada bauran penjualan, laba akan lebih besar jika barang dengan margin tinggi bukan yang bermargin rendah memiliki proporsi yang relatif besar dalam total penjualan“. Menurut Hansen (2000:222) “Bauran penjualan dapat diukur dalam unit yang terjual atau bagian dari pendapatan. Selain itu, bauran penjualan juga dapat dinyatakan dalam persentase dari total pendapatan yang dikontribusikan oleh masing-masing produk”. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan maka penulis cenderung kepada
pendapat Garrison bahwa bauran penjualan (sales mix) mengacu pada proporsi relatif dimana produk perusahaan dijual dan pendapat Hansen bahwa bauran penjualan dapat dinyatakan dalam persentase dari total pendapatan yang dikontribusikan oleh masing-masing produk. Laba akan bergantung pada bauran penjualan, laba akan lebih besar jika barang dengan margin tinggi memiliki proporsi yang relatif besar dalam total penjualan dan barang dengan margin rendah memiliki proporsi yang relatif rendah dalam total penjualan. Berikut rumus perhitungannya (Kamaruddin, 2009:60)
BEP (Unit) =
32
2.5
Perencanaan Laba
Hansen dan Mowen (2004:354) menjelaskan bahwa “Perencanaan adalah
pandangan ke depan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan agar
dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu”. Berdasarkan definisi diatas, peranan perencanaan dalam sebuah perusahaan sangatlah penting. Perencanaan laba
merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam manajemen perusahaan.
2.5.1 Pengertian Perencanaan Laba Carter dan Usry (2005:4) menyatakan bahwa: “Perencanaan laba (Profit Planning) adalah pengembangan dari suatu rencana operasi guna mencapai cita-cita dan tujuan perusahaan. Laba adalah penting dalam perencanaan karena tujuan utama dari suatu rencana adalah laba yang memuaskan”. Berdasarkan teori diatas dapat diketahui bahwa perencanaan laba adalah pengembangan dari suatu rencana kerja untuk mencapai tujuan perusahaan dalam perolehan laba yang diharapkan. 2.5.2
Keuntungan Perencanaan Laba Carter dan Usry (2005:6-7) menyatakan bahwa: “Perencanaan laba memiliki manfaat dan keuntungan sebagai berikut: 1. Menyediakan suatu pendekatan yang disiplin atas identifikasi dan penyelesaian masalah. 2. Menyediakan pengarahan ke semua tingkatan manajemen. 3. Meningkatkan koordinasi 4. Menyediakan suatu cara untuk memperoleh ide dan kerja sama dari semua tingkatan manajemen.” Manajemen memerlukan alat dalam membuat perencanaan laba itu sendiri
agar tujuan pencapaian laba yang telah ditargetkan dapat dioptimalkan. Seperti dinyatakan oleh Munawir (2004:184) bahwa:
33
“Untuk dapat mencapai laba yang besar (dalam perencanaan maupun realisasinya) manajemen dapat melakukan berbagai langkah, misalnya: 1. Menekan biaya produksi maupun biaya operasi serendah mungkin dengan mempertahankan tingkat harga jual dan volume penjualan yang ada. 2. Menentukan harga jual sedemikian rupa sesuai dengan laba yang dikehendaki. 3. Meningkatkan volume penjualan sebesar mungkin”. Berdasarkan uraian tersebut, maka perencanaan laba memberikan manfaat
bagi perusahaan diantaranya meningkatkan koordinasi, pendekatan yang disiplin
atas identifikasi pemecahan masalah, alat manajemen untuk menetapkan keputusan dan langkah-langkah yang tepat untuk dapat meningkatkan laba perusahaan.
