3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Hutan Menurut Dephut (1970), inventarisasi hutan adalah pengumpulan dan penyusunan data mengenai hutan dalam rangka pemanfaatan hutan bagi masyarakat secara lestari dan serba guna. Hush (1987) menyatakan bahwa, inventarisasi hutan lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan serta pemilikannya, penaksiran volume pohon-pohon yang masih berdiri, dan penaksiran mengenai pengeluaran hasil.
2.2 Penentuan Volume Pohon Menurut Husch (1963), volume adalah besaran tiga dimensi suatu benda yang dinyatakan dalam satuan kubik. Volume diperoleh dari hasil perkalian antara satuan dasar panjang, yaitu panjang, lebar dan tinggi. Volume kayu atau pohon-pohon dalam tegakan hutan merupakan besaran yang tidak dapat ditentukan secara langsung di lapangan, melainkan dilakukan melalui komponen-komponen (peubah-peubah) yang menentukan besarnya volume kayu/pohon tersebut. Volume pohon dapat diperkirakan dari hubungan nyata antara pohon dan volume pohon tertentu. Diameter, tinggi dan faktor bentuk merupakan peubah tak bebas yang biasa digunakan untuk menentukan nilai-nilai dari peubah bebas volume pohon, hasil akhirnya digambarkan dalam suatu rumusan atau bentuk tabel (Husch et al. 2003). Dephut (1992), menyatakan volume kayu dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dihitung berdasarkan bagian batang yang diukur sebagai dasar penaksiran adalah: 1. Volume tunggak: yaitu volume kayu yang terdiri atas akar dan pangkal pohon, sampai ketinggian (tunggak) tertentu. Tinggi tunggak ini bervariasi dari 0,1-0,5 m, tetapi sebagian besar diambil 0,3 m. Di daerah yang berbukit, tinggi tunggak dihitung sama dengan tinggi banir.
4
2. Volume kayu batang (Vst): yaitu volume kayu diatas tunggak sampai permukaan tajuk. Bagian pohon yang menyusun volume ini adalah batang pokok sampai percabangan pertama. 3. Volume kayu tebal (Vdk): yaitu volume kayu diatas tunggak sampai diameter dengan kulit termasuk 10 cm, termasuk batang pokok dan cabangcabang besar. 4. Volume kayu pohon (Vbm): yaitu volume kayu semua bagian pohon, mulai dari volume tunggak sampai volume ranting (ujung pohon). Untuk menentukan volume sortimen kayu sebagai bagian dari volume kayu/pohon, telah dikembangkan rumus-rumus matematik (Loestsch et al. 1973) sebagai berikut: Rumus Huber
: V = gm x
Rumus Smalian
:V=
( g1 g 2 ) x 2
Rumus Newton
:V=
( g1 4 g m g 2 ) x 6
Keterangan: V
= Volume log atau batang (m3)
g1
= Luas bidang dasar pangkal (m2)
g2
= Luas bidang dasar ujung batang (m2)
gm
= Luas bidang dasar bagian tengah batang (m2)
= Panjang batang pohon (m)
Rumus Smalian mempunyai ketepatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rumus Huber dan rumus Newton. Namun demikian rumus Smallian banyak digunakan karena cukup praktis dan mudah dalam penerapannya. Rumus Newton memberikan ketelitian yang tinggi dibanding dengan rumus lainnya, namun rumus ini memerlukan pengukuran kedua ujung batang dan tengah batang, sehingga penggunaannya lebih terbatas dan kurang praktis (Sutarahardja 2008). Volume pohon merupakan suatu besaran yang diperoleh dari perkalian antara luas bidang dasar dengan tinggi pohon. Volume pohon dapat juga dihitung dengan cara menjumlahkan volume tiap-tiap seksi yang ada pada pohon tersebut (Loetsch et al. 1973).
