8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan 1.
Pengertian Notoatmodjo ( 2003 ), mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan, dan perabaan. Pengetahuan manusia sebagian besar diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran serta sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan, dan perabaan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam bentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan adalah hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat pengetahuan atau ketrampilan dapat dilakukan melalui pelatihan. Pengetahuan diperoleh dari proses belajar, yang dapat membentuk keyakinan tertentu. Jann Hidayat Tjakraatmadja dan Donald Crestofel Lantu dalam bukunya Knowledge Management disebutkan bahwa pengetahuan diperoleh dari sekumpulan informasi yang saling terhubung secara sistematik sehingga memiliki makna. Informasi diperoleh dari data yang sudah diolah (disortir, dianalisis, dan ditampilkan dalam bentuk yang dapat dikomunikasikan melalui bahasa, grafik atau tabel), sehingga memiliki arti. Selanjutnya data ini akan dimiliki seseorang dan akan tersimpan dalam neuron-neuron (menjadi memori) di otaknya. Manusia ketika kemudian dihadapkan pada suatu masalah maka informasi-informasi yang tersimpan dalam neuron-neuronnya dan yang terkait dengan permasalahan tersebut, akan saling terhubungkan dan tersusun secara sistematik sehingga ia memiliki model untuk memahami atau memiliki pengetahuan
yang
terkait
dengan
permasalahan
yang
dihadapinya.
9
Kemampuan memiliki pengetahuan atas obyek masalah yang dihadapi sangat ditentukan oleh pengalaman, latihan atau proses belajar (proses berfikir). 2.
Tingkatan pengetahuan Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif terdapat 6 tingkatan yaitu : a. Tahu (know) Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Contoh : hanya dapat menyebutkan pengertian patient safety. b. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa program patient safety perlu untuk diterapkan secara benar. c. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real ( sebenarnya ). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
10
Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintetis (synthetis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun,
dapat
merencanakan,
dapat
meringkaskan,
dapat
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa
keselamatan pasien itu harus diterapkan dalam
pelayanan kepada pasien(Notoatmodjo,2003). Table 1.2 Tingkatan pengetahuan tingkatan tahu pengetahuan kurang + cukup + baik +
memahami aplikasi
analisis
sintesis
evaluasi
+ + +
+ +
+
+
+ +
Tabel diatas dapat dilihat bahwa seseorang yang dikatakan memiliki pengetahuan kurang apabila seseorang tersebut baru sekedar tahu dan memahami saja, sedangkan seseorang yang memiliki pengetahuan cukup cenderung memiliki bukan hanya sekedar tahu dan memahami tetapi juga sudah bisa mengaplikasi dan menganalisis, dan seseorang dikatakan memiliki pengetahuan yang baik apabila sudah mencapai tingkatan/tahapan sintetis dan
11
evaluasi. Pengetahuan / kognitif oleh karenanya merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior), pengalaman dan penelitian ternyata perilaku didasari oleh pengetahuan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subyek penelitian atau responden(Notoatmodjo,2003). B. Sikap 1.
Pengertian Sikap adalah respon atau reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, tidak dapat dilihat secara langsung sehingga sikap hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tampak. Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi , seseorang memberikan reaksi sesuai dengan rangsangan yang ditemuinya. Sikap dapat diartikan suatu kontrak untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas. Sikap seseorang adalah suatu predisposisi (keadaan mudah dipengaruhi) untuk memberikan tanggapan terhadap rangsang lingkungan yang dapat membimbing atau memulai tingkah laku orang tersebut. Secara difinitif sikap berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir yang dipersiapkan untuk memberi tanggapan terhadap objek yang diorganisir melalui pengalaman serta mempengaruhi
secara
langsung atau
tidak
langsung pada perilaku
(Notoatmodjo, 2002). Difinisi lain sikap menurut
Sigit.S dalam Perilaku Organisasional.
