BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 Peraturan terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dapat dilihat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004. Keputusan ini dibuat berdasarkan Code of Parctice Intenasional Labour Organization (ILO) mengenai HIV/AIDS di tempat kerja yang melarang perusahaan untuk melakukan segala bentuk diskriminasi dan penyaringan dalam proses rekrutmen dan promosi. Keputusan tersebut juga dibuat untuk mewajibkan perusahaan merumuskan kebijakan serta menciptakan program pencegahan di tempat kerja. Adapun hal yang melatarbelakangi terbentuknya kebijakan ini adalah kasus HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan banyak terjadi pada usia produktif yang akan
memberikan
dampak
negatif
terhadap
produktivitas
perusahaan
(KementerianTenaga Kerja dan Transmigrasi, 2004). Untuk mengantisipasi dampak HIV/AIDS di tempat kerja perlu adanya upaya pencegahan dan penanggulangan yang optimal. Pedoman bagi perusahaan dan pekerja/buruh dalam pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 68 tahun 2004 perusahaan wajib untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja dengan melaksanakan beberapa hal meliputi: a. Mengembangkan kebijakan tentang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS; b. Mengkomunikasikan
kebijakan dengan
cara memberikan
informasi dan
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; c. Memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh dengan HIV/AIDS dari tindakan dan perlakuan diskriminasi; d. Menerapkan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan standar.
6
7
Sepanjang tahun 2003, ILO memprakarsai sebuah upaya untuk mendorong Pemerintah Indonesia, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja menandatangani Deklarasi Komitmen Tripartit (Pemerintah khususnya Departemen Tenaga Kerja, perwakilan asosiasi pengusaha dan serikat pekerja) untuk bertindak dalam menanggulangi HIV/AIDS di dunia kerja, yang berpedoman pada Code of ParcticeILO untuk mendorong dan mendukung upaya stigma dan diskriminasi. Sebagai tindak lanjut deklarasi tersebut, ILO bekerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Aksi Stop AIDS (ASA) untuk menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi dan pelatihan dalam penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja pada tingkat nasional dan regional. Yang menjadi peserta diambil dari kantor-kantor Departemen Tenaga Kerja di tingkat nasional dan regional. Proses ini mendorong pengembangan lebih lanjut kerangka hukum dari Keputusan Menteri yang meliputi: a. Menetapkan dan menempatkan upaya-upaya anti stigma dan anti diskriminasi; b. Menyediakan akses bagi para pekerja di sektor formal untuk memperoleh informasi, layanan pencegahan HIV/AIDS serta upaya-upaya non-diskriminasi di tempat kerja. Jumlah perusahaan yang memiliki kebijakan dan program HIV/AIDS di tempat kerja sebanyak 35 dengan total perusahaan yang terdapat di Indonesia sebanyak 60.000, 110 perusahaan berpartisipasi dalam program pencegahan HIV/AIDS serta 550.000 pekerja telah menjangkau informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS di tempat kerja. ILO Jakarta dan ASA menyelenggarakan berbagai pertemuan tingkat tinggi dan pelatihan tingkat nasional mengenai program kebijakan HIV/AIDS di tempat kerja. Sebanyak 250 perusahaan menghadiri pelatihan yang diadakan di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Batam (Husain, 2005). 2.2. Tenaga Kerja Migran Migrasi tenaga kerja didefinisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan negara, provinsi, kabupaten/kota dengan tujuan mendapatkan pekerjaan di wilayah tersebut. Migrasi tenaga kerja di Asia termasuk Indonesia sebagian besar bersifat temporer, yaitu pekerja mempunyai kontrak selama satu atau dua tahun. Selain itu tenaga kerja migran didominasi oleh pekerja dengan keterampilan rendah seperti pekerjaan di proyek bangunan, rumah tangga, pertanian, industri pegolahan dan sektor jasa. Tenaga kerja migran dapat dibedakan menjadi dua yaitu tenaga migran internasional dan tenaga migran internal. Tenaga migran internasional
