BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan (Portunus pelagicus) disebut juga blue swimmimg crab atau kepiting berenang merupakan salah satu jenis crustacea (berkulit keras) yang memiliki anatomi yang berbeda dengan ikan. Dagingnya terbungkus oleh suatu
lapisan
kulit
daging
yang
terletak
di
bawah
kulit
keras
(cangkang/karapas). Rajungan memiliki cangkang atau karapas yang melebar ke samping, kaki bercapit yang panjang dan runcing (Juwana dan Romimohtarto, 2000). Rajungan seperti halnya produk perikanan lainnya merupakan bahan pangan yang mudah rusak dan membusuk (perishable). Rajungan yang baru ditangkap dalam beberapa jam saja bila tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka mutunya akan menurun. Penanganan harus segera dilakukan sejak ditangkap dengan perlakuan suhu rendah dan memperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan (Anggawati, 2002). Menurut Purwaningsih et al. (2005) daging rajungan rebus dingin dengan nilai organoleptik 6,5 (kriteria 1-9), batas maksimum penyimpanan di dalam suhu kamar adalah 5 jam. Penanganan dan pengolahan rajungan pasca tangkap oleh nelayan atau pengumpul meliputi pencucian, perebusan atau pengukusan, pengambilan daging (picking) dan pengepakan. Selanjutnya daging rajungan umumnya didistribusikan ke industri pengalengan untuk diproses menjadi rajungan pasteurisasi dalam kaleng. Proses penanganan dan pengolahan di industri pengalengan meliputi penerimaan bahan baku daging rajungan, sortasi, pengisian
daging
dalam
kaleng,
penimbangan,
penutupan
kaleng,
pasteurisasi, pengepakan dan penyimpanan dingin (Windika, 2007). Rajungan sebagai bahan baku pasteurisasi dalam kaleng harus memenuhi persyaratan yaitu bersih, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan.
5
Bahan baku dalam bentuk utuh
memiliki kenampakan bersih, cemerlang, antar ruas kokoh dan kuat serta bau segar spesifik jenis. Sedangkan mutu organoleptik dalam bentuk daging memiliki kenampakan bersih dan cemerlang, bau segar spesifik jenis serta tekstur padat dan kompak (SNI 6929.2:2010). Persyaratan mutu bahan baku daging rajungan rebus dingin dari segi cemaran mikroba yaitu angka lempeng total (ALT) maksimum 5x105 koloni/g (SNI 01-4224.2-1996). Sedangkan cemaran mikroba daging rajungan kaleng pasteurisasi maksimum angka lempeng total (ALT) adalah 1x104 koloni/g (SNI 6929.1:2010). B. Mikroorganisme Penyebab Kerusakan Produk Perikanan Mikroorganisme penyebab kerusakan makanan adalah bakteri, kapang dan khamir. Organisme utama penyebab kerusakan pada produk perikanan adalah bakteri karena kondisi produk perikanan memang cocok untuk pertumbuhan bakteri (Adawyah, 2007). Kecepatan kerusakan mikrobiologis hasil perikanan tergantung pada kecepatan pertumbuhan mikroba yang ada terutama bakteri pembusuk (Hadiwiyoto, 1993). Banyaknya jumlah mikroba pembusuk mempengaruhi daya simpan produk perikanan. Kebusukan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis produk, komposisi, proses thermal, kontaminasi selama pengolahan serta suhu dan waktu penyimpanan (Fardiaz, 1992b). Pada produk olahan ikan yang telah mengalami proses pemanasan, termasuk pengasapan dan penggaraman, bakteri yang masih ada adalah bakteri yang lebih tahan terhadap pemanasan seperti Bacillus, Micrococcus dan beberapa khamir. Uji mikrobiologi terhadap produk olahan ikan dan daging terdiri dari penetapan total mikroorganisme aerobik dengan suhu dan waktu inkubasi yang berbeda-beda tergantung jenis produknya. Misalnya pada suhu 7 oC selama 10 hari untuk menghitung mikroba psikrofilik, suhu 25 oC untuk ikan dan daging segar atau suhu 35 oC untuk produk yang telah mengalami pemanasan (Fardiaz, 1992a). Olgunoglu (2010) meneliti sumber kontaminasi mayor pada pasteurisasi daging rajungan. Pada lima CCP (critical control point) yang berbeda yaitu penerimaan rajungan hidup/segar, pengukusan, pengambilan daging secara manual, setelah penimbangan dan pengalengan serta setelah pasteurisasi/saat penyimpanan dingin. Sampel daging rajungan pada lima 6
CCP tersebut diuji total bakteri mesofilik aerobik, Coliform, E. Coli, Staphylococcus aureus, yeast dan mold dengan hasil terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah mikroba pada pengolahan pasteurisasi daging rajungan Tahapan Proses
