BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alasan Memilih Teori Linguistik Sistemik Fungsional Penelitian ini menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) sebagai landasan. Ada beberapa alasan menggunakan teori LSF, pertama data yang dianalisis adalah GN dalam BA, merupakan kajian genre yang bertahap, berorientasi pada tujuan dan dinamis sesuai model teoritis yang sudah ada sebelumnya. Yang kedua, LSF merupakan teori kebahasaan yang menganalisis bahasa berdasarkan konteks sosial. Dengan kata lain, terjadinya genre nasihat dalam BA merupakan konteks sosial yang terjadi karena sifat konstrual bahasa dan konteks yang saling mempengaruhi. Yang ketiga, LSF berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem lain (bentuk dan ekspresi) untuk merealisasikan arti tersebut, yang bermakna dua konsep yakni (1) bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan (2) bahasa berkonstrual dengan konteks sosial. Pengertian bahwa fenomena sosial wujud dalam sistem semiotik mengimplemantasikan tiga unsur atau strata, yakni arti (discourse semantics), bentuk
(lexicogrammar)
dan
ekspresi
(phonology/
graphology).
Arti
direalisasikan oleh bentuk dan seterusnya dikodekan oleh ekspresi. Dengan demikian, bahasa dalam teori LSF memiliki tiga strata yakni arti, bentuk dan
Universitas Sumatera Utara
15
ekspresi. Sifat hubungan arti dan bentuk adalah alamiah (natural), sementara sifat hubungan arti dan ekspresi adalah arbitrar. Pandangan kedua LSF, bahwa bahasa berkonstrual dengan konteks sosial karena teks terjadi ditentukan oleh konteks. Artinya teks adalah unit arti yang wujud sebagai bunyi, kata, frasa, klausa, klausa kompleks, kalimat dan atau paragraf. 2.2 Model-Model Analisis Genre Beberapa model analisis genre dalam pendekatan LSF dan fungsional di bawah ini, yaitu model Halliday, Hasan, Martin & Gregory dan Swales & Bathia. Beberapa model yang pernah menerapkan analisis genre di Indonesia adalah Sinar dan Saragih. 2.2.1 Model Halliday Halliday (1978:34) menempatkan genre dalam ranah cara semiotis situasional. Dengan demikian, Halliday secara khusus menempatkan genre pada konteks situati. Bahasa adalah sumber untuk membentuk arti dan ekspresi. Keduanya sangat terikat dengan konteks budaya (genre). Dengan demikian, hubungan antara bahasa dan budaya dalam hal ini yang dimaksud adalah konteks budaya dan secara langsung berhubungan dengan konteks situasi (register). Konteks situasi terdekat dengan bahasa (teks) memiliki medan, pelibat dan sarana diinstansiasikan
oleh
semantik
wacana,
selanjutnya
direalisasikan
oleh
leksikogramatika dan diekspresikan atau dikodekan oleh fonologi/grafologi.
Universitas Sumatera Utara
16
Ada tiga unsur yang menyebabkan terjadinya teks, yaitu budaya, situasi, dan system. Dari ketiga unsur tersebut, terdapat dua jalur atau cara, yaitu (1) realisasi & instansiasi dan (2) instansiasi & realisasi. Kedua cara tersebut berawal dari budaya. Cara pertama dimulai dari budaya sebagai unsur konteks sosial, secara langsung diinstansiasikan oleh konteks situasi dan konteks situasi direalisasikan oleh teks. Cara yang kedua budaya direalisasikan oleh system dan diinstansiasikan oleh teks. Kedua cara tersebut dapat dilihat pada figura berikut.
the system (potensial)
the instance
context in which language functions
CULTURE (cultural domain)
Language
SYSTEM
Note:
SITUATION (situation type)
TEXT
left – right = instantiation [cf. climate weather] Top – bottom = realization [ as, within language, Lexicogrammar phonology ]
Figura 2.1: Bahasa dan Konteks Sosial (Halliday, 1991: 8)
2.2.2 Model Hasan Berbeda dengan Halliday, Hasan berpendapat bahwa genre dan register adalah dua unsur konteks yang bisa saling dipertukarkan dan kedua istilah tersebut merujuk kepada jenis teks yang dihasilkan dalam setiap konteks situasi pada satu sistem semiotik (Hasan,1978:228-246, 1996:191-242).
Baik genre
Universitas Sumatera Utara
17
maupun register keduanya menyatu karena menjelaskan dari mana datangnya genre dan keduanya dapat dipahami secara linguistik. 2.2.3 Model Martin Martin memiliki pandangan lebih luas lagi dengan pendapat bahwa genre adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan yang di dalamnya si pembicara sebagai anggota (1984:25). Genre dideskripsikan sebagai unsur konteks sosial. Ada tiga unsur konteks sosial. Dari ketiga konteks itu, genre berada pada tahap kedua, yakni setelah Ideologi. Secara berturut-turut dari strata yang paling abstrak ke strata yang paling kongkrit tersusun ideologi (ideology), konteks budaya (genre), dan konteks situasi (register). Martin (1984) memberi uraian tentang genre sebagai berikut. Pertama, genre adalah suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan. Kedua, tujuan khusus pada dasar kemaslahatan, dan ketiga kegiatan tersebut dicapai secara bertahap. Tahapan-tahapan yang dicapai merupakan kegiatan proses semiotis demi tercapainya tujuan komunikasi yang disepakati melalui bahasa. Setiap genre berciri secara spesifik. Ciri tersebut dapat dilihat dari struktur teks atau struktur generik yang dimilikinya. Lebih jelasnya, struktur generik narasi berbeda dengan struktur generik eksposisi. Demikian juga struktur generik eksposisi berbeda dengan struktur generik laporan dan sterusnya. Beberpa penelitian yang telah dilakukan oleh Martin, antara lain, linguistik sistemik fungsional, tata bahasa sistemik fungsional, wacana semantik, konteks situasi, genre, multimodalitas, dan kritik analisis wacana dalam bahasa Inggris
Universitas Sumatera Utara
18
dan Tagalog khususnya dalam bidang pengajaran linguistik, forensik linguistik, dan semiotik sosial. Kontribusi Martin yang menonjol tentang genre adalah pendekatan berbasis genre terhadap pengajaran bahasa, yakni ”Genre pedagogy”. Genre Pedagogy berdasar pada bimbingan melalui interaksi dalam konteks pengalaman yang telah dipahami bersama. Penelitian ini terinsfirasi atas penelitian Halliday sebelumnya, yakni “Perkembangan Bahasa Anak”.
Ideology
Genre
Register
Language
Figura 2.2: Hubungan Bahasa dengan Semiotik Konotatif– Ideologi, Budaya, dan Situasi ( Martin, 1993:158)
2.2.4 Model Swales dan Bathia Swales berpendapat tentang genre sebagai struktur teks akademik yang dikomunikasikan dan dipahami semua anggota atau pelibat kalangan professional dan komunitas ahli akademik dan terjadi secara teratur. Pada umumnya Genre terstruktur atas kesepahaman pemakainya dan menjadi pemicu pemunculan
Universitas Sumatera Utara
19
kendala. Namun, kendala tersebut sering dijadikan sebagai medium eksploitasi para ahli terhadap komunitas masyarakat pengguna untuk memperoleh kepentingan pribadi / kelompok dengan mengatasnamakan kepentingan sosial. Swales dalam Bathia (1994:13) mengatakan: “Genre is a recognizable communicative event characterized by a set of communicative purposes identified and mutually understood by the members of the professional or academic community in which it regularly occurs. Most often it is highly structured and conventionalized with constraints on allowable contributions in terms of their intent, positioning, form and functional value. These constraints, however, are often exploited by the expert members of the discourse community to achieve private intentions within the framework of socially recognized purposes.” Sebagai pakar linguistik khususnya di bidang genre, Swales terkenal dengan karya tulisnya seperti analisis genre di bidang retorika, analisis wacana, bahasa Inggris akademik dan ilmu informasi. Swales dan Bathia merupakan pakar genre dalam menganalisis text akademik, mencakupi beberapa aspek, antara lain: 1. Genre adalah kegiatan yang dikenal bersama-sama dalam tujuan komunikasi. Walaupun ada ciri lain terdapat pada genre, seperti isi, bentuk, hajat pendengar, medium atau channel, namun tetap ada tujuan komunikasinya. Atas dasar itulah maka terbentuknya struktur generik dalam genre. Walaupun perbedaan genre dan sub-genre selalu tidak dapat dibedakan, namun tujuan komunikatifnya bisa dijadikan kriteria untuk membedakan genre dan subgenre. 2. Genre selalu memiliki struktur dan menjadi kegiatan konvensional. Biasanya para pakar dipercayai untuk memberikan pengakuan, bukan saja pada tujuan kimunikasinya tapi juga pada struktur generik yang dipakai di masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
20
3. Bermacam
genre
menampilkan
kendala-kendala
dalam
pemberian
kontribusinya diantaranya dalam maksud atau tujuan, posisi, bentuk dan nilai fungsi. Ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kebebasan dalam kreasi teks, namun harus tetap menyesuaikan atau mengikuti standar aturan dalam struktur genre tersebut. Bathia (1994:10) menampilkan beberapa langkah dalam pelaksanaan analisis genre sebagai berikut: 1. Mengumpulkan contoh-contoh genre yang akan dianalisis. 2. Menjadikan beberapa genre sebagai materi investigasi. 3. Mempertimbangkan apa-apa yang telah diketahui tentang genre-genre yang telah dikumpulkan itu termasuk konteks situasi terjadinya teks. 4. Menentukan situasi (dalam hal apa) teks terjadi. Untuk menambah wawasan tentang proses ini perlu ada panduan buku, pedoman dan lain-lain seperti informan atau nara sumber. 5. Menentukan analisis apa saja yang telah dilakukan, antara lain penelitian artikel, atau buku-buku dalam topik itu. 6. Memperjelas analisis dengan cara memastikan siapa penulis, audien, dan hubungan mereka dengan teks; yakni siapa penulis, pembaca dan pemakai. 7. Mempertimbangkan bagaimana teks diorganisir, disajikan dan fiturfitur linguistik apa saja terlibat dalam realisasinya. 8. Menentukan siapa saja yang membutuhkan dan berpartisipasi dalam genre tersebut.
Universitas Sumatera Utara
21
Dalam konteks wacana, (Bhatia, 1994:10) harus ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni (1) fitur bahasa yang digunakan dalam realisasi, (2) wacana yang melatari interaksi antara penulis dan pembaca atau pemicara dan pendengar dan (3) atensi yang ditetapkan dalam struktur wacana itu. Dalam pembelajaran bahasa misalnya, ada dua aspek yang harus dipertimbangkan, yakni (1) kurangnya informasi rasionalitas yang mendasari bermacam-macam jenis wacana. Dengan kata lain, sosialisasi wacana belum didukung sepenuhnya oleh lingkungan termasuk guru-guru di sekoleh, dan (2) kurangnya perlakuan (treatment) atas wacana (teks) oleh siswa di dalam maupun di luar kelas. 2.2.5 Model Christie Christie berpendapat bahwa genre memiliki struktur bahasa untuk merealisasikan arti dalam komunikasi. Struktur tersebut terpola secara spesifik berdasarkan hubungannnya dengan konteks sosial si pemakai genre itu. Dengan demikian, LSF memberi kontribusi terhadap genre bagaimana genre itu dipahami dan diaplikasikan dalam analisis teks dan pengajaran bahasa (Christie, 1997:45). “Sistemik” merujuk pada struktur atau pengorganisasian bahasa agar bisa digunakan dalam konteks sosial. Sistemik juga merujuk pada sistem pilihan bagi pemakai bahasa dalam merealisasikan arti. Konsep realisasi penting dalam LSF karena konsep tersebut menjelaskan secara dinamis cara-cara bagaimana bahasa merealisasikan tujuan sosial berdasarkan konteks sebagai interaksi bahasa. 2.2.6 Model Gregory Gregory dan Carrol (1978) mendefinisikan genre sebagai susunan atau pola variasi bahasa yang berhubungan dengan intensi sosial si pembicara. Gregory
Universitas Sumatera Utara
22
awalnya memberlakukan nilai genre pada variabel tenor sebagai kategori konteks pada variasi bahasa. 2.2.7 Model Saragih Genre secara rinci berfungsi menetapkan konfigurasi isi (field), pelibat (tenor) dan cara (mode). Saragih memberi contoh khotbah yang membicarakan ajaran agama (isi), yang melibatkan khatib atau pendeta dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan cara interaksi satu arah saja (Saragih, 2009: 200). Berbeda dengan khotbah, pengajian atau penelaahan kitab membicarakan ajaran agama (isi) yang melibatkan ustad atau pertua dan jemaah atau jemaat (pelibat) dengan interaksi dua arah (cara). Dengan demikian, jelaslah bahwa genre adalah dasar terciptanya register. Register selanjutnya memakai semiotik sosial untuk merealisasikannya. Untuk membedakan secara jelas, figura berikut (Saragih, 2009:3) dapat memberikan batas dan lintas bahasa secara sistemik. Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992) sebagai berikut: --------------------------------------------------------------------------------------Ideologi ------------------------------------------------------------Budaya ------------------------------------------Situasi Semantik
Tata Bahasa
Fonologi/ Grafologi/ Isyarat
Semiotik Konotatif Semiotik Denotatif Figura 2.3: Model yang dikembangkan dengan memadukan konsep Martin (1992)
Universitas Sumatera Utara
23
2.2.8 Model Sinar Sinar (2008:68-69) menjelaskan bahwa genre adalah produk budaya. Dengan kata lain, bahasa adalah bagian budaya, dengan demikian genre adalah ragam bahasa sebagai produk dari budaya masyarakat tertentu. Jelas kelihatan bahwa bahasa dan genre
sama-sama berkembang, berkonstrual dan sangat
dinamis. Sinar (2002: 156-157) menjelaskan bahwa semiotik bahasa berada dalam konteks sosial dan konteks sosial berada dalam agama yang merupakan semiotik alam semesta. Sinar (2002:156-157) memiliki model secara spesifik berbeda dengan yang lain dan menyatakan bahwa secara konseptual semiotik mayor bahasa berada dalam kontkes dien, ideologi, budaya, situasi dan bahasa. Semiotik kontekstual terfokus pada ‘fasa’ dan lokasinya dalam ranah semiotik budaya berada pada konteks situasi, secara spesifik berada pada ranah dua tipe, sedangkan pada tingkat semiotik tekstual terfokus pada eksperiensial dan lokasinya berada pada ranah semantik.
Discourse structuring Substantiation Conclusion Universitas Evaluation Sumatera Utara Consent
24
Dien Ideology
Culture
Situasion (discourse) Dialectal variation
functional variation Register
Social Geographycal Tenor Temporal
Field
Mode Phase
Tristratal Language Discourse Semantics Ideational: Experiential Logical Interpersonal Textual
Lexicogrammar
Phonology/ Graphology
Transitivity Interdependency Mood/Modality Theme/Information
Being/having Doing/happening Sensing Behaving Saying Existing
Relational Material Mental Behavior Verbal Existensis
Figura 2.4: Hubungan Semiotik Bahasa dalam Konteks Sosial: Fase dan Eksperiensial (Sinar, 2002: 157)
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Kerangka Teoretis LSF Kajian bahasa atau linguistik, (Halliday, 1994:xvii) dan Gerot (2001:7) didasarkan pada asumsi yang dijadikan sebagai dasar untuk mengkaji bahasa tersebut. Dalam penelitian ini, kajian yang digunakan adalah LSF. Teori itu beranggapan bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem bentuk untuk merealisasikan arti tersebut. Dengan demikian bahasa merupakan sistem arti dan sistem lain (yakni sistem bentuk /wording dan ekspresi/ phonology/ graphology) untuk merealisasikan arti tersebut berdasarkan konteks sosial. LSF diperkenalkan oleh M.A.K. Halliday pada awal 1960-an (Halliday, 2003:437). Perkembangannya sampai saat ini telah melampaui perkembangan aliran struktural yang mencapai zaman keemasan oleh Noam Chomsky dan kawan-kawan pendahulunya seperti Modistae, Bloomfield, dan Pike. Halliday dan para pakar lainnya telah menerapkan teori ini untuk mengkaji berbagai aspek kebahasaan baik dari system paradigmatik dan sintagmatik dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Jepang, Mandarin, Hindi, Tagalog, Prancis, Persia, dan Arab (Saragih, 2005:i). Konsep yang dibangun dalam LSF adalah bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang wujud sebagai semiotik sosial dan bahasa merupakan teks yang berkonstrual dengan konteks sosial (Halliday, 2005:175). Dengan demikian setidaknya ada dua konsep yang perlu dijelaskan dalam pengertian ini. Konsep pertama adalah bahasa merupakan semiotik umum yang memiliki dua unsur, yakni arti dan ekspresi (Halliday, 2005:293). Namun, berbeda dengan semiotik umum semiotik bahasa adalah semiotik sosial yang khusus. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
26
semiotik sosial, bahasa juga memiliki unsur lain, yakni: bentuk. Dengan demikian, sebagai semiotik sosial bahasa memiliki tiga unsur: arti dalam tataran semantik, bentuk dalam tataran leksikogramatika, dan ekspresi dalam tataran fonologi dan atau grafologi. Hubungan antara ketiga unsur itu disebut ‘hubungan realisasi’. Arti direalisasikan oleh bentuk dan bentuk direalisasikan dalam ekspresi. LSF memandang bahasa merupakan sumber dalam membuat arti (Gerot, 2001:6). LSF berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan sesungguhnya dalam kenyataan dan terfokus pada teks dan konteks sehingga teks dipahami berbeda dengan teori formal. Dengan demikian LSF tidak hanya membahas struktur teks tapi juga bagaimana struktur teks membentuk arti dengan daya konstrual (saling menentukan dan merujuk) dengan konteks. 2.3.1 Metafungsi Bahasa Dalam teori LSF, dinyatakan bahwa metafungsi bahasa terbagi tiga fungsi yaitu (1) fungsi ideasional, (2) fungsi interpersonal, dan (3) fungsi tekstual. Pembahasan berikut adalah pembahasan fungsi-fungsi tersebut (Sinar, 2012:27). 2.3.1.1 Fungsi Ideasional Fungsi ideasional adalah fungsi bahasa untuk memaparkan pengalaman. LSF berasumsi bahwa fungsi sama dengan makna. Makna ideasional adalah makna tentang kenyataan atau fakta suatu benda baik secara konkrit atau abstrak, benda mati atau hidup (Gerot, 2001:12). Makna ini direalisasikan oleh system leksikogrammatika khususnya system transitivitas dan hubungan makna logis melalui partisipan, proses dan sirkumstan.
