BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Pengertian Auditing Arens, et al., (2012:4) mendefinisikan auditing sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person”. Sementara menurut Agoes (2012:4) auditing adalah: “Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”. Sedangkan menurut Messier, Glover dan Prawitt (2014:12) definisi auditing
adalah sebagai berikut : “Auditing adalah proses yang sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”. Auditing memberikan nilai tambah bagi laporan keuangan perusahaan, karena akuntan publik sebagai pihak yang berada di luar perusahaan pada akhir
8
9
pemeriksaannya akan memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan perusahaan tersebut. Agoes (2012:4) menjelaskan bahwa pengertian auditing dapat diuraikan dalam empat karakteristik sebagai berikut: 1. Dalam audit laporan keuangan, yang diperiksa adalah laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya. Laporan keuangan yang harus diperiksa terdiri atas laporan posisi keuangan (neraca), laporan laba-rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. Catatancatatan pembukuan terdiri atas buku harian (buku kas/bank, buku penjualan, buku pembelian, buku serba serbi), buku besar, sub buku besar (piutang, kewajiban, aset tetap, kartu persediaan). 2. Pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis. Dalam melakukan pemeriksaannya, akuntan publik berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), menaati kode etik IAI dan aturan etika profesi akuntan publik serta mematuhi standar pengendalian mutu. 3. Pemeriksaan dilakukan oleh pihak yang independen, yaitu akuntan publik. Akuntan publik harus independen, dalam arti, sebagai pihak diluar perusahaan yang diperiksa, tidak boleh mempunyai kepentingan tertentu di dalam perusahaan tersebut, atau mempunyai hubungan khusus. Akuntan publik harus independen, baik in-fact maupun in-appearance dan in-mind karena sebagai orang kepercayaan masyarakat, harus bekerja secara objektif, tidak memihak ke pihak manapun dan melaporkan apa adanya. 4. Tujuan dari pemeriksaan akuntan adalah untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Auditing jika ditinjau dari sudut akuntan publik adalah pemeriksaan yang dilakukan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, laporan keuangan perusahaan atau organisasi tersebut (Mulyadi, 2002).
10
2.1.2
Standar Profesional Akuntan Publik Dalam standar profesional akuntan publik (SPAP) (2013) dijelaskan mengenai
ruang lingkup dalam suatu perikatan audit. Standar Perikatan Audit (SPA) ini mengatur tanggung jawab keseluruhan seorang auditor independen ketika melaksanakan audit atas laporan keuangan. Secara spesifik, standar ini menetapkan tujuan keseluruhan auditor independen, serta menjelaskan sifat dan ruang lingkup audit yang dirancang untuk memungkinkan auditor independen mencapai tujuan tersebut. Standar ini juga menjelaskan ruang lingkup, wewenang, dan struktur SPA, serta mencakup ketentuan untuk menetapkan tanggung jawab umum auditor independen yang berlaku untuk semua perikatan audit, termasuk kewajiban untuk mematuhi SPA. Untuk selanjutnya auditor independen disebut sebagai “auditor”. SPAP (2013) menjelaskan tujuan suatu audit adalah untuk meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan. Hal ini dicapai melalui pernyataan suatu opini oleh auditor tentang apakah laporan keuangan disusun, dalam semua hal material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Secara umum, opini tersebut adalah tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. SPAP (2013) SPA berisi tujuan, ketentuan, serta materi penerapan dan penjelasan lain yang dirancang untuk mendukung auditor dalam memperoleh keyakinan memadai atas suatu laporan keuangan. SPA menuntut auditor untuk
11
menggunakan
pertimbangan
profesional
dan
mempertahankan
skeptisisme
profesional selama perencanaan dan pelaksanaan audit. 2.1.3
Profesionalisme Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badudu dan Zein, 2008:848),
Profesi adalah pekerjaan dimana dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah untuk hidup. Sedangkan definisi profesional dapat berarti: 1) Bersifat profesi, 2) Memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan, 3) Latihan. Sementara profesionalisme adalalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Messier, et al., (2014) mendefiniskan profesionalisme sebagai sikap, tujuan, atau kualitas yang menjadi karakter atau menandai suatu profesi atau orang profesional. Sikap dan tujuan tersebut dapat dijadikan suatu kode etik profesi yang mendefinisikan sikap etis untuk setiap anggota profesi. Arens, et al. (2012) menyatakan professionals are expected to conduct themselves at a higher level than most other members of society. Secara sederhana, dapat diartikan bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa profesionalisme adalah sifat dan etika yang dimiliki dan diperoleh karena pendidikan dan latihan yang diterapkan
dalam
bidang
keahliannya.
