BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. UBI KAYU (SINGKONG) Singkong atau yang sering disebut dengan ketela pohon atau ubi kayu berasal dari keluarga Euphorbiaceae dengan nama latin Manihot esculenta. Singkong merupakan jenis tanaman perdu yang hidup sepanjang tahun. Singkong mudah ditanam dan dibudidayakan, dapat ditanam di lahan yang kurang subur, resiko gagal panen 5% dan tidak memiliki banyak hama [10]. Singkong dapat diolah menjadi berbagai bahan baku produk industri. Industri pengolahan singkong dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu hasil fermentasi singkong (tape), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung tapioka [8].
Gambar 2.1 Ubi Kayu (Singkong) [8] Menurut Retnowati dan Sutanti (2009), komposisi ubi kayu (singkong) per 100 gram bahan dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Komposisi Ubi Kayu (Singkong) (per 100 gram bahan) [11] Komponen Kalori Air Fosfor Karbohidrat Kalsium Vitamin C Protein Besi Lemak Vitamin B1 Berat dapat dimakan
Kadar 146,00 kal 63,00 gr 40,00 mg 34,70 gr 33,00 mg 30,00 mg 1, 20 gr 0,70 mg 0,30 gr 0,06 mg 75,00
5
2.2 INDUSTRI PEMBUATAN TAPIOKA Umumnya tapioka digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti dalam pembuatan puding, sup, makanan bayi dan es krim. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna putih alami pada industri pangan dan tekstil [12]. Adapun tahap pengolahan tepung tapioka ini adalah: 2.2.1 Pengupasan Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak. 2.2.2
Pencucian Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas
singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong. 2.2.3
Pemarutan Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu:
Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya. Parut semi mekanis, digerakkan dengan motor. 2.2.4
Pemerasan/Ekstraksi Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:
Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik). 2.2.5 Pengendapan Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.
6
2.2.6
Pengeringan Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara
menjemur tapioka dalam nampan yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 12 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19% [13]. Ini merupakan diagram alir proses pembuatan tapioka: Singkong
Proses pengupasan kulit Kulit Singkong Proses pencucian Tanah dan Kotoran Proses pemanasan
Proses pemerasan Onggok Proses pengendapan Limbah Cair Proses penjemuran
Proses pengayakan
Tepung Tapioka
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Tapioka [14] 2.3
Limbah Industri Tapioka Produksi tepung tapioka menghasilkan jumlah limbah organik yang tinggi.
Secara umum, ada dua sumber limbah yang muncul dari proses produksi tepung
7
tapioka, yaitu limbah padat dan cair [15]. Dari proses ini dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya [11]. Secara umum, pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan. Banyak jenis limbah dapat dimanfaatkan kembali melalui daur ulang atau dikonversikan ke produk lain yang berguna. Limbah yang dapat dikonversikan ke produk lain, misalnya limbah dari industri pangan. Limbah tersebut biasanya masih mengandung serat, karbohidrat, protein, lemak, asam organik dan mineral. Pada dasarnya limbah dapat mengalami perubahan secara biologis sehingga dapat dikonversikan ke produk lain.
