BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Profil Industri Batu Bata Industri pembuatan batu bata di Desa Pakahan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten dibuat secara tradisional yang bahan dasarnya dari tanah liat dan pembakarannya menggunakan sekam padi. Secara demografis Desa Pakahan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten mempunyai wilayah seluas 1.356.015 hektar, dengan 1191Kepala Keluarga (KK). Desa Pakahan merupakan salah satu desa di wilayah kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten yang sampai saat ini masih memproduksi batu bata secara tradisional dalam kapasitas banyak dan rutin berproduksi. Jarak dari ibukota Kabupaten Klaten sejauh 7 km kearah barat. Batas wilayah Desa Pakahan adalah Sebelah Timur
: Desa Pandes Kecamatan Wedi
Sebelah Barat
: Desa Ngering Kecamatan Jogonalan
Sebelah Utara
: Desa Trunuh Kecamatan Klaten Selatan
Sebelah Selatan
: Desa Kalitengah Kecamatan Wedi
Berdasarkan profil Desa Pakahan pada tahun 2016 jumlah penduduk Desa Pakahan adalah 3942 jiwa, terdiri dari 1950 orang laki-laki dan 1992 orang perempuan. Mata pencaharian sebagian adalah petani dan buruh. Industri pembuatan batu bata di Desa Pakahan saat ini tercatat sekitar 30 rumah industri dengan luas ruang produksi hampir homogen. Proses produksi menggunakan bahan dasar tanah liat dan dengan bahan bakar sekam padi. Debu batu bata dan asap pembakaran batu bata yang dihasilkan pada saat ini mengandung polutan berbahaya bagi kesehatan terutama saluran pernapasan. B. Karakteristik Debu Debu adalah debu partikel padat yang terbentuk karena adanya kekuatan alami atau mekanik seperti penghalusan (grinding), penghancuran (crushing), peledakan (blasting), pengayakan(shaking) dan atau pengeboran (drilling) (BSN, 2004). Debu merupakan salah satu bahan yang yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (suspended
particulate matter/ SPM) dengan ukuran 1μ-500μ. Definisi debu menurut World Health Organization (WHO) adalah aerosol terdiri dari suspensi partikel padat dan bukan termasuk benda hidup (WHO, 1995). Partikel udara merupakan bahan campuran komplek organik dan anorganik. Kadar konsentrasi udara diukur dengan santuan mikrogram per kubik (µg/m3). Partikel udara dianggap serius di dalam masalah kesehatan di dunia. Partikel ukuran lebih dari 10 µm biasanya tidak masuk paru, dapat mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokan. Partikel kurang dari 10 µm dapat terinhalasi sampai ke paru. Partikel kasar (coarse particles/ PM10) apabila berukuran 2,5-10 µm sedangkan partikel halus (fine particles/ PM2,5) apabila berukuran 0,1-2,5 µm disebut juga dengan debu respirabel, dan dikatakan ultrafine dengan ukuran < 0,1 µm ( PDPI, 2015). Partikel berbahaya dikelompokkan menjadi dua yaitu partikel debu anorganik dan organik. Partikel debu anorganik dapat berupa debu inert ataupun fibrogenik antara lain silika, asbes, berilium, dan debu tambang batu bara yang berasal dari pertambangan, industri logam, dan keramik sedang debu organik berupa debu hasil pertanian, debu biji-bijian, kapas dan sebagainya (Djojodibroto RD, 2009). Partikel udara yang berada di udara berdasarkan lama partikel tersuspensi di udara dan niali ukurannya dibedakan menjadi TSP, PM10, dan PM2,5. Definisi Total suspended particle (TSP) adalah jumlah partikel debu berukuran kurang dari 100 µg di dalam udara yang merupakan indikator pertama untuk menentukan udara ambient (Alias, 2007). Pengukuran TSP menggunakan alat high volume sampler dengan cara gravimetric dengan mengumpulkan partikel yang tersuspensi pada sebuah kaca serat filter. Ukuran diameter TSP maksimal 45 µ di Amerika dan 160 µ di Eropa (World Bank Group, 1998). Partikulat matter (PM10) merupakan indikator partikel yang membahayakan kesehatan karena bisa mencapai saluran napas bagian bawah. Berdasarkan penelitian terbaru PM2,5 lebih berbahaya karena lebih mudah langsung penetrasi ke parenkim paru. Debu industri diudara dikenal sebagai deposit particulate matter artinya partikel debu yang berada sementara di udara dan akan segera mengendap karena gaya gravitasi. Suspended particulate matter adalah debu tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus F, 1997). Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu
