BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Nifas Normal a. Pengertian Masa Nifas Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis ibu maupun bayinya. Diperkirakan bahwa 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2010). Wanita pasca persalinan harus cukup istirahat dengan tidur telentang selama 8 jam pascapersalinan. Setelah itu, ibu boleh miring ke kanan dan ke kiri untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, hari kedua ibu diperbolehkan duduk. Pada hari ketiga ibu dianjurkan berjalan-jalan dan pada hari keempat atau hari kelima diperbolehkan
pulang.
Makanan
yang
dikonsumsi
sebaiknya
mengandung protein, sayur-sayuran, dan buah-buahan (Mochtar, 2013). b. Perubahan Fisiologis Masa Nifas Menurut Fraser (2009), Terlepasnya plasenta dari dinding rahim menimbulkan perubahan fisiologis pada jaringan otot dan jaringan ikat,
6
7
karena disebabkan menurunnya kadar estrogen dan progesteron dalam tubuh, perubahan-perubahan fisiologis itu meliputi : 1) Perubahan Sistem Reproduksi Segera setelah pengeluaran plasenta, fundus uteri yang berkontraksi tersebut terletak sedikit di bawah umbilikus. Dua hari setelah pelahiran, uterus mulai mengalami pengerutan hingga kembali ke ukuran sebelum hamil yaitu 100g atau kurang (Cunningham, 2014). Perubahan uterus dalam keseluruhannya disebut involusi uteri (Rukiyah, 2010). Selain uterus, serviks juga mengalami involusi bersamaan dengan uterus, hingga 6 minggu setelah persalinan serviks menutup (Trisnawati, 2012). Pada masa nifas dari jalan lahir ibu mengeluarkan cairan mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus (Lochia). Lochia berbau amis atau anyir dengan volume yang berbeda-beda pada setiap wanita . Pengeluaran lochia berlangsung pada hari pertama setelah persalinan hingga 6 minggu setelah persalinan dan mengalami perubahan warna serta jumlahnya karena proses involusi (Mansyur, 2014). Berdasarkan waktu dan warnanya pengeluaran lochia dibagi menjadi 4 jenis: a) lochia rubra, lochia ini muncul pada hari pertama sampai hari ketiga masa postpartum, warnanya merah karena berisi darah segar dari jaringan sisa-sisa plasenta
8
b) lochia sanginolenta, berwarna merah kecoklatan dan muncul di hari keempat sampai hari ketujuh c) lochia serosa, lochia ini muncul pada hari ketujuh sampai hari keempatbelas dan berwarna kuning kecoklatan d) lochia alba, berwarna putih dan berlangsung 2 sampai 6 minggu postpartum (Marmi, 2012, dan Mansyur, 2014). 2) Perubahan Sistem Pencernaan Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini terjadi karena pada waktu melahirkan sistem pencernaan mendapat tekanan menyebabkan kolon menjadi kosong, kurang makan, dan laserasi jalan lahir (Trisnawati, 2012). 3) Perubahan Sistem Perkemihan Diuresis postpartum normal terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan
sebagai
respon
terhadap
penurunan
estrogen.
Kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami tekanan kepala janin selama persalinan. Protein dapat muncul di dalam urine akibat perubahan otolitik di dalam uterus (Rukiyah, 2010). 4) Perubahan Sistem Muskuloskeletal Ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang pada waktu persalinan, setelah bayi lahir berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali (Mansyur, 2014).
9
5) Perubahan Sistem Hematologi Selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah sekitar 200-500 ml. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke 3-7 postpartum dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum (Trisnawati, 2012). 6) Perubahan Sistem Endokrin Human Choirionic Gonadotropin (HCG) menurun dengan cepat dan menetap sampai 10 % dalam 3 jam hingga hari ke-7 postpartum (Mansyur, 2014). 7) Perubahan Sistem Kardiovaskuler Setelah persalinan volume darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan beban pada jantung, dapat menimbulkan decompensation cordia pada penderita vitum cordia (Rukiyah, 2010). 8) Perubahan Tanda-tanda Vital Pada ibu masa nifas terjadi peerubahan tanda-tanda vital, meliputi: a) suhu tubuh 24 jam setelah melahirkan subu badan naik sedikit (37,50C-380C) sebagai dampak dari kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan yang berlebihan, dan kelelahan (Trisnawati,2012).
