BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status gizi 2.1.1 Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin serta dibagi menjadi gizi baik, gizi buruk, gizi kurang dan gizi lebih (Almatsier, 2004). Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 2005). Status gizi merupakan suatu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang merupakan refleksi dari mutu makanan yang dimakan sehari-hari (Supariasa, et al, 2001). 2.1.2 Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Berikut adalah cara penilaian status gizi (Supariasa, et al, 2001) : 1. Penilaian Status Gizi Secara Langsung Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. a. Antropometri Secara umum, antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
7
8
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara
umum
digunakan
untuk
melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. b. Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan atau kelebihan zat gizi. Disamping itu, metode ini juga digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. c. Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis
9
yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik. d. Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja endemik. Cara yang digunakan yaitu tes adaptasi gelap. 2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung enilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga, yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut : a. Survei Konsumsi Makanan Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat gizi. b. Statistik Vital Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung dalam pengukuran status gizi masyarakat.
10
c. Faktor Ekologi Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, dan lainlain (Bengoa dalam Supariasa, et al, 2001). Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi (Schrimshaw dalam Supariasa, et al, 2001). 2.1.3 Penilaian Status Gizi Balita Status gizi balita dinilai berdasarkan parameter antropometri yang terdiri dari berat badan dan panjang/tinggi badan. Untuk menilai status gizi balita digunakan Standar Antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau yang disebut dengan ‘Standar WHO 2005’. Dalam MDGs, indikator status gizi yang dipakai adalah BB/U dan angka prevalensi status underweight (gizi kurang dan buruk atau disingkat ‘Burkur’) dijadikan dasar untuk menilai pencapaian MDGs (Riskesdas, 2010). Indeks antropometri yang sering digunakan untuk mengukur status gizi balita ada tiga jenis (Supariasa, et al, 2001), antara lain : 1. Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter tubuh yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
11
kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan
umur.
Sebaliknya
dalam
keadaan
abnormal,
terdapat
2
kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi balita saat ini. BB/U dibedakan menjadi beberapa katagori (Alhudawi, 2010) yaitu : Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/U Status Gizi Standar Baku Gizi lebih > 2 SD Gizi baik ≥- 2SD sampai ≤ 2 SD Gizi Kurang < - 2 SD sampai ≥ - 3SD Gizi Buruk < - 3 SD
2. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tinggi badan menurut antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam kurun waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik tersebut diatas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi (Beaton dan Bengoa dalam Supariasa, et al, 2001). TB/U dibagi menjadi beberapa katagori (Depkes RI, 2004), yaitu :
12
Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks TB/U Status Gizi Standar Baku Sangat Pendek < -3 SD Pendek - 3 SD s/d <-2 SD Normal - 2 SD s/d 2 SD Tinggi > 2 SD
3. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks ini merupakan indeks yang independen terhadap umur serta digunakan untuk mengidentifikasi status gizi saat ini. Indeks BB/TB dibagi menjadi beberapa katagori (Depkes RI, 2004), antara lain : Tabel 2.3 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks BB/TB Status Gizi Standar Baku Sangat Kurus < -3 SD Kurus - 3 SD s/d <-2 SD Normal - 2 SD s/d 2 SD Gemuk > 2 SD
Metode yang paling sering digunakan dan mudah untuk dilakukan yaitu penilaian antropometri berdasarkan BB/U, yang merupakan cara yang cukup efisien (Supariasa, et al, 2001). 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita (Alhudawi, 2010), antara lain : 1. Ketersediaan Pangan di Tingkat Keluarga Status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan ditingkat keluarga. Hal ini sangat tergantung dari cukup atau tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota keluarga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Jika tidak
13
cukup bisa dipastikan konsumsi setiap anggota keluarga tidak terpenuhi. Padahal makanan untuk anak harus mengandung kualitas dan kuantitas yang cukup untuk menghasilkan kesehatan yang baik. 2. Pola Asuh Keluarga Pola asuh keluarga yaitu pola pendidikan yang diberikan pada anakanaknya. Setiap anak membutuhkan cinta, perhatian, kasih sayang yang akan berdampak terhadap perkembangan fisik, mental dan emosional. Pola asuh terhadap anak berpengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Perhatian cukup dan pola asuh yang tepat akan memberi pengaruh yang besar dalam memperbaiki status gizi. Anak yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik maupun emosional misalnya selalu mendapat senyuman, mendapat respon ketika berceloteh, mendapatkkan ASI dan makanan yang seimbang maka keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapatkan perhatian orang tuanya. 3. Kesehatan Lingkungan Masalah
gizi
timbul
tidak
hanya
karena
dipengaruhi
oleh
ketidakseimbangan asupan makanan, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Masalah kesehatan lingkungan merupakam determinan penting dalam bidang kesehatan. Kesehatan lingkungan yang baik seperti penyediaan air bersih serta perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko kejadian penyakit infeksi. Sebaliknya, lingkungan yang buruk seperti air minum tidak bersih, tidak ada saluran penampung air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik dapat menyebabkan penyebaran penyakit. Infeksi dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan sehingga menyebabkan asupan makanan menjadi rendah dan akhirnya menyebabkan kurang gizi.