Universitas Sumatera Utara
27
Selanjutnya makna ideasional menjelaskan dua hal yaitu pengalaman, apakah pengalaman itu unik atau tidak, apakah pengalaman itu linguistik atau non-linguistik, dan hubungan logis. Bagi MA, pengalaman non-linguistik bisa berupa jatuh dari tangga, dikejar angsa, mengejar pencuri, dan lain-lain. Pengalaman non-linguistik harus dijadikan menjadi pengalam linguistik agar bisa dipahami orang lain. Untuk menjadikan pengalaman non-linguistik menjadi pengalaman linguistik, diperlukan tiga unsur, yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Dalam perspektif LSF, bahasa terwujud untuk memenuhi kebutuhan manusia (Halliday, 2004:170), karena bahasa dipergunakan di manapun manusia berada. Bahkan ketika manusia meneroka menggunakan bahasa. Fungsi yang disampaikan bahasa dalam konteks ini adalah fungsi eksperiensial. Ini berarti bahwa struktur bahasa ditentukan oleh fungsi apa yang dilakukan bahasa (atau lebih tepat fungsi yang ingin dicapai manusia dengan menggunakan bahasa) untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam masyarakat. Terdapat dua jenis sistem dalam ideasional, yaitu sistem fungsi eksperiensial dan logikal. 2.3.1.1.1 Fungsi Eksperiensial dan Elemennya Dalam satu klausa, sebagai representasi pengalaman, terjadi konfigurasi yang melibatkan elemen-elemen pendukung dalam realisasi. Elemen tersebut terdiri atas tiga unsur, yaitu proses (process), partisipan (participant), dan sirkumstan
(circumstance).
Halliday
(2004:169)
mengatakan,
“And
experientially, the clause construes a quantum of change as a figure, or configuration of process, participants involved in it and any attendant
Universitas Sumatera Utara
28
circumstances.” Proses menunjuk kepada aksi, peristiwa, atau keadaan yang direalisasikan oleh verba. Proses menunjuk kepada kegiatan atau aktivitas yang terjadi dalam klausa yang menurut tata bahasa tradisional dan formal disebut kata kerja atau verba. Partisipan dicirikan dalam proses direalisasikan oleh kata benda atau frasa kata benda. Partisipan merupakan orang atau benda yang terbabit dalam suatu proses. Sirkumstan adalah lingkungan tempat proses yang melibatkan partisipan terjadi (Halliday, 1994: 107).
Sirkumstan merupakan unsur yang berkaitan
dengan proses, khususnya direalisasikan oleh frasa ajektiva atau frasa preposisi. Sirkumstan adalah lingkungan tempat terjadinya proses yang melibatkan partisipan, mencakup rentang, lokasi, cara, lingkungan, peryerta, peran, sebab masalah, dan sudut pandang. Inti dari satu pengalaman dalam klausa adalah proses.
Dikatakan demikian karena proses menentukan jumlah dan kategori
partisipan (Haliday, 1994: 168-172; Martin, 1992: 10). Dengan kata lain, proses (pemilik valensi) menentukan partisipan (secara langsung) dan sirkumstan (secara tidak langsung) dengan tingkat probabilitas; misalnya proses material dan mental masing-masing lebih sering muncul dengan sirkumstan lokasi dan cara. Berapa jumlah partisipan dalam satu klausa ditentukan oleh proses karena inti (nucleus) pengalaman dalam satu klausa itu berada pada proses. Dengan dasar nukleus ini, proses dilabeli sesuai dengan jenis proses itu. (2.1) Silihne ndayeken ipar menjual Iparnya menjual Aktor Proses: material
Rumah-e rumah rumah itu Gol
bulan si Rohnou. bulan depan bulan depan Sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam klausa (2.1), menjual adalah proses, iparnya dan rumah itu adalah partisipan dan bulan depan adalah sirkumstan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa klausa (2.1) itu berisi pengalaman yang menyatakan bahwa satu proses terjadi, yakni menjual dan proses itu melibatkan dua partisipan iparnya dan rumah itu dan proses yang melibatkan kedua partsipan itu terjadi dalam lingkup waktu bulan depan. 1) Proses Proses adalah arus (flow) suatu aksi, peristiwa, atau keadaan yang direalisasikan oleh verba atau kelompok verba (Halliday, 2004: 170). Proses adalah fungsi yang menunjukkan kegiatan, keadaan, atau kondisi (Halliday, 2004: 171). Proses terdiri atas proses material, mental, relasional, tingkah laku, verbal, dan wujud. Seperti pada representasi pengalaman yang terdapat dalam klausa (2.1) masih bersifat umum. Berdasarkan sifat semantik dan sintaksisnya, proses masih dapat dirinci. Secara universal, bahasa memiliki unsur-unsur sama dengan bahasa lain. Dalam bahasa Inggris, proses ada enam jenis (Matthiessen, 1992: 176). Keenam jenis pengalaman itu terbagi dua, yakni tiga pengalaman utama (primary process) yang terdiri atas pengalaman material, mental, dan relasional, dan tiga pengalaman pelengkap (secondary process) yang terdiri atas pengalaman verbal, perilaku, dan wujud. Kriteria pembagian keenam proses itu adalah semantik dan sintaksis. Secara umum, keenam jenis proses itu sesuai dengan jenis pengalaman penutur bahasa lain termasuk jenis pengalaman oleh penutur bahasa Indonesia dan BA. Namun, keunikan setiap bahasa tetap ada. Secara khusus terdapat perbedaan antara konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan BA.
Universitas Sumatera Utara
30
Dengan kata lain, masing-masing konfigurasi pengalaman dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan BA berbeda. Halliday dalam Gerot (2001: 54) memiliki perbedaan sedikit tentang jenis proses. Beliau membagi proses menjadi tujuh jenis. Selain enam jenis yang telah dijelaskan diatas, beliau menambah satu jenis lagi, yakni proses meteorology (cuaca), seperti terdapat pada klausa berikut. (2.2) Cuaca panas. (It ‘s hot.) Klausa (2.2) sangat semantis karena secara kasaf mata tidak terlihat proses. Kalaupun dimuculkan, bisa seperti. (2.3) Cuaca (adalah) panas. Klausa (2.3) memperlihatkan seolah-olah proses adalah termasuk jenis relasional. Padahal proses tersebut adalah cuaca. a) Proses Material Proses material adalah proses ‘kegiatan’ ‘kreasi’ dan ‘kejadian’ (Halliday, 2004:172, Matthiessen, 1992: 191). Proses material merupakan aktivitas atau kegiatan yang menyangkut fisik dan nyata dilakukan pelakunya. Proses material adalah proses melakukan sesuatu (Gerot, 2001: 55). Proses perlakuan yang melibatkan jasmaniah, fisik, atau material. Karena sifatnya yang demikian Proses material dapat diamati dengan indera. Proses material menunjukkan bahwa satu entitas melakukan satu kegiatan atau aktivitas dan kegiatan itu dapat diteruskan atau dikenakan ke maujud lain.
Universitas Sumatera Utara
31
Proses ini mencakup semua kegiatan yang terjadi di luar diri manusia dan bersifat fisik seperti terdapat pada klausa berikut. (2.4) Ninik engguh nabah ‘Kakek menebang Aktor Proses: material
galuh e bone. pisang itu semalam.’ Gol Sirkumstan
Proses material dapat ditandai dari bentuk kala sedang (the Progressive Tense). Kala sedang menunjukkan bahwa perlakuan (process) sedang terjadi seperti terdapat pada klausa berikut. (2.5) Ame Ibu Aktor
sedang medakan sedang menanak Proses: material
nasi Gol
ni dapuR. di dapur. Sirkumstan
Khusus untuk proses material, partisipan yang terlibat dalam satu proses itu dilabeli pelaku (actor) sebagai sumber atau pembuat aktivitas dan gol (goal) sebagai maujud yang kepadanya proses ditujukan atau yang dikenai proses. Dengan demikian, klausa Harfin menulis surat di ruang belajar dapat dianalisis sebagai berikut. (2.6) Harfin Harfin Aktor
nulis menulis Proses: material
suRat surat Gol
ni Ruang belajaR. di ruang belajar. Sirkumstan
b) Proses Mental Proses mental adalah proses mengindera (Halliday, 2004:197). Baik manusia atau mirip dengan manusia terlibat dalam proses menunjukkan kegiatan atau aktivitas yang menyangkut inderawi, seperti kognisi (cognition), emosi /afeksi (affection), persepsi (perception) dan keinginan (desire), yang terjadi di dalam diri manusia, seperti mengetahui, menyenangi, merasa dan menginginkan.
Universitas Sumatera Utara
32
Perlu dijelaskan bahwa Gerot hanya membagi proses mental menjadi tiga: afeksi atau
reaksi
(perasaan/feeling),
kognisi
(pikiran/thinking),
dan
persepsi
(perceiving through the five senses). Proses mental dibagi menjadi empat jenis: kognisi, afeksi, persepsi dan keinginan Halliday, 2004:172). Selanjutnya proses mental dan material dapat dibedakan berdasarkan hasil perbuatan yang dihasilkan oleh kedua proses tersebut. Proses material terjadi di luar diri manusia sedangkan mental terjadi di dalam (inside) diri manusia dan mengenai mental atau psychological aspects kehidupan. Secara semantik, proses mental menyangkut pelaku manusia saja atau maujud lain yang dianggap atau berperilaku manusia, seperti tingkah laku dalam dongeng yang mengisahkan bahwa kancil dapat bercerita kepada buaya atau burung pungguk merindukan bulan. Perbedaan proses mental dan material mencakupi kriteria semantik dan sintaksis (Halliday, 2004:199). 1) Proses mental menyangkut manusia dan paling sedikit satu partisipan manusia, seperti klausa Uan sikel soRpe labaR. “Ayah kepingin makanan pakis cincang”. Yang memaparkan pengalaman mental adalah sikel (kepingin) dan partisipan uan (ayah). Berbeda dengan klausa dengan proses mental, klausa dengan proses material dapat melibatkan partisipan bukan manusia, seperti dalam klausa Tsunami ni Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004 ngeRusak mehayak Rumah Rut fasilitas umum. “Tsunami di Banda Aceh tanggal 26 Desember 2004 merusak sejumlah rumah dan fasilitas umum.” Yang memapar penglaman material adalah ngeRusak (merusak) dan partisipan Tsunami dan sejumlah rumah dan fasilitas umum. Tshunami dan
Universitas Sumatera Utara
33
rumah dan fasilitas umum bukan manusia. Contoh lain: Sukhoi menabRak deleng Salak Rut newasken keRine penumpangne tanggal 9 Mei 2012. “Sukhou nabrak gunung Salak dan menewaskan semua penumpang tanggal 9 Mei 2012.” Yang memapar pengalaman material adalah nabRak (menabrak) dan newasken (menewaskan). Gunung Salak dan semua penumpang adalah partisipan. Kedua partisipan (actors), yakni Tsunami dan Sukhoi bukan manusia. 2) Proses mental dapat diikuti proyeksi, sedangkan proses material tidak dapat. Klausa (2.7a) dan (2.7b) menunjukkan keberterimaan antara kedua jenis proses tersebut. (2.7a) Ie mepikeR bahwe ie ngelaR Rutung be “ Dia berpikir bahwa dia mengambil buah durian dulu.” (2.7b) *Ie medalan bahwe ie ngelaR Rutung be. “Dia berjalan bahwa dia mengambil buah durian dulu.” 3) Proses mental tidak dapat diikuti oleh aspek progressive(sedang), proses material dapat (Halliday, 2004:206). Contoh (2.8a), (2.8b) dan (2.8c) dapat menjelaskan perbedaan tersebut. (2.8a) * Uan sedang metoh natemu. “*Ayah sedang mengetahui niatmu.” (2.8b) Uan metoh natemu. “Ayah mengetahui niatmu”. (2.8c) Mame sedang mahani Rumah. “Paman sedang membangun rumah.”
Universitas Sumatera Utara
34
4) Proses mental merupakan proses dua hala, sedangkan proses material hanya memiliki satu hala saja (Halliday, 2004:201). Yang dimaksud dengan dua hala adalah klausa dengan dua partisipan.
Selanjutnya, letak atau posisi
kedua partisipan dapat dipertukarkan dan proses mental dalam klausa itu diganti atau disubsitusi dengan yang sejenis. Pertukaran itu hanya sebatas bentuk (lexicogrammar) tidak mengubah arti (semantics) dan status kalimat aktif. Dalam klausa mental, kedua partisipan dalam masing-masing klausa dapat bertukar posisi dengan arti bersamaan. Sebaliknya, klausa material tidak memiliki sifat pembalikan seperti klausa mental. Dalam (2.9a) dan (2.9b) proses menyukai dan menyenangkan menggambarkan ciri dua hala dari proses mental.
Demikian juga dalam (2.10a) dan (2.10b) takut dan
menakutkan merupakan realisasi dua hala. (2.9a) Mame get ate be manu’e. “Paman menyukai ayam itu.” (2.9b) Manu’e nenangken ate mame “Ayam itu menyenangkan paman”. (2.10a) Aku mbiaR be kejadinne e “Saya takut peristiwa itu.” (2.10b) Kejadinen e ncebiaRi aku. “Peritiwa itu menakuti saya. Dalam pelabelan, proses mental berbeda dengan proses lainnya seperti proses material. Kalau proses material partisipan yang terlibat dalam proses disebut actor dan yang dikenai proses material disebut goal. Sedangkan partisipan
Universitas Sumatera Utara
35
yang terlibat dalam proses mental disebut pengindra (senser) dan partisipan kedua yang dikenai proses dilabeli fenomenon (phenomenon). Dalam (2.11) dan (2.12) berikut klausa mental dianalisis dengan unsur pengalaman mencakup pengindra, proses, fenomenon dan sirkumstan. (2.11) Abangku menyenangi pemugaran Balai Adat Pengindra Proses: mental Fenomenon (2.12) Saya mengetahui Pengindra Proses: mental
berita itu Fenomenon
tahun depan. Sirkumstan semalam. Sirkumstan
c) Proses Relasional Proses relasional adalah proses kerja yang menunjukkan hubungan intensitas (yang mengandung pengertian A “adalah” B), sirkumstan (yang mengandung pengertian A “pada/di dalam” B), dan milik (yang mengadung pengertian A “mempunyai” B) (Halliday, 2004:211). Proses relasional adalah proses yang menghubungkan satu entitas dengan maujud atau lingkungan lain di dalam hubungan intensif, sirkumstan, atau kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi atau atribut (Halliday, 2004: 216). Adanya hubungan “A adalah B, A pada B dan A mempunyai B”, maka ada dua jenis yang menyangkut intensitas tersebut: (a) Attributive (Carrier dan Attribute) dan (b) Identifying (Token and Value) (Gerot, 2001:68). Secara simultan setiap klausa yang mengandung proses relasional memiliki makna Attributive atau Identifying secara bersamaan apakah Intensive, Possessive atau Circumstantial. Dalam (2.13) hubungan intensif menunjukkan hubungan satu entitas dengan entitas lainnya sebagai: Attributive:Intensive, seperti:
Universitas Sumatera Utara
36
(2.13) Mamene Pamannya Carrier
(adalah) Attributive:Intensive
tenteRe. tentara Attribute.