Herawaty
dan
Susanto
(2009:15)
12
mengemukakan dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Konsep profesionalisme menurut American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) digunakan untuk mengukur profesionalisme seorang auditor dalam melaksanakan pekerjaannya. 6 prinsip perilaku profesional menurut American Institute of Certified Public Accountant (AICPA), yaitu: 1. Tanggung Jawab Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai profesional, seorang auditor harus menggunakan profesionalismenya dan penilaian moral dalam semua kegiatan mereka. Sebagai seorang profesional. Auditor memiliki peranan penting dalam masyarakat. Maka dari itu, auditor memiliki tanggung jawab terhadap semua orang yang menggunakan jasa profesional mereka. Adapun tanggung jawab merupakan keadaan dimana seseorang berkewajiban untuk menanggung segala tingkah laku dan perbuatannya. Auditor juga memiliki tanggung jawab untuk terus saling bekerja sama dengan rekan sesama profesi untuk memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung jawab profesi untuk meningkatkan tata kelola profesi itu sendiri.
13
2. Kepentingan Publik Dalam prinsip kepentingan umum, auditor berkewajiban untuk melayani kepentingan publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmennya untuk profesionalisme. Tanda bahwa seorang auditor berperilaku profesional adalah dengan menerima tanggung jawab kepada publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani oleh auditor secara keseluruhan. Dalam hal ini, maka auditor diharapkan untuk memberikan jasa yang berkualitas dan menunjukan komitmen untuk secara terus menerus menunjukan dedikasi yang tinggi untuk menghormati kepercayaan publik. 3. Integritas Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, auditor harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas yang tinggi. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari pengakuan profesional.
Integritas
merupakan
suatu
kualitas
yang
melandasi
kepercayaan publik dan juga suatu tolak ukur bagi seorang auditor dalam menguji semua keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang auditor untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Layanan kepada publik dan kepercayaan publik tidak boleh tunduk pada kepentingan dan keuntungan pribadi.
14
4. Objektivitas dan Kemandirian Auditor harus mempertahankan objektivitasnya dan bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya. Seorang auditor dalam prakteknya harus independen baik secara fakta (in fact) maupun secara penampilan (in appearance) saat memberikan jasanya kepada publik. Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan oleh auditor kepada klien. Hal itu merupakan suatu ciri yang membedakan profesi seorang auditor. Prinsip objektivitas mengharuskan auditor untuk tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias dan bebas dari konflik kepentingan atau berada di bawah pengaruh pihak lain. Kemandirian dapat mencegah hubungan yang mungkin timbul untuk merusak objektivitas seorang auditor dalam melaksanakan
tugasnya.
Kemandirian
dimaksudkan
sebagai
suatu
pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain. 5. Kehati-hatian Seorang auditor harus mematuhi standar teknis dan etika profesi, berusaha terus-menerus untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas pelayanan, dan melaksanakan tanggungjawab profesi dengan sebaik-baik nya. Kehatihatian
menuntut
auditor
untuk
melaksanakan
tanggung
jawab
15
profesionalnya dengan kompetensi dan ketekunan. Maka dari itu, auditor diwajibkan untuk melaksanakan jasa profesionalnya dengan sebaik mungkin, dengan kepedulian terhadap mereka yang menggunakan jasa auditor tersebut dan konsisten terhadap tanggung jawab profesi terhadap publik.
Kehati-hatian
profesional
mengharuskan
auditor
untuk
merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. 6. Ruang lingkup dan Sifat Jasa Seorang auditor dalam praktiknya harus mengamati prinsip kode perilaku profesional dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan diberikan. Pemahaman seorang auditor terhadap jenis jasa yang diberikan akan membantu auditor dalam menjalankan proses audit. Aspek kepentingan publik dari jasa seorang auditor mengharuskan layanan tersebut konsisten dengan perilaku profesional seorang auditor. Integritas mengharuskan jasa dan kepercayaan publik tidak disubordinasi dengan keuntungan pribadi. Objektivitas dan independensi mengharuskan auditor untuk bebas dari konflik kepentingan dan mengabaikan tanggung jawab profesional. Kehati-hatian mengharuskan jasa yang diberikan sesuai dengan kompetensi dan kemampuan.