2.3.1
Limbah Cair Industri Tapioka Industri pengolahan tepung tapioka menghasilkan limbah cair dari proses
pencucian, ekstraksi dan pengendapan [16]. Untuk 1 ton tepung tapioka yang diproduksi, akan dihasilkan limbah cair sebanyak 12 m3 [15]. Limbah ini masih mengandung mineral-mineral (nitrogen, karbon, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, besi, mangan, tembaga dan natrium) [7]. Jadi, bila limbah cair industri tapioka ini dibuang ke lingkungan tentu saja akan merusak lingkungan. Limbah cair industri tapioka dari proses ekstraksi dengan kadar COD 33.600-38.223 mg/L tercatat mengandung 425-1.850 mg/L glukosa dan 223.61429.725 mg/L gula yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa. Asam asetat juga teridentifikasi menjadi satu-satunya komponen asam lemak volatil dalam limbah cair tapioka hasil ekstraksi pati dengan kadar 9,5% total COD [17]. Adapun karakteristik limbah cair tapioka dapat dilihat dari Tabel 2.2
Karakteristik pH TSS COD BOD5 Total Nitrogen Total Fosfat CN-
Tabel 2.2 Karakteristik Limbah Cair Tapioka [17] Unit Pencucian Ubi Kayu Proses Ekstraksi Kombinasi 6,5-7,5 4,5-4,7 4,5-5,6 mg/L 550-700 4000-6600 4000-4300 mg/L 100-150 3870-6670 5631-6409 mg/L 40-60 3400-6018 4600-5200 mg/L 30-38 65-74 66-72 mg/L 1-1,4 5,6-6,3 5,8-6,4 mg/L 30-36 10
8
Kandungan nutrisi limbah cair tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kandungan Nutrisi Limbah Cair Tapioka [17] Nutrisi Kadar Tiap 100 gr Limbah Cair Tapioka Karbohidrat 25-37 g Serat 0,19 g Lemak 1,2 g Protein 0,91 g Tingginya kadar karbohidrat dalam limbah cair tapioka menunjukkan bahwa limbah ini bersifat mudah dibiodegradasi sehingga dapat dijadikan gas bio.
2.3.2 Limbah Padat Industri Tapioka Limbah padat industri tapioka (onggok) dapat dijadikan sebagai sumber karbon karena masih mengandung pati sebanyak 75% dari bobot kering yang tidak terekstrak. Limbah ini memiliki kandungan protein yang rendah dan serat yang tinggi. Onggok juga termasuk limbah organik yang banyak mengandung karbohidrat, protein dan gula seperti glukosa, arabinosa, xilosa, dekstran dan manosa. Senyawa organik tersebut dapat dijadikan sebagai substrat bakteri penghasil gas metan untuk proses fermentasi menjadi gas bio [18,19]. Adapun komposisi onggok (limbah padat industri tapioka) dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Komposisi Ampas Ubi Kayu/ Singkong (Onggok) [8] Komponen Persentase (%) Karbohidrat 68,00 Protein 1,57 Lemak 0,26 Serat kasar 10,00 Kadar air 20,00 Adapun pengolahan limbah cair untuk industri pangan skala kecil meliputi sistem lumpur aktif, sistem trickling filter, Rotating Biological Disk, kolam oksidasi dan septic tank. Akan tetapi, sebagian besar industri pengolahan tepung tapioka ini hanya melakukan pengolahan limbah tahap awal, yaitu netralisasi limbah, sedangkan limbah padatnya biasanya dijadikan pakan ternak dengan proses pengolahan lebih lanjut [20].
9
2.4
GAS BIO
2.4.1 Pengertian Gas Bio Gas bio merupakan salah satu jenis energi yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran ternak, jerami, dan yang lainnya. Gas bio dihasilkan melalui fermentasi anaerobik yang melibatkan mikroorganisme dalam mengubah (konversi) bahan-bahan organik menjadi gas hidrogen dan gas karbon dioksida yang kemudian lebih lanjut diubah menjadi gas metana dan air [21]. Secara umum, semua bahan organik dapat dijadikan bahan baku jika mengandung karbohidrat, protein, lemak, selulosa dan hemiselulosa sebagai komponen utama [22]. Proses penguraian bahan organik secara anaerob ini disebut sebagai pencernaan anaerob (anaerob digestion) dan peralatan yang memfasilitasi prosesnya disebut sebagai digester [23]. Pencernaan anaerobik adalah proses yang banyak digunakan di unit pengolahan limbah. Pengurangan massa dan produksi metana merupakan tujuan utama dari proses ini.