Keterkaitan bersama dapat dilihat dalam (2.13), dimana jenis (Attributive) dan entitas (Intensive) memberi ciri terhadap proses relasional. Dengan demikian, ada enam klausa relasional yang bisa dimunculkan, yakni: Atributive: intensive, Attributive: possessive, Attributive: circumstantial, Identifying: intensive, Identifying: possessive, dan Identifying: circumstantial. Dalam (2.14) -- (2.19), masing-masing klausa secara berurutan sebagai berikut. (2.14) Ie “Dia Carrier
(adalah) Attributive:intensive
(2.15) Ie “Dia Carrier
empung Punya Attributive:possessive
(2.16) Ie “Dia Carrier
(adalah) Attributive:circumstantial
(2.17) Husin edime Husin itulah Petanda/Token (2.18) Rumah edi Rumah itu Token
guRu. guru” Attribute Rumah mbaRu. rumah baru” Attribute ni sebelahku di sebelah saya” Attribute
(adalah) Identifying: intensive
(adalah) Identifying: possessive
guRune. gurunya Nilai/Value ie empungne punya dia Value
Universitas Sumatera Utara
37
(2.19) Rumahne Rumahnya (adalah) Token Identifying: circumstantial
ni sebelah Rumahku. di sebelah rumah saya Value
Di dalam bahasa Inggris, proses relasional yang lazim adalah be (is, am, are, was, were, have been, has been, will be, can be, must be, ought to be, needn’t be, have to be, should be) (Halliday, 2004: 211). Setara dengan itu, di dalam bahasa Indonesia proses relasional direalisasikan oleh verba, seperti adalah, menjadi, merupakan, kelihatan, berharga, bernilai, kedengaran, terdengar, menunjukkan, menandakan, memainkan, mempunyai, memiliki, dll. (Saragih, 2009:32). Dalam klausa relasional yang relatif panjang dan terdiri atas beberapa klausa (klausa kompleks), seperti dalam (2.20), pemakaian adalah menjadi keharusan. Berapa panjang satu partisipan pada tingkat nomina juga relatif pada situasi tertentu. Paling tidak satu patokan yang dapat digunakan adalah jika konstruksi partisipan dalam klausa relasinal dapat menggangu pengertian suatu klausa pemakaian proses adalah merupakan keharusan (Halliday, 2004: 247). (2.20) Lelaki yang datang ke rumah saya dengan mengendarai mobil Taruna semalam sore adalah seorang dokter. Jika ketiga jenis poses relasional dan kedua modenya diklasifikasi silang, enam jenis proses relasional yang lebih rinci dihasilkan seperti diringkas di dalam bagan berikut.
Jenis
TABEL 2.1: TIPE KLAUSA RELASIONAL Mode Identifikasi
Atribut
Universitas Sumatera Utara
38
Intensif
Ibu kota Indonesia Jakarta.
Adiknya dokter.
Sirkumstan Kepemilika n
Bulan kelahiranku Januari. Ayahnya di Jakarta. Rumah itu satu-satunya milik Pamanku mempunyai dua pamanku. rumah.
Secara sistemik, keenam jenis proses relasional tersebut dapat diringkas sebagai berikut. 1) Proses: relasional: intensif: identifikasi (Khalidah (adalah) guru kelas kami.) 2) Proses: relasional: intensif: atribut (Khalidah (adalah) guru.) 3) Proses: relasional: sirkumstan: identifikasi (Mei (adalah) bulan kelahiranku.) 4) Proses: relasional: sirkumstan: atribut (Adikku (adalah) di Kutacane.) 5) Proses: relasional: kepemilikan: identifikasi. (Tanah ini (adalah) satu-satunya pusaka ayahku. 6) Proses: relasional: kepemilikan: atribut (Harfin punya gitar baru.) Partisipan dalam proses relasional: identifikasi dilabeli tanda (token) dan nilai (value) (Halliday, 2004: 231). Tanda merupakan label partisipan yang diidentifikasi dan nilai menjadi label entitas lain yang mengidentifikasi tanda. Dalam proses relasional atribut, penyandang (carrier) digunakan untuk partisipan yang memiliki atribut atau sifat dan atribut (attribute) digunakan untuk melabeli entitas atau sifat yang mengacu kepada penyandang. Berbeda dengan kedua
jenis
proses
relasional
tersebut,
proses
relasional
kepemilikan
menggunakan pemilik (possessor) untuk entitas yang memiliki dan milik (possessed) untuk entitas yang dimiliki partisipan pertama.
Universitas Sumatera Utara
39
Attributive: Carrier, Attribute Identifying: Token, Value Proses Relasional Intensive Pessessive Circumstantial
Figura 2.5 Jejaring Proses Relasional Adaptasi dari Gerot, 2001:68)
d) Proses Tingkah Laku Proses tingkah laku (behavioural) merupakan aktivitas atau kegiatan fisiologis yang menyatakan tingkah laku fisik manusia (Matthiessen, 1992: 202). Proses tingkah laku adalah proses gabungan fisiologis dan psikologis manusia dalam tingkah laku, seperti bernapas, bermimpi, ngorok, senyum, tersedak, melihat, memandang, menyimak, dan mempertimbangkan (Gerot, 2001: 60). Secara semantik, kategori proses tingkah laku terletak antara proses material dan mental. Implikasinya adalah sebahagian proses tingkah laku memiliki sifat proses material dan sebahagian lagi memiliki ciri proses mental (Matthiessen, 1992: 202). Yang termasuk proses tingkah laku adalah verba muntah, berbatuk, pingsan, menguap, sendawa, tidur, buang air, mengeluh, tertawa, menggerutu, dan sebagainya. Proses tingkah laku adalah proses fisiologis atau psikologis bersikap atau bertingkah laku, yang dapat dicontohkan melalui proses ketika manusia melakukan kegiatan bernafas, bermimpi, tersenyum, tertawa, dll. Posisi proses ini berada di antara proses material dan mental (Halliday, 2004: 248).
Universitas Sumatera Utara
40
Secara sintaksis, partisipan dalam klausa tingkah laku disebut petingkah laku (behaver). Biasanya, klausa tingkah laku hanya mempunyai satu partisipan seperti terlihat dalam klausa (2.21) berikut. (2.21) Dian “Dian Petingkah laku/Behaver Proses
tingkah
laku
Tangis Menangis Proses: tingkah laku/Vehavioral memiliki
keterbatasan
dalam
nengen pilu. dengan pilu” Circumstant menggunakan
pronomina. Sesuai dengan namanya, (tingkah laku), pronomina saya tidak bisa diikuti proses tidur. Klausa (2.22) tidak berterima sedangkan (2.23) berterima seperti berikut. (2.22) *Aku *Saya Petingkah laku/Behaver
sedang medem sedang tidur Proses: behavioral
(2.23) Ie “Dia Petingkah laku/Behaver
sedang medem. sedang tidur” Proses: behavioral
e) Proses Verbal Proses verbal adalah proses yang diucapkan (Gerot, 2001: 62). Proses ini secara simbolik merupakan penandaan (signaling). Proses ini sering direalisasikan dalam dua klausa berbeda. Klausa pertama disebut pemroyeksi dan yang kedua disebut proyeksi. Proses verbal berada antara proses mental dan relasional (Butt, 2000: 56). Dengan demikian, proses verbal sebahagian memiliki ciri proses mental dan sebahagian lagi memiliki ciri proses relasional. Secara semantik, proses verbal menunjukkan aktivitas atau kegiatan yang menyangkut informasi,
Universitas Sumatera Utara
41
seperti verba berteriak, berseru, berjanji, bersumpah, berkata, mengatakan, bertanya, memerintah, meminta, menginstruksikan, mengaku, menjelaskan, menerangkan, mengkritik, menguji, memberitahu, menegaskan, menekankan, menceritakan, menolak, dan sebagainya. Proses
verbal
adalah
aktivitas
yang
membawa,
menyampaikan,
mengatakan maklumat atau bertanya, menceritakan, berseru, berjanji, dan lainlain (Halliday, 2004:252). Dalam proses verbal ada dua partisipan yang dilibatkan. Partisipan yang berkata, yang secara struktural dinamakan sebagai penyampai (sayer), dan pesan yang disampaikan (maklumat/verbiage). (2.24) Ie “Dia Penyampai/Sayer
mecakap berbicara Proses:Verbal
ceRok Alas. bahasa Alas” Pesan/Verbiage
Dalam hal dua klausa, proses verbal berfungsi sebagai pemroyeksi (projecting clause) dengan label sayer sedangkan klausa lainnya disebut sebagai terproyeksi (projected clause. (2.25) Ie ‘Dia Sayer (2.26) Ie Dia Sayer
Mekate berkata Verbal
mekate berkata Verbal
aku saya Senser
pot suka Proc.mental:Affective
Ie (bahwa) dia Senser
pot suka Mental:Affect
Rutung durian.’ Phenomenon
Rutung. durian Phenomenon
f) Proses Wujud Proses wujud (existential) menunjukkan keberadaan satu entitas (Butt, 2000: 58). Secara semantik, proses wujud terjadi antara proses material dan
Universitas Sumatera Utara
42
proses relasional.
Proses wujud adalah proses yang mengekspresikan bahwa
sesuatu itu ada wujud atau eksis dan di dalam bahasa Inggris direalisasikan dalam proses seperti is, am, are, was, were, be, been, being dan proses lainnya seperti exist, arise atau proses lainnya yang merepresentasikan kewujudan kata benda atau frasa benda yang merepresentasikan fungsi partisipan sebagai maujud (existent) (Halliday, 2004:256). Dengan letaknya yang demikian, proses wujud di satu sisi memiliki ciri proses material dan di sisi lain memiliki ciri proses relasional. Proses wujud (Gerot,2001:72) adalah proses yang menunjukkan keberadaan sesuatu (misalnya: “ada”. “terdapat”). Partisipan pada proses ini disebut eksisten. (2.27) Lot Ada Proses:Wujud/Existential
anak manun. anak hanyut Maujud/existent
(2.28) PeRasanen “Perasaan Maujud/Existent
lot wujud Proc: Wujud/existential
(2.29) Lot ‘Ada Proc.:Existential
kuluR kelueh Part.:Existent
(2.30) Ni kahaRungne ‘Di leher Circumstance :Location
ni bagas ate jeme. dalam diri manusia” Circumstantial
ni empuse di ladang” Circumstance :Location
lot ada Proc.:Existential
kaRaten gigitan” Existent
Universitas Sumatera Utara
43
2) Partisipan Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa proses merupakan inti atau pusat (nucleus) yang menarik atau mengikat semua unsur lain, khususnya partisipan (Halliday, 2004: 175). Partisipan adalah kategori semantik yang menjelaskan caracara umum bagaimana gejala dunia kenyataan direpresentasikan sebagai struktur linguistik (Gerot, 2001: 52). Sedangkan proses merupakan inti yang memiliki daya tarik atau ikat (valency), berpotensi menentukan jumlah partisipan yang dapat diikat oleh proses itu. Dengan sifatnya itu, proses digunakan sebagai dasar pelabelan partisipan dalam klausa. Sedikitnya ada dua jenis partisipan, yaitu partisipan yang melakukan proses (Partisipan I) dan partisipan yang kepadanya proses itu diarahkan/ditujukan (Partisipan II). Dalam bagan berikut dipaparkan keenam jenis proses dan label partisipan yang digunakan. Jenis Proses Material Mental Relasional Tingkah Laku Verbal Wujud
Partisipan I Pelaku Pengindera (1) Identifikasi: Bentuk/Tanda (2) Atribut: Penyandang (3) Kepemilikan: Pemilik Petingkah Laku Pembicara Maujud
Partisipan II Gol Fenomenon Nilai Atribut Milik Perkataan -
Figura 2.6 Proses dan Partisipan (adaptasi dari Matthiessen, 1992: 316)
3) Jangkauan dan Partisipan lain Dalam
bagian
terdahulu
diuraikan
bahwa
partisipan
ditentukan
berdasarkan jenis prosesnya (Halliday, 2004:259). Dengan demikian, jenis partisipan ditentukan oleh proses karena dialah yang memiliki daya ikat (valency). Selain itu masih ada lagi partisipan lain yakni partisipan yang menyatu dengan proses atau di luar jangkauan proses dan dilabel jangkauan (range). Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
44
lain, partisipan berbeda dengan (partisipan) jangkauan. Pertama partisipan (jangkauan) dapat muncul dengan seluruh jenis proses. Kedua jangkauan dapat muncul secara implicit atau eksplisit. Dalam BA, klausa seperti Ame sedang medakan. “Ibu sedang memasak.”, dapat berterima secara implisit karena secara eksplisit adalah: Ame sedang medakan nakan. “Ibu sedang memasak nasi.” Apakah kata nakan ‘nasi’ dicantumkan (eksplisit) atau tidak dicantumkan (implisit) tidak menjadi masalah. Namun ada jangkauan yang selalu implisit seperti ndaling “menjaga durian jatuh”. Dalam klausa BoRngi nahan kite ndaling ni empus wan tueku. “Nanti malam kita jaga durian jatuh di ladang mertuaku.” Dalam (2.31a) dan (2.31b) dapat dilihat perbedaan jangkauan secara implisit dan eksplisit. (2.31a) Pagi ‘Besok Circumstance :Time (2.31b) Bone ‘Semalam Circumstance :Time
kite Kita Actor mame Paman Particip.:Actor
ngaRohi ngeringkan kolam” Process:Material ndaling Menjaga Process: Material
Rutung durian” Particip.: Range/ Jangkauan
Selain jangkauan (range), masih ada lagi partisipan lain. Partisipan ini dikenal dengan istilah pembermanfaat (beneficiary). Pembermanfaat adalah orang atau benda yang kepadanya satu entitas atau layanan dituju atau diarahkan (Halliday, 2004:295-296). Pembermanfaat dapat diperoleh atau didapati dalam klausa relasional atribut (Halliday, 2004: 215). Biasanya, pembermanfaat ini didahului oleh preposisi yang potensial dihilangkan dengan mengubah struktur atau urutan partisipan.
Pembermanfaat dilabeli berdasarkan jenis prosesnya.
Universitas Sumatera Utara
45
Dalam klausa material pembermanfaat dilabeli resipien (recipient) untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi kepada dan klien (client) untuk partisipan yang didahului atau terkait dengan preposisi untuk (Halliday, 2004: 190). Dalam klausa verbal, seperti dipaparkan terdahulu, pembermanfaat dilabeli penerima. Klausa (2.32a) memberi pelabelan pembermanfaat seperti: (2.32a) Ie ‘Dia Actor
NgiRim Mengirim Proc.:Material
(2.32b) Mame “Paman Actor
nukoR Membeli Proc.:Material
(2.32c) Zainal ‘Zainal Sayer
menceRiteken menceritakan Proc.:Verbal
foto e Foto itu Goal
be uanne kepada ayahnya” Recipient
Regeng Kalung Goal
kisahne kisah itu Pembicaraan/Verbiage
(2.32d) Pengalamen e
(adelah)
‘Pengalaman
(adalah)
Pembawa/carrie r
Relational:attrib.
tuhu mahal betul mahal Attribute
be anak side untuk anaknya” Client
be Aminah kepada Aminah” Penerima/recipient
bangku bagi saya” Benific./pembermanfaat
4) Sirkumstan Sirkumstan adalah kategori semantis yang berfungsi menjawab pertanyaan seperti when ‘bila’, where ‘dimana’, why ‘mengapa, how ‘bagaimana’, how many ‘berapa banyak’, dan what ‘apa’ (Gerot, 2001:52). Sirkumstan merupakan lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses (Halliday, 2004: 359). Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Oleh karena itu, label sirkumstan
Universitas Sumatera Utara
46
berlaku untuk semua jenis proses. Sirkumstan setara dengan keterangan seperti yang lazim digunakan di dalam tata bahasa tradisional. Sirkumstan dinjelaskan pembagiannya sesuai fungsinya menjadi sembilan bagian, yakni: rentang (extent) yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi (location) yang dapat mencakupi tempat atau waktu, cara (manner), sebab (cause), lingkungan (contingency), penyerta (accompaniment), peran (role), masalah (matter), dan (sudut) pandangan (angle) (Halliday, 2004:262). Menurut konsep tata bahasa struktural atau tradisional, sirkumstan setara dengan keterangan (Adverb). Berikut disajikan penggunaan sirkumstan sebagai berikut. a) Rentang /extent (2.33a) TenteRe e “Tentara itu Actor
enggou melayaR telah berlayar Process: Material
dekahne sepuluh jam. selama sepuluh jam” Circ.:Extent:Time
(2.33b) Kalae “Mereka Actor
enggou melayaR telah berlayar Process: Material
dauhne seRatus mil. sejauh seratus mil.” Circ.:Extent:Place
b) Lokasi/location (2.34a) Dani “Dani Actor (2.34b) Dani “Dani Actor
buet Bangun Process: Material
tading tinggal Process: Material
jam 6 pagi.” pukul 6 pagi.” Circ.:Location:Time
ni Kutecane di Kutacane.” Circ.:Location:Place
Universitas Sumatera Utara
47
c) Cara/manner (2.35a) Abangku “Abang saya Actor (2.35b) TenteRe-e “Tentara itu Actor (2.35c) Harfin “Harfin Sayer
medalan berjalan Proc.:Material mepeRang berperang Proc.:Material
mepidato berpidato Proc.:Verbal
bagas Rimbe dalam hutan Circ.:Loc:Place
ma meselop tanpa alas kaki.” Circ.:Manner:Tool
dengen beRanine. dengan berani” Circ.:Manner:Quality
bali Rut Soekarno. seperti Soekarno.” Circ.:Manner:Comparison
d) Sebab/cause (2.36a) Mame “Paman Actor (2.36b) Aku “Saya Actor
ma Roh tidak datang Proc.:Material nolong menolong Proc.:Material
(2.36c) Aku “Saya Sayer/Penyampa i
keRane mahaRun. karena deman.” Circ.:Cause:Reason kau kamu Goal
demi mase depan. demi masa depan.” Circ.:Cause:Purpose
neRime menerima
hadiah-e hadiah itu
Proc.:Verbal
Verbiage/Maklumat
atas name lembaga. atas nama lembaga.” Circ.:Cause
e) Lingkungan/contingency (2.37a) De lot ketangkonen “Jika terjadi percurian Circ.:Contingecy:Condition (kondisi) (2.37b) Jamu “Tamu Actor
balik pulang Proc.:Material
tangkap tangkap Proc.:Material
penangkone. pencurinya.” Goal
ma ngateken. tanpa pemberitahuan.” Circ.:Contingecy:Cocession (konsesi)
Universitas Sumatera Utara
48
(2.37c) Waktu Pak Bupati ma lot “Sewaktu Pak Bupati tidak ada Circ.:Contingecy:Force (desakan)
Pak Sekda Pak Sekda
(adalah)
gancihne. penggantinya.”