14
4. Pelayanan Kesehatan Dasar Pemantauan pertumbuhan yang diikuti dengan tindak lanjut berupa konseling, terutama oleh petugas kesehatan berpengaruh pada pertumbuhan anak. Pemanfaatan fasilitas kesehatan seperti penimbangan balita, pemberian suplemen vitamin A, penanganan diare dengan oralit serta imunisasi. 5. Budaya Keluarga Budaya berperan dalam status gizi masyarakat karena ada beberapa kepercayaan seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh tubuh. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan masyarakat yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Misalnya terdapat budaya memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan yaitu umumnya kepala keluarga. Apabila keadaan tersebut berlangsung lama, dapat berakibat timbulnya masalah gizi kurang terutama pada golongan rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi, dan anak balita. 6. Sosial Ekonomi Banyaknya anak balita yang kurang gizi dan gizi buruk disebabkan ketidaktahuan orang tua akan pentingnya gizi seimbang bagi anak balita yang pada umunya disebabkan pendidikan orang tua yang rendah serta faktor kemiskinan. Kurangnya asupan gizi disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial ekonomi yaitu kemiskinan.
15
2.1.5 Dampak dan Penanggulangan Malnutrisi Malnutrisi dapat terjadi oleh karena kelebihan gizi (overnutrition) maupun kekurangan gizi (undernutrition). Keduanya disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh dan asupan zat gizi (komposisi hidangan). Pada malnutrisi, susunan hidangan juga bisa seimbang, akan tetapi jumlah keseluruhan yang dikonsumsi dapat melebihi ataupun tidak mencukupi apa yang diperlukan oleh tubuh. Malnutrisi ini sering terjadi pada anak balita karena sedang mengalami masa pertumbuhan yang pesat (Wardlaw & Smith, 2009 ; Sediaoetama, 2008). Gizi lebih pada balita akan berlanjut sampai remaja dan dewasa apabila tidak diatasi. Hal ini akan berdampak pada tingginya kejadian penyakit infeksi. Pada orang dewasa tampak dengan semakin meningkatnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit hati. Penanggulannya adalah dengan menyeimbangkan masukan dan keluaran energi melalui pengurangan dan penambahan latihan fisik atau olah raga (Almatsier, 2004). Gizi kurang pada anak balita akan mengakibatkan pertumbuhan fisik terhambat (anak akan mempunyai tinggi badan lebih pendek), perkembangan mental dan kecerdasan terhambat, serta daya tahan anak menurun sehingga mudah terserang penyakit infeksi. Penanggulangannya adalah perlu dilakukan secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan (Almatsier, 2004). Status gizi kurang yang tidak segera ditanggulangi dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk pada anak balita. Gizi buruk dapat mempengaruhi organ dan sistem organ yang akan merusak sistem pertahan tubuh terhadap mikroorganisme
16
maupun pertahanan mekanik. Dampak selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan mental serta penurunan skor IQ. Penurunan fungsi otak berpengaruh terhadap kemampuan belajar, kemampuan otak bereaksi terhadap rangsangan dari lingkungannya dan perubahan kepribadian anak. Penanggulangan masalah gizi buruk antara lain upaya pemenuhan persediaan pangan nasional, Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK), peningkatan upaya pelayanan gizi terpadu dan sistem rujukan yang dimulai dari tingkat posyandu hingga puskesmas dan rumah sakit. Intervensi langsung pada sasaran melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT), distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, tablet dan sirup besi serta tablet iodium (Almatsier, 2004).