Total bakteri mesofilik aerobik
Coliform
E. Coli
S. aureus
(log MPN/g)
(log MPN/g)
(log kol/g)
Yeast & Mold (log kol/g)
4,11
negative
negatif
negatif
-
Setelah pengukusan Pengambilan daging secara manual Setelah penimbangan dan penutupan kaleng
1,08-1,85
negative
negatif
negatif
-
3,55-5,50
1,32-1,62
0,96-1,36
2-3,47
-
4,50-6,77
1,63-2,32
1,36-2,18
2,95-3,64
-
Setelah pasteurisasi Peralatan (food contact surface)
1,37-1,88
negative
negatif
negatif
negative
3,85
2,17
1,24
2,54
negative
Peralatan proses
3,64
2,02
0,84
2,3
negative
Tangan pekerja
4,18
2,93
2,21
1,4
0,77
Udara lingkungan
2,01
-
-
-
1,11
(log kol/g) Penerimaan rajungan hidup/segar
Sumber: Olgunoglu (2010)
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa total bakteri, Coliform, E. coli dan S. aureus mulai naik pada tahap pengambilan daging secara manual sampai setelah penimbangan dan penutupan kaleng. Kemudian jumlah bakteri pada peralatan dan tangan pekerja juga tinggi sehingga disimpulkan bahwa tangan pekerja dan peralatan merupakan sumber kontaminan primer, sedangkan udara lingkungan merupakan sumber kontaminan sekunder. Tahapan pasteurisasi mampu mengurangi tingkat kontaminasi secara keseluruhan dan memberikan pengaruh yang positif terhadap mutu mikrobiologi produk akhir. Prosedur sanitasi dan higiene yang benar merupakan cara yang sangat penting untuk mengurangi tingkat kontaminasi mikroba (Olgunoglu, 2010). C. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Panas Mikroba Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh jumlah sel, umur sel, suhu pertumbuhan, air, nilai pH, suhu dan waktu pemanasan (Fardiaz, 1992b).
7
1. Jumlah sel mikroba Semakin tinggi jumlah sel mikroba, semakin tinggi tingkat ketahanannya terhadap panas.
Mekanisme perlindungan sel terhadap
panas di dalam populasi sel yang tinggi karena sel memproduksi protein sebagai komponen pelindung (Fardiaz, 1992b, Supardi dan Sukamto, 1999). 2. Umur sel Sel mikroba lebih tahan panas pada saat pertumbuhannya mencapai fase statis yaitu sel sudah tua dan paling sensitif pada saat sel mengalami fase logaritmik.
Sehingga semakin berkurang aktivitas sel mikroba,
semakin meningkat ketahanan panasnya (Fardiaz, 1992b). 3. Suhu Pertumbuhan Ketahanan panas mikroba meningkat dengan semakin tingginya suhu inkubasi. Pada suhu inkubasi yang tinggi terjadi seleksi genetik yang merangsang pertumbuhan galur yang lebih tahan panas (Fardiaz, 1992b). 4. Air Ketahanan panas sel mikroba meningkat dengan menurunnya kelembaban atau kandungan air.
Pemanasan basah terhadap protein
menyebabkan terbentuknya gugus sulfhidril (-SH) yang mengakibatkan peningkatan kapasitas mengikat air oleh protein. Adanya air yang terikat pada protein mempermudah pemecahan ikatan peptida. Pada keadaan kering diperlukan energi lebih tinggi untuk memecah ikatan peptida atau protein lebih sukar terdenaturasi sehingga sel mikroba lebih tahan panas (Fardiaz, 1992b). 5. Nilai pH Mikroba mempunyai ketahanan panas tertinggi pada pH optimum untuk pertumbuhannya yaitu sekitar pH 7,0. Jika pH diturunkan atau dinaikkan menjauhi pH optimum maka ketahanan panas mikroba akan turun (Fardiaz, 1992b, Supardi dan Sukamto, 1999). 6. Suhu dan Waktu Pemanasan Pada suhu yang sama, waktu pemanasan yang lebih lama akan meningkatkan kematian sel mikroba. Semakin tinggi suhu pemanasan,
8
kematian sel mikroba semakin besar. Pada suhu yang lebih tinggi, waktu pemanasan yang diperlukan untuk membunuh sejumlah sel semakin singkat (Fardiaz, 1992b). D. Pasteurisasi Proses pengolahan rajungan dengan pasteurisasi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan mutu dan mencegah pembusukan pada rajungan. Menurut Moeljanto (1992) pada dasarnya pasteurisasi sama dengan sterilisasi, tetapi pada pasteurisasi suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi yaitu di bawah 100 oC, biasanya antara 80-95 oC. Menurut Muchtadi (1989) pasteurisasi adalah proses thermal yang dilakukan pada suhu di bawah 100 oC dengan waktu yang bervariasi, mulai beberapa detik sampai beberapa menit tergantung dari tingginya suhu tersebut. Makin tinggi pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya.
