BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada setiap penelitian, selalu diperlukan kerangka teori yang digunakan
untuk
mendukung
pernyataan
dan
menjadi
dasar
dilakukannya sebuah penelitian. Teori ialah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep (Singarimbun dan Effendi, 1984). Oleh karena itu, pada bab ini peneliti akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian ini. A. RELIGIUSITAS 1. Pengertian Religiusitas Ditinjau dari perbendaharaan kata, ada tiga istilah serupa yang masing-masing memiliki perbedaan arti yakni religi, religius, dan religiusitas. Slim (dalam Rasmanah, 2003) mendefinisikan istilah tersebut dari Bahasa Inggris. Religi berasal dari kata ‟religion’ sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Religius berasal dari ‟religious’ yang berkenaan dengan religi atau sifat religi (keagamaan) yang melekat pada diri seseorang. Sedangkan, religiusitas berasal dari kata ‟religiosity’ yang berarti pengabdian yang besar pada agama. Religiusitas dan agama merupakan dua hal yang berkaitan satu dengan yang lainnya. Miller dan Thoresen (2003) dalam Paloutzian (2005) mendefinisikan agama sebagai sebuah institusi
15
16
yang didalamnya mencakup berbagai fenomena religius beserta ritual keagamaan dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok dalam membangun hubungan dengan Tuhan. Di samping itu, religiusitas menurut James (2001) dalam Paloutzian dan Park (2005) merujuk kepada perasaan, tindakan, dan refleksi akan pengalaman individual dalam usaha menghayati hubungan dengan sesuatu yang diyakininya.Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa agama merupakan Kemudian, religiusitas Lebih lanjut, Kaye dan Raghavan (2000) mendefinisikan religiusitas sebagai ekspresi spiritual seorang individu yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual. Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap personal (Mangunwija, 1986). Hal serupa juga diungkapkan oleh Stark dan Glock (1968) dalam Dister (1988) mengenai religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang. Jadi, dapat dikatakan bahwa religiusitas lebih mengarah pada keyakinan dan kepercayaan seorang individu kepada Tuhan yang bersifat internal. 2. Dimensi Religiusitas Menurut Glock dan Stark (1968), ada lima dimensi dalam religiusitas yaitu: a) Dimensi Intelektual Dimensi intelektual mengacu pada ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang religius memiliki pengetahuan tentang agama yang dianutnya dan dapat
17
menjelaskan
pandangan
mereka
mengenai
hubungan
transenden, agama, dan religiusitas. Pada sistem konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam ketertarikan
pada
tema
keagamaan,
kemampuan
menerjemahkan, gaya berpikir dan interpretasi individu. Indikator dalam dimensi intelektual ini adalah frekuensi individu dalam memikirkan isu-isu religius. Hal tersebut mengindikasikan seberapa sering konten religius diperbaharui dan mendapat internalisasi ke dalam diri individu melalui dimensi intelektual. b) Dimensi Ideologi Dimensi ideologi mengacu pada ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang religius memiliki keyakinan akan kehadiran dan esensi dari kenyataan transenden serta hubungan antara transenden dengan manusia. Pada sistem konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam bentuk kepercayaan, keyakinan yang tidak diragukan lagi, dan pola yang masuk akal. Indikator dalam dimensi ini hanya difokuskan pada pola logis (masuk akal) mengenai esensi dari kehadiran sesuatu yang bersifat transenden. c)
Dimensi Praktek Publik Dimensi praktek publik mengacu pada ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang religius akan mengikuti atau terlibat dalam komunitas religius yang dimanifestasikan dalam bentuk keikutsertaan individu dalam ritual keagamaan kelompok atau kegiatan komunitas. Pada sistem konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dengan
18
adanya rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas religius yang menghargai hubungan transenden. Intensitas umum yang muncul pada dimensi ini dapat diukur dengan menanyakan lebih dalam tentang frekuensi individu mengambil bagian dalam pelayanan religius. Dalam penelitian antar-agama, disarankan untuk membedakan label pada pelayanan religius tergantung dari alifiasi religius yang dimiliki partisipan. Sebagai contohnya ialah kehadiran di Gereja pada umat Kristiani dan shalat Jumat pada umat Muslim. d)