2.2 Keaktifan Keluarga dalam Program Posyandu 2.2.1
Konsep Keluarga
1. Definisi Keluarga Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, setiap individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman dalam Alhudawi, 2010). Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi, yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga (Duvan dan Logan, dalam Alhudawi, 2010) Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Keluarga terdiri dari pasangan dewasa (suami dan istri) dan anak-anak mereka, yang memiliki interaksi dengan kerabat dari salah satu atau
17
kedua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik dari dasar garis keturunan diatas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi paman, bibi, keluarga kakek tatupun keluarga nenek (Wikipedia, 2011). Dari ketiga definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keluarga adalah unit terkecil masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih, adanya ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga, di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi diantara sesama anggota keluarga, setiap anggota keluarga mempunyai peran masingmasing,dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. 2. Tipe atau Bentuk Keluarga Berikut ini adalah tipe atau bentuk keluarga (Carter dalam Alhudawi, 2010) : a. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. b. Keluarga besar (extended family) adalah keluarga inti ditambah sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara, sepupu, paman, bibi, dan sebagainya. c. Keluarga berantai (serial family) adalah keluarga yang terdiri dari wanita dan wanita yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti. d. Keluarga duda dan janda (single family) adalah keluarga yang terjadi yang terjadi karena perceraian atau kematian. e. Keluarga
berkomposisi
(composite
family)
adalah
keluarga
yang
perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama. f. Keluarga kabitas (cahabitation) adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.
18
Keluarga Indonesia, pada umumnya menganut tipe keluarga besar (extended family) karena masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa suku hidup dalam suatu komuniti dengan adat istiadat yang sangat kuat. 3. Peran Keluarga Ayah sebagai suami dari istri, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannnya. Ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta menjadi anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritualnya (Effendy dalam Alhudawi, 2010). 4.
Fungsi Keluarga Adapun fungsi dari keluarga (Friedman dalam Alhudawi, 2010), antara lain : a. Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang paling utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. b. Fungsi sosialisasi adalah fungsi mengembangkan dan tempat untuk melatih anak untk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan rang lain.
19
c. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. d. Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan. e. Fungsi perawatan kesehatan adalah fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. f. Fungsi agama adalah keluarga adalah tempat tentang agama dan mengamalkan ajaran keagamaan. g. Fungsi cinta kasih adalah menumbuhkembangkan potensi kasih sayang antar anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus menerus. 2.2.2 Keaktifan Keluarga Keaktifan berasal dari kata aktif yang memiliki arti gigih, giat, dinamis dan bertenaga yang mempunyai kecenderungan menyebar atau berkembang. Keaktifan merupakan sesuatu yang bisa dilihat dari keteraturan dan keterlibatan seseorang untuk aktif dalam kegiatan. Keaktifan keluarga sangat berperan dalam memelihara dan mempertahankan status gizi balita yang optimal. Keluarga merupakan sistem dasar dimana perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur, dilaksanakan, dan diamankan. Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama merawat anggota keluarga. Keluarga yang aktif mempunyai tanggung jawab utama untuk memulai dan mengkoordinasikan pelayanan yang diberikan oleh para professional perawatan kesehatan (Octaviani, et al, 2008).
20
2.2.3 Konsep Posyandu 1. Pengertian Posyandu Posyandu adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2006). Posyandu diasumsikan sebagai salah satu pendekatan yang tepat untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan balita serta dapat meningkatkan status gizi balita (Adisasmito, 2007). Posyandu sudah dicanangkan sejak tahun 1986, tetapi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1977 kegiatan posyandu mengalami penurunan.
Untuk
meningkatkan
kegiatan
posyandu
kembali,
maka
diterbitkanlah Surat Edaran Menteri dalam Negeri No. 411.3/536/SJ tanggal 3 Maret 1999 tentang revitalisasi posyandu. Untuk pelaksanaannya, surat edaran itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. 411.3/1116/SJ tanggal 13 Juni 2001 tentang Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu. Revitalisasi tersebut lebih menitikberatkan pada strategi pendekatan kesehatan yang bersumber pada masyarakat dengan akses modal sosial budaya masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai gotong royong menuju kemandirian masyarakat (Ismawati, 2007) Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan, Rukun Warga (RW), dan sebagainya yang disebut dengan Pos
21
pelayanan
terpadu
(Posyandu).
Selanjutnya
dalam
pengembangannya
Posyandu dapat dibina menjadi suatu forum komunikasi dan pelayanan di masyarakat, antara sektor yang memadukan kegiatan pembangunan sektoralnya dengan kegiatan masyarakat, untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalahnya melalui alih teknologi (Wikipedia, 2011). 2.