Kombinasi suhu dan waktu yang dipakai
tergantung ketahanan panas dari mikroba target dan kepekaan atribut mutu pangan terhadap panas. Proses pasteurisasi dengan pemanasan suhu di bawah 100
o
C
menyebabkan produk tidak steril dan mikroorganisme masih mungkin tumbuh. Konsekuensinya, setelah dipasteurisasi maka produk harus disimpan pada suhu rendah agar pertumbuhan mikroorganisme dapat ditekan dan produk dapat mencapai umur simpan yang ditentukan. Proses pasteurisasi pada produk hasil perikanan biasanya diaplikasikan menggunakan kemasan hermetis (Rippen et al, 1993 dan FDA, 2001). Proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak
membentuk
spora)
tetapi
hanya
sedikit
perubahan/penurunan mutu gizi dan organoleptik.
menyebabkan
Keampuhan proses
pemanasan dan peningkatan daya simpan dari proses pasteurisasi dipengaruhi oleh karakteristik pangan terutama nilai pH, kondisi penyimpanan pasca proses, ketahanan panas mikroorganisme dan sporanya terhadap panas, karakteristik pindah panas dan jumlah mikroba awal pada produk (Kusnandar, 2010). 9
Rajungan merupakan kelompok bahan pangan berasam rendah (pH 7,0). Proses pemanasan yang diaplikasikan pada daging rajungan adalah pasteurisasi berupa long time pasteurization (holder process). Pemilihan proses didasarkan pada tujuan utama pemanasan yaitu hanya membunuh mikroba pathogen.
Pemanasan yang disertai dengan metode pengawetan
lainnya seperti pengemasan rapat tertutup dan penyimpanan pada suhu rendah menyebabkan sisa mikroba yang masih ada setelah pasteurisasi dapat terkendali (Hariyadi et al., 2010). Menurut Waters (tanpa tahun) pemilihan teknologi pasteurisasi dilakukan untuk mendapatkan produk akhir yang memiliki karakteristik as nearly as possible the original fresh like. E. Evaluasi Kecukupan Panas Proses
panas
secara
komersial
umumnya
didesain
untuk
menginaktifkan mikroorganisme yang ada pada makanan dan dapat mengancam kesehatan manusia serta mengurangi jumlah mikroroganisme pembusuk ke tingkat yang rendah sehingga peluang terjadinya kebusukan sangat rendah. Penetapan kecukupan panas didasarkan atas dua faktor yaitu kinetika pemusnahan mikroba oleh panas dan kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk pangan yang dikemas selama pemanasan. Kinetika pemusnahan mikroba mencakup data nilai D, nilai z dan nilai lethal rate. Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang diinginkan maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Kemudian dihitung nilai sterilitas pada suhu tertentu (Fo). Nilai Fo ini ditentukan sebelum proses thermal berlangsung. Nilai Fo dapat dihitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, di mana untuk menghitungnya perlu diketahui nilai D dan nilai z (Kusnandar et al., tanpa tahun). 1. Nilai D Nilai D adalah waktu dalam menit pada suhu tertentu (T) yang dibutuhkan untuk membunuh 90 % dari jumlah populasi mikroba yang masih hidup sebanyak satu satuan log (satu log cycle).
Nilai D dari
mikroba menunjukkan daya tahan mikroba terhadap panas dan suhu tertentu. Semakin tinggi nilai D, mikroba tersebut semakin tahan panas. (Winarno, 2004). 10
Daya tahan panas mikroba pada umumnya berkaitan dengan suhu pertumbuhan optimum sehingga bakteri thermofilik lebih tahan panas dibanding mesofilik dan psikrofilik. Jumlah bakteri yang mati oleh panas sesuai dengan kematian secara logaritmis seperti terlihat pada Gambar 1. 104 103 survivor 102
a log a- log b = 1.00
1
10
D
b
0
10
Waktu (menit) pada suhu tetap (T) Gambar 1. Kurva mikroba yang selamat (survivors) pada pemanasan dan harga DT pada kertas semilog Untuk proses pasteurisasi dengan target Clostridium botulinum non proteolitik biasanya pemanasan selama 6D dianggap cukup (misalnya dari 107-101). Level yang lebih rendah dapat digunakan apabila jumlah bakteri awal lebih rendah yang dibuktikan dengan studi ilmiah. Sebaliknya level yang lebih tinggi digunakan apabila jumlah bakteri awal lebih tinggi (FDA, 2001). 2. Nilai z Kurva kematian mikroba dapat ditentukan menggunakan nilai z yaitu kenaikan suhu yang dibutuhkan untuk penurunan populasi miroba satu satuan log. Nilai D dari berbagai suhu dapat diterapkan dalam suatu kertas semilog dengan ordinat mewakili nilai D dan absis mewakili suhu percobaan. Kurva yang terbentuk disebut Thermal Death Time Curve yang dapat dilihat pada Gambar 2. Pasteurisasi daging rajungan pada suhu 85
o
C dengan target
mikroba yang tidak spesifik menggunakan nilai z sebesar 9 oC. Hal ini didasarkan pada pasteurisasi daging rajungan pada suhu pemanasan yang normal, ketika menggunakan nilai z sebesar 9 oC menghasilkan nilai P
11
yang logis. Sedangkan pada pasteurisasi dengan target mikroba C. botulinum non proteolitik dengan suhu internal produk di bawah 88 oC menggunakan nilai z sebesar 7 oC (Rippen et al., 1993 dan FDA, 2001).