10
b) nadi Sehabis melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat dari denyut nadi normal orang dewasa (60-80x/menit). c) tekanan darah Biasanya tidak berubah, kemungkinan bila tekanan darah tinggi atau rendah karena terjadi kelainan seperti perdarahan dan preeklamsia (Mansyur, 2014). d) pernafasan Frekuensi pernafasan normal orang dewasa adalah 16-24 kali per menit. Pada ibu post partum umumnya pernafasan lambat atau normal. Bila pernafasan pada masa post partum menjadi lebih cepat, kemungkinan ada tanda-tanda syok (Rukiyah, 2010) c. Kunjungan Masa Nifas Kunjungan masa nifas paling sedikit 4 kali, kunjungan masa nifas dilakukan untuk menilai status kesehatan ibu dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2010). Berikut waktu dan kunjungan masa nifas: Tabel 2.1 Kunjungan Masa Nifas (terlampir). 2. Preeklamsia a. Pengertian Preeklamsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas (Saifuddin, 2010). Preeklamsia adalah peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu Boyle (2012). Sedangkan
11
menurut Mochtar (2013) preeklamsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin, dan ibu pada masa nifas yang terdiri dari trias: hipertensi, proteinuria , dan edema. Ibu tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kelainan vaskular atau hipertensi sebelumnya. b. Klasifikasi Preeklamsia
diklasifikasikan
menjadi
2
golongan,
yaitu
Preeklamsia Ringan dan Preeklamsia Berat. Tidak ada kategori sedang dalam preeklamsia (Mochtar, 2013). Hal yang menjadi kriteria dalam pengklasifikasian preeklamsia ringan atau berat antara lain tekanan darah, kandungan protein dalam urin, output urin dalam cc per jam, gangguan serebral
tetap, dan sakit pada epigastrium menetap
(Manuaba,2007). Tabel 2.2. Deferensial Diagnosis Preeklamsia Ringan dan Berat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Temuan Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolic Proteinuria Oliguria
Preeklamsia ringan Preeklamsia berat ≥ 140 mmHg ≥ 160 mmHg
Edema paru Nyeri epigastrium Gangguan penglihatan Nyeri kepala hebat Trombositopenia
≥ 90 mmHg
≥ 110 mmHg
1+ Tidak ada Tidak ada Tidak ada
≥ 2+ Ada, < 400 ml per 24 jam Ada Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Ada, < 100.000 sel/mm3 Ada
Pertumbuhan Tidak ada janin terhambat Sumber: Saifuddin (2014), Manuaba (2007), Nugroho (2012)
12
3. Nifas dengan Preeklamsia Berat a. Pengertian Preeklamsia merupakan penyulit yang dapat terjadi oleh ibu pascanatal, meskipun tidak memiliki masalah antenatal yang terkait dengan preeklamsia ( Fraser, 2009). Preeklamsia berat adalah keadaan yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau diastolik ≥110 mmHg,
kandungan
protein dalam urin 2+ atau 3+, oliguria (< 400 ml dalam 24 jam) peningkatan aktivitas enzim hati, nyeri kepala menetap, gangguan penglihatan, dan nyeri ulu hati yang men-etap, (Varney, 2007). b. Etiologi Preeklamsia masih merupakan penyakit teori dan menjadi subjek dari banyak penelitian untuk memahami etiologinya dan memperbaiki pendeteksian serta penatalaksanaannya ( Bothamley, et al., 2012). Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklamsia adalah “teori iskemia plasenta” namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini (PPGDON, 2012). Iskemia plasenta terjadi akibat peningkatan vasokonstriksi dan menimbulkan perubahan yang dapat mengganggu fungsi vital (Tanto, 2014). Selain “teori iskemia plasenta” beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa plasentasi abnormal disebabkan oleh respon imun. Data tambahan yang mendukung “teori respon imun” adalah tingginya insiden penyakit hipertensif pada primigravida, menurunnya prevalensi
13