2.4.2 Prinsip Dasar Gas bio Prinsip pembuatan gas bio adalah adanya dekomposisi bahan organik secara anaerobik (tertutup dari udara bebas) untuk menghasilkan gas yang sebagian besar adalah berupa gas metan (yang memiliki sifat mudah terbakar) dan karbon dioksida. Gas inilah yang disebut gas bio. Proses dekomposisi anaerobik dibantu oleh sejumlah mikroorganisme, terutama bakteri metan. Suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55oC, dimana pada suhu tersebut mikroorganisme mampu merombak bahan-bahan organik secara optimal [24]. Hasil perombakan tersebut akan menghasilkan gas bio dengan komposisi seperti pada tabel 2.1. Tabel 2.5 Komposisi Gas Bio [23] Jenis Gas Jumlah (%) Metana (CH4) 50-75 Karbon Dioksida (CO2) 25-50 Nitrogen (N2) 0-10 Hidrogen (H2) 0-1 Hidrogen Sulfida (H2S) 0-3 Oksigen (O2) 0-2
10
Gas bio memiliki karakteristik yang berbeda jika komposisinya berbeda. Tabel 2.6 menunjukkan karakteristik gas bio untuk komposisi tertentu. Tabel 2.6 Karakteristik Gas Bio [22] 55-70% Metana Komposisi 30-45% Karbon dioksida Gas lainnya Kandungan energi 6-6,5 kWh m-3 Kesetaraan bahan bakar 0,6-0,65 L minyak/m3 gas bio Batas ledakan 6-12% gas bio di udara Temperatur kritik 650-750 oC Tekanan kritik 75-89 bar Densitas normal 1,2 kg m-3 Bau Seperti telur busuk Massa molekul 16,043 kg kmol-1 2.4.3 Aplikasi Gas bio Pada pembakaran yang sempurna, maka 1 m3 gas metan akan melepaskan 4700-6000 kkal panas berdasarkan reaksi berikut: CH4 + 2O2 → CO2↑ + H2O + Energi Penggunaan 1 m3 gas bio di lapangan mampu melakukan kegiatan berikut: 1. Memasak untuk keperluan keluarga terdiri dari 5-6 orang selama 3 jam. 2. Menjalankan motor berkekuatan 1 hp selama 2 jam. 3. Membangkitkan listrik sebesar 1,25 kW. 4. Menghidupkan lampu petromax 1 buah selama 18 jam [25].
2.3.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Gas Bio 1. Temperatur Proses Gas bio dapat diproduksi pada temperatur < 30oC (psikrofilik), 30-40oC (mesofilik) dan 40-50oC (termofilik). Bakteri anaerobik aktif pada rentang suhu mesofilik dan termofilik, jadi pada temperatur demikian akan menghasilkan banyak gas bio [26]. 2. Derajat Keasaman (pH) Derajat
keasaman
memiliki
efek
terhadap
aktivasi
biologi
dan
mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua proses kehidupan bakteri. Derajat keasaman yang dibutuhkan oleh digester antara 7-8,5. Pada awal pencernaan, pH bahan dalam tangki pencerna dapat turun menjadi 6 atau lebih
11
rendah. Hal ini merupakan akibat dari degradasi bahan organik oleh bakteri. Kemudian pH mulai naik disertai perkembangbiakan bakteri metana. 3. Pengadukan Bahan baku yang sukar untuk dicerna (misalnya, jerami yang mengandung senyawa lignin) dan sisa pencernaan akan membentuk lapisan
kerak pada
permukaan cairan. Lapisan ini dapat dipecah dengn alat pengaduk sehingga hambatan terhadap laju alir gas bio yang dihasilkan dapat dikurangi. 4. Bahan Penghambat Bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga berpengaruh terhadap jumlah gas bio yang dihasilkan antara lain logam berat, seperti tembaga, cadmium dan kromium. Selain desinfektan, deterjen dan antibiotik. Untuk
menghindari hal-hal tersebut perlu diperhatikan air yang
digunakan sebagai pelarut atau pencampur agar tidak mengandung bahan-bahan tersebut. 5. Rasio C/N Unsur karbon (C) untuk pembentukan gas metana dapat berasal dari sampah, limbah pertanian dan kotoran hewan. Sedangkan unsur nitrogen (N) diperlukan oleh bakteri untuk pembentukan sel. Perbandingan unsur karbon dan nitrogen (C/N) paling baik untuk pembentukan gas bio adalah 30 [23].