sikap adalah tanggapan (respon) yang mengandung komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang dilakukan oleh seseorang terhadap sesuatu obyek atau stimulus dari lingkungan. Yang menjadi obyek atau stimulus itu dapat berupa orang, barang, ide, aturan, kejadian atau lainya. Kognitif (cognitive) yang dimaksud adalah sejauh mana tahu-nya orang mengenai informasi tentang obyek yang ditanggapi itu. Unsur atau komponen yang ada dalam pikiran orang
mengetahui sejauh mana tahunya adalah tahu
sepenuhnya, agak tahu, atau samar-samar, atau bahkan sama sekali tidak tahu. Afektif (affective) adalah sejauh mana afeksinya (penilaiannya) kepada obyek
12
yang disikapi mengenai baik-buruknya, menyenangkan-tidaknya, menariktidaknya,
atau
favorable-unfavorable,
terlepas
dari
keinginan
untuk
memilikinya. Konaktif (conactive) adalah kecenderungan untuk berbuat (berperilaku) terhadap obyek setelah mengerti (tahu) dan menilai terhadap obyek yang disikapinya. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo,2003). Sikap juga merupakan evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu (Azwar,2003). 2.
Komponen pokok sikap(Notoatmodjo,2003) Dalam bagian lain Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu: a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
3.
Tingkatan sikap Berbagai tingkatan sikap antara lain: 1. Menerima(receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). misalnya : sikap perawat terhadap program patient safety dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian perawat terhadap sosialisasi tentang pentingnya program patient safety.
13
2. Merespon(responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan meyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut. 3. Menghargai(valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. misalnya : seorang perawat yang mengajak perawat yang lain untuk berperilaku menerapkan patient safety adalah bukti bahwa perawat tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap program patient safety. 4. Bertanggungjawab(responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. misalnya, seorang perawat mau menerapkan keselamatan pasien, meskipun mendapat tantangan dari teman sejawatnya. Table 1.3 Tingkatan sikap Tingkatan
menerima
sikap Tidak + mendukung Mendukung +
merespon
menghargai
Bertanggung jawab
+
+
+ +
Tabel diatas menggambarkan bahwa seseorang yang memiliki sikap tidak mendukung cenderung memiliki tingkatan hanya sebatas menerima dan merespon saja, sedangkan seseorang dikatakan telah memiliki sikap yang mendukung yaitu bukan hanya memiliki tingkatan menerima dan merespon tetapi sudah mencapai tingkatan menghargai atau bertanggung jawab. Sekord dan Backman dalam Azwar (2003), mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek
14
dilingkungan sekitarnya. Sikap yang ditujukan seseorang merupakan bentuk respon batin dari stimulus yang berupa materi atau obyek di luar subyek yang menimbulkan pengetahuan berupa subyek yang selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap yang diketahuinya itu. Pengetahuan dan faktor lain seperti berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh(Notoatmodjo, 2003). 4.
Karasteristik sikap. Karasteristik sikap menurut Sigit(2003), dalam Perilaku Organisasional karakteristik sikap antara lain : 1. Ada obyek artinya ada sesuatu yang disikapi. 2. Mengarah artinya banyak obyek, tetapi belum tentu menjadi arahan sikap atau disikapi. Jadi sikap mengarah pada obyek yang disikapi. 3. Berintensitas atau berderajat karena dalam sikap ditanyakan sejauh mana atau seberapa tinggi-rendah sikapnya. 4. Berstruktur artinya dalam sikap itu ada komponen-komponen yang secara intern terbentuk dengan sendirinya, yaitu komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling menjalin.
5.
Fungsi sikap Fungsi sikap menurut Sigit (2003), dalam Perilaku Organisasional adalah : 1. Penyesuaian atau pemanfaatan artinya menghadapi perlakuan dari pihak lain, Jika diperlakukan baik, maka sikapnya positif dan sebaliknya. 2. Pertahanan ego artinya bersikap tertentu terhadap sesuatu obyek apakah positif, netral atau negative dan sikap ini dipertahankan dalam waktu relative lama. 3. Pernyataan nilai artinya ada komponen afektifnya berisi penilaian negatif-positif atau baik-buruk. 4. Pengetahuan artinya orang yang bersikap terhadap suatu obyek tentu sedikit atau banyak telah memiliki pengetahuan tentang obyek yang disikapinya itu.