setelah pajanan jangka panjang terhadap sperma paternal, meningkatnya zat inflamasi pada sirkulasi maternal, dan indikasi patologis penolakan organ pada jaringan plasenta (Fraser, 2009). Preeklamsia terjadi karena adanya gangguan perkembangan plasenta akibat remodelling arteri spiralis yang tidak adekuat, juga diperkirakan memiliki komponen imun (Coad, 2007). c. Patofisiologi Preeklamsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria, namun preeklamsia dapat memengaruhi sistem tubuh yang berbeda dan mengakibatkan terjadinya
berbagai macam gejala
preeklamsia. Perubahan yang terjadi pada preeklamsia tampaknya disebabkan oleh gabungan kompleks antara abnormalitas genetik, faktor imunologis, dan faktor plasenta. Akibat plasentasi yang buruk, terjadi disfungsi organ dan terjadi gambaran klasik preeklamsia disertai dengan gejalanya seperti sakit kepala, gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrik ( Bothamley, 2012). Pada preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Proteinuria
14
dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Mochtar, 2013). Gambar 2.1 Bagan Patofisiologi Preeklamsia Berat (terlampir) d. Faktor Predisposisi 1) usia : primigravida dengan usia di bawah 20 tahun dan semua ibu dengan usia di atas 35 tahun dianggap lebih rentan, 2) paritas : primigravida memiliki insiden hipertensi hampir 2 kali lipat, 3) status sosial ekonomi : preeklamsia dan eklamsia lebih umum ditemui di kelompok sosial ekonomi rendah. 4) komplikasi obstetrik : kehamilan kembar, kehamilan mola atau hydrops fetalis, 5) kondisi medis yang sudah ada sebelumnya : hipertensi kronis, penyakit ginjal, diabetes mellitus, sindrom antifosfolipid antibodi (Noels,2013). e. Faktor Risiko Bila
preeklamsia
tidak
tertangani
dengan
benar
dapat
meningkatkan risiko aktifitas kejang yang diawali dengan gejala skotomata dan hiperefleksia. Kejang-kejang eklamsia terjadi sekitar 1% dari pasien preeklamsia. Tidak diketahui mekanismenya tetapi mungkin disebabkan oleh edema serebral, vasospasme atau iskemia sementara. (Noels, 2013)
15
Faktor risiko lain meliputi terkenanya ginjal atau jantung, serta restriksi pertumbuhan janin yang nyata, yang menunjukkan durasi preeklamsia berat (Cunningham, 2014). f. Keluhan Subjektif Pada kasus preeklamsia biasanya ibu mengeluhkan nyeri kepala, gangguan penglihatan sehingga menjadi kabur,dan nyeri pada ulu hati (Varney, 2007). Selain itu dikeluhkan juga adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium (PPGDON, 2012) Sedangkan menurut Tanto (2014) pasien preeklamsia dapat mengeluhkan sesak napas, bengkak pada kedua kaki ataupun wajah, nyeri perut kuadran kanan atas atau epigastrium. g. Tanda Klinis/Laboratoris Seperangkat
pemeriksaan
laboratorium
dasar
akan
sangat
bermanfaat mendiagnosis preeklamsia sejak dini sekaligus menentukan perjalanan penyakit dan tingkat keparahannya (Varney, 2007). Gambaran klinis preeklamsia berat, bila ditemukan salah satu dari tekanan darah lebih dari 160/110 mmHg, edema, oligouria <400 cc/24 jam, proteinuria 5g/24 jam dan terdapat disnpea sianosis (Manuaba, 2007). Pemeriksaan laboratoris yang diperlukan berikut: 1) urine : pemeriksaan reagen urine : protein ≥ (+) diikuti pemeriksaan urin 24 jam, 2) darah : pemeriksaan darah untuk menegakkan diagnosa preeklamsia berat adalah dengan pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, tes
16
fungsi hati, tes fungsi ginjal untuk mengetahui total urin selama 24 jam kreatinin klirens (Varney, 2007). h. Prognosis Pengawasan kondisi wanita secara cermat bersamaan dengan pemberian obat dan dukungan yang sesuai akan mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (Bothamley, 2012). Evaluasi keberhasilan pengobatan preeklamsia dapat ditentukan dengan menurunnya tekanan darah, produksi urin makin meningkat, dan melakukan evaluasi dengan menggunakan indeks gestosis. Semakin kecil angka pada indeks gestosis maka akan semakin mendekati kesembuhan (Manuaba, 2007). Penatalaksanaan
cairan
penting
untuk
penatalaksanaan preeklamsia (Bothamley, 2012).