16
Dalam standar audit yang terdapat pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) disebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor harus menggunakan pertimbangan profesional dalam merencanakan dan melaksanakan audit atas laporan keuangan (SPAP : 2013). Standar-standar audit dalam banyak hal saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Keadaan yang berhubungan erat dengan penentuan dipenuhi atau tidaknya suatu standar, dapat berlaku juga untuk standar yang lain. “Materialitas” dan “risiko audit” melandasi penerapan semua standar audit (Agoes, 2012 : 31). Profesionalisme juga berkaitan dengan etika profesi. Setiap manusia yang memberikan jasa dari pengetahuan dan keahliannya pada pihak lain seharusnya memiliki rasa tanggung jawab pada pihak-pihak yang dipengaruhi oleh jasanya itu. Kode etik yang ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) adalah pedoman bagi auditor untuk bertugas dengan penuh tanggung jawab dan objektif (Agoes, 2012:42). Pernyataan diatas menunjukan bahwa auditor dalam setiap kegiatan audit diwajibkan
untuk
menggunakan
kemahiran
profesionalnya.
Hal
ini
dapat
membuktikan bahwa profesionalisme sangat berperan dalam kegiatan audit laporan keuangan. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa profesionalisme auditor dalam setiap kegiatan pelaksanaan audit diwajibkan untuk menggunakan kemahiran
17
profesionalnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi profesionalisme auditor antara lain adalah (1) Tanggung jawab, (2) Kepentingan umum, (3) Integritas, (4) Objektivitas dan Kemandirian, (5) Kehati-hatian, (6) Ruang lingkup dan sifat jasa. 2.1.4
Materialitas SPA 320 dalam SPAP (2013) mendefinisikan materialitas sebagai berikut : “ Materialitas adalah suatu jumlah yang ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang semestinya kemungkinan salah saji yang tidak dikoreksi dan yang tidak terdeteksi secara agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan”. Definisi lain dari materialitas menurut FASB dalam Arens, et al. (2012:250)
adalah sebagai berikut : “The magnitude of an omission or misstatement of accounting information that, in the light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgement of a reasonable person relying on the information would have been changed or influenced by the omission or misstatement”. Sedangkan menurut Islahuzzaman (2012:263) : “materialitas adalah besarnya nilai atau arti pentingnya suatu penghapusan/penghilangan/kesalahan penyajian informasi keuangan yang dalam hubungannya dengan sejumlah situasi yang melingkupinya, membuat pertimbangan orang yang menyandarkan dirinya pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruhi oleh pengahapusan atau kesalahan penyajian tersebut”. Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa materialitas adalah besarnya salah saji yang dihilangkan dalam informasi akuntansi, yang jika dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mempengaruhi keputusan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi akuntansi tersebut.
18
Laporan keuangan memiliki salah saji material jika mengandung kesalahan atau kecurangan yang menyebabkan laporan tersebut tidak menyajikan secara wajar dalam memenuhi kesesuaian dengan prinsip akuntansi berterima umum (Messier et al.,
2014:86).