melakukan pengukuran debu total di lingkungan kerja. Salah satu tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dalam mengantisipasi efek samping negatif pajanan debu akibat kerja adalah menetapkan nilai ambang batas (NAB) rata-rata dan lama zat kimia dalam udara di tempat kerja menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) (Kep Menaker Trans, 2011). Nilai ambang batas adalah standar faktor bahaya ditempat kerja sebagai pedoman pengendalian supaya tenaga kerja dapat menghadapi efek tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Ruang lingkup standar ini memuat NAB rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) zat kimia di udara tempat kerja, di mana terdapat tenaga kerja terpajan zat kimia dalam sehari-hari selama tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam per minggu, serta cara untuk menentukan NAB campuran untuk udara tempat kerja mengandung lebih dari satu macam zat kimia. Peraturan Menteri Negara lingkungan Hidup nomor 12 tahun 2010 tentang pelaksanaan pengendalian pencemaran udara di daerah tentang NAB debu TSP dalam 24 jam adalah 230 µg/Nm3 ( Kep Meneg Lingkungan Hidup, 2010). a. Sifat Debu Pengaruh partikel yang terhirup pada tubuh tergantung pada sifat fisik partikel, sifat kimia partikel, tempat terdeposisinya partikel dalam saluran pernapasan, dan tergantung kepekaan orang yang menghirup partikel tersebut (Djojodibroto RD, 2009; Yunus F et al., 2009; Ikhsan et al., 2009). 1. Sifat fisik Bentuk partikel dapat berupa partikel padat, uap, gas, dan cairan. Kelarutan partikel sangat berpengaruh sebab partikel dapat masuk ke dalam aliran darah adalah partikel yang mudah larut (Kep Menaker Trans 2011, Djojodibroto RD 2009). Partikel yang tidak larut seperti asbestos dan silika menyebabkan reaksi lokal sedangkan zat yang larut seperti mangan dan berilium mempunyai sifat sistemik. Ukuran partikel menentukan tempat partikel akan terdeposisi (Cowie et al., 2010; Djojodibroto RD, 2009; Yunus F et al., 2009; Ikhsan et al., 2009). 2. Sifat kimia
Partikel dapat berupa zat organik dan zat anorganik. Partikel anorganik menyebabkan respons fibrosis pada paru yang bersifat fokal atau difus. Golongan debu fibrogenik adalah silika, asbes, berilium, dan debu tambang batu bara. Sedangkan debu yang termasuk dalam golongan non fibrogenik adalah debu besi, barium, timah putih, dan karbon (Cowie et al., 2010; Iksan et al., 2009; Petsonk EL dan Parker JE, 2009; Greenberg et al., 2007). 3. Deposisi partikel Bentuk, struktur, dan kaliber saluran napas yang heterogen merupakan saringan mekanik terhadap perjalanan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke parenkim paru sehingga memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Ukuran partikel menentukan tempat partikel akan terdeposisi. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin besar konsentrasi partikel pada udara yang terhirup akan memperbesar kemungkinan partikel akan terdeposisi di alveolus. Bentuk partikel juga mempengaruhi letak deposisinya. Partikel debu berdiameter lebih dari 15μm difiltrasi di saluran napas atas, partikel ukuran 5-15 μm dapat mencapai saluran napas bawah, partikel berukuran 0,5-5 μm atau disebut debu respirabel dapat mencapai saluran napas terminal dan alveoli (Eisner dan Balmes, 2010; Djojodibroto RD, 2009; Ikhsan et al., 2009; Petsonk EL dan Parker JE, 2008). 4. Kepekaan tubuh menghirup partikel Kepekaan tubuh seseorang menghirup partikel tergantung kemampuan tubuh menolak partikel setiap orang berbeda-beda, misalnya keadaan kelainan genetik atau di dapat, faktor perokok, alkohol dan lain sebagainya menentukan pengaruh aksi silia, kecepatan bersihan, dan fungsi makrofag. Status imunologi juga sangat mempengaruhi reaksi tubuh terhadap partikel yang masuk (Eisner dan Balmes, 2010; Djojodibroto RD, 2009; Ikhsan et al., 2009). C. Mekanisme Timbunan Partikel Debu Dalam Paru Paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan udara atmosfer. Paru seorang dewasa mengandung kurang lebih 300 juta alveoli dengan luas permukaan sekitar 70-100 m2 sehingga paru mempunyai kemungkinan terpajan bahan atau benda yang berbahaya seperti partikel debu, gas toksik, dan kuman penyakit yang terdapat