2.4.5
Mekanisme Pembentukan Gas bio Secara garis besar, proses pembentukan gas bio dibagi dalam tiga tahap,
yaitu: 1. Tahap Hidrolisis Pada tahap ini, senyawa-senyawa organik dengan susunan molekul yang kompleks akan dihidrolisis oleh jasad renik (bakteri-bakteri) menjadi monomermonomernya, seperti asam amino, glukosa, asam lemak dan gliserol. Sejumlah bakteri yang berperan pada tahap ini adalah bakteri selulitik dan amilotik dimana kerjasama antara kedua jenis bakteri ini akan menghasilkan proses hidrolisis lebih cepat dibandingkan jika bakteri tersebut bekerja sendiri-sendiri [18,23].
12
2. Pembentukan Asam Organik Pada tahap ini, bakteri yang menghasilkan asam merupakan produk akhir dari metabolisme bakteri, hasil terbanyak adalah asam asetat, asam propionat dan asam laktat [27]. Pada pembentukan asam organik ini terjadi dua tahapan, yaitu: a. Tahap Asidogenesis Pada tahap ini, hasil hidrolisis dari tahap sebelumnya akan difermentasikan menjadi asam lemak volatil (asam asetat, asam butirat, dan propionat) dan asam lemak rantai panjang, CO2, format, H2, NH4+, HS- dan alkohol. b. Tahap Asetagenesis Pada tahap ini, bakteri sintropik atau bakteri asetogenik pereduksi proton akan menguraikan propionat, asam lemak rantai panjang, alkohol, beberapa asam amino dan senyawa aromatik menjadi H2, format, dan asetat [28].
3. Pembentukan Metana/Mehanogenesis Tahap terakhir melibatkan 2 kelompok metanogen, yakni metanogen hidrogenotropik yang menggunakan H2 dari reaksi sebelumnya untuk mereduksi CO2 menjadi CH4, dan metanogen asetotropik yang menguraikan asetat menjadi CO2 dan CH4 berdasarkan reaksi berikut [23]. CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O CH3COOH → CH4 + CO2
2.5
PEMILIHAN PROSES Pemilihan proses pengolahan limbah tidak terlepas dari pemahaman
masing-masing proses yang terlibat dan karakteristik limbah tersebut. Hal tersebut sangat berguna untuk memilih proses yang paling tepat. Pengolahan limbah industri tapioka merupakan jenis pengolahan limbah organik yang dapat terbiodegradasi karena pada industri tapioka akan dihasilkan limbah padat dan cair yang mengandung senyawa organik yang tinggi yang yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme [29].