15
C. Tindakan/praktik Setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek tentang kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dirinya akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) (Notoatmodjo,2003). Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (ovet behaviour). Mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi
yang memungkinkan antara lain
adalah: fasilitas
(Notoatmojo,2003). Tindakan/praktek mempunyai beberapa tingkatan : 1.
Persepsi (perception) Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2.
Respon terpimpin (guided response) Melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.
3.
Mekanisme (mechanism) Seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga
4.
Adopsi (adoption) Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan - kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, beberapa hari, atau bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilaksanakan secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.
D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku Teori - teori yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis fakto-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain :
16
Teori Lawrence Green (1991) Lawrence Green berpendapat bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama antara lain: 1. Faktor predisposisi (predisposing factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. 2. Faktor pemungkin (enabling factor) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan. 3. Faktor penguat (reinforcing factor) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas kesehatan. Termasuk juga disini undangundang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif serta dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan para petugas terlebih lagi petugas kesehatan. Di samping itu, undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Disimpulkan bahwa perilaku seseorang (perawat) tentang program patient safety ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Seorang perawat yang tidak mau menerapkan keselamatan pasien disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat dari program patient safety bagi dirinya
17
(predisposing factors). Tetapi barangkali juga karena fasilitas yang disediakan tidak ada dan peralatan yang tidak lengkap (enabling factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain disekitarnya tidak pernah memberikan contoh / penyuluhan tentang program patient safety (reinforcing factors). E. Konsep Patient Safety 1. Pengertian Patient safety adalah pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit,cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian ) terkait dengan pelayanan kesehatan (KKP-RS, 2008). Patient Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (DepKes,2006). 2. Kebijakan DepKes tentang keselamatan pasien rumah sakit antara lain: a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit. b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD). d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD. 3. Kebijakan patient safety di rumah sakit antara lain: a. Rumah Sakit wajib melaksanakan sistim keselamatan pasien. b. Rumah Sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien. c. Rumah Sakit wajib menerapkan standart keselamatan pasien. d. Evaliasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan melalui program akreditasi rumah sakit.
18
4. Sistim keselamatan pasien rumah sakit : a. Pelaporan insiden, laporan bersifat anonim dan rahasia. b. Analisa, belajar, riset masalah dan pengembangan taxonomy. c. Pengembangan dan penerapan solusi serta monitoring/evaluasi. d. Penetapan panduan, pedoman, SOP, standart indikator keselamatan pasien berdasarkan pengetahuan dan riset. e. Keterlibatan serta pemberdayaan pasien dan keluarganya.
5. Standar patient safety (DepKes.2006) Standar I. Hak pasien Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tak diharapkan. Kriteria: a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan. b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan. c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan
benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana
dan hasil pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan KTD Standar II. Mendidik pasien dan keluarga. Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung pasien dalam asuhan pasien. Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriteria: a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
19
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga. c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti. d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan. e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit. f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa. g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan. Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan. Kriteria: a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,
pemeriksaan,
diagnosis,
perencanaan
pelayanan,
tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit. b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar. c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya. d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. Standar IV : Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif , dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Kriteria: a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien petugas pelayanan
20
kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ” langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit” b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan. c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua KTD/KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko tinggi. d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin. Standar V.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”7 langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”. 2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi KTD/KNC. 3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. 4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan keselamatan pasien. 5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja Rumah Sakit dan keselamatan pasien. Kriteria: a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien. b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang
21
memerlukan perhatian, mulai dari KNC(Near miss) sampai dengan KTD(Adverse event). c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien. d. Tersedia prosedur ”cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan analisis. e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar danjelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien mulai di laksanakan. f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian. g. Terdapat kolaburasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan
pendekatan antar disiplin. h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut. i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan criteria obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya. Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien. 1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan
pasien secara jelas.