di udara. Debu TSP batu bata masuk saluran napas melalui mekanisme mucocilliary clearance yaitu membersihkan partikel-partikel debu yang melibatkan peran silia dan mukus mulai dari laring sampai bronkiolus terminalis. Produksi lendir yang meningkat akan mengganggu sistem transpor yang mengakibatkan penebalan dinding selaput lendir menyebabkan saluran napas terjadi obstruksi. Proses pertama kali terjadinya timbunan debu pada saluran napas ini melibatkan limfonodi dekat bronkiolus, adanya pembentukan antibodi antigen, dan respons sel memori ke paru. Proses selanjutnya terjadi migrasi sel PMN dari pembuluh darah masuk ke saluran napas hingga alveoli kemudian diikuti influx makrofag alveolar (Djojodibroto RD, 2009; Morgan, 1995). Paru memerlukan mekanisme pertahanan untuk melindungi dari pajanan bahan yang berbahaya (Harada, 1985). Mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi paru sebagai berikut: 1. Mekanisme yang berkaitan dengan faktor fisik, anatomik, dan fisiologik. a. Deposisi partikel debu di dalam paru terdapat tiga mekanisme yaitu: (Eisner MD dan Balmes JR, 2010; Djojodibroto RD, 2009; Cloutier, 2007; Harada, 1985; Lippman et al., 1980). 1. Inertia (kelambanan). Partikel berukuran 2-100 μ, karena ukuran partikel relatif besar, partikel sulit mengikuti aliran udara yang berkelok-kelok, sehingga mudah membentur selaput lendir dan terperangkap di percabangan bronkus besar. 2. Sedimentasi (gravitasi). Partikel berukuran 0,5-2 μ. Partikel umumnya akan mengendap di percabangan bronkiolus terminalis dan bronkiolus respiratorius. Gravitasi pengendapan partikel dimungkinkan karena kecepatan aliran udara cukup lamban. 3. Gerakan brown (proses difusi). Partikel berukuran ± 1 μ. Akibat gerakan brown ini maka partikel akan membentur permukaan alveoli dan mengendap. Partikel ini akan difagositosis oleh makrofag alveolar, dibawa oleh jaringan limfatik, atau diangkut oleh sistem transpor mukosilier.
Proses deposisi partikel seperti dijelaskan pada gambar satu sebagai berikut
Gambar 1. Deposisi partikel di paru. Dikutip dari (Cloutier, 2007) b. Refleks batuk dan refleks tekak (gag reflex). Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga agar saluran napas tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi, menghalau benda asing yang akan masuk ke dalam sistem pernapasan. 2. Mekanisme ekskalasi mukus. Ekskalasi mukusiliar melibatkan peran silia dan mukus. Silia terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai bronkiolus terminalis. Mukus yang lengket dan berbentuk gel yang mengapung di atas mukus yang lebih encer, terdorong ke arah cephalad karena gerak silia. Partikel menempel pada mukus sehingga partikel juga keluar bersama mukus (Djojodibroto RD, 2009; Lippman et al., 1980). 3. Mekanisme fagositik dan inflamasi. Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan difagositosis oleh sel makrofag dan sel polimorfonuklear (PMN) yang bertugas
mempertahankan tubuh. Di jaringan paru terdapat sel makrofag alveolar. Di dalam sitoplasma makrofag, terdapat bermacam-macam bentuk granula yang berisi berbagai enzim untuk mencerna partikel dan mikroorganisme yang difagositosis. Sel polimorfonuklear berperan melawan mikroorganisme yang menginfeksi paru terutama di distal paru. Apabila mikroorganisme masuk tidak dapat diatasi oleh makrofag maka akan berkembang biak dialveoli dan menyebabkan proses inflamasi dan pneumonia. Berbagai macam komponen inflamasi yang dikeluarkan oleh makrofag antara lain komplemen aktivatif dan faktor kemotaktik, akan menarik PMN dan segera memfagositosis serta membunuh mikroorganisme. Apabila makrofag terpajan partikel atau mikroorganisme, benda asing dari partikel atau mikroorganisme akan menempel pada dinding makrofag berupa membran dan akan melakukan invaginasi dan membentuk cekungan untuk menelan benda asing. Benda asing ditelan melalui pembentukan fagosom sitoplasmik. Pada beberapa keadaan, terdapat suatu protein yang disebut opsonin yang terlebih dahulu membungkus benda asing sebelum menempel pada sel yang memfagositosis benda asing ini. Opsonin menyebabkan benda asing lebih adhesive terhadap makrofag. Imunoglobulin G merupakan salah satu bentuk opsonin. Makrofag tidak selalu berhasil membunuh atau mengisolasi benda asing, misalnya ketika memfagositosis partikel silika, makrofag akan mati karena toksisitas substansi yang dikeluarkan sendiri (Eisner MD dan Balmes JR, 2010l; Djojodibroto RD, 2009; Lippman et al., 1980). 4. Mekanisme respons imun. Mekanisme ini berhubungan dengan pengenalan dan upaya merespons materi antigen spesifik. Paru sangat sering terpajan dengan partikel asing, bakteri, dan virus sehingga dapat mengenali benda-benda asing tersebut. Proses untuk mengenali dan mengingat benda asing ini melalui mekanisme respons imun. Ada dua macam komponen di dalam sistem imun yaitu: (Eisner MD dan Balmes JR, 2010; Djojodibroto RD, 2009; Lippman et al., 1980). a. Mekanisme respons imun humoral yang melibatkan limfosit B. Mekanisme respons humoral memerlukan aktivitas limfosit B dan antibodi yang diproduksi oleh sel plasma. Zat yang sangat penting terdapat pada sekret sistem pernapasan yaitu antibodi imunoglobulin A (IgA), IgB, dan antiprotease.