Pembermanfaat : Recipient
Proc.:Rel.:Attr ib.: Intensive
Attribute
f) Penyerta/accompaniment Ada dua jenis sirkumstan penyerta, yakni: komitasi dan tambahan. Komitasi adalah representasi proses di mana dua benda wujud dapat disatukan sebagai dua unsur (Halliday, 2004:272).
Sebaliknya, tambahan adalah
representasi proses sebagai dua hal yang mana dua benda wujud berkongsi partisipan yang sama, tetapi yang satu ditujukan untuk pembedaan. (2.38a) Dompet di “Dompet itu Goal/gol (2.38b) Manusie “Manusia Behaver (2.38c) Aku “Saya Actor (2.38d) Kiteh “Mari
niisi diisi Proc.:Material
Rut sen koRtas. dengan uang kertas” Circ.:Accompaniment: komitasi positif
ma nggeluh tidak bisa hidup Proc.:Behavioral
nuan menanam Proc.: Material kite kita Actor
de malot oksigen. tanpa oksigen.” Circ.:Accompaniment: komitasi negative
sawit sawit goal
Mbace baca Proc.: Material
galuh Rut pokat. juga pisang dan pokat.” Circ.:Accompaniment: tambahan positif buku buku goal
pade neRoi kalak. daripada ngatain orang.” Circ.:Accompaniment: tambahan negatif
Universitas Sumatera Utara
49
g) Peran/role Sirkumstan direalisasi oleh dua jenis: (1) samaran
dan (2) produk
(Halliday, 2004: 194). Samaran merepresentasikan makna menjadi, seperti dalam sarana
atributif
atau
identifikasi
dalam
bentuk
sirkumstan,
dan
menghubungkannya dengan bentuk interogatif sebagai apa? Berbeda dengan samaran, produk merupakan peran yang merepresentasikan makna menjadi. Klausa berikut adalah contoh kedua jenis tersebut. (2.39a) Kalae “Mereka Part.: Actor (2.39b) Kalae “Mereka Part.: Actor
ngoRjai mengerjai Proc. Material
Matok mematok Proc. Material
tanohe lahan itu Part..:Goal
tanohe lahan itu Part..:Goal
sebagei penggaRap. sebagai penggarap.) Circ.:Role: samaran
jadi kaplingen. menjadi kaplingan.” Circ.:Role: produk
h) Masalah/matter Sirkumstan masalah (Halliday, 2004:276) berhubungan denga proses verbal dan sejajar dengan verbiage (maklumat). (2.40) Aku “Saya Part.:Saye r
jelasken menjelaskan Proc. Verbal
tentang tanohku si nigaRap kelompok tani. tentang lahan saya yang digarap kelompok tani.” Circ.:Matter/masalah
i) Pandangan/angle Sama halnya dengan sirkumstan masalah, sirkumstan pandangan juga berhubungan dengan proses verbal. Hanya bedanya kalau sirkumstan masalah
Universitas Sumatera Utara
50
sejajar
dengan
maklumat,
sedangkan
pandangan/angle
sejajar
dengan
penutur/sayer. (2.41) MenuRut hakim “Menurut hakim Circ.Angle
ie dia (adalah) Part.: Token/ Proc. Rel.: Petanda Ident. Intens.
penangkone. pencurinya.” Part. Value/ Penanda
2.3.1.1.2 Pengalaman Metafora Dalam kajian bahasa terdapat keteraturan dalam merealisasikan atau mengodekan pengalaman ke dalam pengalaman atau bentuk linguistik yang kemudian menjadi kebiasaan dalam menganalisis fenomena bahasa (Halliday, 2004:592). Pengalaman material misalnya, biasanya direalisasikan oleh klausa dengan proses material; pengalaman mental, direalisasikan dengan proses mental. Demikian juga pengalaman relasional, biasanya direalisasikan dengan proses relasional dan seterusnya. Kebiasaan pemakaian bentuk linguistik seperti itu disebut realisasi yang umum atau lazim (unmarked). Secara universal, BA juga memiliki unsur bahasa yang sama dengan bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa Indonesia. Kenyataan di lapangan, dalam berbagai situasi sering terjadi satu pengalaman tidak direalisasikan oleh bentuk linguistik yang lazim (unmarked). Perealisasian pengalaman dengan bentuk yang tidak umum (marked) itu membuat ‘rasa bahasa’ memberi tanda seolah-olah ada sesuatu yang tidak lazim, seperti Lot sen me?’Ada uang paman?’. Satu klausa yang menggunakan proses wujud, namun memberi makna memiliki dan berkategori Process Relational Attributive Possessive.
Universitas Sumatera Utara
51
Realisasi pengalaman linguistik yang terasa ada penanda (marked) oleh rasa bahasa atau pengodean yang tidak lazim seperti itu disebut pengalaman metafora (metaphoric representation atau grammatical metaphor).
Berikut
beberapa contoh lazim (unmarked) dan metafora. (2.42a) Ie kalah bagas pencalonan Bupati (lazim: Proses relasional Atributif Intensif) Ie Kalah bagas pencalonen Bupati. Dia (adalah) Kalah dalam pencalonan Bupati Carrier Relational: Attribute Circumstance: Attrib. Int. Time:Temporal (2.42b) Ie mengalami kekalahen bagas pencalonan Bupati. (metafora: Proses mental) Ie mengalami kekalahen bagas pencalonen Bupati. Dia mengalami kekalahan dalam pencalonan Bupati Senser Proc. Phenomen Circumstance: Mental on Time:Temporal 2.3.1.1.3 Hubungan Antarklausa Klausa ada yang dapat berdiri sendiri dinamai klausa sederhana. Namun ada klausa yang harus berhubungan dengan klausa lain. Hubungan antarkausa ini dikodekan oleh makna logis (Halliday, 2004:363). Makna logis direalisasikan oleh konjungsi (conjunction) dan alat penghubung lain seperti alat pengikat kohesi (cohesive devices), pungtuasi (punctuation), verba, dan penghubung lain dalam struktur percakapan, seperti yah, baik, mm, dan hah. Secara rinci, makna logis tersebut diringkas dalam bagan berikut dengan realisasi kata atau frase.
Universitas Sumatera Utara
52
TABEL 2.2 HUBUNGAN LOGIS SEMANTIK DAN TAKSIS Hubungan Logis Taksis Semantik Parataksis Hipotaksis pitung, si Elaborasi (=) Mamene pitung; ma Mamene anakne ma Ekspansi idahne kaepe nange. mahanse “Pamannya buta; dia tidak sekolah nae. “Pamannya buta, yang membuat amelihat apapun lagi.” naknya tidak sekolah lagi.” 1=2 = Ekstensi (+) Abangne medakan Rut Abangne sekolah enggine ngaleng lawe. sedangken enggine “Abangnya menanak nasi mangkeR. “Abangnya dan adiknya ngambil air.” sekolah sedangkan 1+2 adiknya absen.” + Ganda (X) 1 Anakne mbiagh te Anakne letun keRane ie keRane edi ie letun. mbiagh. “Anak itu lari “Anaknya takut dan karena dia takut.” karena itu dia lari.” X 1X2 Lokusi (“) 1 Amene ngateken, ”Aku Amene ngateken bahwe ie Proyeksi sikel njenguk ie” “Ibunya sikel njenguk anakne. berkata, “Saya akan “Ibunya mengatakan jenguk dia” (bahwa) dia akan 1 “2 menjenguk anaknya.” “ Ide (‘) 1 Ie mepikeR Ie mepikeR (bahwe) ‘2 ‘Aku segeghe balik’ “ β ie segeRe balik. “Dia “Dia berpikir ‘Aku segera berpendapat (bahwa) dia pulang.” segera pulang. ‘ Berikut ini disajikan makna logis dalam bahasa Alas
Universitas Sumatera Utara
53
TABEL 2.3 MAKNA LOGIS DALAM BAHASA ALAS No 1.
2. 3.
4.
Makna Logis Tambahan
Submakna Logis Penambahan
Makna
Rut ‘dan’, nengepe ‘lagi pula’, ni samping edi ‘di samping itu’,… Pilihan atau, ‘atau’, sebagai gancih ‘sebagai ganti’, de made ‘jika tidak’ te..…’lalu’,… Perbandin Kesamaan Bali Rut ‘sama dengan’, yakni ‘yakni’, bage gan ‘seperti’,… Perbedaan tetapi, kecuali, mebede Rut ‘berbeda dengan’,… Waktu Bersamaan ketika, pada saat yang sama, sementara itu, seraya, … Berurutan Te ‘lalu’, aheRne ‘akhirnya’, pul edi ‘sesudah itu’, … Konsekuen Tujuan Soh ‘sampai’, sehingge ‘sehingga, kane ‘supaya’, si … Kondisi Te ‘lalu’, de ‘jika,’ de made ‘kalau tidak’,… Akibat jadi, sebagai kesimpulan, sebab,… Pengecualian namun, kunepe ‘bagaimanapun’, tetapi, … Cara Nengen caRe ende ‘dengan cara ini’, dengan, (dan) lalu, … Klausa berikut adalah contoh masing-masing jenis makna logis dan taksis
menyatakan tambahan, perbandingan, waktu, dan konsekuensi. (2.43a) Ame medakan Rut uan njale ikan. (Ekspansi/Ekstensi/Parataktik:Penambahan) ‘Ibu memasak nasi dan ayah menjala ikan.’ (2.43b) Kake laus be kedei tapi abang laus be jume. (Ekspansi/Ekstensi/Parataktik: Penambahan) ‘Kakak pergi ke kedai tetapi abang pergi ke sawah.’ (2.43c) Aku laus be sekolah pul edi laus be pekan. (Ekspansi/Ekstensi/Hipotaktik: Waktu) ‘Saya pergi ke sekolah sesudah itu pergi ke pasar.’
Universitas Sumatera Utara
54
(2.43d) SebenaRne ie enggou DO, namun Dekan meReken dispensasi. (Ekspansi/ Ganda/Hipotaktik: Konsekuensi) ‘Sebenarnya dia sudah DO, namun Dekan memberi dispensasi. Jenis makna logis seperti terdapat pada tabel diatas dapat wujud dalam dua kemungkinan, yaitu wujud eksplisit atau implisit (Saragih, 2009:46).
Yang
dimaksud dengan makna logis dengan wujud eksplisit adalah realisasi nyata dalam kata atau frase, sedangkan wujud implisit mengacu kepada situasi atau konteks antar-atau intraklausa yang dapat dimengerti secara semantis atau diinterpretasikan adanya pewujud makna logis. Klausa (2.44a) merupakan contoh berikut makna logis secara eksplisit direalisasikan dengan dan. Dalam klausa (2.44b) makna logis tidak wujud secara eksplisit direalisasikan oleh kata atau frase, tetapi secara implisit dapat dimengerti atau diinterpretasikan. (2.44a) a 1 Pak jaksa menuntut b +2 dan Pak hakim memutuskan. (Makna logis: tambahan: penambahan: eksplisit) (2.44b) a 1 Apa yang baik dicontohkan almarhum kita teruskan. b +2 Apa yang tidak baik kita tinggalkan. (Makna logis: tambahan: penambahan: implisit) (Teks 7. Klausa 7) Selain ciri wujudnya eksplisit atau implisit, makna logis juga dapat dilihat dari cirri eksternal atau internal. Yang dimaksud dengan makna logis eksternal adalah makna yang berterima secara universal dalam realitas pengalaman (Saragih, 2009: 47). Sebaliknya yang dimaksud dengan makna logis internal merupakan pertautan arti antarklausa yang berdasarkan struktur teks (genre) dalam budaya sesuatu komunitas pemakai bahasa. Dengan kata lain, makna logis eksternal bertaut dengan pengalaman dalam alam realitas sebenarnya, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
55
makna logis internal berdasar pada realitas di dalam sistem atau (genre) struktur teks. Klausa (2.45a) berikut makna logis perbandingan: kesamaan: seperti adalah eksternal, sedangkan dalam klausa (2.45b) makna yang sama bersifat internal karena seperti digambarkan dalam bab terdahulu menyangkut struktur teks. (2.45a) a α Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api b xβ seperti polisi menembaki pencuri. (Ekspansi/Ganda/Hipotaktik/Eksternal) (2.45b) a α Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api b xβ seperti dijelaskan pada lampiran penelitian ini. (Ekspansi/Ganda/Hipotaktik/Internal) Baik secara eksplisit atau implisit maupun eksternal atau internal, kesemua jenis makna logis tersebut digunakan untuk mengkodekan hubungan antarklausa. Keempat jenis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Makna Logis
Jenis (Wujud / Sifat) Wujud Sifat
TABEL 2.4 MAKNA LOGIS Subjenis
Contoh
Eksplisit Implisit
Pak jaksa menuntut dan Pak hakim memutuskan. Apa yang baik dicontohkan almarhum kita teruskan. Apa yang tidak baik kita tinggalkan. Eksternal Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api seperti polisi menembaki pencuri. Internal Belanda menyerang Kubu Kutalengat dengan senjata api seperti dijelaskan pada lampiran penelitian ini.
Dari tabel diatas, makna logis dapat diklasifikasi menjadi tiga dimensi, yakni: jenis, wujud dan sifat. Semua makna logis dapat wujud. Untuk melihat
Universitas Sumatera Utara
56
ketiga dimensi tersebut figura berikut menyajikan klasifikasi silang dalam setiap wacana. Dengan klasifikasi ini makna logis waktu: implisit: internal dapat wujud.
JENIS
WUJUD Eksplisit Implisit Tambahan + Perbandingan + + Waktu + + Konsekuensi + +
SIFAT Eksternal Internal + + + + + + + +
Figura 2.7: Nuansa Makna Logis Bahasa Alas
2.3.1.2 Fungsi Interpersonal Metafungsi yang kedua adalah fungsi interpersonal. Secara spesifik fungsi ini mempertukarkan pengalaman manusia. Kalaulah pada fungsi pertama (ideasional),
merupakan
pemaparan
pengalaman
(eksperiesial),
fungsi
interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terepresentasikan dalam makna pengalaman (experiential meaning) (Halliday, 2004: 106). Interpersonal adalah salah satu dari metafungsi, yang menjelaskan bahwa bahasa sebagai interaksi (Matthiessen, 1992: 663). Dengan kata lain, interpersonal merupakan sumber wujudnya dan berlangsungnya hubungan antara pembicara (speaker) dan mitra bicara (listener). 2.3.1.2.1 Protoaksi Untuk mendapatkan posisi di mana nasihat berada, harus dimulai dari mengetahui dan menetapkan aksi. Aksi diawali dari protoaksi. Dalam melakukan aksi berbahasa, penutur atau pengguna bahasa hanya melakukan dua peran, yaitu memberi (giving) dan meminta. (demanding) (Halliday, 2004:107). Dalam
Universitas Sumatera Utara
57
pelaksanaannya, pemeran membawakan kedua peran itu dalam dua jenis komoditas, yakni informasi (information), dan barang dan jasa (goods & services). Dengan demikian ada dua peran yang dilakukan dan ada dua komoditas yang dipertukarkan. Keempat variabel tersebut distilahkan dengan protoaksi karena menjadi sumber (dasar utama) dalam menentukan aksi turunan berikutnya, termasuk menentukan di mana nasihat berada.