13
Pada proses pengolahan biologi yang melibatkan degradasi senyawa organik oleh mikroba, perlu dipertimbangkan apakah akan menggunakan proses aerobik (perlu aerasi) atau anaerobik. Tabel 2.7 memperlihatkan keunggulan dan kekurangan untuk proses aerobik dan anaerobik. Tabel 2.7 Perbandingan Proses Aerobik dan Anaerobik [30] Perbandingan Proses Aerobik Proses Anaerobik Pemakaian listrik Besar Kecil Excess sludge Besar Kecil Kualitas effluent Baik (pada umumnya) Kurang-Sedang (pada umumnya) Organic loading Kecil Besar Lain-lain Menghasilkan gas metana dan kurang efisien pada temperatur rendah Bila dilihat dari tabel 2.7 maka proses anaerobik lebih menguntungkan walaupun efluen yang dihasilkan masih berpotensi mencemari lingkungan. Akan tetapi, di negara beriklim tropis seperti Indonesia, keuntungan mempergunakan proses anaerobik adalah karena temperatur rata-rata tinggi dan stabil maka mikroorganisme anaerob dapat hidup secara stabil dan aktif [30]. Selain itu, pengolahan secara anaerobik adalah metode yang paling banyak digunakan dalam pengolahan limbah organik karena kinerjanya tinggi dalam pengurangan volume limbah, stabil dan menghasilkan produk berupa pupuk padat ataupun cair yang masih mengandung mineral-mineral penting serta energi berupa gas bio yang merupakan energi yang dapat diperbaharui karena substratnya dapat berasal dari limbah organik maupun kotoran hewan. Kondisi operasi dalam pengolahan anaerobik ini dapat dilakukan pada kondisi psikrofilik (12-16oC), mesofilik (35-37oC) dan termofilik (55-60oC) [1,5,31]. Menurut Anis Fahri (2008), suhu yang baik untuk proses fermentasi adalah 30-55oC, berkisar pada kondisi mesofilik. Secara umum, proses fermentasi anaerobik pada kondisi mesofilik paling banyak digunakan daripada termofilik karena stabilitas prosesnya lebih rendah dan kebutuhan energinya juga rendah dibandingkan termofilik [32]. Disamping itu, efisiensi pada proses anerobik akan menurun bila temperaturnya rendah maka kondisi psikofilik bukan menjadi pilihan yang tepat [30]. Pada penelitian yang dilakukan ini, sistem yang digunakan adalah sistem batch karena sistem batch cocok untuk tahap eksperimen, untuk mengetahui potensial gas dari
14
suatu jenis limbah organik [27]. Dari paparan diatas maka dipilih proses anaerobik pada kondisi mesofilik dengan sistem batch dalam pengolahan limbah padat dan cair industri tapioka.
2.6
DESKRIPSI PROSES Berdasarkan pemilihan proses pengolahan limbah organik, dipilih proses
pengolahan anaerobik. Proses ini merupakan proses yang umum digunakan dalam pengolahan limbah organik karena beberapa kelebihannya yang dapat dilihat pada tabel 2.6. Berdasarkan pemilihan kondisi operasi, dipilih kondisi mesofilik, sekitar kondisi lingkungan pada iklim Indonesia. Berdasarkan sistemnya, dipilih sistem batch karena sistem ini cocok untuk tahap eksperimen. Berdasarkan hal diatas maka dilakukanlah penelitian mengenai pembuatan gas bio dari campuran limbah padat dan cair industri tapioka. Bahan baku berupa campuran limbah padat dan cair industri tapioka pada perbandingan 70:30; 60:40; 50:50; 40:60 dan 30:70 (w/w) dicampurkan dengan starter yang telah diaklimatisasi berupa campuran antara kotoran sapi dan air dengan perbandingan kotoran sapi dan air yaitu 1:1, yaitu 37,5 kg kotoran sapi dan 37,5 kg air yang telah ditambahkan dengan 5 kg molase dan 50 L air. Campuran bahan baku dan starter difermentasikan dalam digester anaerob sistem batch dimana pH dijaga dengan menambahkan kapur CaCO3. Kemudian volume gas diukur setiap tiga hari hingga tercapai keadaan tunak. Parameter-parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pH, COD, TSS dan volume gas bio.