keberhasilan
Pemasukan cairan
yang terlalu banyak mengakibatkan edema paru (PPGDON, 2012). Tabel 2.3. Indeks Gestosis Kriteria/Nilai Edema setelah berbaring Proteinuria Sistolik Diastolik Gejala preeklamsia Gejala eklamsia Sumber: Manuaba (2007)
0 0,5 140 90
1 Tibia 0,5-2 140-160 90-100
2 Seluruhnya 2-5 160-180 100-110 Ya Ya
3 >5 >180 >110 Tidak Tidak
i. Penatalaksanaan Preeklamsia Berat 1) Penatalaksanaan Umum Preeklamsia dapat merupakat suatu penyakit yang fatal. Deteksi dini dan penatalaksanaan yang baik merupakan hal yang sangat penting untuk memperbaiki hasil akhir ibu, pencegahan kejang,
17
pengobatan hipertensi, penatalaksanaan cairan dan asuhan pendukung untuk berbagai komplikasi organ akhir (Noels,2013). Setelah melahirkan, wanita penderita preeklamsia biasanya dirawat di area ketergantungan tinggi (high-dependency unit), karena eklamsia sering terjadi pada periode ini. Pengawasan kondisi wanita secara cermat bersamaan dengan pemberian obat dan dukungan yang sesuai
akan
mengurangi
risiko
komplikasi
jangka
panjang.
Preeklamsia dapat muncul pertama kalinya pada masa puerperium (Bothamley, 2012). Perawatan preeklamsia berat yaitu pasien harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklamsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklamsia mempunyai risiko tinggi terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu, monitoring input cairan menjadi sangat penting. Sehingga harus dilakukan pengukuran yang tepat terhadap jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan (Saifuddin, 2010). 2) Pengelolaan Medisional a) Obat Anti Hipertensi Menurut Nugroho (2012) anti hipertensi diberikan bila tensi ≥180/110 mmHg atau MAP ≥126. Obat : Nivedipin 10-20 mg oral, diulangi setelah 20 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
18
Nivedipin tidak dibenarkan sublingual karena absorbsi yang terbaik adalah melalui saluran pencernaan makanan. Diuretikum tidak dibenarkan secara rutin, hanya diberikan (misal furosemid 40 mg IV) atas indikasi : edema paru, payah jantung kongestif, edema anasarka. b) Obat Anti Kejang Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) merupakan obat pilihan untuk mencegah kejang pada preeklamsia (PPGDON, 2012). (1) Syarat pemberian MgSO4 (a) frekuensi pernafasan minimal 16x/menit (b) refleks patella (+) (c) urin minimal 30 ml/jam dalam 24 jam terakhir atau 0,5 ml/jam KgBB/jam (d) siapkan ampul Kalsium Glukonas 10% dalam 10 ml (Nugroho,2012). (2) Dosis pemberian MgSO4 (a) Dosis awal - MgSO4 4 gr IV sebagai larutan 20% selama 5 menit - Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr IM dengan 1 ml lignokain - Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgSO4
19
(b) Dosis pemeliharaan - MgSO4 (50%) 5 gr + lignokain 2% 1 ml IM setiap 4 jam - Lanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan atau kejang terakhir. (Saifuddin, 2014). (3) Bila MgSO4 tidak tersedia: MgSO4 tidak tersedia dapat diberikan diazepam Dosis awal : diazepam 10 mg IV pelan-pelan selama 2 menit, jika kejang berulang, ulangi dosis, Dosis pemeliharaan : diazepam 40 mg dalam 500 larutan Ringer
Laktat
per
infus,
depresi
pernafasan ibu mungkin akan terjadi jika dosis >30mg/jam, jangan berikan > 100 mg / 24 jam (Nugroho,2012) 3) Penatalaksanaan Oleh Bidan Dalam keadaan darurat pasien preeklamsia segera masuk rumah sakit, istirahat dengan tirah baring ke satu sisi dalam suasana isolasi, pemberian obat-obatan antikejang, antihipertensi, pemberian diuretik, pemberian infus dekstrosa 5% dan pemberian antasida. Oleh karena itu bidan yang praktek mandiri tidak berkewenangan dalam menangani kasus ini seperti yang tercantum dalam Permenkes RI No. 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