22
2. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. Kriteria: a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai dangan tugasnya masing- masing. b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden. c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaburatif dalam rangka melayani pasien. Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. 1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal 2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria: a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait dengan keselamatan pasien. b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada. 6.
Langkah penerapan program patient safety (DepKes.2006) 1.
Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
2.
Membangun komitmen dan fokus yang jelas tentang keselamatan pasien.
3.
Membangun sistem dan proses managemen resiko serta melakukan identifikasi dan assessmen terhadap potensial masalah.
4.
Membangun sistim pelaporan.
23
5.
Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.
6.
Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien dengan melakukan analisis akar masalah.
7.
Mencegah cedera melalui implementasi sistim keselamatan pasien dengan menggunakan informasi yang ada.
7. Pendekatan komprehensif pengkajian keselamatan pasien(Anshar.2010) Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi atas: struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya. a. Struktur 1.
Kebijakan dan prosedur organisasi : terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
2.
Fasilitas : fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan.
3.
Persediaan : hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency.
b. Lingkungan 1.
Pencahayaan dan permukaan berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera.
2.
Temperatur : pengkondisian temperatur dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi.
3.
Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
4.
Ergonomic
dan
fungsional
:
ergonomic
berpengaruh
terhadap
penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur , jenis , penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
24
c. Peralatan dan teknologi 1.
Fungsional : perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
2.
Keamanan : alat – alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
d. Proses 1.
Desain kerja : desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
2.
Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan keperawatan yang terus – menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sIstem pengingat untuk mengurangi kesalahan.
3.
Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien emergency oleh karena itu pada saat – saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
4.
Perubahan jadwal dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
5.
Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotik atau tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap diagnosis dan pengobatan.
25
6.
Efisiensi
:
memperpanjang
keterlambatan waktu
diagnosis
perawatan
atau
tentunya
pengobatan akan
akan
meningkatkan
pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien. e. Orang 1.
Sikap dan motivasi : sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan
2.
Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang
3.
Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan – kesalahan dalam bertindak
4.
Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : perawat memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat – alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit – penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi.
5.
Faktor kognitif , komunikasi dan interpretasi : kognitif sangat berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan , pemecahan masalah baru mengkomunikasikan hal – hal yang baru.
f. Budaya 1.
Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien.
2.
Filosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada filosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.
3.
Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
26
4.
Budaya melaporkan , terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming . Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
5.
Staff – kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit.
8.
Solusi live-saving keselamatan pasien rumah sakit (KKPRS.2007). WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien. Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu rumah sakit memperbaiki proses asuhan pasien yang berguna untuk
menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Solusi tersebut antara lain adalah : a. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names). Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek dagang atau generik serta kemasan.
27
b. Pastikan identifikasi pasien. Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru, orang penyerahan bayi kepada bukan keluarganya. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini, standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan, dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini, serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama. c. Komunikasi secara benar saat serah terima / pengoperan Pasien. Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima. d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar. Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur’Time out” sesaat
28
sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah. e. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated). Sementara semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya
adalah
berbahaya.
Rekomendasinya
adalah
membuat
standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah, dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik. f. Pastikan
akurasi
pemberian
obat
pada
pengalihan
pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi / pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dari seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list", sebagai perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi, dan dikomunikasikan daftar tersebut kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan. g. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube). Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail / rinci bila sedang mengerjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang benar).
29
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai. Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum suntik.Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodik para petugas di lembagalembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga, mengenai penularan infeksi melalui darah, dan praktek jarum sekali pakai yang aman. i. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi nosokomial. Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan tangan
yang
menghindarkan
efektif
adalah
masalah
ini.
ukuran
preventif
Rekomendasinya
yang
primer
adalah
untuk
mendorong
implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs" tersedia pada titik-titik pelayan, tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan tangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja, dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan tehnik-tehnik yang lain. 9. Indikator Patient Safety (IPS) Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit.. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yangdapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. (Dwiprahasto, 2008).
Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS
tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan.
30
1.
Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.
2.
Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik
yang
didokumentasikan
di
tingkat
pelayanan
setempat
(kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik. Indikator patient safety antara lain : Komplikasi anesthesi, angka kematian yang rendah, ulkus dekubitus, kematian oleh karena komplikasi pada pasien rawat inap, benda asing tertinggal selama prosedur, pneumotoraks iatrogenic, Infeksi akibat perawatan, patah tulang pascaoperasi, pendarahan atau hematoma pascaoperasi, gangguan
fisiologis dan metabolik pascaoperasi, kegagalan
pernapasan pascaoperasi, pulmonary embolism atau deep vein thrombosis, sepsis pascaoperasi, luka pada pasien bedah abdominopelvik, luka tusukan dan laserasi, reaksi transfusi, trauma lahir - cedera pada neonatus, trauma kebidanan oleh karena persalinan dengan instrument, trauma kebidanan oleh karena persalinan tanpa instrument, trauma kebidanan - kelahiran sesaria. Elemen patient safety meliputi: Kesalahan pengobatan yang merugikan , menggunakan restraint, infeksi nosokomial, kecelakaan bedah , luka karena tekanan(dicubitus), keamanan produk darah , resistensi antimikrobial, Imunisasi, falls (jatuh), darah stream(aliran), perawatan kateter pembuluh darah serta tindak lanjut dan pelaporan insiden keselamatan pasien. Akar penyebab kesalahan keselamatan pasien paling umum disebabkan antara lain: Masalah komunikasi, kurangnya informasi, masalah manusia, pasien yang berhubungan dengan isu-isu, transfer pengetahuan dalam organisasi, staffing pola / alur kerja, kegagalan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur. Tujuan umum keamanan pasien antara lain : Mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi yang efektif, meningkatkan keamanan obat, hilangkan salah tempat, salah-pasien, prosedur tindakan yang salah, mengurangi
31
resiko infeksi terkait perawatan kesehatan dan mengurangi risiko bahaya pasien dari jatuh (AHRQ) . 10. Kebijakan patient safety RSUP dr Kariadi Semarang Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang tentang kerangka acuhan Program Keselamatan Pasien RSUP dr Kariadi Semarang. 1. Tujuan Umum: Meningkatkan mutu pelayanan RS melalui suatu sistem di mana RS membuat asuhan pasien lebih aman. 2. Tujuan Khusus a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS b. Meningkatkan akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat. c. Terlaporkannya KTD di RS. d. Terlaksananya program pencegahan sehingga KTD tidak terulang. 3. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan: Memenuhi standar keselamatan pasien yang tertuang dalam Instrumen Akreditasi RS. a. Membentuk Tim Keselamatan Pasien RS b. Pelatihan Keselamatan Pasien RS c. Rapat Tim Keselamatan Pasien RS dengan agenda rapat: 1) Menyusun kebijakan dan prosedur KPRS 2) Menyusun form untuk pencatatan dan pelaporan KTD 3) Melakukan analisis masalah bila ada KTD 4) Melakukan perencanaan kegiatan. 5) Membentuk Pokja Keselamatan Pasien di ruangan 4. Tugas Pokja ( Kelompok Kerja ) antara lain: a. Mengupayakan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diharapkan atas pelayanan kesehatan dilingkungan pokjanya. b. Melaporkan setiap kejadian yang tidak diharapkan kepada Tim Keselamatan Pasien
32
c. Membuat rekapitulasi laporan mingguan kepada Tim Keselamatan Pasien 5. Tugas tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit RSUP Dr Kariadi Semarang adalah: a. Mengupayakan untuk menghindari dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diharapkan atau hasil yang tidak diharapkan yang disebabkan oleh pelayanan kesehatan di rumah sakit b. Mengumpulkan,
menganalisis,
mengevaluasi
dan
membuat