Imunoglobulin A paling berperan di sistem pernapasan bagian atas dan nasofaring. Imunoglobulin A yang terdapat di daerah ini merupakan produk lokal sehingga kadar IgA jenis ini lebih banyak terdapat sistem pernapasan dibandingkan di dalam darah. Sedangkan IgB banyak ditemukan di bagian distal paru. Imunoglobulin B berperan dalam menggumpalkan partikel, menetralkan toksin yang diproduksi oleh virus dan bakteri, mengaktifkan komplemen, dan melisiskan bakteri gram negatif. b. Mekanisme respons imun selular yang melibatkan limfosit T. 5. Mekanisme respons imun selular diperankan oleh limfosit T. Sensitisasi terhadap limfosit T menyebabkan limfosit T menghasilkan berbagai mediator yang dapat larut disebut limfokin, yaitu suatu zat yang dapat menarik dan mengaktifkan sel pertahanan tubuh yang lain terutama makrofag. Limfosit T juga dapat berinteraksi dengan sistem imun humoral dalam memodifikasi produksi antibodi (Eisner MD dan Balmes JR, 2010; Djojodibroto RD, 2009; Lippman et al., 1980). Mekanisme pertahanan tubuh dan deposisi partikel di dalam saluran napas seperti dijelaskan pada gambar dua sebagai berikut: (Harada dan Repine, 1985)
Gambar 2. Mekanisme pertahanan tubuh dan deposisi partikel di dalam saluran napas. Dikutip dari (Harada dan Repine, 1985)
D. Komposisi Kimia Tanah Liat Tanah liat banyak ditemukan di area pertanian terutama persawahan dan kira-kira 70-80% dari kulit bumi terdiri dari batuan yang merupakan sumber tanah liat. Hampir
semua tanah liat di Indonesia disebut lempung. Tanah liat yang digunakan untuk membuat keramik, batu bata, dan genteng. Tanah liat merupakan suatu zat yang terbentuk dari partikel sangat kecil terutama dari mineral yang disebut kaolinit, yaitu persenyawaan dari alumina oksida (Al2O3) dengan oksida silica (SiO2) dan air (H2O). Tanah liat dalam ilmu kimia termasuk hidrosilikat alumina dalam keadaan murni mempunyai rumus: Al2O32SiO22H2O. Tanah liat atau lempung adalah partikel mineral berkerangka dasar silikat berdiameter kurang dari 4 mikrometer. Feldspar mineral berada di kerak bumi sekitar 60%. Tanah liat atau lempung mengandung leburan silikat dan atau aluminium halus menunjukkan sifat kimia dari koloid (Rosales-Landeros et al., 2013; Foth, 1998; Buckman dan Brady, 1982). Tabel satu menunjukkan komposisi kimia dari tanah liat atau lempung (Rosales-Landeros et al., 2013). Unsur paling banyak menyusun kerak bumi adalah silikon, oksigen, dan aluminium. Lempung terbentuk dari proses pelapukan batuan silika oleh asam karbonat dan sebagian dihasilkan dari aktivitas panas bumi. Rumus kimia tanah liat adalah sebagai berikut: (Foth, 1998; Buckman dan Brady, 1982). K2O.Al2O3.6SiO2 + 2H2O Al 2O3.2SiO2.2H2O+ K2O(SiO2) + 3SiO2 Feldspar
mineral tanah liat
dalam larutan dalam tanah liat
Tabel 1. Komposisi tanah liat atau lempung Kandungan
Komposisi
SiO2
64.79%
Al2O3
16.26%
Fe2O2
7.22%
MgO
2.68%
CaO
0.4%
TiO2
0.91%
MnO
0.09% Dikutip dari (Rosales-Landeros et al., 2013)
1. Komponen mineral tanah liat Mineral tanah liat atau lempung mempunyai sifat dan struktur yang komplek (Vaidya 2015, Foth 1998). Mineral lempung digolongkan berdasarkan susunan lapisan
silikon oksidan dan aluminium oksidan yang membentuk kristal (Rosales-Landeros et al., 2013; Foth, 1998; Buckman dan Brady, 1982). a. Kaolinit Merupakan unsur paling penting dalam tanah. Kaolinit terbentuk dari pelapukan langsung feldspar orthoklas sebagai berikut: 2KAlSi3O8 + 11 H2O 2 KOH + 4 Si (OH)4 + Al 2Si2O5 (OH)4 Orthoklas
kaolinit
Feldspar mempunyai satu kerangka terbuka dari tetrahendra silikon-oksigen (Si-O) hampir sama dengan kuarsa. Sifat struktur partikel kaolinit menyebabkan sifat plastisitas dan daya pengembangan atau penyusutan menjadi rendah. b. Montmorilonit (smectit) Mineral ini mempunyai sifat mengembang atau mengerut dengan penjenuhan maupun pengeringan. Smectit dapat berasal dari pelapukan vermikulit atau sintesa yang diperoleh dari hasil degradasi. Rumus kimia montmorilonit adalah: Si8(AlMg)4O2O (OH)4 c. Hidrous mika (illit) Istilah Illite dipakai untuk tanah berbutir kasar dan 15% silikon yang terdapat dalam lapisan silika diganti oleh alumunium. Illit merupakan mineral mika yang dikenal mika tanah
merupakan
mika
berukuran
lempung.