Dimensi Praktek Pribadi Dimensi praktek pribadi mengacu pada ekspektasi sosial yang
menyatakan
bahwa
individu
yang
religius
akan
mencurahkan dirinya pada relasi transenden dalam bentuk aktivitas yang bersifat pribadi. Pada sistem konstruksi religiusitas personal, dimensi ini direpresentasikan dalam aksi dan gaya personal individu dalam mencurahkan dirinya. Intensitas berdoa dan meditasi merupakan contoh perilaku yang dapat diukur dalam dimensi ini karena pada saat berdoa, individu mengirimkan pesan kepada sesuatu yang dianggapnya mempunyai kuasa lebih tinggi darinya sehingga individu melakukan dialog saat berdoa. e)
Dimensi Pengalaman Religius Dimensi
pengalaman
religius
ini
mengacu
pada
ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa individu yang religius memiliki semacam kontak langsung tentang kehidupan kekal setelah kematian yang memberikan pengaruh terhadap afeksi individu. Pada sistem konstruksi religiusitas personal,
19
dimensi
ini
direpresentasikan
dalam
bentuk
persepsi,
pengalaman serta perasaan yang dirasakan individu. Analogi yang digunakan dalam mengukur intensitas pengalaman ini dapat dilihat dengan dua cara yakni “one-to-one experience” (dialog dua arah) dan “experiences of being at one” (dialog satu arah). .
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Religiusitas seorang individu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara umum, para ahli menggambarkan dua faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas seorang individu, yakni faktor perkembangan yang berkenaan dengan perkembangan psikis seorang
individu
dan
faktor
lingkungan
(eksternal)
yang
mempengaruhi kehidupan religiusitas seorang individu seperti keluarga, sekolah, masyarakat (Darajdat, 1998). Lebih spesifik, Jalaludin (2002) menyebutkan faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitas mencakup faktor hereditas, usia, dan kepribadian individu. Di samping itu, Thouless (2000) juga mengemukakan tiga faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas seorang individu, yakni faktor sosial, faktor alami, moral dan afeksi, faktor kebutuhan, dan faktor intelektual. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing faktor tersebut: a) Faktor sosial; mencakup seluruh pengaruh sosial yang diperoleh individu
melalui
pengajaran
orangtua,
pengajaran
yang
diperoleh dari lembaga pendidikan, tradisi, dan tekanan-tekanan sosial yang dialami oleh individu.
20
b) Faktor
alami,
moral,
dan
afeksi;
mencakup
berbagai
pengalaman mengenai keindahan, keselaran, dan kebaikan yang ada di dunia lain. Kemudian, faktor moral mencakup setiap konflik moral yang terjadi pada kehidupan personal individu. Selain itu, faktor afeksi meliputi pengalaman keagamaan yang menyangkut afeksi atau perasaan individu. c) Faktor kebutuhan; mencakup setiap kebutuhan yang seluruhnya atau sebagian timbul dari berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan akan keamanan, kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan akan pemenuhan harga diri, dan ancaman kematian. B. KELEKATAN DAN PERILAKU SECURE-BASE 1. Pengertian Kelekatan Istilah „kelekatan‟ (attachment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Konsep yang lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan oleh Ainsworth (1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu.
21
Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003; Cassidy, 2003; Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dengan metode „situasi terpisah‟. Pada eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh tiga respon, yaitu: 1) Insecure-avoidance atau Tipe A, yakni terjadi penolakan terhadap kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan kehadiran ibu, mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi negatif. 2) Secure-attached atau Tipe B, yakni ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan Toth, 1995). Anak merasa terganggu ketika ibu pergi dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali. 3) Insecure-ambivalance atau Tipe C, yakni adanya keengganan untuk mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive, helpless dan kurang kontrol (Cicchetti dan Toth, 1995). Beberapa tampak selalu menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali meskipun ibu telah kembali. Mampu mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.