Konsep
materialitas
menggunakan
tiga
tingkatan
dalam
mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat, antara lain (Arens, et al., 2012:253): 1. Jumlah yang tidak material. Jika terdapat salah saji laporan keuangan tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. 2. Jumlahnya material, tetapi tidak memperburuk laporan keuangan secara keseluruhan. Tingkat materialitas ini terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar sehingga tetap berguna. 3. Jumlahnya sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan diragukan. Tingkat tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Materialitas mengukur apa yang dianggap signifikan oleh pemakai laporan keuangan dalam membuat keputusan ekonomis. Konsep materialitas mengakui bahwa hal-hal tertentu, terpisah atau tergabung, penting untuk pembuat keputusan ekonomis berdasarkan laporan keuangan tersebut (Tuanakotta, 2013:159). Materialitas adalah dasar untuk penilaian risiko audit dan penentu luasnya prosedur audit. Menentukan materialitas merupakan latihan dalam kearifan profesional. Materialitas didasarkan pada persepsi auditor mengenai kebutuhan informasi keuangan secara umum dari pemakai laporan keuangan. Jika salah saji
19
dalam laporan keuangan melebihi jumlah yang secara umum diperkirakan wajar dan dapat memengaruhi keputusan ekonomis pemakai laporan, maka jumlah tersebut adalah material (Tuanakotta, 2013:284). Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit. Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif. Pertimbangan kuantitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut (Mulyadi, 2002). Mulyadi (2002:159) menerangkan ada empat indikator dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas, yaitu: 1. Pertimbangan awal materialitas Dalam melakukan perencanaan auditnya auditor harus melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas. Penentuan materialitas ini seringkali disebut sebagai materialitas perencanaan, dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena : • Keadaan yang melingkupi berubah • Informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit
20
2. Materialitas pada tingkat laporan keuangan Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kaitannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materilitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. 3. Materialitas pada tingkat saldo akun Taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus di bagi ke akun-akun laporan keuangan individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima (tolerable misstatement) untuk akun tertentu. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas salah saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai resiko salah saji. 4. Alokasi materialitas laporan keuangan ke akun Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi atas dasar akun neraca. Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. SPA 320 dalam SPAP (2013) menyatakan materialitas yang ditetapkan pada tahap perencanaan audit tidak semata-mata menentukan bahwa salah saji yang tidak
21
dikoreksi, secara individual atau gabungan di bawah materialitas tersebut, akan selalu dievaluasi tidak material. Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan beberapa salah saji dapat menyebabkan auditor menilai salah saji tersebut sebagai salah saji material walaupun salah saji tersebut berada dibawah tingkat materialitas. Arens, et al., (2012:251) menjelaskan langkah-langkah dalam menentukan materialitas sebagai berikut: (1) tentukan pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas, (2) alokasi pertimbangan awal mengenai materialitas ke dalam segmen, (3) estimasi total kekeliruan dalam segmen, (4) estimasikan kekeliruan gabungan, (5) bandingkan estimasi gabungan dengan pertimbangan awal tingkat materialitas. Mulyadi (2002:162) menyatakan bahwa sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik: a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. b. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva. c. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva. d. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto. Agoes (2012:148) Materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar para pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Materialitas juga mempengaruhi penerapan standar audit, serta tercermin dalam laporan audit bentuk baku.
22
2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Standar auditing merupakan pedoman umum untuk membantu auditor
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dalam audit atas laporan keuangan (Arens, et al., 2012:42). Dalam standar audit yang terdapat pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) disebutkan bahwa dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya,
auditor
harus
menggunakan
pertimbangan
profesional
dalam
merencanakan dan melaksanakan audit atas laporan keuangan (SPAP : 2013). Keputusan pelaporan audit dipengaruhi oleh materialitas yang merupakan suatu pertimbangan terhadap laporan keuangan. Konsep pengaruh materialitas terhadap jenis opini laporan auditor serta penerapan pertimbangan materialitas dalam situasi tertentu merupakan pertimbangan yang sulit serta tidak ada pedoman yang sederhana dan jelas yang dapat memungkinkan auditor memutuskan apakah suatu hal dianggap tidak material, material, atau sangat material (Arens, et al., 2012:71). Tuanakotta (2013:161) menyatakan materialitas digunakan untuk membuat dan mengaudit laporan keuangan. Auditor menentukan materialitas berdasarkan persepsinya mengenai kebutuhan pemakai laporan keuangan.
(Agoes, 2012:31)
Materialitas melandasi penerapan semua standar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. (Tuanakotta, 2013:284) Materialitas juga merupakan dasar untuk penilaian risiko audit dan penentu luasnya prosedur audit. Materialitas
23
bukanlah angka mutlak (materiality is not an absolute number). Materialitas berada dalam “wilayah kelabu” antara “apa yang sangat boleh jadi tidak material” dan “apa yang sangat boleh jadi material”. Oleh karena itu, penilaian atau assessment mengenai apa yang material senantiasa merupakan urusan kearifan profesional (a matter of professional judgement). SPA 320 dalam SPAP (2013) menuntut auditor untuk menggunakan pertimbangan profesional dan skeptisisme profesional selama perencanaan dan pelaksanaan audit yang mencakup mengidentifikasi dan menilai resiko salah saji material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan, berdasarkan pemahaman atas entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian entitas. Wahyudi dan Mardiyah (2006:3) Pertimbangan auditor tentang materialitas adalah suatu masalah kebijakan profesional dan dipengaruhi oleh persepsi auditor tentang kebutuhan yang beralasan dari laporan keuangan.