penyelesaian atas semua laporan kejadian tidak diinginkan dari lingkungan pegawai rumah sakit’ 6. Langkah-langkah Prosedur Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien RSUP dr Kariadi Semarang a. Bagi petugas yang melihat kejadian, atau ikut dalam kejadian maka segeraa membuat laporan kejadian pada lembar yang sudah disiapkan di tiap ruangan. b. Lembar laporan kejadian segera dikirim ke Tim Keselamatan Pasien RS/ kepala ruang setempat c. Kepala ruang bersama dengan anggota pokja setempat membuat kronologis kejadian, melakukan analisis sederhana, dan mencatat dalam laporan bulanan. d. Berkas laporan yang masuk ke Tim KPRS diberikan kepada sub tim yang bertugas untuk dilakukan analisis lebih mendalam. e. Berkas yang sudah di analisis diserahkan kembali ke Tim KPRS selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Utama RSUP Dr Kariadi. f. Selanjutnya dari Direktur Utama RSUP Dr Kariadi , berkas dilaporkan kepada Tim “Patient safety” PERSI Pusat 11. Strategi keselamatan bekerja(Fathoni,A.2006) Strategi keselamatan dalam bekerja sangat berhubungan erat dengan pengenalan dan pengendalian bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh kelelahan, tekanan batin (stres), kebisingan, radiasi
maupun zat-zat beracun lainnya,
terhadap kondisi fisik manusia, pikiran dan sikap tingkah laku para pegawai.
33
Faktor penyebab kecelakaan dapat dilihat dari dimensi pokok, yaitu: a. Berkaitan dengan sistem kerja yang merupakan penyebeb utama dari kecelakaan yang terjadi pada suatu organisasi. b. Berkaitan dengan pekerjaannya selaku manusia biasa, yang dalam hal akibat sistim kerja, tetapi bisa juga terjadi kelalaian dari manusianya selaku pekerja. Sistem kerja yang merupakan faktor penyebab suatu kecelakaan karena akibat: Tempat yang tidak baik, alat atau mesin-mesin yang tidak punya sistem pengamanan yang sempurna, pembuatan alat atau mesin yang tidak aman, kerusakan tempat kerja, bahan-bahan, kondisi kerja yang kurang tepat, kondisi kebersihan yang kurang baik, kondisi penerangan yang kurang mendukung, gelap atau silau., saluran udara atau pembuangan asap yang kurang baik, fasilitas pengamanan pakaian atau peralatan lainnya yang kurang mendukung. Faktor – faktor yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sistem kerja yang bersumber pada kesalahan manusianya, sehingga factor manusia yang mengakibatkan kecelakaan tersebut adalah karena : Menggunakan peralatan yang tidak aman. menjalankan peralatan kerja yang tidak tahu caranya, .menempatkan bahan-bahan yang tidak aman pada kondisi lingkungan, merusak alat-alat keselamatan kerja sehingga berakibat tidak baik, salah menggunakan alat kerja. karena gangguan orang lain. Kesalahan di atas ditimbulkan oleh manusianya karena antara lain : Ceroboh,, kurang pertimbangan, malas, tidak tenang, kurang hati–hati, kurang terlatih, kurang terampil, kurang pengawasan, merasa sudah tahu padahal tidak tahu. Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk menghindari kecelakaan kerja antara lain mencakup tindakan. Memperhatikan faktor-faktor keselamatan. Melakukan pengawasan yang teratur. Melakukan tindakan koreksi terhadap kejadian. Melakukan program diklat keselamatan kerja dan menghadapi kemungkinan timbulnya kecelakaan. 12. Peran perawat dalam menerapkan keselamatan pasien Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standart pelayanan dan SOP yang ditetapkan. Menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan. Memberikan pendidikan kepada pasien dan
34
keluarga tentang asuhan yang diberikan. Menerapkan kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan. Menerapkan komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya. Peka, proaktif dan melakukan penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan. Mendokumentasikan dengan benar semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga. Manfaat penerapan sistim keselamatan pasien antara lain : Budaya safety meningkat dan berkembang Komunikasi dengan pasien berkembang Kejadian tidak diharapkan menurun. peta
KTD selalu ada dan terkini, Resiko klinis
menurun, Keluhan dan litigasi berkurang, Mutu pelayanan meningkat, Citra rumah sakit dan kepercayaan masyarakat meningkat. Kewajiban perawat secara umum terhadap keselamatan pasien adalah Mencegah malpraktek dan kelalaian dengan mematuhi standart. Melakukan pelayanan keperawatan berdasarkan kompetensi. Menjalin hubungan empati dengan pasien. Mendokumentasikan secara lengkap asuhan. Teliti, obyektif dalam kegiatan. Mengikuti peraturan dan kebijakan institusi. Peka terhadap terjadinya cedera. F. Perilaku patient safety Perilaku mencakup 3 domain, yakni : pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan tindakan atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2003). Mengukur perilaku dan perubahannya khususnya perilaku patient safety juga mengacu kepada 3 domain tersebut., secara rinci dikaitkan dengan program patient safety dijelaskan sebagai berikut : 1.