Rumus
kimia
illite
adalah
K4Al2(Fe2Mg2Mg3). d. Vermicullite Mineral ini banyak terdapat dalam tanah. Sifat vermiculite ini ketahanannya kurang terhadap pelapukan. Rumus kimia vermiculite adalah: Mg3Si4O10(OH)2. e. Chlorit Chlorit adalah tanah liat yang komplek dengan struktur mika dan bahan-bahan gibsit (aluminium hidroksida) atau brucit di antara lapisan. Chlorit merupakan dua golongan yang banyak terdapat dalam tanah. Mineral ini tampak mengandung magnesium sebagai penyusun utama satuan hablur. Chlorit tersusun oleh lapisan silika dan brusit Mg(OH)2.
E. Batu Bata Batu bata merupakan salah satu bahan bangunan yang paling penting digunakan dalam pembuatan konstruksi bangunan baik di pedesaan maupun perkotaan. Di Asia batu bata sebagian besar diproduksi secara tradisional (Khan, 2008). Bahan dasar pembuatan batu bata adalah tanah liat ditambah air dengan campuran sekam dan pasir yang mempunyai sifat plastis untuk mempermudah dalam proses awal pembuatan batu bata. Komposisi tanah liat terdiri dari campuran komponen anorganik, termasuk silika bebas, besi oksida, kapur, karbon magnesium, alkalis, karbonat kalsium, sulfat kalsium, klorida sodium, dan berbagai jenis bahan organik (Monga, 2015; Muharom dan Siswandi, 2015; Shaikh et al., 2012).
1. Proses pembuatan batu bata Proses pembuatan batu bata meliputi beberapa tahap pembuatan yaitu menggali, mengolah, mencetak, mengeringkan, membakar pada suhu yang tinggi sampai matang kemudian berubah warna, pendinginan, dan pembongkaran kemudian transportasi. Adapun tahapan pembuatan batu bata adalah sebagai berikut: (Sheta dan Laithy, 2015; Shaikh et al., 2012; RERIC, 2003; Regional Woods Energy Development in Asia 1993). a. Siapkan bahan bakunya antara lain: 1. Tanah liat 2. Air 3. Sekam padi 4. Pasir b. Siapkan alat-alatnya: 1. Cangkul 2. Pencetak batu bata 3. Tungku pembakar 4. Sekam padi c. Semua bahan-bahan seperti tanah, pasir atau sekam padi dicampur atau diaduk menggunakan cangkul dengan perbandingan 1:5 bagian tanah, kemudian dilumatkan
dengan air hingga menjadi adukan, kemudian adukan tadi dicetak dilapangan untuk sekaligus penjemuran dibawah sinar matahari. d. Cetakan batu bata pada umumnya terbuat dari kayu dengan ukuran tinggi x lebar x panjang (5cm x 10 cm x 25cm) dengan jumlah rangkaian 2 sampai 5 pcs batu bata. e. Kemudian batu bata yang sudah kering yaitu 3 sampai 5 hari penjemuran dirapikan bentuknya dan disusun untuk menghemat tempat dan pengeringan lanjutan. f. Batu bata disusun kemudian dibakar dengan suhu tinggi selama 2 hari dua malam disebuah ruangan. Batu bata yang terbuat dari tanah liat atau lempung apabila dibakar akan mengalami perubahan seperti berikut: 1. Pada temperatur ± 120°C terjadi proses penguapan air. 2. Pada temperatur antara 200°C terjadi proses dekomposisi atau penguraian yaitu air yang terikat secara kimia dan zat-zat lain yang terdapat dalam tanah lempung akan menguap. 3. Pada temperatur di atas 700°C terjadi proses terbakar yaitu perubahan-perubahan tanah liat menjadi merah. Karbon dan sulfur dihasilkan dari tanah liat yang dibakar karena proses oksidasi. Sebagian besar karbon terbakar pada temperatur 900°C sedangkan sulfur tetap ada sampai temperatur 1100-1150°C. 4. Pada temperatur 800°C terjadi proses vitrification yaitu proses pembakaran yang membuat batu bata menjadi keras dan padat seperti batu. Proses berikutnya adalah batu bata dibakar kemudian proses pendinginan. Bahan pembakaran batu bata salah satunya adalah menggunakan sekam padi. Sebagian besar material yang berasal dari tanah liat antara lain batu bata, tembikar, barang pecah belah dari tanah liat memiliki struktur utama mineral adalah kaolinit dan apabila
dipanaskan
atau dibakar akan
mengalami reaksi
kimia yaitu:(Bauleke, 2010).