20
bidan karena tidak tersedianya tenaga kesehatan yang lebih berwenang. Intervensi bidan dalam menghadapi preeklamsia berat dengan memperkirakan bahwa kondisi pasien preeklamsia berat yang dapat sewaktu-waktu meningkat menjadi eklamsia (kejang), sehingga harus: a) Merujuk ibu nifas dengan preeklamsia berat ke rumah sakit yang memiliki fasilitas kesehatan untuk preeklamsia b) Dalam proses merujuk, ada kemungkinan timbul menjadi eklamsia, sehingga sebaiknya dipersiapkan untuk menghindari penyulitnya yaitu memasang infus untuk rehidrasi dan nutrisi dengan glukosa 5% atau 10%. Dalam infus dapat diberikan valium sekitar 30-40 mg (dosis maksimal valium sekitar 120 mg), MgSO4 dapat diberikan secara intramuskular sekitar 4 gr. (Manuaba, 2008). B. Teori Manajemen Kebidanan Berikut ini akan diuraikan proses manajemen kebidanan menurut 7 langkah Varney: 1. Langkah I. Pengumpulan Data Dasar (Pengkajian) a. Data Subyektif 1) Anamnesa a) Identitas Pasien Nama pasien penting untuk membedakan antara pasien satu dengan pasien lainnya dan agama untuk menentukan bagaimana
21
kita memberikan dukungan rohani kepada ibu selama memberikan asuhan (Marmi, 2012). Preeklamsia biasanya sering terjadi pada primigravida umur < 20 tahun atau > 35 tahun (Trisnawati, 2012). b) Keluhan Utama Ibu mengeluhkan kepalanya terasa sakit, nyeri di daerah perut atas samping, dan penglihatan kabur (Sulistyawati, 2009). c) Riwayat Kebidanan Riwayat
keluarga
berencana,
adanya
penyulit
pada
pemakaian alat kontrasepsi hormonal sebelumnya dapat memicu terjadinya preeklamsia berat (Nugroho, 2012). d) Riwayat Kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu Perlu dikaji ibu hamil keberapa, apa jenis persalinannya, dan bagaimana masa nifasnya, pernahkah demam panas tinggi, perdarahan, bendungan ASI, menyusui sampai berapa bulan, bila tidak menyusui mengapa, untuk mengetahui riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya (Norma, 2013). e) Riwayat Kesehatan (1)Riwayat kesehatan sekarang, apakah pasien mengalami nyeri kepala hebat, gangguan visus, mual muntah, nyeri epigastrium, kenaikan progresif tekanan darah, lemah, pucat, dan mudah pingsan (Saifuddin, 2010).
22
(2)Riwayat kesehatan yang lalu, riwayat penyakit seperti hipertensi kronis, ginjal kronis, diabetes mellitus dan riwayat preeklamsia sebelumnya berisiko terhadap preeklamsia berat (Varney, 2007) (3) Riwayat kesehatan keluarga, riwayat kehamilan dan penyulitnya
pada ibu dan saudara perempuannya dalam kasusu ini perlu dikaji (Nugroho, 2012). Serta riwayat preeklamsia atau eklamsia dalam keluarga juga menjadi salah satu faktor risiko tinggi terjadinya preeklamsia berat (Varney, 2007) f) Biopsokososiokultural (1) Pola makan dan minum Pola nutrisi ibu seperti jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun makanan selingan (Trisnawati, 2012). (2) Pola istirahat dan aktivitas Istirahat sangat diperlukan oleh ibu postpartum (Sulistyawati, 2009).
Serta
cara
paling
sederhana
untuk
mencegah
preeklamsia bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi yaitu dengan cara tirah baring (Prawirohardjo, 2009). b. Data Obyektif Data obyektif yang perlu dikaji adalah keadaan umum ibu dengan melihat ekspresi wajah ibu kelihatan menahan sakit, mata dikedipkedipkan supaya penglihatan lebih jelas (Sulistyawati, 2009). Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan khusus yaitu : Inspeksi
: edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam
23
Palpasi
: untuk mengetahui lokasi edema
Auskultasi
: mengukur tekanan darah pasien untuk mengetahui tekanan darah pasien ≥160/110 mmHg sebagai salah satu tanda gejala preeklamsia berat dan auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.