22
Berdasarkan eksperimen tersebut, kelekatan dikelompokkan menjadi dua, yakni kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu Tipe B dan kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu Tipe A dan Tipe C. Ainsworth (dalam Ervika, 2000; Belsky, 1988) menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman mengalami masalah dalam hubungan dengan figur lekat, sebaliknya anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola hubungan dengan kualitas yang sangat baik dengan figur lekat. Bowlby (1988) menyatakan bahwa kelekatan yang aman antara ibu dan anak dapat diamati melalui perilaku secure-base yang dimunculkan oleh anak terhadap ibu, begitupun sebaliknya. 2. Perilaku Secure-Base a) Pengertian Perilaku secure-base ialah salah satu indikasi terjalinnya relasi yang lekat antara anak dan orangtua. Bowlby (1988) dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang, yakni bayi dan orangtua (infantparent) yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi tersebut. Kelekatan anak terhadap orangtua sebagai figur lekat yang terjalin selama masa kanak-kanak akan terus aktif sepanjang rentang kehidupan anak (Bowlby 1988, dalam Holmes 1993). Pada masa kanak-kanak, kelekatan yang muncul antara anak dan figur lekat dapat diamati melalui perilaku anak dalam ‟situasi terpisah‟ dari figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai ancaman bagi anak sehingga anak menangis, memberontak, dan
23
mencari figur lekat (Ainsworth, 1982). Sedangkan pada masa remaja, kelekatan yang muncul dengan orangtua akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993). Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori kelekatan karena letak keamanan yang menjadi poin penting dalam konsep kelekatan dapat diamati melalui perilaku secure-base tersebut (Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, & Cassidy, 1985). Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses, melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk kembali mengeksplorasi dunianya dan yakin bahwa figur lekat tetap dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth, 1982). Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support. Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan. (Ainsworth, 1982).
24
Perilaku secure-base use dan secure-base support ini juga mengalami transisi seiring dengan perubahan bentuk kelekatan yang terjalin di masa remaja. Allen dan Land (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa transisi utama dalam proses perkembangan kelekatan karena selama masa ini berlangsung, remaja memulai fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari figur lekatnya (orangtua). Dykas (2003) juga mengemukakan bahwa para ahli yang menggeluti bidang ini juga mengemukakan bahwa pada masa remaja, struktur dari representasi kelekatan mengalami perubahan sehingga perilaku secure-base use anak dan secure-base support orangtua mengalami perubahan bentuk di masa remaja. Penelitian yang dilakukan Allen dan Land (1999) serta beberapa penelitian lain tentang representasi perilaku secure-base yang muncul di masa remaja turut diteliti oleh Ziv, Feeney, dan Cassidy (2001) dalam Dykas (2003). Melalui penelitian tersebut, ditemukan bahwa perubahan struktur kelekatan yang terjadi di masa remaja direpresentasikan melalui perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua yang termasuk dalam enam komponen, yakni mencakup penghargaan relasi dengan orangtua, penghargaan relasi dengan remaja, diskusi yang terbuka tentang masa depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan terhadap otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian perhatian kepada remaja. Esensi dari prinsip dasar secure-base yang dikemukakan oleh Ainsworth (1982) sebelumnya menjadi landasan bagi Ziv, Cassidy, dan Feeney (2001) dalam mengembangkan sebuah alat