Pola Penyelenggaraan Posyandu Pola penyelenggaraan kegiatan posyandu dilaksanakan dengan pola lima meja yaitu: a. Meja I : Pendaftaran b. Meja II : Penimbangan bayi dan anak balita c. Meja III : Pengisian KMS d. Meja IV : Penyuluhan perorangan terhadap ibu balita atau pengasuhnya, ibu hamil, dan ibu menyusui. e. Meja V : Pelayanan melalui tenaga profesional, meliputi KIA, KB, imunisasi, pengobatan atau pelayanan lain sesuai dengan kebutuhan setempat.
3. Kegiatan Posyandu Kegiatan posyandu dilaksanakan dan dikelola oleh masyarakat dengan dukungan yang serasi dari Departemen Kesehatan, BKKBN, Departemen Pertanian, Departemen Agama, dan Departemen Dalam Negeri. Dengan demikian, pada saatnya nanti diharapkan kemandirian masyarakat akan terbentuk dan membuat setiap keluarga serta individu dapat bersikap mandiri dalam menangani permasalahan kesehatan yang mereka temui. Sesuai dengan kondisi dari masyarkat setempat maka posyandu dapat terbentuk dari tingkat paling sederhana meliputi perpaduan antara dua kegiatan
22
yaitu gizi, KB atau imunisasi dan KIA. Posyandu dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan yang terbatas dari dua program yang paripurna meliputi kegiatan perpaduan antara lima kegiatan atau lebih dan didukung oleh pelayanan profesional yang serasi dari berbagai program dan sektor. Adapun kegiatan pokok posyandu yaitu Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, gizi dan penanggulangan diare. Sasaran posyandu adalah bayi atau balita, ibu hamil/ ibu menyusui, Wanita Usia Subur (WUS) dan Pasangan Usia Subur (PUS). Peserta posyandu mendapat pelayanan meliputi : KIA; KB; Pemberian oralit dan pengobatan; serta penyuluhan kesehatan lingkungan dan penyuluhan pribadi sesuai permasalahan dilaksanakan oleh kader PKK melalui meja IV dengan materi dasar dari KMS balita dan ibu hamil. Pada pelayanan KIA, terdapat program yang ditujukan bagi anak balita, yaitu penimbangan balita rutin perbulan seebagai pemantau kesehatan balita dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi balita gizi kurang atau buruk. SKDN (S: semua balita diwilayah kerja posyandu; K: semua balita yang memiliki KMS; D: balita yang ditimbang; N: balita yang naik berat badannya) merupakan gambaran dari keberhasilan posyandu (Widagdo, et al, 2009). 2.2.4 Perilaku 1. Teori Perilaku Perilaku
adalah
bentuk
respon
atau
reaksi
terhadap
stimulus
(rangsangan) dari luar organisme. Tetapi dalam memberikan respon, tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap orang berbeda-beda (Notoatmojo, 2007).
23
Perilaku merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman dan interaksi sosial khususnya yang menyangkut pengetahuan, sikap tentang kesehatan serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan (Gustina, 2008). Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo, S. (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain : a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang hal yang berkaitan dengan kesehatan. b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi
masyarakat.
Untuk
berperilaku
sehat,
masyarakat
memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin. c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk perugas kesehatan.
24
Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, berperilaku
sehat,
yang terkait dengan kesehatan. Untuk
masyarakat
kadang-kadang
bukan
hanya
perlu
pengetahuan, sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan contoh (acuan) dari para tokoh. Selain itu, undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat. 2. Perubahan atau Adopsi Perilaku Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Menurut Notoatmodjo, S. (2007), secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima perilaku dalam kehidupannya melalui 3 tahap, yaitu : a. Pengetahuan (Knowledge) Notoatmodjo, S. (2007) menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui dapat disesuaikan dengan tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation) b. Sikap (Attitude) Dalam buku Notoatmodjo, S. (2007), dikatakans sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mempunyai tiga komponen pokok antara lain
25
kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek ; kehidupan emosional atau evaluasi terhadap subjek ; serta kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen tersebut membentuk sikap yang utuh. Sepeti halnya pengetahuan, sikap juga memiliki berbagai tingkatan yaitu menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), dan bertanggung jawab (responsible). c. Praktik atau Tindakan (Practice) Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam ssuatu tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Praktik atau tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu persepsi (perception), respon terpimpin (guided response), mekanisme (mecanism), dan adopsi (adoption). Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).