8
merupakan buruh migran yang berpindah melintasi perbatasan negara, sedangkan tenaga migran internal merupakan buruh migran yang melewati batas provinsi atau kabupaten/kota. Salah satu jenis pekerjaan yang memiliki mobilitas yang tinggi dan termasuk tenaga migran adalah pekerja/buruh bangunan (International Organization for Migration, 2010). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Denpasar tahun 2013 persentase tenaga kerja
bangunan/konstruksi7,17%
untuk
kota
Denpasar
dan
Bali
sebesar
9,29%.Perusahaan ini menyediakan jasa konstruksi dan salah satu pembangunan yang sedang berjalan adalah proyek di Pecatu. Sebanyak 300 pekerja/buruh migran terlibat dalam pembangunan ini dan semuanya tidak tinggal bersama keluarga atau pasangan mereka. 2.3. HIV/AIDS 2.3.1. Pengertian HIV/AIDS HIV merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama CD4 sehingga merusak sistem kekebalan tubuh. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak virus HIV baru, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit (Hasdianah dan Dewi, 2014). HIV hidup di semua cairan tubuh manusia, tetapi dapat ditularkan melalui darah, air mani (bukan sperma), cairan vagina, dan ASI (Murni dkk., 2003). AIDS merupakan suatu kondisi medis yang berupa kumpulan gejala karena terinfeksi HIV yang menyebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan hingga saat ini belum ditemukan vaksin dan obat penyembuhannya (Kemenakertrans, 2004). Pada saat kekebalan tubuh melemah, muncul berbagai masalah kesehatan dan gejala yang biasanya muncul batuk, demam atau diare. Namun, setelah terinfeksi HIV tidak segera muncul gejala, karena diperlukan waktu lama untuk terjadinya replikasi virus. 2.3.2. Cara penularan HIV/AIDS Adapun kegiatan yang dapat menularkan HIV adalah menurut Murni dkk., (2003) sebagai berikut: 1. Hubungan seks tanpa kondom pada kelompok yang berisiko. 2. Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian.
9
3. Peralatan dokter yang tidak steril. 4. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung HIV. 5. Ibu yang positif HIV dan menularkan pada janinnya dalam kandungan, ketika melahirkan dan saat memberikan ASI. HIV tidak dapat menular dengan cara: bersentuhan, berciuman, bersalaman, berpelukan, peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, tinggal serumah dengan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan duduk bersama dalam satu ruangan (Murni dkk., 2003). 2.3.3. Gejala-gejala HIV/AIDS Apabila seseorang sudah terinfeksi HIV tidak segera timbul gejala, karena butuh waktu untuk terjadinya replikasi virus. Masa inkubasi infeksi HIV berbeda-beda tergantung pada dosis infeksi dan daya tahan tubuh individu dengan HIV. Untuk keperluan survei AIDS di Indonesia berpedoman pada definisi kasus AIDS yang disusun oleh US Center for Disease Control (CDC) dan disetujui oleh WHO. Berdasarkan diagnosis tersebut, AIDS ditetapkan bila terdapat gejala mayor dan minor meliputi (Mutia, 2008): 1. Gejala mayor: Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan. Diare kronis lebih dari 1 bulan, baik berulang maupun terusmenerus. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3 bulan. 2. Gejala minor: Batuk kronis selama lebih dari 1 bulan. Infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Munculnya Herpes zorter berulang. 2.3.4. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS 2.3.4.1. Layanan komprehensif HIV/AIDS yang berkesinambungan Layanan komprehensif merupakan upaya yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Layanan yang berkesinambungan adalah layanan HIV/AIDS secara paripurna. Dalam kaitannya layanan komprehensif dan berkesinambungan di tempat kerja harus melibatkan pihak ketiga seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau puskesmas terdekat yang sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun
10