25
ukur yang dapat mengukur perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua. b) Komponen dalam Perilaku Secure-Base Ziv, Feeney, & Cassidy (2001) mengemukakan bahwa ada enam komponen yang dapat digunakan untuk melihat perilaku secure-base yang terjalin antara remaja dan orangtua. Komponen tersebut dibagi menjadi dua, yakni secure-base use remaja dan secure-base support dari orangtua. Berikut ini adalah tiga komponen yang ada dalam perilaku secure-base use remaja: 1) Diskusi yang Terbuka tentang Masa Depan (Open discussion to the Future) Komponen ini mengacu pada perilaku remaja yang terbuka dalam mendiskusikan masa depan mereka dengan orangtua. Skala ini mengukur otonomi remaja dalam eksplorasi dan keterbukaan remaja dalam mendiskusikan target atau tujuan dan rencana untuk masa depan. Skala ini juga digunakan untuk melihat keterbukaan remaja dalam mengemukakan pikiran, perasaan, mengelaborasi isu yang diangkat oleh orangtua. 2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Orangtua (Valuing of Relationship Komponen ini digunakan untuk mengukur perilaku remaja dalam hal menghargai hubungan dengan mengakui
dan
menerima
pentingnya
hubungan
orangtua, dengan
orangtua, serta menyatakan keinginan untuk melanjutkan hubungan tersebut di masa depan. Skala ini juga melihat seberapa jauh remaja menginginkan keberadaan orangtua dan
26
merasa bahwa hubungannya dengan mereka akan meningkatkan perkembangan selama masa dewasa. 3) Keamanan Menyeluruh (Global security) Komponen ini mengukur sejauh mana remaja merasa aman dengan kehadiran orangtua mereka. Hal ini berkaitan dengan perilaku remaja yang menjadi rileks dan tidak merasa terganggu dengan kehadiran orangtuanya (Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (1978). Skala ini ditetapkan untuk melihat sejauh mana remaja dapat mengekplorasi masa depan dengan percaya diri dan merasa didukung, didorong, dan dimengerti oleh orangtua. Skala ini juga dianggap dapat melihat seberapa jauh remaja dapat menjadi tenang, apa adanya, dan terhubung dalam interaksi dengan orangtua. Selain tiga komponen secure-base use di atas, Ziv, Feeney, dan Cassidy pada tahun 2001 (dalam Dykas, 2003) juga mengemukakan tiga komponen secure-base support. Berikut ini adalah tiga komponen tersebut: 1) Dukungan terhadap Otonomi Remaja (Support for teen’s autonomy) Komponen ini mengukur perilaku orangtua dalam memberikan dukungan terhadap otonomi remaja dan percaya bahwa remaja mempunyai kemampuan untuk mengatasi masa transisi menuju kedewasaan. Skala ini juga melihat sejauh mana orangtua menyampaikan kepercayaannya dan tertarik dengan target atau tujuan, rencana remaja di masa depan serta menawarkan dukungan membutuhkan.
atau bantuan kapanpun remaja
27
2) Penghargaan terhadap Relasi dengan Remaja (Parent’s valuing of the relationship) Komponen ini digunakan untuk mengukur sejauh mana orangtua memberikan dukungan secara emosional dan secara terbuka menyampaikan sikap menghargai hubungan yang terjalin antara orangtua dan remaja, mengakui dan menerima pentingnya relasi antar mereka, mendorong adanya diskusi yang bersangkutan
dengan
isu
dalam
relasi
mereka,
serta
mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan relasi tersebut ke depannya. 3) Sensitif terhadap Pemberian Perhatian (Sensitive caregiving) Komponen ini mengukur sejauh mana orangtua peka dan responsif terhadap remaja. Dalam artian, orangtua dapat secara aktif menerima dan menunjukkan perhatian terhadap pikiran, perasaan, dan kekhawatiran yang diungkapkan remaja. Selain itu, skala ini juga mengukur sejauh mana orangtua mengumpulkan informasi mengenai remaja dan berupaya untuk menolong apa yang dikerjakan remaja dengan penuh perhatian, pengertian, serta dukungan emosional. C. REMAJA AKHIR 1.