PERAN Memberi Meminta
TABEL 2.5 PROTOAKSI BAHASA ALAS KOMODITAS Informasi Barang dan Jasa Pernyataan Tawaran Pertanyaan Perintah
Secara sistemik, keempat protoaksi itu dapat diurai sebagai berikut. memberi/informasi = ‘pernyataan’ (statement) meminta/informasi = ‘pertanyaan’ (question) memberi/barang dan jasa = ‘tawaran’ (offer) meminta/barang dan jasa = ‘perintah’ (command) Dari bagan di atas, ada empat aksi sebagai aksi utama (protoaksi) yakni: pernyataan, pertanyaan, tawaran, dan perintah. Istilah ini mengacu kepada dan setara dengan konsep speech function dan tindak ujar (speech act) yang lazim digunakan dalam tata bahasa formal (Halliday 1994; Saragih, 2008:19). Keempat aksi tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni: proposisi (‘pernyataan’ dan ‘pertanyaan’) dan proposal (‘tawaran’ dan ‘peritah’). TABEL 2.6 KATEGORI AKSI KATEGORI AKSI Proposisi Pernyataan (statement) Pertanyaan (question) Proposal Tawaran (offer) Perintah (command)
Universitas Sumatera Utara
58
2.3.1.2.2 Aksi dan Realisasi dalam Tata Bahasa Setiap aksi bahasa memiliki realisasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa keempat aksi memiliki realisasi bentuk dan cara tersendiri pula. Kalau aksinya ada empat, namun perealisasinya hanya tiga. Kalau aksi berada pada level semantik (discourse semantics), maka perealisasi berada pada level tata bahasa (lexicogrammar). Untuk disejajarkan masing-masing aksi dan realisasi sebagai berikut: pernyataan direalisasikan oleh declarative, pertanyaan oleh interrogative, perintah oleh imperative, sedangkan tawaran dapat direalisasikan oleh salah satu dari ketiga perealisasi yang ada, berdasarkan konteks pemakaiannya. Bagan berikut adalah aksi dan realisasi dari keempat jenis aksi tersebut. TABEL 2.7 AKSI SEMANTIS DAN LEKSIKOGRAMATIKA Semantik Tata Bahasa Klausa (Modus) Pernyataan Deklaratif Setiap waghi Kamis kami balik be Kutacane. ‘Tiap hari Kamis kami pulang ke Kutacane.’ Pertanyaan Interogatif Ndigan kau be Medan kin?
‘Kapan kau ke Medan?’ Perintah
Imperative
Tawaran
-
Reken sennde be amemu! ‘Berikan uang ini pada ibumu!’ Pate aku pelin mahani aninenne. ‘Biar aku saja yeng ngerjakan kolam itu.’
Realisasi metafungsi (Martin, 1992: 496 dan Saragih, 2010: 42) mencakupi enam strata, seperti digambarkan pada Figura 2.8. Pada strata bahasa, yang merupakan semiotik sosial (denotatif), terdiri atas tiga unsur; realisasi tersebut adalah sebagai berikut.
Pada tingkat arti (wacana) semantik atau
semantik wacana, fungsi ideasional direalisasikan oleh Ideasi dan Konjungsi, interpersonal direalisasikan oleh Negosiasi, dan tekstual direalisasikan oleh
Universitas Sumatera Utara
59
Identifikasi. Pada tingkat leksikogramatika fungsi ideasional direalisasikan oleh Transitivitas/ Ergativitas dan Taksis, fungsi interpersonal direalisasikan oleh Modus, dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Tema/Rema dan Kohesi. Pada strata ekspresi, ketiga metafungsi diekspresikan oleh fonologi, grafologi, atau isyarat dengan tidak ada spesifikasi realisasi. Untuk lebih jelasnya, Figura 2.8 berikut menyajikan realisasi metafungsi mulai dari Ideologi, Konteks Budaya, Konteks Situasi, Arti (semantik wacana), Bentuk (Tata bahasa), dan Ekspresi (Fonologi/Grafologi).
Figura 2.8: Realisasi Metafungsi (adaptasi dari Saragih, 2010:43)
Pada strata semiotik konotatif, yang juga disebut konteks sosial, realisasi metafungsi terjadi beda. Secara rinci perbedaan tersebut adalah sebagai berikut. Pada strata situasi, fungsi ideasional direalisasikan oleh Medan makna (field),
Universitas Sumatera Utara
60
fungsi anatarpersona direalisasikan oleh Pelibat (tenor), dan fungsi tekstual direalisasikan oleh Sarana (mode) atau Cara.
Pada strata budaya tidak ada
pemisahan realisasi ketiga unsur metafungsi.
Strata Budaya mengatur atau
menentukan unsur Medan apa yang ditetapkan bergabung dengan Pelibat, dan Sarana tertentu. Dengam kata lain, budaya mengatur apa (Medan) yang boleh dilakukan siapa (Pelibat) dan dengan (Sarana) atau cara bagaimana.
Strata
ideologi merupakan unsur tertinggi yang menentukan budaya. Realisasi ketiga metafungsi bahasa terdapat pada strata ideologi. Seperti diringkas pada Figura 2.8 realisasi masing-masing unsur metafungsi tidak terpisah pada strata Ideologi, Budaya, dan ekspresi (fonologi, grafologi, atau isyarat).
Spesifikasi realisasi
masing-masing unsur metafungsi terjadi pada strata situasi (medan, pelibat dan cara), semantik wacana (ideasi/konjungsi, negosiasi dan identifikasi), dan leksikogramatika (teks: transitivitas/ergativitas, modus dan tema-rema dan kohesi). Selanjutnya pada realisasi ekspresi, ketiga metafungsi tersebut tidak mengalami spesifikasi. BA sangat erat dengan intonasi dalam Modus. Dalam perealisasian deklaratif dan interogatif, terutama dalam medium lisan, BA selalu memiliki bentuk sama. Hanya yang membedakannya adalah intonasi, seperti: Roh ie be pestae. ‘Dia datang ke pesta itu.’ (Deklaratif), sedang: Roh ie be pestae? ‘Adakah dia datang ke pesta itu?’ (Interogatif). Untuk menambah tekanan dalam interogatif ditambahkan pemarkah ‘-kin’ diakhir interogatif secara mana suka terhadap proses atau sirkumstan, sehingga: Roh ie be pestaekin? ‘Datangkah dia ke pesta itu?’ atau Rohkin ie be pestae? ‘Datangkah dia ke pesta itu?’
Universitas Sumatera Utara
61
Dalam pemakaian keterangan (circumstance), modus interogatif menjadi penentu dan berfungsi menjadi penanya dan mendahului Subjek kalimat/klausa, seperti: Enggou kau mangankin? ‘Sudah makan kau?’. Kata ganti ‘kau’ digunakan untuk mitra bicara sejajar atau lebih rendah sedangkan kata ganti ‘kandu’ digunakan untuk orang yang di atas atau dihormati, seperti istri bertanya pada suami: Enggou kandu mangankin? ‘Sudah makan abang?’ BA masih mengadopsi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dalam susunan dan realisasi terutama dalam pemakaian Modus sebagai realisasi pada tingkat tata bahasa. Hal ini dikarenakan kurangnya penelitian dalam BA sendiri sehingga masih banyak hal-hal yang belum terungkap atau teruraikan secara linguistik. Dalam penggunaan Modus misalnya, BA juga memiliki lima unsur sebagai bagian dari Modus, yakni: Subject, Finite, Predicator, Complement dan Adjunct. Dua awal (Subject dan Finite) adalah bagian Modus (Mood), sedangkan tiga akhir (Predicator, Complement dan Adjunct) adalah bagian Residu (Residue). Secara berurutan kelima unsur tersebut terdapat dalam BA, seperti: (2.46) Ame ibu ‘Ibu Subject
(lot) ada (ada) Finite
nasai masak masak Predicator
Ikan benem ikan pepes ikan pepes Complement
bone. semalam semalam.’ Adjunct
Struktur Modus dapat dikodekan sebagai berikut: Subject ^ ( dengan ^ berarti ‘diikuti oleh’) Finite ^ Predicator ^ Complement ^ Adjunct. Secara bernomor, unsur Modus dapat dilihat seperti pada figura berikut.
Universitas Sumatera Utara
62
Modus dan Residu 1. Subject
Mood 2. Finite 3. Predicator 4. Complement
Residue
5. Adjucnt Figura 2.9 Modus dan Residu
2.3.1.2.3 Modus (Mood), Residu dan Unsurnya 1) Mood (Modus) adalah ranah klausa interpersonal. Modus juga diartikan sebagai gramatikalisasi fungsi ujar dalam suatu klausa (Mathiessen, 1992: 665). Selain dalam teori LSF, Modus juga dikenal dalam teori struktural, seperti Modus Subjunctif. 2) Residu adalah fungsi modal dalam interpretasi klausa sebagai representasi (Mathiessen, 1992: 668). Residue juga diistilahkan sebagai bagian klausa yang tidak menjadi unsur Modus. 3) Subjek merupakan unsur klausa yang padanya argumen didasarkan (Halliday, 2004: 111). Dengan mengacu kepada fungsinya dalam klausa secara rinci dapat dikatakan apakah sesuatu pengalaman linguistik dipertukarkan sebagai pernyataan, pertanyaan, tawaran, atau perintah ditetapkan oleh subjek.
Universitas Sumatera Utara
63
(2.47) Teks 5 Klausa 1 Sendah kau sikel meRangkat be Rantau kalak Sendah Sekarang ‘Sekarang Circ:Time Adjunct RESITHEME
Kau sikel meRangkat Kau hendak berangkat Kau hendak berangkat Part.I: Process: Material Actor Subject Finite Pred. MOOD DUE RHEME
be Rantau kalak ke rantau orang ke rantau orang” Circ: Place Adjunct
Metafu nctions Ideatio nal Interpe rsonal Textual
4) Finite merupakan unsur pembentuk (dengan subjek) modus deklaratif, interogatif, dan imperatif (Halliday, 2004: 112). Finite juga disebut sebagai pembuat (verbal operator) modus. Di dalam BA seperti halnya dalam bahasa Indonesia ada dua unsur dalam setiap (grup) verba, yaitu finite itu sendiri yang menentukan markah pertanyaan (grup) verba itu dan kata kerja utama (kejadian). Sebagai contoh, (grup) verba mangan ‘makan’ terdiri atas lot ‘ada’ + mangan ‘makan’ dengan lot sebagai finite dan mangan sebagai kata kerja utama (kejadian). Dengan pola yang sama setiap (grup) verba terdiri atas finite dan kejadian (event). Yang membedakan antara BA dan bahasa lainnya sepertri bahasa Inggris adalah kala (tense). Dengan kata lain bahasa Inggris memiliki kala sedangkan BA tidak secara eksplisit. Dengan demikian, finite adalah operator verbal yang bersama-sama dengan subject menentukan Modus dalam suatu klausa seperti terdapat pada klausa (2.48) berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
64
(2.48)/ Teks 2 Klausa 17 Uanmu enggou metue Uanmu Ayah ‘Ayahmu Participant I: Carrier Subject MOOD THEME
enggou Metue sudah Tua sudah tua’ Proc.:Rel.:Attrib.: Participant Int. Attribute Finite Predicator Complement RESIDUE RHEME
Metafunctions II: Ideational Interpersonal Textual
5) Predikator adalah fungsi klausa interpersonal yang merupakan bagian verba Residue (Mathiessen, 1992:666). Predicator merupakan unsur verba setelah finite dipisahkan dari (grup) verba (Saragih, 2009: 61). Dengan kata lain, predicator adalah (grup) verba kurang finite, yakni event. Predicator direalisasikan oleh grup verba atau grup verba kompleks. Oleh karena BA tidak memiliki kala sedangkan dalam bahasa lain seperti bahasa Inggris sangat jelas perbedaan antara finite dan predicator tersebut. Bagaimana finite dipisahkan dengan predicator dapat dilihat pada klausa berikut. (2.49)/ Teks 3 Klausa 5 Ulang lawan ghang tue. Ulang lawan Jangan lawan ‘Jangan melawan Proc.:Material Finite Predicator MOOD RESIDUE THEME RHEME
Rang tue orang tua orang tua’ Part.II: Goal Complement
Metafunctions Ideational Interpersonal Textual
6) Komplement adalah unsur klausa yang potensial menjadi objek dalam klausa. Ini berarti bahwa komplemen, dalam hal tertentu, dapat menjadi subjek khususnya dalam klausa pasif. Dalam tata bahasa tradisional unsur ini setara dengan objek.
Universitas Sumatera Utara
65
(2.50)/ Teks 2 Klausa 24 1) Ulang kau sakiti ate kalak Ulang kau Jangan kau ‘Jangan kau Part.I: Senser Process
sakiti sakiti sakiti
Mental: Affection
Finite
Subject MOOD
THEME
Predicator
ate kalak hati orang hati orang’ Part.II: Phenomenon Complement
RESIDUE RHEME
Metafunction Ideational Interpersonal Textual
7) Ajung adalah unsur lain di luar keempat unsur terdahulu dan yang tidak dapat menjadi subject (Halliday, 2004:123). Dengan dasar kelima unsur itu klausa Uan nukoR beRemu bone. dapat dianalisis sebagai berikut. (2.51) Uan ‘Ayah Subject MOOD THEME
(lot)
nukoR
beRemu1
bone
(ada) Finite
membeli Predicator RESIDUE
pisau (adat) Complement
semalam’ Adjunct
RHEME
Pada bagian awal telah diterangkan bahwa BA tidak memilik kala seperti bahasa Inggris. Selain itu BA juga tidak memiliki finite secara eksplisit seperti terdapat dalam bahasa-bahasa lain misalnya bahasa Inggris. Namun konsep Modus (Mood) ada walaupun tidak sepenuhnya berlaku. Bahkan, dapat dikatakan bahwa finite tidak kelihatan di dalam BA. Dengan kata lain, finite dalam BA bersifat laten sehingga tidak kelihatan.
1 BeRemu adalah pisau adat yang dipergunakan oleh MA setiap melakukan upacara adat seperti pernikahan, sunatan dan kenduri turun mandi anak. BeRemu seperti biasa memiliki sarung yang sangat variatif tergantung pemiliknya. Biasanya sarung beRemu dibalut dengan perak bahkan ada yang dibalut dengan suasa atau emas.