Perkusi
: untuk mengetahu refleks patella
(Trisnawati, 2012 , Mansyur, 2014). c. Pemeriksaan Penunjang Pada pasien dengan preeklamsia perlu dilakukan pemeriksaan penunjang: tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 6 jam, pemeriksaan laboratorium protein urin dengan kateter (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau 2+ hingga lebih pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, dan serum kreatinin meningkat (Trisnawati, 2012). 2. Langkah II. Interpretasi Data Dasar Interpretasi data dasar yaitu diagnosa masalah yang ditegakkan berdasarkan data subyektif dan data obyekrif yang dikumpulkan atau disimpulkan. a. Diagnosa Kebidanan Diagnosa yang dapat ditegakkan adalah ” Ny.D Umur 30 tahun P3A0 post partum dengan preeklampsia berat”. Data dasar yang telah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa didapatkan melalui data subjektif dan data objektif.
24
b. Masalah Masalah yang sering timbul pada ibu nifas dengan preeklamsia berat. c. Kebutuhan Kebutuhan ibu nifas dengan preeklamsia berat. (Rukiyah, 2014). 3. Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial/Diagnosa Potensial dan Antisipasi Penanganannya Mengidentifikasi diagnosa atau masalah yang mungkin akan muncul berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa yang diidentifikasi (Norma, 2013). Masalah potensial yang teridentifikasi dalam kasus ini yaitu terjadinya preeklamsia berat disertai dengan kejang diikuti koma yang biasa disebut eklamsia dan edema paru (Saifuddin, 2009). Dalam kasus ini antisipasi penanganan yang bisa dilakukan oleh bidan diantaranya mengobservasi keadaan umum ibu, mengobservasi tanda-tanda vital setiap 4 jam sekali sampai kondisi ibu secara umum stabil dan melakukan pemeriksaan auskultasi untuk mencari tanda-tanda edema paru (Cunningham, 2012, Saifuddin, 2010). 4. Langkah IV. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera Tindakan segera yang dapat dilakukan oleh bidan pada ibu nifas dengan preeklamsia berat dengan cara
melakukan kolaborasi Dokter
Spesialis Obsgyn yaitu berupa pemberian obat anti hipertensi, obat anti konvulsan dan oksigen 3 liter per menit (Saifuddin, 2009, Mansyur, 2014).
25
5. Langkah V. Perencanaan Asuhan Yang Menyeluruh Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan langkah sebelumnya, dalam menyusun perencanaan sebaiknya pasien dilibatkan karena pada akhirnya pengambilan keputusan dilaksanakannya suatu rencana asuhan ditentukan oleh pasien sendiri. Sebelumnya tentukan tujuan dan kriteria tindakan yang akan dilakukan, meliputi sasaran dan target hasil yang akan dicapai, serta menentukan rencana tindakan sesuai dengan masalah dan tujuan yang akan dicapai (Mansyur, 2014). a. Observasi pada penderita preeklamsia berat di dalam kamar isolasi yang tenang, dengan lampu yang redup (Sofian, 2012). b. Lakukan pengukuran vital sign (tensi, nadi, respirasi, suhu badan) setiap 4 jam sekali sampai kondisi ibu secara umum stabil, reflek patella, pemeriksaan TFU, pemeriksaan laboratorium (protein urin), pengeluaran per vaginam (Cunningham, 2012, Sofian, 2012 dan Varney, 2007). c. Lakukan observasi cairan masuk (melalui organ atau infus) dan cairan keluar (melalui pemasangan foley catheter) (Saifuddin, 2009). d. Lakukan advis dokter untuk pemberian berupa: 1) MgSO4 (20%) 4gr secara IV selama 5 menit 2) MgSO4 (50%) 5gr secara IM 3) Obat anti hipertensi 10-20 mg 4) Oksigen 3-6 liter per menit e. Atasi cemas, kaji penyebab cemas, libatkan keluarga dalam mengkaji penyebab cemas dan alternatif penanganannya, serta berikan dukungan
26