Batasan Usia Remaja Akhir Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam masa perkembangan remaja. Papalia (2009) mengemukakan bahwa masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir di awal usia dua puluhan. Santrock
28
(2003) mengemukakan bahwa di Amerika dan kebudayaan lainnya, rentang usia masa remaja akhir berkisar antara usia 18-22 tahun. Di samping itu, WHO (World Health Organization) juga turut mengkategorikan batasan usia remaja akhir (late adolescence) yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Sarwono, 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Steinberg (1993) yang menyatakan bahwa masa remaja akhir dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. Maka, dapat disimpulkan bahwa masa remaja akhir merupakan suatu fase akhir dari rangkaian perkembangan masa remaja dan merupakan masa konsolidasi atau peneguhan menuju periode dewasa yang dimulai pada usia 18 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun. 2. Religiusitas pada Remaja Akhir Masa remaja merupakan tahap yang penting dalam perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Stanley Hall (dalam Nelson, 2009) juga mengakui bahwa masa kanak-kanak hingga remaja merupakan periode penting dalam perkembangan religius seorang individu karena masa ini dilihat sebagai prediksi akan kehidupan masa dewasa yang akan datang. Dilihat dari perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget, pada masa remaja terjadi suatu gerak peralihan dari cara berpikir kongkrit menuju cara berpikir yang lebih proporsional. Goldman (1964) telah menerapkan pemikiran Piaget tersebut dalam bidang agama dengan menguraikan kemampuan yang makin berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia 6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan
29
data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan berfungsi. Namun penggunaannya yang efektif baru berkembang pada usia 17-18 tahun, itupun tidak sama efektif bagi remaja dalam rentang usia yang sama. Penelitian Goldman mengenai „abstraksi pemikiran religius‟ turut menunjukkan bahwa tahap demi tahap, anak semakin mencapai efisiensi dalam menggali penafsiran hipotesis dan dapat melihat relevansi kebenaran abstrak bagi pengalaman mereka. Hal tersebut
sejalan
dengan
pendapat
Elkind
(1970)
yang
mengungkapkan bahwa kapasitas mental pada masa remaja memampukan remaja untuk membangun teori dan mencari pemahaman.
Perkembangan kognitif yang bertahap tersebut
memungkinkan terjadinya transisi atau perpindahan dari “agama lahiriah ke agama batiniah” (Loomba dalam Crapps, 1994). 3. Kelekatan Orangtua dan Anak di Masa Remaja Allen dan Land (1999) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa transisi utama dalam proses perkembangan kelekatan karena selama masa ini berlangsung, remaja memulai fase dimana ia menginginkan otonomi lebih dari figur lekatnya (orangtua). Kelekatan yang terjalin antara anak dan orangtua mengalami perubahan bentuk di masa remaja. Pada masa kanak-kanak, anak menangis dan memberontak ketika berada dalam situasi terpisah dari orangtua sebagai figur lekat. Perilaku tersebut dimunculkan untuk mencari dan mendekatkan diri dengan orangtua (Ainsworth,
30
1982). Namun demikian, remaja tidak menunjukkan perilakuperilaku tersebut dalam relasinya yang lekat dengan orangtua. Kelekatan yang terjalin antara orangtua dan remaja akan mengaktifkan kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993).
D. PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI) 1. Pengertian Pernikahan Beda Agama (Islam-Kristiani) Pernikahan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Mandra & Artadi dalam Eoh, 1996). Pengertian tersebut mengandung substansi bahwa dalam pernikahan beda agama, suami - istri tetap mempertahankan agamanya ketika menikah dan berkeluarga. Agama sendiri merujuk pada suatu sistem perilaku, kebiasaan, ritual, upacara, dan kepercayaan yang berisi rangkaian nilai-nilai dan diyakini oleh masing-masing individu atau kelompok dalam membangun hubungan dengan Tuhan (English & English, 1958). Jadi, dapat dilihat bahwa dalam pernikahan beda agama terdapat perbedaan mendasar yang dialami orangtua dalam hal menjalankan kewajiban agamanya. Perbedaan tersebut mencakup nilai-nilai yang dianut, pemaknaan konsep Tuhan, dan ritual