Universitas Sumatera Utara
66
(2.52) Teks 2 Klausa 33 Toh ndigan soh ajal entah kapan sampai ajal ‘Entah kapan sampai ajal Circumstance Process:Behavioral : Time Adjunct Finite Predicator RESIMO-DUE THEME RHEME
kami kami kami’ Participant: Behaver Subject -OD
Metafunctions Ideational Interpersonal Textual
Modus (Mood) dibangun oleh dua unsur, yakni Subject dan Finite. Klausa (2.52) mengalami perubahan dimana Mood dan Subject berada pada posisi terpisah. Hal ini terjadi dalam BA karena finite dan predicator dalam proses. Kalau dalam klausa relasional, finite (adalah) disisipkan secara laten, dalam klausa dengan proses material, mental, tingkah laku, dan verbal finite yang disisipkan adalah lot “ada”. Secara teoretis, dapat dikatakan bahwa dalam klausa dengan keempat proses itu terdapat kata ada. Kecenderungan ini masih terasa, khususnya di kalangan penutur BA (dalam Proyeksi Lokusi Hipotaktik) yang masih sering mengucapkan Ie lot jumpe kau nine due tahun selebei. ‘Dia jumpa kau dua tahun lalu katanya.’ Kata lot dalam Ie lot jumpe kau nine due tahun selebei adalah ‘ada’. ‘Lot’ kadang-kadang membingungkan karena dia bisa sebagai finite untuk relasional atau proses wujud. Klausa (2.53a) dan (2.53b) masing-masing relasional dan wujud, seperti:
Universitas Sumatera Utara
67
(2.53a) Ie (lot) ni Rumah bone. Ie (lot) Dia ‘Dia (adalah) Carrier Proc.:Rel:Attr:Cir. Subject Finite Predicator MOOD RESIDUE THEME RHEME (2.53b) Lot ada ‘Ada Proc:Wujud Finite Pred. MORETHEME RHEME
ie dia dia Existent Subject OD
ni Rumah di rumah di rumah Cir.:Place Adjunct
bone. Semalam semalam’ Circ.:Time Adjunct
ni Rumah di rumah di rumah Cir.:Place Adjunct SIDUE
bone? semalam semalam?’ Circ.:Time Adjunct
Modus deklaratif direalisasi dengan dua pola: (1) lazim (Subject + Finite) dan (2) tidak lazim (Finite + Subject) (Gerot, 2001: 38). Klausa (2.54a) dan (2.54b) masing-masing menunjukkan lazim dan tidak lazim, seperti: (2.54a) Kalaepe Orang ‘Orang itupun Part,: Actor subject MOOD THEME (2.54b) Roh Datang ‘Datang Proc,: Matrial Finite Pred. MORESITHEME
ngikuti acaRene ikut Acara mengikuti acaranya.’ Proc.: Material Goal Finite Pred. Complement RESIDUE RHEME
mame Paman paman Part.: Actor Subject OD RHEME
Medan aRi Medan dari dari Medan.’ Circ.: Place Adjunct DUE
Metafunct ions Ideational Interperso nal Textual
Metafunct ions Ideational Interperso nal Textual
Universitas Sumatera Utara
68
Klausa dengan modus deklaratif negatif untuk klausa selain klausa relasional dibentuk dengan menambah tidak di depan ada (tidak ada) dan selanjutnya kata ada lenyap, kecuali dalam proses wujud. (2.54c) Rakyatpe Ghakyat ‘Ghakyatpun
mulai ma senang Senang Mulai tidak senang Part: Senser Proc: Mental Affection Subject Finite Pred. MOOD RESIDUE THEME RHEME
be Rajene pada raja pada rajanya’
Metafu nctions
Part: Phenomenon Complement
Ideatio nal Interpe rsonal Textual
Modus interogatif direalisasikan dengan tiga pola: (1) yes/no questions (Finite + Subject), (2) Wh-Questions, dan Querying Residue (Wh/Subject ^ Finite), dan (3) Querying Residue (Wh + Fin + Subj). Dalam BA, yes/no question (polar) modus interogatif direalisasikan dengan menambahkan pemarkah ‘kin’ (apakah, adakah) di awal atau sebelum predicator (Gerot, 2001: 40) (2.54d) Rohkin Ghohkin Datangkah ‘Datangkah Proc: Material Finite MOTHEME
Pred. RESI-
ie Ie Dia Dia Part.: Actor Subject OD RHEME
bende? bende? ke mari ke mari?’ Circ:Plac e Adjunct DUE
Metafunction s Ideational Interpersonal Textual
Realisasi aksi pada strata semantik dan tata bahasa bukanlah hubungan ‘satu ke satu’ tapi hubungan satu ke lebih dari satu (biunique relation) (Saragih, 2009: 64). Dengan kata lain, realisasi dari satu ke lebih dari satu dengan istilah
Universitas Sumatera Utara
69
probabilitas yakni: (1) satu aksi di tingkat semantik dapat direalisasikan oleh lebih dari satu modus dan (2) satu modus dapat merupakan realisasi lebih dari satu aksi. TABEL 2.8 AKSI DAN REALISASI Semantik Tata Bahasa Klausa ‘perintah’ Imperative Siapken nakanku! “Siapkan nasi ayah!’ Jam pige enggou nde? (agar anaknya interogatif “Jam berapa sudah ini?” menyiapkan makan siang) Deklaratif Tuke kende enggou midou “Perutku sudah lapar.’ Sebaliknya, klausa dalam modus interogatif dapat merupakan realisasi aksi selain pertanyaan (question). Dialog (2.55) adalah contoh bagaimana satu modus interogatif dapat merealisasikan aksi pernyataan (statement) dan larangan (negative imperative). (2.55) Anak: Mei! Ma kingin sekolah waRinde; payah kukap. “Bu! (aku) tidak mau sekolah hari ini ; capek” Ibu : Te jadi kae natemu? Pot kau jadi kalak bodoh? “Kau musti sekolah. Jangan jadi orang bodoh!” a) Aksi Turunan Sebelum membahas aksi turunan (derived speech functions) terlebih dahulu dibahas protoaksi. Ada empat protoaksi. Keempat protoaksi tersebut adalah pernyataan, pertanyaan, tawaran dan perintah. Nasihat tidak terdapat dalam protoaksi melainkan dalam aksi turunan. Dengan menggabungkan tawaran dan perintah, maka saran atau nasihat dapat diperoleh.
Universitas Sumatera Utara
70
Fungsi ujar nasihat merupakan gabungan dari tawaran dan perintah seperti digambarkan dalam figura berikut ini.
Memberi
Pernyataan
Peran Meminta
Pertanyaan
Fungsi ujar
Komoditas
Informasi
Tawaran Nasihat
Barang dan Jasa
Perintah
Figura 2.10: Sistem Jejaring Penurunan Fungsi Ujar Nasihat.
b) Aksi dan Konteks Sosial Terjadinya aksi (teks) didasari atas dua hal. Pertama aksi ditentukan oleh konteks. Kemampuan memprediksi konteks (Gerot, 2001: 16) terhadap teks bersifat kritis karena berhubungan dengan produksi teks. Kedua, konteks ditentukan oleh teks. Kemampuan memprediksi teks terhadap konteks bersifat esensial karena berhubungan dengan pemahaman teks. Hubungan antara aksi (Saragih, 2009: 69) pada strata arti (semantics) dan realisasinya pada strata tata bahasa (lexicogrammar) bersifat probabilitas. Hal ini terjadi karena realisasi aksi bergantung pada konteks sosial (pola pertama). Di dalam konteks pemakaian BA ketika seseorang bertemu dengan teman akrabnya, dia dapat saja mengatakan Ndape nou? ”Kemana itu?” atau DapaRi? “Dari mana?” Kedua klausa (eliptikal) ini adalah realisasi ‘salam ’ (ketika bertemu dengan teman/sahabat), bukan
Universitas Sumatera Utara
71
‘pertanyaan’ walaupun modusnya interogatif. Pada dasarnya, penanya tidak tertarik mau kemana atau dari mana mitra bicaranya pergi atau datang. Apabila sipenanya melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, barulah masuk pada inti pertanyaan. Namun tidak akan mengulangi pertanyaan pertama lagi karena sudah berisikan dua jawaban dengan satu pertanyaan ,seperti percakapan berikut. (2.56) A: Ndape nou? ”Kemana itu?” B: Be jume ngatau lawe ikan be gijab. “Ke sawah meriksa air kolam ikan sebentar” Jawaban B mengandung jawaban (1) “salam” tegur sapa dan (2) jawaban secara konteks yang sebenarnya dialami oleh mitra bicara. Dalam menganalisis klausa BA, sebagai pertukaran pengalaman, label yang digunakan adalah Subject, Finite, Predicator, Complement dan Adjunct. Klausa juga multifungsi dengan pengertian satu klausa dapat dianalisis dari berbagai fungsi (analisis multivariat) dan bermacam tingkatan (univariat). Dengan kata lain, dalam satu klausa ada tiga fungsi dilakukan, yakni fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Klausa (2.57) adalah analisis klausa berdasarkan tiga fungsi atau makna bahasa: fungsi representasi, fungsi antarpersona dan fungsi tekstual. (2.57) /Teks 2 Klausa 16 Edime Edime Itu ‘Itulah Part.I: Proc.:Rel: Token Ident. :Int. Subject Finite Predic. MOOD THEME
si kupikeRken si kupikighken yang kupikirkan yang kupikirkan Part.II: Value Complement RESIDUE RHEME
sendah sendah sekarang sekarang’ Cir,: Temporal Adjunct
Metafunc tions Ideationa l Interpers onal Textual
Universitas Sumatera Utara
72
c) Klausa Lesapan Dalam percakapan sering terjadi penggunaan pelesapan (ellipsis). Atas bantuan konteks, unsur klausa yang dilesapkan sudah sama-sama diketahui oleh pihak pembicara dan lawan bicara, seperti terjadi pada percakapan berikut.
(2.58) A: Lot kau atau lawe aninen pagi ndae? “Ada kau lihat air kolam ikan tadi pagi? B : Lot. “Ada” Sesudah ekspresi lot ‘ada’, pada klausa Aku lot ngatau lawe aninen pagi ndae. ‘Saya melihat air kolam ikan tadi pagi’ dilesapkan sehingga sesungguhnya klausa itu sepenuhnya adalah Ue, aku lot ngidah lawe ikan pagi ndae. “Ya, saya melihat air kolam ikan tadi pagi.’ Klausa yang dilesapkan itu (Halliday, 2004: 563) disebut klausa lesapan (elliptical clause). d) Klausa Minor Klausa minor merupakan ekspresi yang tidak memiliki predikat menurut tata bahasa struktural dan finite menurut tata bahasa fungsional, seperti oh, mejilei (baik), mm, ah, dan ue (ya) (Saragih, 2009: 71). Ekspresi ue (ya) dapat berupa klausa lesapan atau klausa minor bergantung pada konteks pemakaian bahasa. Jika ekspresi ue (ya) mengikuti atau merupakan jawaban terhadap aksi ‘pertanyaan’, seperti (2.59) A: Tuhukin kau sikel laus be Medan?
Universitas Sumatera Utara
73
“Apakah betul kau mau pergi ke Medan?” B: Ue “Ya” Ekspresi ue (ya) itu adalah klausa lesapan. Tetapi, ekspresi ue (ya) bukan klausa lesapan kalau ekspresi itu bukan merupakan jawaban terhadap suatu aksi seperti (2.60) Ue, kite sendah laus. “Ya, kita sekarang pergi” 2.3.1.3 Fungsi Tekstual Fungsi
tekstual
adalah
fungsi
untuk
mengungkapkan
realitas
semiotik/simbol dan berkenaan dengan cara penciptaan teks dalam konteks (Matthiessen, 1992: 434). Fungsi ini bersifat kritis karena terciptanya suatu teks didasari oleh konteks. Dengan kata lain, teks terstruktur karena konteks. Fungsi tekstual adalah fungsi perangkaian dan pengorganisasian (Halliday, 2004: 169). Salah satu contohnya adalah proses perubahan pengalaman non linguistik menjadi pengalaman linguistik. 2.3.1.3.1 Tema dan Rema sebagai Fungsi Tekstual Tema adalah sumber daya pertama dalam satu unit pengalaman atau klausa dalam perspektif penutur (Halliday, 2004: 64). Sedangkan Rema (rheme) adalah sumber daya bahasa berikutnya setelah Tema. Dengan kata lain, Tema adalah titik permulaan klausa sebagai pesan. Tema merupakan informasi lama yang biasanya diletakkan di bagian depan. Sedangkan Rema adalah sebaliknya, yakni informasi baru yang biasanya diletakkan di belakang Tema.
Universitas Sumatera Utara
74
Tema (Halliday, 2004: 64) merupakan titik awal dari satu pesan yang terealisasi di dalam klausa.
Tema dinyatakan dengan unsur pertama klausa
(sebagai representasi pengalaman).
Dengan demikian, Tema dapat berupa
Partisipan, Proses, atau Sirkumstan dalam paparan, dan bisa finite, predicator, complement atau adjunct dalam pertukaran. Dalam teks berikut Tema dicetak tebal. (2.61) Ameku tading ni Kutecane. (Partisipan I/Aktor) “Ibuku tinggal di Kutacane.” TaRuhken kueh ende be Rumah ninikmu!. (Proses/Material) “Antarkan kueh ini ke rumah nenekmu!” Bone mame Roh Banda Aceh aRi. (Sirkumstan/ Waktu) “Semalam paman datang dari Banda Aceh.” LabaR ikane wancut manse. (Partisipan II/Gol) “Ikan cincang itu pakcik yang makan.” Rema adalah unsur klausa sesudah tema (Halliday, 2004: 64, Saragih, 2009: 94-95). Dengan kata lain, Rema adalah informasi baru yang biasanya diletakkan di belakang Tema. Dalam teks (2.62a s/d 2.62l) Rema digarisbawahi. (2.62) (a) Abangku ngembah ikan masin Medan aRi. “Abangku membawa ikan asin dari Medan.” (b) Bulan si Rohnou gaji telu belas luaR. “Bulan depan gaji tigabelas cair.” (©) Nengen segale usahe kami nekolahken ie be kedoktoRen. “Dengan segala usaha kami menyekolahakan dia ke kedoktoran.” (d) KiRimken sen belanje anakmu ni Jakarta tiap awal bulan. “Kirimkan uang belanja anakmu di Jakarta tiap awal bulan. (e) Walaupe kau enggou niembah kalak (Data 1 klausa 6) “Walaupun kau sudah istri orang.” (f) Edime si ku pikeRken sendah (Data 2 klausa 16)
Universitas Sumatera Utara
75
“Itulah yang kupikirkan sekarang.” (g) Ulang lawan Rang tue (Data 3 klausa 5) “Jangan lawan orang tua.” (h) Kane ntaboh enggou metue (Data 4 klausa 8) “Agar bahagia setelah tua.” (i) Selamat kau ni hadih, selamat kami ni hande. (Data 5 klausa 19) “Selamat kau di sana, selamat kami di sini.” (j) Kate kalak ndube, “KoRjeken suRuh hentiken tegah. (Data 6 klausa 14) “Kata orang tua, ‘Kerjakan suruhan hentikan larangan.’” (k) Sendah kenin si nitadingken almaRum kuRe nasehat. (Data 7 klausa 1) “Sekarang kalian yang ditinggal almarhum kuberi nasihat.” (l) Tetabiku be Rang tueku ni hande Rut keRine si hadeR.(Data 8 klausa 1) “Hormat saya pada orang tuaku dan hadirin sekalian.” Di awal telah dijelaskan bahwa unsur Tema dan Rema sangat menentukan. Dua klausa yang memiliki unsur sama (Halliday, 2004: 65) akan berbeda dalam arti jika Tema kedua klausa berbeda. Untuk membuktikan hal tersebut, dapat dilihat ketika kedua klausa tersebut dijadikan dalam modus interogatif. Teks klausa (2.63) dan (2.64) memiliki arti beda karena Tema kedua klausa tersebut beda. Masing-masing Tema dalam klausa tersebut digaris bawahi. (2.63) Bone abangku Roh Belangkejeren aRi. “Semalam abangku datang dari Belangkejeren.” (2.64) Abangku Roh Belangkejeren aRi bone. “Abangku datang dari Belangkejeren semalam.” Untuk melihat bagaimana perbedaan kedua klausa tersebut, terlebih dahulu dilakukan pertukaran modus dari deklaratif menjadi modus interogatif seperti
Universitas Sumatera Utara
76
percakapan (2.65) dan (2.66). Secara semantik, modus interogatif dipola Tema menjadi jawaban:
(2.65) A: Ndigan abangmu Roh Belangkejeren aRi?. “Kapan abangmu datang dari Belangkejeren?” B: Bone (abangku Roh Belangkejeren aRi.) “Semalam (abangku datang dari Belangkejeren)” (2.66) A: Ise Roh Belangkejeren aRi bone? “Siapa datang dari Belangkejeren semalam?” B: Abangku (Roh Belangkejeren aRi bone.) “Abangku (datang dari Belangkejeren semalam)” a) Grup dan Klausa sebagai Tema Selain kata, grup atau klausa sisipan (embedded clause) juga dapat berfungsi sebagai Tema. Kata, grup nomina dan verba, dan klausa sisipan dalam (2.67) merupakan tema dalam teks tersebut. Klausa sisipan (Halliday, 2004: 68) ditandai dengan [[…]] dan tema masing-masing klausa dicetak tebal. (2.67) Keleku tamaten USU aRi. “Menantuku tamatan dari USU” Empus ndohoR mesegit e nidayeken empungne. “Kebung dekat mesjid itu dijual pemiliknya.” [[Mangan ni empus sambil nimai Rutung ndabuh]] mahan senang ate. “[[Makan di ladang sambil nunggu durian jatuh]] menyenangkan.” Kute [[kasku laheR kale]] enggou habis tebai lawe Alas e. “Kampung [[tempat saya di lahirkan]] sudah habis dikikis Sungai Alas.” [[Si mahan ateku ma ntaboh e]] ma balik enggou empat waghi. “[[Yang membuat hatiku risau]] tidak pulang sudah empat hari.