2.3 ASI Eksklusif 2.3.1 Pengertian ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan nutrisi yang terbaik dan terpenting untuk mencapai kesehatan bayi yang optimal, dan tidak seorangpun bisa menciptakan makanan atau minuman yang komposisinya seperti ASI. Pemberian ASI segera setelah lahir adalah cara terbaik dalam memberikan makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Menyusui bukanlah hanya sekedar memberikan makanan, ASI
26
juga mempunyai pengaruh yang baik dalam kesehatan anak, tidak hanya terhadap pertumbuhan fisik, tetapi juga terhadap perkembangan jiwa anak, serta memberikan keuntungan bagi kesehatan ibu (Suhardjo dalam Gustina, 2008). ASI adalah anugerah Tuhan yang unik dan tidak dapat digantikan oleh susu manapun. Komposisi ASI yang sangat ideal, mampu memenuhi kebutuhan bayi. ASI mampu meningkatkan keakraban antara ibu dan anak. Oleh sebab itu, setiap bayi berhak memperoleh ASI (Wahyuni, 2006). ASI sebagai makanan alamiah adalah makan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang dilahirkannya. ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan bayi dan diproduksi khusus oleh tubuh ibu untuk bayinya. ASI mengandung zat kekebalan terhadap penyakit yang akan melindungi bayi terhadap berbagai penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dan alergi. Zat kekebalan tersebut sebagian besar diberikan melalui ASI yang keluar pada hari pertama sampai ketujuh yang disebut kolostrum. Kolostrum berwarna kekuningan dan lebih kental, bukan putih seperti susu sehingga di beberapa daerah ada kebiasaan susu awal ini dibuang karena terlihat agak kotor. Padahal, kolostrum merupakan imunisasi alamiah pertama sejak bayi dilahirkan. Oleh karena itu, ASI awal jangan dibuang dan berikanlah kepada bayi. Memberi ASI akan menjamin bayi tetap sehat dan bayi memulai kehidupannya dengan cara yang paling sehat (Arifin, 2004). ASI eksklusif adalah Pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai berumur 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman lain, kecuali obat, vitamin dan mineral (Dinkes Provinsi Bali, 2008). Beberapa tahun terakhir, ada perkembangan baru dalam hal menetapkan lama menyusui secara eksklusif. Berdasarkan berbagai penelitian yang dilakukan di negara berkembang, diyakini
27
bahwa 6 bulan adalah waktu yang paling ideal untuk memberikan ASI saja pada bayi. Hingga berumur 6 bulan, bayi belum membutuhkan sumber pangan lain selain ASI. Di Indonesia, penegasan pemberian ASI eksklusif sampai berumur 6 bulan, dimulai sejak dikeluarkannya Kep.Menkes RI No.450 Tahun 2004, tentang perpanjangan waktu pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan (Widiana, 2010). 2.3.3 Manfaat ASI Eksklusif ASI tentu memberikan manfaat bagi bayi dan juga ibunya. Berikut adalah manfaat dari pemberian ASI eksklusif (Gustina, 2008), antara lain: 1. Bagi bayi, ASI mengandung zat-zat dan energi yang cukup mendukung proses pertumbuhan bayi. ASI mengandung zat protektif, sehingga dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit, hygienis, memberikan efek psikologis antara ibu dan bayi yang menimbulkan rasa aman, senang dan memacu nafsu makan dan minumnya. 2. Bagi ibu, menyusui bayi adalah pekerjaan yang sangat mudah, praktis serta tidak banyak biaya (ekonomis), menunda masa subur, dan mengurangi risiko terkena kanker payudara. 3. Bagi keluarga, ASI bernilai ekonomis, karena bayi yang mendapat ASI lebih jarang sakit sehingga hal ini mengurangi biaya berobat serta mempererat hubungan kasih sayang antara ibu dan bayi, membantu menjarangkan kehamilan. ASI juga dapat memberikan beberapa keuntungan, yaitu dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian anak; mengurangi subsidi biaya perawatan anak sakit; meningkatkan kualitas generasi penerus, karena anak yang mendapat ASI tumbuh kembang secara optimal; ASI mudah dicerna dan temperaturnya optimal; serta ASI dapat diberikan dimana dan kapan saja, tanpa memerlukan persiapan sebelumnya.