31
keagamaan yang dianut. Pada penelitian ini, peneliti memberi batasan tersendiri mengenai agama yang dianut oleh pasangan yang menikah beda agama, yakni Islam dan Kristiani. Berikut ini adalah gambaran mengenai keyakinan dalam dua agama tersebut: a) Agama Islam Kata Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Islam atau Aslama yang artinya menerima, menyerah, tunduk, atau berserah diri kepada Tuhan. Islam adalah nama yang diberikan oleh Allah SWT yang dikehendaki Tuhan atas segala ciptaannya. Ajaran agama Islam disebarkan oleh nabi Muhammad. Nabi Muhammad ialah Rasul terakhir yang dipilih Allah SWT, yang diberikan wahyu atau petunjuk ayat Al Qur‟an ketika ia sedang berada di Gua Hira, Arab Saudi. Ajaran Islam meyakini satu Tuhan, yakni Allah Yang Maha Esa dan pemeluknya disebut dengan Muslim (Utoma,1994). At-Tuwajiri (2003) mengemukakan bahwa rukun Islam merupakan ajaran yang harus dilaksanakan oleh umat Muslim, terdiri dari: 1. Shahadad, yaitu La illaha illa‟I-lah Muhammad rasul Allah. Artinya, tiada Tuhan selain Allah atau hanya Allah satusatunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul utusan Allah. Setiap umat muslim harus bisa mengucapkan kalimat shahadad. 2. Shalat, yaitu sembahyang di dalam ibadah. Waktu shalat ada 5 waktu, yaitu 1) Shalat al-zuhr atau shalat waktu johor yakni pada waktu matahari condong ke arah Barat kira-kira jam 12.15 sampai jam 15.00, 2) Shalat al-„asr, mulai waktu
32
lohor sampai matahari terbenam, jam 15.30 sampai 18.00, 3) Shalat al-magrib, waktu tenggelamnya matahari sampai terbenamnya matahari, 18.15 sampai 19.00, 4) Shalat al-isya pada waktu 19.45 sampai 04.00, 5) Shalat al-subuh pada waktu jam 4 pagi sampai 5.30 3. Zakat; yakni bea atau pajak yang harus dibayar oleh umat muslim, biasanya dilakukan pada bulan puasa, artinya adalah tumbuh. Secara konkrit, diterapkan untuk mengatur sumbangan atau pemberian setiap orang muslim baik lakilaki maupun perempuan. 4. Sawm atau puasa di bulan Romadhon, yakni beistirahat, menahan seperti menahan tidur, menahan bicara, menahan makan, dan lain sebagainya. 5. Haji atau pergi mengunjungi rumah Allah untuk melakukan ibadah yang harus dilakukan yaitu untuk beribadah dan melakukan upacara-upacara agama di dalam Bait Allah atau Ka‟bah. b) Agama Kristiani Agama Kristiani adalah agama yang penganutnya mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, sesuai dengan penyataan Allah yang tertulis dalam Alkitab. Tempat ibadah agama Kristen ialah Gereja dan pada umumnya umat Kristen beribadah pada hari Minggu. Kata Gereja berasal dari kata “igreya” dari bahasa Portugis yang berarti kawanan domba, yang dikumpulkan oleh seorang gembala. Dalam bahasa Yunani dipakai kata kuriake yang artinya milik kurios (Kristus). Jadi, gereja adalah persekutuan orang-orang yang menjadi milik
33
Tuhan Yesus Kristus. Secara berabad-abad, beberapa aspek kepercayaan Kristen yang menonjol telah muncul, di antaranya (Keene, 2006): 1. Trinitas, merupakan satu Allah tiga pribadi yaitu Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Kepercayaan dalam Trinitas memperkuat Iman Kristen yang secara implisit terdapat dalam Kredo Para Rasul dan Kredo Nicea. 2. Penjelmaan merujuk pada Allah yang lahir menjadi daging dalam diri Yesus dan menekankan bahwa Yesus benarbenar Allah dan manusia. 3. Penebusan dosa merupakan rekonsiliasi antara Allah dengan manusia yang didapatkan melalui kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus adalah teladan paling agung bagi dunia tentang pengorbanan diri serta persembahan kepada Allah dengan mengorbankan jiwa supaya dosa dunia dapat diampuni. Segala sesuatu
yang disempurnakan oleh
kematian Yesus, dimateraikan oleh kebangkitan-Nya. 4. Roh Kudus adalah salah satu pribadi dari Trinitas dan kuasa Allah yang ada di dunia sekarang ini. Roh Kudus menolong manusia untuk berdoa dan memberikan semangat kepada mereka untuk membangun kerajaan Allah di dunia. 5. Alkitab adalah wahyu tanpa cacat yang mempunyai kewenangan dalam segala hal tentang iman dan tingkah laku manusia dan juga sebagai Firman Allah.