Universitas Sumatera Utara
77
b) Tema dan Modus Dalam berkomunikasi, Tema tetap berinteraksi dengan Modus dengan pengertian bahwa setiap Tema dalam setiap klausa tergantung pada Modus klausa itu (Halliday, 2004:71). Dengan kata lain, Tema berbeda berdasarkan Modus deklaratif, interogatif. Dari persfektif experiential (sebagai representasi atau paparan pengalaman), unsur pertama atau awal klausa deklaratif yang dapat berupa proses, partisipan, atau sirkumstan berfungsi Tema seperti dalam (2.68) berikut. Untuk lebih jelasnya, Tema dicetak tebal. (2.68) Kayu mbelin mbulak be pasaR bongi ndae. “Kayu besar tumbang ke pasar tadi malam.” Laus ie be Medan pagi ndae. “Pergi dia ke Medan tadi pagi.” Bone motoR ndabuh ni Ketambe. “Semalam bus jatuh di Ketambe.” Be Jakarta embahne anakne. “Ke Jakarta bawaknya anaknya. Berikut adalah klausa pertukaran dengan istilah klausa interogatif. Ada dua hal yang wajar diperhatikan dalam klausa ini, yakni pertanyaan yang menghendaki jawaban ue/made (ya/tidak). Dalam BA, pertanyaan ini diawali dengan kata lot/tuhu “ada/betul” atau menggunakan finite/predicator dari klausa tersebut. Dalam klausa (2.69), dan (2.70) masing-masing menggunakan lot/tuhu (betul), dan predicator/complement, dan ditandai dengan tema dicetak tebal seperti: (2.69) A: Lot kau botken sen ne? “Ada kau ambil uangnya?” B: Lot “Ada” A: Tuhu kau Roh?
Universitas Sumatera Utara
78
“Betul kau datang? B: Tuhu “Betul”
(2.70) A: DoktoRkin ie? “Dokternya dia?” B: Ue “Ya?” Tema dan modus berinteraksi dalam klausa imperatif dan memiliki pola berbeda dengan klausa deklaratif dan interogatif seperti telah dijelaskan sebelumnya. Lazimnya yang menjadi tema adalah proses. Namun perlu dicatat bahwa orang kedua (kandu/kau ‘engkau’, kenin ‘kamu/kalian’ tergantung pada konteks) dapat muncul di depan proses, khususnya dalam imperatif positif. Klausa dengan subjectnya orang kedua, tema klausa imperatif sama dengan tema klausa deklaratif, hanya yang membedakannya adalah penambahan kata seru ‘!’ pada akhir klausa, sedangkan pada klausa imperatif negatif cukup dengan menambahkan kata ulang ‘jangan’ di awal klausa. Klausa (2.71) dan (2.72) masing-masing klausa imperatif positif dan klausa imperatif negatif, dengan tema dicetak tebal seperti: (2.71) TukoR Rokokku be! “Belikan saya rokok dulu!” Geken keluhen Rakyat! “Dengarkan keluhan rakya!” Sohken kiRimen kende be ameku! “Sampaikan kiriman saya ini kepada ibuku!” Kau embah ende balik! “Kau bawa ini pulang!”
Universitas Sumatera Utara
79
(2.72) Ulang kau tangkou sen kalak hadih pagi! “Jangan kau curi uang orang di sana nanti!” Ulang lawan Rang tuemu! “Jangan lawan orang tuamu!” 2.3.1.3.2 Tema Kompleks 2.3.1.3.2.1 Pengertian Tema kompleks adalah Tema dalam satu klausa yang ditempati oleh sejumlah unsur yang masing-masing unsur memiliki fungsi yang berbeda. Secara spesifik, Tema kompleks terdiri atas Tema tekstual (Textual theme), Tema interpersonal (Interpersonal theme) dan Tema Topikal Textual theme).
NAMA TEMA KOMPLEKS
TABEL 2.9 JENIS TEMA UNSUR 1. Tema Tekstual 2. Tema Interpersonal 3. Tema Topikal
a. Tema Tekstual Tema tekstual mencakup: (1) konjungsi (kata sambung/conjunction), (2) kata ganti relatif (relative pronouns), (3) penghubung (conjunctives) dan (4) penerus (continuatives).
NAMA TEMA TEKSTUAL
TABEL 2.10 TEMA TEKSTUAL UNSUR 1. Konjungsi/Conjunctions 2. Kata ganti relatif/Relative Pronouns 3. Penghubung/Conjunctives 4. Penerus/Continuatives
Konjungsi (kata sambung/ conjunction) berfungsi menghubungkan klausa. Sebagai penghubung, konjungsi termasuk dan (Rut), karena (keghane),
Universitas Sumatera Utara
80
sehingga (sehingge), lalu (te), tetapi (tetapi),….., seperti klausa (konjungsi digarisbawahi) (2.73) Uan napu halamen Rut ame medakan. ayah menyapu halaman dan ibu menanak nasi. ‘Ayah menyapu halaman dan ibu menanak nasi.’
NAMA KONJUNGSI
TABEL 2.11 KONJUNGSI CONTOH (1) dan ‘Rut’, (2) karena ‘keRane’, (3) sehingga ‘sehingge’, (4)lalu ‘te’, (5) tetapi,…..,
Kata ganti relatif (relative pronouns) adalah yang (si) dan yang …..,nya (si ……,ne), biasanya menghubungkan, menggantikan nomina anteseden, dan sekaligus menyisipkan klausa ke dalam klausa yang lebih besar seperti (kata ganti relatif digarisbawahi) pada klausa: (2.74) Anakne si kuliah ni STAN Jakarta e mange penah nijenguk. anak yang kuliah di STAN Jakarta itu belum pernah dikunjungi ‘Anaknya yang kuliah di STAN Jakarta itu belum pernah dikunjungi.’ (2.75) Endeme jemene si tetap nuRuh aku belajar teRus. ini orangnya yang selalu memotivasi saya belajar terus. ‘Inilah orangnya yang selalu memotivasi saya belajar terus.’ TABEL 2.12 KATA GANTI RELATIF NAMA KATA GANTI RELATIF
CONTOH (1) yang ‘si’ dan (2) yang …..,nya ‘si.…ne’,
Penghubung (conjunctives) terdiri dari kata atau frase yang berfungsi menghubungkan makna kalusa dengan klausa, paragraf dengan paragraf atau teks dengan teks lain seperti: dengan kata lain (mu nikateken), dengan demikian (de
Universitas Sumatera Utara
81
enggou begedi), lagi pula (nengepe), maka (te), oleh sebab itu (oleh sebab edi), sebagai tambahan (tambahenne), dan sejalan dengan itu (sedalan Rut edi). Perbedaan utama penghubung dengan konjungsi (Halliday, 2004:534) adalah bahwa konjungsi merupakan penghubung struktural antarklausa, sementara penghubung menautkan klausa berdasarkan arti dan mengubungkan teks. Pada klausa berikut penghubung digarisbawahi. (2.76) Ie ma balik be kute de ma nenge tamat kuliah. Tenengepe mbuesu ngeluaRken biaye keRane ongkos taksi pelin Rp. 250.000,- untuk bedih bende. dia tidak akan pulang kampung sebelum tamat kuliah lagi pula terlalu banyak mengeluarkan biaya karena ongkos taksi saja Rp. 250.000,- untuk pulang pergi ‘Dia tidak akan pulang kampung sebelum tamat kuliah. Lagi pula terlalu banyak mengeluarkan biaya karena ongkos taksi saja Rp. 250.000,- untuk pulang pergi.’ (2.77) BelajaR mu melatih otak kane ma segeRe pikun. Oleh sebat edi, Rajinlah mace. belajar dapat melatih otak agar tidak cepat pikun. oleh sebat itu, rajinlah membaca. ‘Belajar dapat melatih otak agar tidak cepat pikun. Oleh sebat itu, rajinlah membaca.’ Dari contoh diatas, klausa Dia tidak akan pulang kampung sebelum tamat kuliah., dihubungkan dengan lagi pula yang terdapat pada klausa: Lagi pula terlalu banyak mengeluarkan biaya karena ongkos taksi saja Rp. 250.000,- untuk pulang pergi., dan klausa Belajar dapat melatih otak agar tidak cepat pikun., dihubungkan dengan oleh sebab itu yang terdapat pada klausa: Oleh sebab itu, rajinlah membaca.
TABEL 2.13
Universitas Sumatera Utara
82
PENGHUBUNG NAMA PENGHUBUNG/
CONTOH dengan kata lain, dengan demikian, lagi pula, maka, oleh
CONJUNCTIVES
sebab itu, sebagai tambahan, dan sejalan dengan itu
Penerus / continuatives merupakan bunyi, kata, atau frase yang berfungsi membentuk konteks sehingga teks yang disampaikan sebelum dan sesudahnya berterusan dan saling terhubung dalam arti dan konteks (Halliday, 2004:81). Ekspresi seperti: oh (oh), baik (baik)’, ya (ue), tidak (ndak), a….a…a atau e…e… e, mm…mm…mm (yang menunjukkan kegagapan atau keterlalutelitian), jadi (jadi), dan sebagainya merupakan penanda penerus.
NAMA PENERUS/
TABEL 2.14 PENERUS CONTOH oh, baik, ya, tidak, a….a…a atau e…e…e, mm…mm…
CONTINUATIVES
mm (kegagapan atau keterlalutelitian), jadi, lalu, dan sebagainya merupakan penanda penerus
b.Tema Interpersonal Tema Interpersonal (interpersonal theme) mencakup (1) pemarkah pertanyaan, (2) kata tanya pertanyaan informasi, (3) vokatif, dan (4) keterangan (penegas) modus. TABEL 2.15 TEMA INTERPERSONAL NAMA UNSUR TEMA (1) pemarkah pertanyaan INTERPERSONA (2) kata tanya pertanyaan informasi (3) vokatif (4) keterangan (penegas) modus. Pemarkah pertanyaan alternatif menunjukkan bahwa klausa berada dalam modus interogatif. Dua pemarkah interogatif yang lazim digunakan di
Universitas Sumatera Utara
83
dalam BA adalah lot ‘ada(kah)’, atau kae ‘apa(kah?)’ seperti dalam klausa Lot ie naRuhken sen e bone? “Adakah dia mengantarkan uang itu semalam?” Di dalam bahasa Inggris, pemarkah pertanyaan disebut Finite (do, does, did, is, am, are, were, has, have , has, had,……), seperti di dalam klausa Have you finished writing?
NAMA PEMARKAH PERTANYAAN
TABEL 2.16 PEMARKAH PERTANYAAN CONTOH BA: lot/ada(kah?, atau kae/apa(kah?) Bhs. Ing. disebut Finite: do, does, did, is, am, are, were, has, have , has, had,……
(2.78) Lot ie ghoh pagi? “Ada dia datang besok?” Kata tanya pertanyaan informasi mencakupi kata atau frase seperti kae ‘apa’, ise ‘siapa’, ni dape ‘di mana’, ndigan ‘kapan’, kunei ‘bagaimana’, si dapene ‘yang mana’, seperti dalam klausa Ise ghoh pagi. “Siapa datang besok?” TABEL 2.17 KATA TANYA NAMA CONTOH KATA TANYA PERTANYAAN Kae ‘apa’, ise ‘siapa’, ni dape ‘di mana’, INFORMASI
ndigan ‘kapan’, kunei ‘bagaimana’, dapene ‘yang mana’,
Vokatif (Halliday, 2004:81) menunjukkan (nama) orang atau benda yang kepadanya aksi ditujukan dan ditempatkan di awal klausa. Dalam klausa Dewi, buatkan ayah powerpoin materi ayah mengajar besok!, Paman, bisa tolong saya sebentar terjemahan bahasa Arab ini saya bingung?, dan Wahai angin yang mendayu, sampaikanlah rindu asmaraku kepada Dinda di muara, Dewi, Paman, dan Wahai angin yang mendayu adalah Vokatif (Saragih, 2009:101). Jika (nama)
Universitas Sumatera Utara
84
orang atau benda muncul di akhir klausa, unsur itu tidak berfungsi sebagai tema walaupun masih termasuk kategori vokatif.
Dengan demikian, dalam teks
Enggou kau bayaR listerik Fin? “Sudah kau bayar listrik, \Fin?”, Fin bukan tema.
NAMA VOKATIF
TABEL 2.18 VOKATIF CONTOH Wahai angin yang mendayu, sampaikanlah rindu asmaraku kepada dinda di muara (Saragih, 2009:101)
Keterangan (penegas) modus adalah sejumlah keterangan yang berfungsi menegaskan klausa sebagai deklaratif, interogatif, atau imperatif. Keterangan modus umumnya muncul di depan subjek dan berfungsi memberi tanggapan pribadi, opini, atau ‘bumbu’ dari pemakai bahasa. Ekspresi seperti sesungguhnya, sebaiknya, sejauh ini merupakan keterangan modus. TABEL 2.19 KETERANGAN MODUS NAMA CONTOH KETERANGAN (PENEGAS) (1) sesungguhnya (2) sebaiknya (3) sejauh MODUS c. Tema Topikal Tema topikal merupakan unsur pertama representasi pengalaman. Ini berarti bahwa tema topikal dapat berupa proses, partisipan atau sirkumstan. Jika di dalam satu klausa hanya terdapat satu Tema atau Tema sederhana, Tema itu cukup diberi label Tema bukan Tema topikal. Dalam kenyataannya klausa yang diucapkan tidak seideal yang sering dianalisis di kajian linguistik. Klausa Loot kin loot kin kau ngajaR Bahase Inggris ni Kutecane sendah? “Adakah Engkau mengajar B.Inggris di Kutacane
Universitas Sumatera Utara
85
sekarang?” merupakan klausa ideal yang dalam kenyataan konteks sosial sesungguhnya dapat wujud seperti Tuhu mmmm Afin setuhune lot kin lotkin kau ngajaR Behase Inggris ni Kutecane sendah? “Ba baaik mm mm Afin sesunggunya aaa aadakah adakah Engkau mengajar B.Inggris di Kutacane sekarang?” Berdasarkan pengertian dan prinsip Tema kompleks, klausa ini dianalisis sebagai berikut. TABEL 2.20 ANALISIS MULTI DIMENSIONAL 1 Tuhu
mm mm
‘Ba baik
mm mm
Afin
Setuhune
loot kin loot kin
Afin Afin
Sungguh sesungghn ya
Ada Engkau aa aadakah Engkau adakah
ngajaR B. Inggris ni Kutecane sendah? ajar sekarang mengajar B.Inggris di Kutacane sekarang?’
Peneru Penerus Vokat s if Tekstual TEMA
Keteranga Pemarkah n penegas pertanyaan modus Antarpersona
Kau
Topikal REMA
2.3.1.3.2.2 Tema dan Pengembangan Teks Unsur Tema dan Rema dalam klausa dapat dijadikan menjadi pola pengembangan klausa itu menjadi teks yang lebih besar. Dari berbagai pola pengembangan klausa menjadi teks, tiga dipercontohkan seperti teks berikut ini.
1) Pola 1 1. T - R
Aku jumpe mamene bone ‘Saya ketemu pamannya semalam.’
Universitas Sumatera Utara
86
2.
T1- R1
3.
Mamene guRu ni SMP NegeRi 1 Lawe Alas. ‘Pamannya guru di SMP Negri 1 Lawe Alas.’
T2 -R2
4.
SMP paling mbelin ni Kecamatene. ‘SMP paling besar di Kecaamatan itu.’
T3 -R3 Kecamaten ni kencuah Kab. Aceh Tenggara. ‘Kecamatan di bagian barat Kab.Aceh Tenggara.’ Pola 1 menunjukkan bahwa mula-mula diralisasikan satu klausa. Klausa
ini memiliki Tema (T) dan Rema (R). Dalam klausa berikutnya R klausa pertama ini menjadi T1. Selanjutnya, R1 klausa ini menjadi T2 klausa berikut. R2 klausa itu berikutnya menjadi T3 dan demikian seterusnya sehingga terbentuk teks yang lebih besar. 2) Pola 2 1. T
R
Ie empung Sekolah Tinggi ni Kutecane. ‘Dia punya Sekolah Tinggi di Kutacane.’
2.
T1
R1
Kota simbelinne ni Aceh Tenggara. ‘Kota terbesar di Aceh Tenggara.’
T2
R2
Ibu kota kabupaten. ‘Ibu kota kabupaten.’
T3
R3
3.
4.
Kota nikelilingi deleng Rut udaRene segaR. ‘Kota dikelilingi gunung dan udaranya segar.’
Dengan Pola 2 ini mula-mula satu klausa direalisasikan. Dari R klausa pertama (Kutacane) ini dimunculkan T klausa berikutnya (T1, T2, T3) dan disertai oleh R (R1, R2, R3) masing-masing. Dengan demikian, dalam contoh itu T1, T2,
Universitas Sumatera Utara
87
dan T3 yakni: Kutacane, Kota, Ibu kota, dan Kota adalah realisasi Kutacane yang menjadi R klausa pertama. 3) Pola 3 1. T
R
Budaye Alas adelah suatu pRoduk sosial maseRakat Alas. ‘Budaya Alas adalah suatu produk sosial masyarakat Alas.’
2.
T1
R1
Budaye si menjadi idamen maseRakatne. ‘Budaya yang menjadi idaman masyarakatnya.’
T2
R2
PRoduk si sesuei Rut agame. ‘Produk yang sesuai dengan agama.’
T3
R3
3.
4.
Tetap dinamis Rut lestaRi sepanjang mase. ‘Tetap dinamis dan lestari sepanjang masa.’