mental dan spiritual pada pasien dan keluarga (Sofian, 2013 dan Sulistyawati, 2009). f. Berikan pendidikan kesehatan mengenai gizi, higienis, istirahat, ambulasi, KB, tanda bahaya, hubungan seksual, dan perawatan bayi (Sulistyawati, 2009). 6. Langkah VI. Pelaksanaan Langsung Asuhan Dengan Efisien Dan Aman Tahap ini dilakukan dengan melasksanakan rencana asuhan kebidanan secara menyeluruh yang dibatasi oleh standar asuhan kebidanan pada masa persalinan (Rukiyah, 2014). 7. Langkah VII. Evaluasi Hasil asuhan dalam bentuk konkret dari perubahan kondisi pasien dan keluarga. Asuhan dikatakan efektif jika ibu nifas dengan preeklamsia berat kondisinya menjadi: tekanan darah menjadi normal (120/80 mmHg) secara menetap dan teratasinya kepala pusing sehingga nifas preeklampsia berat tidak berlanjut ke komplikasi yaitu eklamsia (Varney, 2007). Sesuai dengan kriteria hasil yang telah dibuat, apakah pelaksanaan yang dilakukan ada dampaknya atau tidak ( Norma, 2013). C. FOLLOW UP/DATA PERKEMBANGAN KONDISI KLIEN 7 langkah Varney disarikan menjadi 4 langkah yaitu : SOAP (Subyektif, Obyektif, Analisa, dan Penatalaksanaan). SOAP disarikan dari proses pemikiran penatalaksanaan kebidanan sebagai perkembangan catatan kemajuan keadaan klien. SOAP menurut Kepmenkes RI No. 938/Menkes/SK/VII/2007 yaitu :
27
1. S = Subyektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pengumuman data klien melalui anamnesa sebagai langkah I Varney. Pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia berat, data subyektif yang muncul adalah sakit kepala di daerah frontal, nyeri epigastrum, gangguan visus (penglihatan kabur, skotoma, diplopia), dan mual muntah (Varney, 2007). 2. O = Obyektif Menggambarkan pendokumentasian hasil pemeriksaan fisik klien, hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney. Data objektif pada kasus ibu nifas dengan preeklamsia berat diperoleh melalui pemeriksaan umum dan fisik pasien berupa: tekanan darah sistolik ≥160 mmHg, diastolik ≥110 mmHg, proteinuria ≥ 2+, oliguria < 400 cc/24 jam,
kadar kreatinin darah melebihi 1,2 mg/dl kecuali telah diketahui
meningkat sebelumnya, enzim hati yang meningkat (SGOT, SGPT, LDH), trombosit < 100.000/mm3 (Edwin, 2013). 3. A = Assesment Menggambarkan pendokumentasian hasil analisa dan interpretasi data subyektif dan obyektif dalam suatu identifikasi dan masalah kebidanan serta kebutuhan. Sebagai langkah 2 Varney. Diagnosa kebidanan yang dapat ditegakkan berdasarkan data subyektif dan objektif adalah Ny.D P3A0 Umur 30 tahun post partum dengan preeklamsia berat. Masalah yang dapat terjadi pada ibu nifas dengan
28
preeklamsia berat adalah ibu takut dan cemas dengan keadaannya. Kebutuhan yang dibutuhkan pada ibu nifas dengan pre eklamsia berat meliputi atasi cemas dengan melibatkan keluarga untuk alternatif penanganannya, kemudian anjurkan ibu untuk istirahat dan cara paling sederhana yang dapat dilakukan adalah cara tirah baring (Sulistyawati, 2009 dan Prawirohardjo, 2009). 4. P = Plan Menggambarkan
pendokumentasian
hasil
mencatat
seluruh
perencanaan, penatalaksanaan, dan evaluasi yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi/follow up dari rujukan. Sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan 7 Varney. Beberapa hal yang perlu direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi dalam kasus ibu nifas dengan pre eklamsia berat antara lain seperti observasi tanda-tanda vital, ukur keseimbangan cairan, perawatan luka bekas perineum, pemberian antikonvulsan, pemberian antihipertensi, pemberian antianemia, pemantauan pengeluaran urin dan proteinuria (Saifuddin, 2009). Evaluasi di dokumentasikan sebagai
pertimbangan
efektifitas asuhan yang diberikan berdasarkan hasil planning yang telah dilaksanakan pada ibu nifas dengan preeklamsia berat (Varney, 2007).