g. Proses selanjutnya batu bata yang telah dingin kemudian siap dibongkar lapisan demi lapisan sambil membersihkan abu di sela-sela batu bata dari sisa biomas pembakaran sisi atas maupun samping pembakaran kemudian batu bata siap ditransportasikan. 2. Sekam padi Indonesia merupakan negara agraris. Sekam padi merupakan produk samping dari kulit gabah yang melimpah dari hasil penggilingan padi dan selama ini hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, pembakaran batu bata, atau dibuang begitu saja. Sekam padi adalah sebuah material dari limbah pertanian mengandung 20% abu yang berupa amorf dan silika kimia yang reaktif. Komponen utama sekam padi adalah silika, cellulose, dan lignin. Sekam padi berisi konsentrasi tinggi silika yaitu dalam bentuk silika amorf dan kristal silika (quartz) (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013; Kumar et al., 2012; Johnson dan Engr, 2009). Tabel dua menunjukkan komposisi dari sekam padi (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013). Tabel 2. Komposisi sekam padi Komposisi
Berat (%)
Silika (SiO2) Kalsium oksida (CaO) Magnesium oksida (MgO) Iron oxide (Fe2O3) Alumunium oksida (Al2O3) S, P2O5, K2O, Na2O
94.50 00.48 01.09 00.54 00.21 mineral Dikutip dari (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013)
Abu sekam padi merupakan limbah pertanian yang berasal dari pembakaran sekam padi. Apabila sekam padi dibakar pada suhu tinggi atau terlalu lama maka kandungan silika akan menjadi struktur kristal sekitar 80-90% dan sebagian kecil mengandung unsur elemen (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013). Selama proses perubahan sekam padi menjadi abu, pembakaran menghilangkan zat-zat organik dan meninggalkan zat sisa yang kaya akan silika (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013; Kumar et al., 2012; Nagrale et al., 2012; Johnson dan Engr, 2009). Pembakaran dari limbah pertanian salah satunya adalah produk sekam padi mengandung unsur silika amorf menjadi cristabollite atau bentuk sebuah kristalin (Liu et al., 1996). Abu sekam mengandung silika dengan kadar yang sangat tinggi yaitu sekitar 9095% silika dalam bentuk amorf dan sebagian dalam bentuk kristal (Ghosh dan Bhattacherjee, 2013; Nagrale et al., 2012; Liu et al., 1996). Proses pembakaran sekam padi pada temperatur 1300°C mengandung silika bebas sekitar 93,8%, cristabollite 38%, dan tridymite 6,1%. Proses pembakaran terhadap abu sekam padi dengan temperatur 1300°C akan menjadi debu anorganik yang mempunyai unsur utama kristal silika dapat menyebabkan fibrosis paru dan nodul silika (Nagrale et al., 2012; Liu et al., 1996). Tabel tiga menunjukkan komposisi kimia abu sekam padi (Nagrale et al., 2012). Tabel 3. Komposisi kimia abu sekam Kandungan
Berat (%)
SiO2 CO K2O CaO Na2O P2O5 SiO3 Fe2O3
62.5 – 97.6 2.71 – 6.42 0.1 – 2.54 0.1 – 1.31 0.01 – 1.58 0.01 – 2.69 0.1 – 1.23 0.54
Dikutip dari (Nagrale et al., 201 F. Imunopatogenesis Ambien udara berisi berbagai polutan. Paru yang terpajan kadar oksigen tinggi, bersama dengan besarnya luas permukaan, dan suplai darah membuat rentan terhadap cedera paru yang diperantarai oleh ROS. Stress oksidatif terjadi ketika ada kelebihan radikal bebas yang melampaui pertahanan oksidan. Akibatnya radikal bebas menyerang dan