Pola 3 merupakan kebalikan dari Pola 2. Dengan pola pengembangan teks ini mula-mula satu klausa direalisasikan dengan T dan R-nya. Dari T klausa pertama dimunculkan T1, T2, dan T3 klausa berikutnya dan masing-masing klausa itu diikuti R1, R2, dan R3. Dengan demikian, budaya, produk, dan tetap merupakan realisasi lain Budaya Alas. Ketiga pola pengembangan itu adalah pola dasar. Dalam satu wacana satu pola mungkin dikombinasikan atau disisipi dengan pola lain. 2.3.2 Analisis Sebagai unit yang dianalisis klausa merupakan representasi, pertukaran, dan pengorganisasian pengalaman. Dengan demikian, klausa dapat dianalisis sebagai representasi, pertukaran, dan pengorganisaian pengalaman. Berkaitan dengan itu, klausa dapat dianalisis secara multidimensional: dengan cara pengalaman, pertukaran, dan pengorganisasian seperti dalam tabel 2.21 berikut. TABEL 2.21
Universitas Sumatera Utara
88
ANALISIS MULTI DIMENSIONAL 2 Baik Baik
Pene rus Teks Tual TEMA
Anan Anan
lot adakah
kau engkau
suRat-e surat itu
bane? kepadanya?
Pelaku
sohken menyampaikan Material
Proses:
Gol
Subjek
Predikator
Komple men
Sirkumstan: Lokasi Keterangan
Finit Vokatif
Pemarkah modus Antarpersona Topikal REMA
Dalam analisis mutivariat itu dapat dilihat bahwa unsur klausa seperti baik dan Anan tidak dapat dianalisis atau ‘dijaring’ dengan analisis makna paparan atau representasi pengalaman. Kedua unsur klausa itu hanya dapat dianalisis dengan makna interpersonal dan makna pengorganisasian atau makna tekstual. Berdasarkan analisis multifungsi bahasa sebagai representasi, pertukaran dan pengorganisasian pengalaman mampu memenuhi kebutuhan manusia sebagai pengguna bahasa. Dengan demikian, bahasa sebagai semiotik sosial tidak dapat dipisahkan dari manusia. Bahasa adalah manusiawi dalam artian bahwa manusia dapat mengembangkan pikiran dengan bahasa. Bahasa memberi ciri sosok manusia dalam hal status, ekonomi, sosial dan intelektual. Bahasa menunjukkan bangsa. Pembahasan berikutnya adalah genre sebagai konteks sosial.
2. 4 Konsep Genre Genre merupakan bagian daripada budaya. Budaya bisa dibatasi sebagai kegiatan sosial yang dipelajari. Hanya manusia yang memiliki genre karena
Universitas Sumatera Utara
89
manusia yang berbudaya. Dengan kata lain hanya manusia yang hidupnya terus berkembang. Seiring perkembangan budaya, bahasa sangat menentukan. Bahasa sebagai sentral budaya membantu perkembangan budaya. Sifat konstrual antara bahasa dan budaya menghasilkan perkembangan yang serasi dan dinamis. Jika muncul suatu kata baru berarti muncul pula budaya (konteks) pemakaian kata tersebut karena satu kata baru, harus menggunakan konteks kapan kata itu dipakai. Secara umum genre diartikan sebagai jenis teks. Kata genre berasal dari bahasa Prancis dan pada awalnya digunakan dalam sastra.
Dengan cakupan
makna itu puisi, prosa, berbalas pantun, pidato, lagu dan lagam (panggilan pria terhadap wanita lewat lantunan suara dalam BA) merupakan genre. Menurut teori LSF, bahwa genre didefinisikan sebagai kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi pada tujuan. Pada mulanya konsep genre berasal dari sistem (paradigmatik) klasifikasi oleh Aristoteles dan Plato. Kemudian Plato membaginya menjadi tiga jenis genre, yaitu: puisi (poetry), drama, dan prosa (prose). Puisi (poetry) kemudian dibagi lagi menjadi epik, lirik, dan drama. Pembagian itu terkenal menurut Aristoteles dan Plato, namun bukanlah menurut mereka saja, masih banyak lagi pakar lain yang telah mengembangkan dan membahas genre sampai kepada perkembangannya saat ini (Aveling, 2007). Teori genre
telah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu. Teori itu
digunakan untuk menentukan jenis-jenis karya sastra. Secara umum genre diartikan sebagai jenis sehingga tidak mengherankan kalau teorinya diterpakan untuk menentukan jenis-jenis karya sastra. Dengan penjelasan tersebut, dapat
Universitas Sumatera Utara
90
dipahami bahwa genre merupakan formasi semiotis dan konstruksi sosioal dalam produk konvensi masyarakat. Martin (1992) berpendapat bahwa genre merupakan proses sosial. Genre dilakukan setiap individu sebagai anggota masyarakatnya berorientasi pada tujuan secara bertahap. Dengan demikian genre sebagai konteks budaya mencakupi tiga unsur, yakni (1) batasan ketiga unsur konteks situasi (medan, pelibat dan sarana), (2) langkah atau tahapan (struktur generik), dan (3) tujuan yang hendak dicapai dalam interaksi sosial untuk meningkatkan kesejahteraan. Pengertian genre dapat dijelaskan dari beberapa sudut pandang. Genre secara sempit diartikan sebagai jenis teks atau wacana. Secara luas, genre diartikan sebagai konteks budaya yang melatarbelakangi lahirnya teks. Dengan pengertian ini genre tidak lagi berada pada ranah bahasa tetapi sudah masuk ke ranah konteks budaya. Secara teknis genre merupakan proses sosial yang berorientasi kepada tujuan yang dicapai secara bertahap, (a staged, goal-oriented social process) (Martin, 1985; Martin,1992). Dari pengertian tersebut, terdapat tiga istilah yang masing-masing mengandung pengertian tertentu, yakni (1) sosial, yang berarti bahwa orang menggunakan genre untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai anggota masyarakat, (2) berorientasi kepada tujuan, yang berarti bahwa orang menggunakan genre untuk mencapai tujuan, dan (3) bertahap, yang berarti bahwa dalam pencapaian tujuan tidaklah selamanya dapat diperoleh sekaligus tapi harus bertahap dan bersistem (Martin & Rose, 2003: 7-8). Genre berfungsi untuk mengontrol Medan (field), Pelibat (tenor), dan Cara atau Sarana (Mode). Dengan kata lain, genre sebagai budaya menentukan apa
Universitas Sumatera Utara
91
(Medan) yang boleh dilakukan atau dibicarakan seseorang (Pelibat) dan bagaimana
(Cara
atau
Sarana)
membicarakannya.
Dengan
demikian,
sesungguhnya kehidupan seseorang sebagai anggota masyarakat ditentukan oleh genre yang mengontrol ketiga komponen itu. Hal ini berarti bahwa tidak semua topik atau Medan boleh dibicarakan oleh semua orang (ideologi). Kemampuan seseorang untuk membicarakan suatu Medan menentukan kekuasaannya dan kekuasaan itu ditentukan oleh konvensi masyarakat. Misalnya, peristiwa sejarah hanya berterima dibicarakan oleh pakar sejarah dan mustahil hal tersebut dibahas oleh seorang yang tidak berpendidikan. Mungkin saja ada orang awam tidak berpendidikan yang bisa menceritakan kejadian bersejarah tersebut secara jelas dan lengkap namun kapasitas dia hanya sebagai informan karena bukan sebagai ilmuan sejarah. Ada beberapa syarat untuk tercapainya suatu teks menjadi genre. Pertama harus ada kegiatan sosial. Yang kedua harus ada tujuan yang akan dicapai. Ke tiga dilakukan secara bertahap. Contoh dalam MA antara lain adalah upacara adat seperti pernikahan, sunatan, dan lain-lain. Acara adat tersebut dilakukan dari masa ke masa secara gradual mengalami perubahan untuk mencapai kesempurnaan menurut MA sebagai pencipta dan pengguna.
2.4.1 Jenis Genre Secara umum, genre dapat dibagi menjadi dua kelompok, (1) genre cerita seperti narasi, kisah, mitos, anekdot, fabel, roman, horor, hero, kisah moral, cerita-cerita peri, misteri, advonturir, dan lain-lain dan (2) genre faktual seperti
Universitas Sumatera Utara
92
eksposisi, deskripsi, laporan, prosedur, eksplanasi, diskusi, dan lain-lain (Bhatia, 1994:13 dan Sinar, 2012:72). Seperti telah dijelaskan bahwa genre terkait dengan budaya pemakai bahasa itu karena genre adalah budaya. Satu genre dalam satu budaya mungkin tidak dikenal dalam budaya lain. Dengan kata lain, terdapat perbedaan dalam jenis genre yang digunakan secara lintas bahasa. Genre didefinisikan oleh Martin (992: 546-573) sebagai kegiatan sosial bertahap (staged) dan berorientasi capaian (goal-oriented) dan bertujuan (purposeful). 2001:17).
Selanjutnya, genre terealisasi dalam bahasa atau teks (Gerot,
Definisi berdasarkan LSF inilah yang menjadi acuan di dalam
penelitian ini. Dengan definisi ini, khususnya dalam bidang akademik, dikenal tiga belas genre.
Pada dasarnya, jumlah genre dalam bahasa Inggris tidak
diketahui berapa jumlahnya. Dalam kaitannya dengan kegiatan akademik dan pendidikan, khusunya dengan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah menengah di Indonesai diperkenalkan ketiga belas genre sebagai berikut. (1) Deskripsi (description) (2) Penjelasan/eksplanasi (explanation) (3) Prosedur (procedure) (4) Eksposisi (exposition) (5) Diskusi (discussion) (6) Narasi (narrative) (7) Cerita Gurau (spoof recount) (8) Cerita (recount) (9) Laporan (report) (10) Anekdot (anecdote) (11) Komentar (comment) (12) Ulasan (review) (13) Berita (news) (Adaptasi dari Sinar, 2012:71 dan Saragih, 2010:136)
Universitas Sumatera Utara
93
Dengan definisi berdasarkan pandangan diatas, maka satu teks bisa terdiri lebih dari satu genre. Misalnya, interaksi buruh dengan mandor perusahaan, murid dengan guru di sekolah, jemaah dengan ustad di masjid, langgar, bahkan di rumah ketika berlangsung pengajian malam Jumat, bukanlah terdiri dari satu jenis genre saja tetapi terjadi dari sejumlah genre, yakni genre deskripsi ketika seorang guru menjelaskan identitasnya di depan siswa atau seorang ustad menguraikan bagaimana perjuangan Rasul dalam menegakkan kebenaran, eksplanasi ketika pakar lingkungan menerangkan bagaimana terjadinya banjir bandang atau ketika guru menerangkan bagaimana terjadinya satu proses (misalnya bagaimana terjadinya hujan), narasi ketika guru bercerita tentang suatu kisah (BeRu Dihe, PiheR di Aceh Tenggara, Malin Kundang di Sumatera Barat, Simardan dan Sampu Raga di Sumatera Utara), cerita ketika murid menceritakan pengalaman mereka ketika pergi ke Parapat di dalam kelas. 2.4.2 Penelitian Terdahulu Sampai saat ini, penelitian tentang teks nasihat telah banyak dilakukan oleh para peneliti, tapi belum menemukan penelitian tentang genre nasihat dalam BA. Penelitian terdahulu mencakup tiga jenis yaitu mengenai hasil penelitian mengenai genre dalam bahasa daerah dan bahasa Indonesia; penelitian terdahulu mengenai BA dan penelitian terdahulu yang memakai model LSF. Penelitian yang dilakukan oleh Saragih (1996) tentang struktur teks berita surat kabar menunjukkan bahwa teks berita surat kabar terdiri atas struktur (1) berita ucapan (saying text), (2) berita kejadian (doing text) dan (3) berita keadaan (being text). Setiap jenis berita surat kabar dibangun dari sejumlah tahap yang
Universitas Sumatera Utara
94
membentuk struktur beda surat kabar itu. Misalnya teks berita ucapan terjadi dari teras ^ ucapan ^ latar belakang. Selanjutnya setiap tahap teks berita direalisasikan oleh fitur linguistik. Misalnya tahap teras direalisasikan oleh dominasi proses relasional, ucapan oleh proses verbal dalam bentuk proyeksi dan latar belakang direalisasikan oleh proses material. Relevansi temuan kajian ini terhadap penelitian genre nasihat dalam BA adalah struktur dan realisasi fitur linguistik relevan dan berlaku. Penelitian yang dilakukan oleh Iwabuchi (1994), dengan judul: The People of the Alas Valley, merupakan penelitian pertama tentang etnografi MA dengan fokus utama mengenai prilaku, ideologi dan kategori etnis di tanah Alas. Tujuan utama penelitian itu untuk memberi gambaran secara rinci mengenai organisasi sosial dan perbedaan etnis Alas dengan etnis-etnis lain di Sumatera bagian utara. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sinar (1998) antara lain adalah: Analisis Struktur Skematika Genre menerapkan prinsip analisis LSF. Penelitian ini dilakukan terhadap 200 karangan bahasa Indonesia yang ditulis oleh murid-murid Kelas VI Sekolah Dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Salamuddin (2001), dengan judul: Struktur Percakapan dalam Bahasa Alas, menunjukkan bahwa percakapan bahasa Alas memiliki struktur, gangguan, realisasi fungsi ujar yang tidak selalu mulus/ liniar. Konteks dapat mempengaruhi struktur percakapan dan ucapan “terima kasih” lebih berpeluang pada proposal ketimbang proposisi.
Universitas Sumatera Utara
95
Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2007), dengan judul: Hubungan Makna Logis dalam Narasi Bahasa Alas, menunjukkan bahwa ekspansi hipotaksis ganda merupakan hubungan logis semantik dominan. Urutan kedua adalah proyeksi lokusi parataksis. Hal ini terjadi karena setiap cerita atau narasi memiliki waktu, lokasi dan tempat. Untuk merealisasi makna tersebut para narator cenderung menggunakan ekstensi hipotaksis ganda. Penelitian yang dilakukan oleh Wiratno (2009), dengan judul: Makna Metafungsional Teks Ilmiah dalam Bahasa Indonesia pada Jurnal Ilmiah (Sebuah Analisis Sistemik Fungsional). Penelitian ini membahas bagaimana realisasi makna metafungsioal (yang mencakup makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual) pada teks ilmiah. Dari segi genre, semua teks yang diteliti tergolong ke dalam genre artikel jurnal, yang dapat dibagi lagi menjadi sub-genre yaitu artikel penelitian untuk Teks Biologi, Teks Ekonomi, Teks Sosial, serta artikel non-penelitian untuk Teks Bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh T. Thyrhaya Zein (2009), dengan judul: Representasi Ideologi Masyarakat Melayu Serdang dalam Teks, Situasi dan Budaya. Penelitian ini mengkaji fenomena semiotik sosial Melayu Serdang (MS), terfokus pada pengungkapan representasi ideologi dalam bahasa (teks), situasi, dan budaya. Relevansi temuan kajian ini terhadap penelitian genre nasihat dalam BA adalah struktur dan realisasi fitur linguistik relevan dan berlaku serta samasama menganalisis budaya. 2.4.3 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
96
Dengan merujuk teori LSF dan yang relevan, maka kajian terhadap genre Nasihat dalam BA diringkas dalam kerangka seperti dalam Figura 2.19. Berdasarkan masalah penelitian, maka yang dianalisis adalah budaya, situasi, dan bahasa pada tingkat semantikwacana dan tata bahasa. Dengan kata lain, ideologi pada tingkat semiotik konotatif dan fonologi dan grafologi pada tingkat semiotik sosial tidak diteliti.
Ideologi
Sistem Nilai
Budaya
Pengalamatan ^ (Konteks) ^ Isi ^ (Evaluasi) ^ Penutup ^ (Koda)
Situasi
Medan
1. Pernikahan 2. Sunatan 3. Merantau 4. Kemalangan
Universitas Sumatera Utara
97
Bahasa ARTI (Teks) (Wacana)
Tata Bahasa AKSI
Pelibat
Sarana
1. Ibu vs anak 2. Ayah vs anak 3. Tokoh vs pemuda 4. Ustad vs ahli musibah Lisan
Fonologi/Gr afologi/Isyar at
Arti Ideasi/ Konjunsi
METAFUNGSI IDEASIONAL INTERPERSONAL TEKSTUAL Bentuk Arti Bentuk Arti Bentuk Transitivitas/ Ergagivitas Negosiasi Modus IdentiTema-Rema (Proses, Partisipan dan dan Fungsi (Deklaratif, fikasi (Sederhana & Sir -kumstan) Taksis Ujar Interogatif, Kompleks) (Logis & Taksis) Imperatif) Kohesi (Alat Metafora (Leksikal & kohesi) Gramatikal) Figura 2.11: Kerangka Konsep Genre Nasihat dalam Bahasa Alas
Universitas Sumatera Utara