2004. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012 jenis layanan komprehensif HIV/AIDS meliputi: a. Promosi dan pencegahan: promosi kesehatan (KIE), ketersediaan dan akses alat pencegahan (kondom), dan life skills education. Upaya promosi dan pencegahan dalam kaitannya pada buruh migran (pekerja bangunan) dapat dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan penyuluhan terkait pemahaman HIV/AIDS, pencegahan dan risiko yang terjadi pada pekerja dan lingkungan sekitar. Sesuai dengan Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 perusahaan wajib memberikan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja, karena setiap pekerja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dengan memberikan pengetahuan pada pekerja dan menyediakan akses alat pencegahan berupa kondom secara gratis oleh pekerja akan meminimalisir perilaku berisiko pada pekerja. b. Tata laksana klinis HIV/AIDS: tatalaksana medis dasar, terapi ARV dan dukungan gizi. Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004 tidak mewajibkan pekerja untuk melakukan tes HIV, tes ini dilakukan secara sukarela dengan persetujuan tertulis. Pihak perusahaan dilarang melakukan tes HIV untuk proses perekrutan atau sebagai pemeriksaan kesehatan rutin. Dan tidak melakukan pemecatan pada pekerja dengan alasan positif HIV. Apabila terdapat pekerja yang positif HIV dengan melakukan tes secara sukarela, pihak perusahaan harus memfasilitasi dan memberikan informasi bagi pekerja dalam mengakses ARV untuk menekan perkembangan virus. c. Dukungan psikososial, legal dan ekonomi: dukungan psikososial, spiritual, sosial, ekonomi dan dukungan legal. Apabila buruh migran (pekerja bangunan) dengan sukarela melakukan tes HIV dan hasil tes tersebut positif, pihak perusahaan harus memberikan perlindungan pada pekerja dari diskriminasi sesuai yang tercantum dalam Kepmenakertrans No. 68 tahun 2004. Dengan memusatkan upaya pencegah HIV/AIDS di tempat kerja, maka pekerja yang berisiko bisa dijangkau. Tempat kerja merupakan tempat berkumpulnya sejumlah besar pekerja yang sebagian besar waktunya dihabiskan di tempat kerja. Selain itu tempat kerja juga memungkinkan untuk diselenggarakannya program pendidikan kesehatan. Program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di
11
tempat kerja merupakan salah satu upaya yang efektif dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit (Mutia, 2008). 2.3.5. HIV/AIDS pada mobile migrant population Penduduk Indonesia memiliki mobilitas tinggi dan menjadi salah satu dari dua atau tiga kelompok buruh migran di dunia. Ini merupakan potensi besar dalam penyebaran HIV/AIDS. Pada tiap kasusnya ada satu elemen mobilitas penduduk yang jelas berpengaruh terhadap tingginya kasus HIV/AIDS melalui buruh migran yang berkaitan dengan industri seks komersial di tiap provinsi. Pertumbuhan industri seks komersial dimana terdapat konsentrasi buruh migran memberikan risiko infeksi yang lebih besar. Daerah semacam itu termasuk wilayah transit, tempat kerja yang mempekerjakan buruh migran dalam jumlah besar, pelabuhan dan dermaga, lokasi konstruksi dan perkebunan. Ada pola yang jelas dalam kasus penduduk dengan mobilitas tinggi yang memiliki kecenderungan berperilaku risiko tinggi terutama dalam hal berhubungan seksual dengan PSK dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Bentuk paling dominan dari mobilitas penduduk internal masyarakat Indonesia sekarang ini adalah migrasi buruh. Ini biasanya melibatkan para buruh yang meninggalkan keluarga, kebanyakan berasal dari desa, penduduk asli dan sering bepergian dalam jarak yang lumayan jauh untuk bekerja di kota, perusahaan tambang, pabrik dan lokasi pembangunan yang terdiri dari orang dewasa muda. Buruh migran ini termasuk dalam kelompok berisiko tinggi (Hugo, 2001). Beberapa jenis pekerjaan memiliki risiko terinfeksi HIV/AIDSadalah mobile migrant population merupakan salah satu kelompok yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan tuntutan pekerjaan yang sering berpindah tempat, jauh dari pasangan ataupun keluarga dan lepas dari kungkungan perilaku tradisional terutama terkait perilaku seksual. Mobile migrant population memiliki pola dan tingkat mobilitas yang berbeda-beda yang turut menjadi faktor pengaruh terhadap tingginya perilaku seksual berisiko. Menurut Hugo,
(2001) terdapat