5
2.3 Penyusunan Tabel Volume Menurut Caillez (1980), pengertian tabel volume atau tariff adalah sebuah tabel, rumusan atau gambar yang menentukan dugaan volume sebuah pohon atau sekumpulan pohon berdasarkan peubah-peubah yang disebut masukan tariff. Lebih lanjut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan masukan tariff adalah peubah pohon berupa diameter acuan, tinggi total atau peubah tegakan berupa luas bidang dasar per hektar atau tinggi rataan yang lebih mudah diperoleh dibandingkan volume itu sendiri. Tabel volume pohon secara teoritis adalah yang paling baik untuk digunakan dalam inventarisasi hutan potensi kayu dalam tegakan hutan, namun demikian pengukuran tinggi pohon yang disyaratkan menyebabkan penggunaan tabel tersebut tidak praktis. Hal ini disebabkan karena pengukuran tinggi pohon memerlukan banyak waktu dan dapat menjadi sumber kesalahan (Husch et al. 2003). Menurut Spurr (1952), penyusunan tabel volume pohon dimaksudkan untuk memperoleh taksiran volume pohon melalui pengukuran satu atau beberapa peubah penentu volume pohon serta untuk mempermudah kegiatan inventarisasi hutan dalam menduga potensi tegakan. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan, diusahakan dalam penyusunan tabel volume pohon memperkecil jumlah peubah bebas penentu volume pohon dan diberlakukan pada daerah setempat. Tabel yang dimaksud adalah tabel volume pohon lokal atau tarif volume. Menurut Avery dan Burkhart (1994), tabel volume pohon yang berdasarkan pada satu peubah dari diameter setinggi dada (Dbh) biasa disebut tabel volume lokal, sedangkan tabel volume yang menghendaki si pengguna juga memperoleh tinggi pohon dan kemungkinan juga bentuk atau taper disebut sebagai tabel volume standar. Selain itu Avery dan Burkhart (1994), menyatakan bahwa dalam konteks penentuan volume pohon, tabel tarif adalah kumpulan dari tabel volume lokal. Tabel tarif didasarkan pada asumsi bahwa volume memiliki hubungan linear pada diameter kuadrat atau luas bidang dasar.
6
Tabel volume pohon lokal atau tarif volume adalah bentuk khusus dari tabel volume pohon, yaitu tabel yang memberikan nilai volume pohon dengan cukup mengetahui hanya satu besaran saja dari pohon yang bersangkutan. Besaran tersebut adalah yang paling mudah diukur, yaitu diameter pohon setinggi dada atau keliling pohon setinggi dada. Dengan tidak mengikut sertakan besaran tinggi pohon, maka tarif volume memiliki daerah berlaku yang terbatas (Sutarahardja 2008). Menurut Sutarahardja (2008), penyusunan tabel volume lokal berlandaskan atas dasar asumsi, bahwa pohon-pohon dengan diameter yang sama akan memberikan volume yang sama pula, apabila kondisi tempat tumbuhnya sama. Asumsi tersebut dapat diterima apabila ada hubungan yang kuat antara tinggi pohon dengan diameter dan volume pohon. Dengan adanya hubungan yang erat antara diameter dan tinggi pohon, maka dapat dijamin bahwa segala perubahan yang terjadi pada pohon yang disebabkan oleh adanya variasi tinggi pohon akan tercakup oleh adanya variasi diameter pohon. Tahapan pembentukkan tabel volume, meliputi (Sutarahardja et al. 2010): 1. Pemilihan pohon-pohon contoh serta pengukuran dimensi pohon dan pengolahan data hingga diperoleh volume setiap pohon. 2. Penyusunan persamaan regresi hubungan volume dengan diameter (menggunakan kira-kira 2/3 3/4 dari jumlah pohon contoh). 3. Pengujian persamaan regresi yang diperoleh untuk menentukan akurasinya (menggunakan kira-kira 1/4 1/3 dari jumlah pohon contoh). Jumlah pohon contoh sebanyak 50-100 pohon sudah mencukupi untuk menyusun tabel volume lokal yang dapat dipakai untuk jenis tunggal (Loetsch et al. 1973). Dalam pemilihan pohon contoh, perlu diperhatikan juga ketersebaran diameter sehingga mewakili kisaran diameter dari yang terkecil sampai terbesar. Semakin lebar kisaran diameter dari pohon-pohon contoh tersebut, maka model yang terbentuk nantinya akan semakin leluasa digunakan untuk menduga volume dari pohon yang berdiameter kecil sampai besar. Selain itu, apabila tinggi pohon akan dijadikan sebagai peubah bebas (selain diameter), pengambilan pohon contoh pun harus mewakili ketersebaran tinggi pohon dalam tegakannya (Fahutan IPB 2010).