34
2. Dampak yang Muncul dalam Pernikahan Beda Agama Ada beberapa dampak yang muncul sebagai konsekuensi dari pernikahan beda agama, yakni: a) Penentuan agama anak Bossard & Boll (1957) menyebutkan bahwa ketika anak lahir, penentuan anak akan dibesarkan dalam agama apa dapat menjadi masalah. Selain itu, keluarga besar dari masing-masing pasangan umumnya terlibat dalam memperebutkan agama anak. b) Kebingungan identitas Beranjak usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami kebingungan dalam menentukan agamanya. Apabila kedua orang tua adalah figur yang sama baik di mata anak, anak akan merasa bersalah bila harus memilih salah satu dari agama yang dianut orang tuanya (Viemilawati, 2002). c) Kurangnya pembinaan agama dari orangtua Thomas (dalam Blood, 1969) melaporkan bahwa kebanyakan anak dari pernikahan beda agama hanya sedikit yang mendapatkan ajaran keagamaan dari orangtua atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan agama dan identitas agama dari kedua orang tuanya. D. HUBUNGAN ANTARA PERILAKU SECURE-BASE REMAJAORANGTUA DENGAN RELIGIUSITAS REMAJA AKHIR DARI PERNIKAHAN BEDA AGAMA (ISLAM-KRISTIANI)
Perilaku secure-base merupakan prinsip utama dalam teori kelekatan. Remaja yang merasa aman belajar bahwa figur lekatnya adalah sosok yang mudah diakses, dapat melindungi dan responsif
35
ketika dibutuhkan. Remaja yang secure dapat mengembangkan representasi mental mereka dengan menjadikan orangtua sebagai sumber dukungan yang membuat individu merasa aman untuk mengeksplorasi dunianya. Rasa aman tersebut kemudian diteliti oleh Kirkpatrick (1992) dalam Nelson (2009) dengan melihat keterkaitan antara berbagai
pola
kelekatan
di
masa
kanak-kanak
dengan
perkembangan religiusitas individu di masa remaja. Bowlby (1988) menyatakan bahwa kelekatan yang terjalin di masa kanakkanak akan tetap direpresentasikan di masa remaja bahkan dewasa, meskipun dengan perubahan struktur perilaku secure-base yang dimunculkan. Pada masa remaja, kelekatan yang dapat diamati melalui perilaku secure-base terlihat lebih menonjol ketika remaja sedang dihadapkan pada kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam (Bowlby 1988, dalam Holmes, 1993). Ketersediaan orangtua sebagai figur yang mudah diakses dan melindungi di saat kesulitan dapat mengembangkan religiusitas remaja. Hal ini dapat dijelaskan melalui pernyataan Kirkpatrick (1992) yang meyakini bahwa konsep Tuhan yang diyakini dalam setiap agama dianggap sebagai figur lekat yang responsif. Figur tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, memberikan rasa aman dan dapat dipercaya sehingga individu berdoa kepada figur tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, sosok orangtua yang mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercayai. Hal
ini
sejalan
dengan prinsip
secure attachment
yang
36
dikemukakan oleh Kirkpatrick dan Shaver (1990). Penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan Hagekull (2000) juga menemukan bahwa motivasi dalam mengembangkan insting religius di masa dewasa memiliki hubungan positif dengan rasa aman yang diterima individu. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada kasus anak dari pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), ada hubungan positif antara perilaku secure-base (baik secure-base use remaja maupun secure-base support orangtua) dengan religiusitas anak di masa remaja akhir. F. HIPOTESIS PENELITIAN Pada kasus pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), penelitian ini memiliki dua hipotesa, dengan hipotesa pertama ialah: H1 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use remaja dan religiusitas remaja. H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base use remaja dan religiusitas remaja. Sedangkan, hipotesa kedua pada penelitian ini ialah sebagai berikut: H2 : Adanya hubungan positif antara perilaku secure-base support orangtua dan religiusitas remaja. H0 : Tidak adanya hubungan positif antara perilaku secure-base support orangtua dan religiusitas remaja.