mengoksidasi komponen sel lain seperti lemak, protein, dan asam nukleat sehingga menyebabkan cedera jaringan dan dalam beberapa kasus sel-sel inflamasi akan masuk ke daerah cedera (Kelly, 2004; Kelly ,2003). Spesies oksigen reaktif (ROS) berlebihan akan mengakibatkan stimulasi proses inflamasi, sekresi faktor kemotaktik, growth factors, enzim proteolitik, lipoxygenases dan cycloxygenases, inaktivasi enzim antiproteolitik, dan aktivasi onkogenesis serta faktor transkripsi. Di dalam paru ROS dihasilkan oleh faktor endogen dan eksogen pada reaksi biologis. Sebagian besar endogen dihasilkan oleh ROS pada sistem biologis antara lain mitokondria, mikrosom, retikulum endoplasma, sel fagositosis, sel endotelial, dan nukleus. Sedangkan faktor eksogen meliputi partikel berbahaya dan gas oksidan antara lain nitrogen oksida dan ozon (Vallyathan dan Shi, 1997). Bahan organik yang difagosit biasanya ditelan, sedangkan bahan anorganik disekuestrasi di dalam sel. Karena epitel alveolar tidak memiliki silia, maka makrofag alveolar merupakan kunci utama membuang materi dan merupakan sel utama yang ada di alveoli (Park et al., 2009; Vallyathan dan Shi, 1997; Harada dan Repine, 1985). Partikel yang terpajan dengan fagosit akan ditangkap dan ditelan dengan bantuan reseptor pada membran sel. Membran lisosom pada makrofag alveolar yang terpajan kristal silika atau asbestos akan pecah yang menyebabkan pelepasan suatu enzim litik dan terjadi kematian sel. Spesies oksigen reaktif (ROS) yang terlibat dalam perekrutan sel inflamasi paru melalui ekspresi protein chemoattractant disebut kemokin dan ROS akan mengaktivasi nuclear transcriptional regulatory factor yaitu NF-κB. Faktor ini akan mengikat dan meningkatkan gen promotor pada interleukin serta peningkatan ekspresi produksi sitokin yang lebih banyak (Park et al., 2009; Vallyathan dan Shi, 1997; Harada dan Repine, 1985). Reaksi biologi akibat partikel dan zat beracun yang melibatkan ROS baik secara langsung dan tidak langsung dijelaskan pada gambar tiga (Vallyathan dan Shi, 1997).
Gambar 3. Skema pembentukan ROS dan keterkaitan dengan proses cedera paru Dikutip dari (Vallyathan dan Shi, 1997) Polusi udara dapat langsung bersifat sebagai radikal bebas atau berperan mempermudah dan mempercepat terjadinya reaksi pembentukan radikal bebas. Reactive oxygen spesies (ROS) dapat berasal dari proses dalam tubuh sendiri, polusi udara, radiasi yang berasal dari sinar matahari mengakibatkan kerusakan jaringan dan sel pada saluran napas. Stress oksidatif akan menghasilkan ketidakseimbangan oksidan, antioksidan, dan menyebabkan oksidasi protein, deoxyribonucleic acid (DNA), lipid, serta berbagai respons selular melalui pembentukan secondary metabolic reactive oxygen spesies. Keseimbangan antara produksi ROS dan reactive nitrogen species (RNS) dan kapasitas antioksidan akan memberikan peran pada patogenesis beberapa penyakit saluran napas (Muharom dan Siswandi, 2015; Fubini dan Hubbard, 2003; Liu et al., 1996). Paru mempunyai sistem pertahanan antioksidan ekstraselular yang kuat untuk melindungi terhadap oksidasi yang berlebihan dari sel-sel epitel paru dan semakin besar jangkauan dan konsentrasi pertahanan antioksidan pada permukaan paru, semakin baik tingkat perlindungan terhadap oksidan dari polusi udara (Kelly, 2004; Kelly, 2003). Antioksidan pada paru berfungsi sebagai pertahanan lini pertama dikenal dengan istilah respiratory tract lining fluids (RTLF). Polusi lingkungan (pollutant ambient) pada saat masuk ke paru tidak langsung berhubungan dengan sel epitel pernapasan, melainkan berhubungan langsung dengan RTLF yang diterangkan gambar empat (Kelly, 2004). Respiratory tract lining fluids mempunyai kandungan antioksidan antara lain glutathione, asam askorbat (vitamin C), vitamin E (α-tokoferol), dan asam urat yang sama seperti
terdapat di plasma darah. Mekanisme interaksi oksidan polusi udara dengan paru dijelaskan pada gambar empat.