7
2.4 Persamaan Penduga Volume Pohon Beberapa persaman hubungan antara volume pohon dengan peubah-peubah penentunya yang biasa digunakan dalam penyusunan tabel volume pohon (Loestch et al. 1973). a. Satu peubah bebas, hanya diameter pohon: V b0 b1d 2
(Kopezky-Gehrhardt)
V b1d b2 d 2
(Dissescu-Meyer)
V b0 b1d b2 d 2
(Hohenadl-Krenn)
V b0 d b1
(Berkhout)
log V b0 b1 log d
(Husch)
b. Dua Peubah bebas, diameter dan tinggi pohon: V b0 d 2 h
b1
(Spurr)
V b0 b1d 2 b2 d 2 h b3h
(Stoate)
V b1d 2 b2 d 2 h b3dh 2 b2 h 2
(Naslund)
V b0 d b1hb 2
(Scumacher-Hall)
Keterangan:
V
: Volume pohon (m3)
d
: Diameter pohon setinggi dada (cm)
h
: Tinggi pohon total (m)
b0 , b1 ...
: Konstanta
2.5 Deskripsi Umum Tentang Keruing (Dipterocarpus ssp.) 2.5.1 Taksonomi Taksonomi dari jenis keruing menurut Cronquist (1981) dalam Dasuki (1991): Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Famili
: Dipterocarpaceae
Genus
: Dipterocarpus
8
2.5.2 Deskripsi Botani dan Habitat Tinggi pohon keruing dapat mencapai 50 m dengan panjang bebas cabang 35 m, diameter dapat mencapai 120 cm, bentuk batang silindris, berbanir setinggi 1-2 m, pada D. confertus dapat mencapai 4 m. Kayu teras berwarna coklat-merah, coklat, kelabu-coklat atau merah-coklat-kelabu. Kayu gubal berwarna kuning atau coklat muda semu-semu kelabu dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras, lebar 2 – 10 cm (Martawijaya et al. 2005). Jenis-jenis keruing tumbuh dalam hutan primer pada berbagai habitat dari permukaan laut sampai ketinggian 1500 mdpl. Jenis-jenis tertentu mempunyai habitat yang spesifik, seperti tepi sungai yang berair deras (D. oblongifolius atau laran), tanah endapan di tepi sungai (D. elongatus atau keruing pasir), tanah gambut di atas pasir putih (D. borneensis atau keruing sindur), punggung bukit (ada beberapa jenis) dan tempat-tempat yang beriklim musim atau kemarau nyata (D. gracilis atau keladan). Keruing jarang sekali tumbuh di hutan lebat yang terdapat di lembah. Untuk kelangsungan hidupnya sebagian besar semai keruing memerlukan cahaya banyak. Di Kalimantan jenis-jenis keruing merupakan jenis yang sering dapat ditemukan setelah jenis-jenis meranti dan di Kalimantan Timur dapat mencapai tujuh pohon per hektar (Kartawinata 1983). 2.5.3 Penyebaran Habitat Keruing atau Dipterocarpus adalah marga pepohonan penghasil kayu pertukangan yang berasal dari keluarga Dipterocarpaceae. Marga ini memiliki sekitar 70 spesies yang menyebar terutama di Asia Tenggara; mulai dari India dan Srilanka, di barat, melalui Burma, Indocina dan Cina bagian selatan, Thailand, hingga ke kawasan Malesia bagian barat. Di wilayah Malesia, keruing tersebar di hutan-hutan Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa (Soerianegara & Lemmens 1994). Jadi umumnya tidak melewati garis Wallace, kecuali yang ditemukan di Lombok dan Sumbawa. Tumbuhan ini merupakan komponen yang penting dari hutan dipterokarpa. Nama ilmiahnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti buah yang bersayap dua (di: dua; pteron: sayap; carpos: buah).
9
2.5.4 Kegunaan Kayu Kayu keruing cocok untuk konstruksi bangunan, lantai, karoseri (kerangka, lantai dan dinding), bangunan pelabuhan dan bantalan kereta api. Selain daripada itu banyak juga dipakai untuk perkapalan (dek dan kulit tongkang) dan bagian perumahan (balok, tiang, papan dan kerangka atap. Untuk semua penggunaan dimana terdapat serangan jamur, serangga atau binatang laut perusak kayu, kayu keruing harus diawetkan dengan bahan pengawet yang sesuai. Setelah diawetkan kayu keruing baik untuk dipergunakan sebagai bantalan dan tiang listrik (Martawijaya et al. 2005).