2.7
POTENSI EKONOMI Perbandingan terbaik dari penelitian ini yaitu pada perbandingan
komposisi limbah padat (ampas singkong) dan limbah cair 70:30 (w/w) sehingga berdasarkan hal ini dapat disimpulkan potensi ekonominya yaitu: Bahan Baku: a. Ampas Singkong
Rp. 20.000,-/ karung
b. Limbah Cair
Rp. 0,-
Bahan Tambahan a. Kotoran Sapi
Rp. 10.000,-/ karung
15
b. Molase
Rp. 5.000,-/ kg
Biaya lain-lain (kapur, digester)
Rp.300.000,-/ digester
Produksi tepung tapioka tahun 2012 adalah sebesar 200.000 ton [33]. Dengan kualitas ubi kayu yang baik maka 1 ton singkong dapat dihasilkan 400 kg tepung tapioka, 160 kg onggok (limbah padat) dan 4000-6000 L limbah cair [34,35]. Jadi pada tahun 2012 akan dihasilkan onggok (limbah padat) sebanyak 80.000 ton. Untuk perbandingan komposisi berat ampas singkong dan limbah cair 70:30 dengan volume limbah sebanyak 225 kg menghasilkan 193,617 L gas bio dengan lama fermentasi 33 hari. Pemanfaatan limbah tapioka ini cukup menjanjikan. Untuk 80.000 ton limbah padat, diperlukan 34.285,714 ton limbah cair dan gas bio yang dihasilkan sebanyak:
225 kg 114.285.714kg 193,617 L x x 98.345.142,61L Limbah padat
= 80.000.000 kg = Rp. 32.000.000.000,-
(50 kg/karung sehingga dibutuhkan 1.600.000 karung) Kotoran sapi dan air = 25% dari volume digester terisi = Total limbah/ 75% Volume digester terisi = 114.285.714/0,75 = 152.380.952 L Volume digester total = Volume digester terisi/60% = 253.968.253,3L (Anggap 1 digester sekitar 2.000 L, maka dibutuhkan sekitar 126.984 digester) Kotoran sapi dan air = 25% x 152.380.952 L = 38.095.238 kg Kotoran sapi : air =1:1 (w/w) maka diperlukan Kotoran sapi sebanyak 19.047.619 kg (50 kg/karung sehingga dibutuhkan 380.953 karung) = Rp. 3.809.530.000,Molase
= 5kg/ 500L volume digester total = 2.539.680 kg = Rp. 12.698.400.000,-
Biaya lain-lain
= Rp. 300.000,- x 126.984 digester = Rp. 38.095.200.000,-
Total Biaya
= Rp. 32.000.000.000,- + Rp.3.809.530.000,- + Rp. 12.698.400.000,-+ Rp. 38.095.200.000,= Rp. 86.603.130.000,-
Kandungan metana (CH4) dalam gas bio berkisar 50-75% [22] jadi dianggap kandungan metana dalam gas bio adalah 62,5%.
16
Volume metana yang terbentuk = 62,5% x 98.345.142,61L = 61.465.714,13 L = 61.465,714 m3 kg
Diketahui: ρCH4
= 0,6800
Massa Metana (CH4)
= ρCH4 x Volume CH4
m3
[36]
= 0,6800 x 61.465,714 = 41.796,69 kg Massa gas bio
Jumlah CH 4 yang diproduksi % CH 4 dalam biogas
=
41.796,69 kg 0,625
= 66.874,704 kg
Harga gas bio adalah Rp.1.200/kg [37], sehingga total penjualan 66.874,704 kg gas bio adalah
Rp. 80.249.644,8,-. Total Penjualan < Total Biaya
Pengeluaran sehingga potensi ekonomi dari pemanfaatan campuran limbah padat dan limbah cair industri tapioka menjadi gas bio tidak menjanjikan.
Adapun keuntungan pemanfaatan pengolahan campuran limbah padat dan limbah cair industri tapioka menjadi gas bio antara lain: 1. Mengurangi pencemaran terhadap lingkungan. 2. Mengurangi emisi gas rumah kaca karena 100 gr sampah organik setara dengan 37,5 gr CO2 sebagai emisi gas rumah kaca [38]. 3.
Sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui.
4. Mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
17