X
Y
Profesionalisme
(Tuanakotta, 2013:161)
Tingkat Materialitas
(Arens, et.al., 2012:85) (Tjandrawinata, 2013)
(Wahyudi dan Mardiyah, 2006:3)
(Arens, et.al., 2012:251) (Messier, 2014:87)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
24
2.2.2
Penelitian Terdahulu Pada tabel 2.1, dijelaskan mengenai berbagai penelitian terdahulu yang ada
kaitanya dengan pengaruh profesionalisme auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas yang digunakan penulis.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No 1
Nama Peneliti Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto (2009)
Judul Penelitian Pengaruh Profesionalisme, Pengetahuan Mendeteksi Kekeliruan, dan Etika Profesi Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Akuntan Publik
2
Hendro Wahyudi dan Aida Ainul Mardiyah (2006)
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas
Variabel Penelitian Variabel Independen: profesionalisme,penge tahuan mendeteksi kekeliruan dan etika profesi Variabel dependen : pertimbangan tingkat materialitas
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini mendukung semua hipotesis. Hasil temuan mengindikasikan bahwa profesionalisme berpengaruh secara positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan. Variabel Independen: Penelitian ini menguji profesionalisme secara empiris auditor profesionalisme Variabel Dependen: auditor berdasarkan Kualitas Audit lima dimensi, yaitu: pengabdian pada
25
Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
3
4
Iriyadi dan Vannywati (2011)
Pengaruh Profesionalisme Auditor Dan Etika Profesi Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas
Variabel Independen: profesionalisme auditor dan etika profesi auditor Variabel Dependen: pertimbangan tingkat materialitas
Novanda Friska Bayu Aji Kusuma
Pengaruh Profesionalisme Auditor, Etika Profesi Dan Pengalaman Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat
Variabel Independen: profesionalisme auditor, etika profesi dan pengalaman auditor Variabel Dependen: pertimbangan tingkat materialitas
profesi, kewajiban sosial, kemandirian, kepercayaan profesi, dan hubungan dengan sesame profesi. Hasil penelitian menunjukan bahwa hanya dimensi pengabdian pada profesi, kemandirian, kepercayaan pada profesi dan hubungan dengan sesama rekan seprofesi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor mempunyai pengaruh sebesar 50,7% terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor dan etika profesi auditor secara bersamaan mempunyai pengaruh sebesar 77,3% terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Profesionalisme auditor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Herawaty dan Susanto
26
Materialitas
5
Hasan Basri (2011)
Pengaruh Dimensi Profesionalisme Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Proses Pengauditan Laporan Keuangan
Variabel Independen: profesionalisme auditor Variabel Dependen: pertimbangan tingkat materialitas
(2009). Profesionalisme auditor, etika profesi, dan pengalaman kerja secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kebutuhan untuk mandiri, hubungan dengan sesama profesi dan keyakinan terhadap peraturan profesi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas auditor. Namun secara parsial tidak semua variabel profesionalisme berpengaruh secara signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas auditor kecuali variabel kemandirian.
27
6
Cindy Laurent Tjandrawinata (2013)
Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Pemahaman Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pada Kantor Akuntan Publik Di Surabaya
Variabel independen: profesionalisme auditor Variabel Dependen: pemahaman tingkat materialitas
7
Alfi Septiant (2014)
Pengaruh Profesionalisme Auditor dan Tingkat Materialitas Terhadap Ketepatan Pemberian Opini Audit
Variabel Independen: Profesionalisme auditor dan tingkat materialitas Variabel Dependen: Ketepatan pemberian opini audit
Dari enam dimensi profesionalisme yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: tanggung jawab, kepentingan umum, integritas, objektifitas dan kemandirian, kehati-hatian dan runga lingkup dan sifat jasa, hanya pada dimensi ruang lingkup dan sifat jasa yang memiliki pengaruh yang signifikan dengan pemahaman tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan. Profesionalisme auditor dan tingkat materialitas sangat mempengaruhi hasil opini audit
28
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut: H1 : Profesionalisme auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam proses audit laporan keuangan.