2.6
Laba Kontribusi Mulyadi (2001:230) dalam buku Akuntansi Manajemen menyatakan
bahwa “Laba kontribusi merupakan kelebihan pendapatan penjualan diatas biaya variabel”. Laba kontribusi dikenal juga dengan istilah Margin Kontribusi. Garrison dan Noreen (2006:324) menjelaskan “Margin kontribusi adalah jumlah yang tersisa dari pendapatan dikurangi beban variabel “. Dalam buku Akuntansi Biaya, Horngren (2008:72) menjelaskan bahwa “Margin kontribusi adalah selisih antara pendapatan total dan biaya variabel”. Contributon Margin = Pendapatan Penjualan – Biaya Variabel (Mulyadi, 2001:235) Maka dapat disimpulkan bahwa laba kontribusi atau margin kontribusi adalah jumlah pendapatan penjualan setelah dikurangi biaya variabel dari produk
34
tersebut. Margin kontribusi sebagai persentase penjualan disebut rasio margin kontribusi. Dihitung dengan cara
(Garrison, 2006:254)
2.7
Margin Of Safety Analisis Break Even Point akan menghasilkan informasi mengenai tingkat
penjualan minimum agar perusahaan tidak menderita kerugian. Apabila hasil penjualan pada Break Even Point tersebut dihubungkan dengan penjualan yang dianggarkan oleh perusahaan, maka akan diperoleh informasi mengenai seberapa jauh volume penjualan yang direncanakan boleh turun dan tetap aman bagi perusahaan agar tidak menderita rugi. Hubungan atau selisih antara penjualan yang ditargetkan atau tingkat penjualan tertentu dengan penjualan pada tingkat Break Even Point merupakan tingkat keamanan (Margin Of Safety) bagi perusahaan dalam melakukan penurunan penjualan. Garrison (2006:338) menyatakan bahwa “Margin keamanan adalah kelebihan dari penjualan yang dianggarkan (aktual) diatas titik impas volume penjualan”. Menurut Munawir (2004:199-200) bahwa margin of safety ini dapat dinyatakan dalam ratio (persentase) dengan rumus :
Margin Of Safey =
Penjualan Dianggarkan - BEP Penjualan
35
Atau dinyatakan dalam rasio dengan rumus :
Margin Of Safey =
Penjualan per Budget - Penjualan per BEP Penjualan per BEP
X 100%
Suatu perusahaan yang mempunyai margin of safety yang besar tentunya
akan lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai margin of
safety rendah, karena memberikan gambaran kepada manajemen berapa penurunan
penjualan yang dapat ditolelir sehingga perusahaan tidak menderita rugi tetapi juga belum memperoleh laba. 2.8
Degree Of Operating (DOL) Hansen dan Mowen dalam buku Akuntansi Manajemen
(2004:568)
menyatakan bahwa “Tingkat Operating Leverage (Degree of Operating Leverage) adalah suatu ukuran sensitivitas perubahan laba terhadap perubahan dalam volume penjualan”. Tingkat leverage operasi –TLO (Degree of Operating Leverage-DOL) adalah rasio persentase perubahan laba sebelum bunga dan pajak (laba operasi atau laba usaha) terhadap persentase perubahan penjualan (Nafarin, 2008:597). Dapat disimpulkan bahwa Degree of Operating Leverage (DOL) adalah ukuran yang menggambarkan dampak perubahan pendapatan penjualan terhadap laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Degree of Operating Leverage dapat dhitung dengan rumus:
(Mulyadi, 2001:258)
36
2.9
Analisis Perubahan Break Even Point Akibat Perubahan Beberapa
Faktor Karena perusahaan beroperasi di dunia usaha yang dinamis maka
manajemen harus memperhatikan dan memperhitungkan adanya faktor yang mempengaruhi kegiatan penjualan dan laba yang akan dicapai. Dalam analisis
break even point, faktor yang dapat berubah adalah biaya tetap, biaya variabel dan
harga jual. Menurut Munawir (2004:201) menyatakan bahwa: “Perubahan dalam satu factor atau lebih sangat penting bagi manajemen dalam proses penyusunan atau perencanaan budget karena hal ini akan memungkinkan diadakannya testing untuk menentukan akibat adanya perubahan barbagai faktor atau mempertimbangkan berbagai alternatif”. Dalam analisis break even point dapat dicari kombinasi dari biaya tetap, biaya variabel dan harga jual untuk mengetahui informasi dalam menetukan volume penjualan optimal yang memungkinkan menghasilkan laba yang optimal pula. Jika salah satu berubah, maka akan mempengaruhi posisi break even point dan laba perusahaan yang akan dicapai. 2.9.1 Pengaruh Perubahan Biaya Tetap Biaya tetap biasanya diartikan dalam hubungannya dengan bagaimana biaya total berubah, karena tercapainya kenaikan kuantitas dari suatu aktivitas tertentu. Biaya-biaya pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal yang dapat dikendalikan oleh perusahaan. Oleh karena itu untuk mendapatkan laba yang optimal salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan menekan biaya tetap serendah mungkin.