hubungan yang jelas antara penduduk yang memiliki mobilitas tinggi dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual berisiko (terutama pada PSK) dibandingkan dengan kelompok yang kurang dinamis. Proporsi hasil survei terkait perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menunjukkan 90% responden pernah melakukan hubungan seksual dengan PSK, orang asing ataupun pacar sendiri. Sebagian besar respon berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa
12
menggunakan kondom. Proporsi perilaku seksual pada pekerja migran sebanyak 43% pernah berhubungan seksual dengan PSK dan dari jumlah tersebut sebanyak 86% mengaku tidak menggunakan kondom. Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Berdasarkan hasil analisis menurut jenis pekerjaan epidemi HIV/AIDS banyak terkonsentrasi pada buruh (42%). Hal ini menunjukkan bahwa besar risiko pada kelompok
mobile
migrant population dan pekerja bangunan merupakan salah satu dalam kelompok tersebut (Mariyah, 1992; Berliana, 1999). 2.4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS 1. Tingkat pendidikan Pendidikan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menerima serta merespon informasi yang diperolehnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan menyerap informasi kesehatan juga semakin baik. Namun berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
Amiruddin
dan
Yanti,
(2011)hubungan tingkat pendidikan dengan tindakan berisiko tertular HIV/AIDS pada anak jalanan bahwa yang melakukan tindakan berisiko responden yang tingkat pendidikannya tinggi lebih besar dari pada tingkat pendidikannya rendah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Luthfiana, (2012) bahwa hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi pendidikan tinggi dan rendah dengan perilaku berisiko terhadap penyakit HIV/AIDS (p=0,640). 2. Status perkawinan Status sudah kawin terkadang menunjukkan hubungan dengan perilaku seksual berisiko. Hasil penelitian Mutia, (2008) sebanyak 26% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus sudah kawin dan 14% responden yang melakukan perilaku seksual berisiko berstatus belum kawin. Status kawin ditemukan terdapat hubungan dengan perilaku seksual berisiko pada penduduk yang sering berpindah-pindah, jauh dari pasangan atau keluarga (mobile migrant population). 3. Frekuensi pulang ke daerah asal Menurut Berliani, (1999) terkait perilaku seksual pekerja migran (TKI) sebanyak 41,2% melakukan hubungan seks karena dorongan batin dan 23,5% alasan kesepian, bosan dan mencari hiburan. Sebagian besar responden dapat menjenguk
13
keluarga 2 atau 3 kali dalam setahun. Kondisi yang jauh dari pasangan karena terikat kontak kerja yang panjang (rata-rata dua tahun) sering menyebabkan pekerja migran untuk melakukan hubungan seks tidak dengan pasangannya. Masa kerja yang panjang dan kesempatan yang minim untuk bertemu keluarga dapat memicu kebosanan dan kesepian serta tekanan batin bagi pekerja migran dengan kebutuhan seksual yang tidak terpenuhi. 4. Keterpaparan terhadap penyuluhan Di Ho Chi Minh City, Vietnam, terdapat hubungan antara keterpaparan penyuluhan terhadap peningkatan perilaku pencegahan HIV/AIDS pada pekerja bangunan. Terdapat peningkatan yang signifikan berkaitan dalam hal pemahaman HIV, efektivitas kondom, keyakinan pekerja bangunan dalam mendapatkan serta memakai kondom dan keputusan untuk para pekerja bangunan yang terpapar dengan program penyuluhan (UNDP, 2003). Hasil analisis bivariat antara keterpaparan terhadap penyuluhan dengan perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p=0,496). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa responden yang pernah mengikuti
penyuluhan
justru
memiliki
perilaku
seksual
yang
berisiko
dibandingkan responden yang belum pernah mengikuti penyuluhan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah responden yang pernah mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko pada buruh bangunan sebesar 24%, persentase ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden yang belum mengikuti penyuluhan dan memiliki perilaku seksual berisiko yaitu sebesar 17% (Mutia, 2008).