D2 Nilai D
Log D2 – log D1 = 1.00 z
D1
Temperatur (T) Gambar 2. “Thermal Death Time Curve” 3. Nilai Lethal Rate (LR) Efek letalitas dari proses pemanasan bahan selama proses thermal akan berbeda pada suhu yang berbeda. Nilai lethal rate (LR) adalah efek letalitas pada suhu tertentu dibandingkan dengan suhu standar. Nilai LR suatu proses sterilisasi dapat dihitung dengan mengkonversikan waktu proses pada suhu-suhu tertentu ke waktu ekivalen pada suhu standar. Secara matematis, nilai LR dihitung dengan persamaan 1 berikut: LR = 10 (T-Tref)/z
...................................................................(1)
LR
= lethal rate yaitu rata-rata kematian mikroba per satuan waktu
T
= suhu bahan
T ref
= suhu referensi pasteurisasi yaitu 85 ºC
z
= menggunakan nilai z mikroba hasil percobaan Dengan menggunakan persamaan (1) tersebut, maka nilai LR tidak
memiliki satuan. Nilai lethal rate pada suhu standar (misal 121 oC untuk proses sterilisasi) adalah 1. Pada suhu melebihi standar, maka nilai LR>1, sedangkan bila suhu di bawah standar, maka nilai LR<1 (Kusnandar et al., tanpa tahun).
12
4. Nilai Pasteurisasi (Nilai P) Nilai pasteurisasi (nilai P) adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu yang diperlukan untuk mencapai nilai pasteurisasi tertentu. Nilai P dihitung untuk melihat kecukupan panas pada proses pasteurisasi. Dalam suatu industri pengolahan pangan, nilai P merupakan efisiensi untuk mengoptimalkan suatu proses. Secara matematis, nilai P dihitung dengan persamaan 2 (Sukasih et al., 2005). P = LR. t
...............................................................................(2)
P
= nilai pasteurisasi
LR
= lethal rate
t
= waktu pasteurisasi Nilai P dihitung sesuai dengan level steril 2D, 3D, 4D dan
seterusnya, namun untuk pasteurisasi biasanya 5D-6D tergantung jumlah mikroba awal.
Untuk menetapkan level steril harus dihitung terlebih
dahulu jumlah mikroba awal (sebelum pasteurisasi) (Zanoni et al., 2003; Mazzota et al., 2001; Fellow, 1992 dalam Sukasih et al., 2009). The National Blue Crab Industry Pasteurization and Alternative Thermal Processing Standards menerbitkan standar nilai P minimal 31 menit dengan nilai z sebesar 9
o
C. Tri State Seafood Committee
merekomendasikan pemanasan 1 pound kaleng (401x301) daging rajungan pada titik terdingin mencapai 85 oC selama 1 menit dengan nilai z sebesar 9 oC dan nilai P sebesar 31 menit (Rippen et al., 1993 dan Hariyadi, 2010). F. Sifat Organoleptik Daging Rajungan Daging rajungan secara umum terdiri dari daging yang berasal dari bagian badan/dada, bagian paha, capit dan kaki. Persyaratan minimal nilai sensori daging rajungan pasteurisasi adalah 7 (kriteria 1-9) yaitu daging dada memiliki bentuk utuh, sedikit ada serpihan daging, warna daging putih susu cerah, sedikit sekali warna kekuningan, bersih, cemerlang, menarik. Sedangkan daging paha, capit dan kaki dengan nilai sensori 7 memiliki warna kecoklatan cerah, serpihan rata, bersih, cemerlang, menarik. Sedangkan bau daging segar, harum khas rajungan, rasa manis, enak, gurih, tekstur serat kuat, kompak, kenyal, elastis (SNI 6929.1:2010). 13
Pada penelitian ini menggunakan uji skoring yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik sensori yang penting pada suatu produk dan memberikan informasi mengenai derajat atau intensitas karakteristik tersebut. Pengujian tersebut membutuhkan panelis yang terlatih atau berpengalaman (Soekarto, 1990).
14