Pengetahuan tentang patient safety Pengetahuan tentang patient safety adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang tentang patient safety . Pengetahuan tentang patient safety meliputi : a. Pengetahuan tentang risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan program patient safety. b. Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien.
35
c. Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan yang tersedia. d. Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan. Pengukuran pengetahuan patient safety seperti tersebut diatas adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket.
indikator
pengetahuan patient safety adalah tingginya pengetahuan responden tentang patient safety, atau besarnya persentase kelompok responden
tentang
variabel-variabel atau komponen-komponen patient safety. 2.
Sikap terhadap patient safety Sikap terhadap patient safety adalah pendapat atau penilaian orang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan patient safety, yang mencakup sekurang-kurangnya 4 variabel yaitu : a. Sikap terhadap risiko yang bisa terjadi bila tidak. menerapkan program patient safety b. Sikap tentang faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien. c. Sikap tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia. d. Sikap untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan
3.
Praktik patient safety Praktik patient safety atau tindakan untuk patient safety adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka patient safety. Tindakan atau praktik patient safety ini juga meliputi 4 faktor yaitu : Aspek perilaku di dalam patient safety a. Tindakan atau praktik sehubungan dengan risiko yang bisa saja terjadi bila tidak menerapkan patient safety. b. Tindakan atau praktik sehubungan faktor-faktor yang terkait dan/atau mempengaruhi keselamatan pasien.
36
c. Tindakan atau praktik sehubungan fasilitas pelayanan yang tersedia. d. Tindakan atau praktik sehubungan untuk menghindari kecelakaan dan kesalahan.
37
G. Kerangka Teori Reinforcing factor Petugas kesehatan Keluarga Masyarakat Tokoh agama Predisposing factor
Pengetahuan Sikap
Praktik menerapkan
Pendidikan
Patient safety
motivasi Budaya Norma keyakinan Enabling factor Sarana dan prasarana kesehatan
Modifikasi Lawrance Green
38
H. Kerangka Konsep Konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal khusus (Notoatmodjo,2002). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel bebas
Variabel terikat
Pengetahuan
Praktik perawat menerapkan program Patient safety
Sikap
\
A. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas ( independent variable ) Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain.(Nursalam,2003) Variabel bebas.pada penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan sikap perawat tentang patient safety. 2. Variabel terikat ( dependen variable ) Variabel terikat adalah Variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain atau faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas .(Nursalam,2003) Variabel terikat dalam penelitian ini adalah praktik perawat menerapkan patient safety.
39
B. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. .(Nursalam,2003)
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1. Ada hubungan antara
pengetahuan dengan praktik perawat menerapkan
program patient safety di instalasi rawat darurat RSUP dr. Kariadi Semarang. 2. Ada hubungan antara sikap dengan praktik perawat menerapkan program patient safety di instalasi rawat darurat RSUP dr. Kariadi Semarang