37
Karena biaya tetap yang berkurang, maka laba bersih akan meningkat.
Sehingga makin rendah biaya tetap yang dipergunakan maka titik impas akan
makin cepat tercapai sehingga perolehan laba akan semakin optimal. Dalam hal
peningkatan biaya tetap akan menyebabkan titik impas makin lama tercapai dan
perolehan laba bersih akan menurun.
Adapun formula yang digunakan untuk menghitung perubahan tingkat
even point apabila terjadi perubahan biaya tetap, yaitu sebagai berikut: break
Impas (Rp) =
Biaya Tetap x % perubahan Biaya Variabel 1Pendapatan penjualan (Munawir, 2004:201)
2.9.2 Pengaruh Perubahan Biaya Variabel Pengaruh biaya variabel hampir sama dengan biaya tetap, yaitu makin rendah biaya variabel yang digunakan per satuan produk maka titik impas akan makin cepat tercapai dan perolehan laba makin optimal. Dalam hal ini peningkatan biaya variabel akan menyebabkan laba kontribusi menurun, sehingga perolehan laba akan menurun. Adapun formula yang dapat digunakan untuk menghitung perubahan tingkat break even point akibat terjadinya perubahan biaya variabel, yaitu sebagai berikut: Impas (Rp) = 1-
Biaya Tetap Biaya Variabel x % perubahan Pendapatan penjualan (Munawir, 2004:201)
38
2.9.3 Pengaruh Perubahan Harga Jual
Pengaruh harga jual berbeda dengan pengaruh biaya variabel dan biaya
tetap, karena makin meningkat harga jual maka titik impas akan meningkat dan
perolehan laba makin optimal. Dalam hal ini peningkatan harga jual akan
menyebabkan pendapatan meningkat, sehingga perolehan laba akan meningkat Tetapi yang perlu dipertimbangkan oleh manajemen adalah apabila akan pula. meningkatkan harga jual maka harus mempertimbangkan pula akan terjadi
penurunan volume penjualan dikarenakan harga jual barang yang meningkat.
2.10
Analisis Break Even Point Sebagai Alat Bantu Manajemen Untuk Menentukan Laba yang Optimal Fungsi manajemen sebagai perencana didalam perusahaan merupakan hal
yang paling penting untuk menjaga kelangsungan usaha perusahaan. Dengan perencanaan yang baik, suatu perusahaan dapat berkembang. Analisis titik impas dapat membantu manajemen perusahaan dalam membuat perencanaan laba jangka pendek. Dengan analisis Break Even Point manajemen memperoleh kemudahan dalam menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan perencanaan laba jangka pendek seperti volume produksi yang dijual, harga jual dan biaya serta memberikan informasi mengenai berbagai tingkat volume penjualan serta hubungannya dengan kemungkinan memperoleh laba menurut tingkat penjualan. Oleh karena itu, untuk perencanaan laba dengan menggunakan analisis Break Even Point dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
39
Impas (Rp) =
Biaya Tetap + Laba yang Diinginkan Biaya Variabel 1Penjualan
Sedangkan Break Even Point dalam unit untuk perencanaan laba dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Impas (unit) =
Biaya Tetap + Laba yang Diinginkan Harga Jual perunit - Biaya Variabel perunit
(Mulyadi ,2001:236)