Gambar 4. Model sistematik bagaimana oksidan polusi udara berinteraksi dengan paru. Keterangan: RTLF: respiratory trac lining fluid, GSH: reduced glutathione, AH2:
ascorbic
acid,
UA:
uric
acid,
α-Toc:
α-tocopherol,
PMN:
polymorphonucleocyes, CHO: carbohydrate. a: interaksi pertama antara polutan dan proteksi antioksidan hidrofilik, b: reaksi selanjutnya kemungkinan terjadinya antioksidan pada epitel saluran napas, c: reaksi oksidatif membawa signal generasi kemotaktik yang menyebabkan polimorfonuklear aktif masuk ke dalam permukaan paru. Dikutip dari (Kelly, 2004)
Pajanan paticulat matter (PM) berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit paru dan jantung tetapi dapat berpengaruh terhadap organ lain. Inflamasi melibatkan berbagai sel termasuk migrasi sel imun pada organ yang mengalami inflamasi. Paru merupakan pertahanan lini pertama dengan fagosit oleh makrofag dan sel epitel seperti pada gambar lima. Sel-sel ini selain molekul adhesi dapat melepaskan berbagai molekul sinyal, seperti kemokin, sitokin, leukotrien, dan prostaglandin. Partikel dapat terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda seperti alergen, logam, senyawa organik, dan komponen mikroba. Efek partikel pada sistem pernapasan melalui mekanisme yang berbeda
dapat
mempengaruhi
sistem
kardiovaskular
yang
mengakibatkan
atau
memperburuk respons inflamasi pembuluh darah. Partikel atau komponen tersebut dapat
memicu kematian sel yang secara in vivo menyebabkan hilangnya fungsi atau terjadi proses perbaikan jaringan (Schwarze et al., 1985).
Gambar 5.
Mekanisme induksi partikel mempengaruhi
inflamasi pada paru dan
kardiovaskular. Keterangan: T1 = Sel epitel tipe 1, MO = Makrofag, E = Sel endotel, PM = Particulate matter. (Schwarze et al., 1985) G. PAJANAN DEBU PADA PROSES PEMBUATAN BATU BATA Lingkungan dengan pajanan debu batu bata menyebabkan partikel halus terhirup melalui saluran napas yang akan menyebabkan efek terhadap kesehatan. Asap dan debu dari proses pembuatan batu bata merupakan penyebab penting polusi udara. Bahan dasar pembuatan batu bata adalah tanah liat. Debu tanah liat merupakan campuran senyawa anorganik terdiri dari silika bebas, oksida besi, kapur, magnesium karbonat, alkali, kalsium karbonat, natrium klorida, dan berbagai macam bahan organik dengan menggunakan bahan bakar biomas yang akan meningkatkan pajanan gas antara lain sulfur dioksida, hidrogen sulfida, karbon dioksida, karbon monoksida, dan partikel polusi udara. Hasil pembakaran batu bata sebagian besar mengandung 75-85% emisi sulfur dioksida (SO2) (Sheta, 2015; Shaikh, 2012). Emisi pembakaran batu bata akan menghasilkan partikel debu halus, bahan organik, dan sejumlah gas antara lain hidrokarbon, sulfur dioxida (SO2), nitrogen oksida (NOx), senyawa fluoride, dan karbon monoksida (CO) (Skinder 2014, Darain 2013).
Karbon monoksida dan debu silika pada industri batu bata merupakan pajanan yang paling umum akibat kerja. Peningkatan konsentrasi debu batu bata terutama didapatkan sebagian besar pada proses pembongkaran batu bata dari tungku pembakaran. Selama proses pembongkaran dan mengangkut banyak menghasilkan debu dan partikel polutan yang berasal dari permukaan batu bata yang mempunyai komponen kimia yang sama seperti batu bata itu sendiri (Monga, 2015; Sheta, 2015; Shaikh, 2012). Persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu melakukan pengukuran debu total di lingkungan kerja. Salah satu tindakan pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dalam mengantisipasi efek samping negatif pajanan debu akibat kerja adalah menetapkan nilai ambang batas (NAB) rata-rata dan lama zat kimia dalam udara di tempat kerja menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) (Kep Menaker Trans, 2011). Nilai ambang batas adalah standar faktor bahaya ditempat kerja sebagai pedoman pengendalian supaya tenaga kerja dapat menghadapi efek tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam seminggu. Ruang lingkup standar ini memuat NAB rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) zat kimia di udara tempat kerja, di mana terdapat tenaga kerja terpajan zat kimia dalam sehari-hari selama tidak lebih dari 8 jam atau 40 jam per minggu, serta cara untuk menentukan NAB campuran untuk udara tempat kerja mengandung lebih dari satu macam zat kimia. Debu yang dihasilkan proses pembuatan batu bata adalah menghasilkan unsur kristal silika yang mana telah ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No PER.13/MEN/X/2011 tentang nilai ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja adalah 0.05 mg/m3 (Kep Menaker Trans, 2011). Nilai ambang unsur partikulat berukuran kurang lebih 10 μ dan total suspended particulate (TSP) sebelum proses pembuatan batu bata 0.029 mg/m3 dan 0.033 mg/m3 berturut-turut. Nilai ambang unsur partikulat selama bekerja pada waktu pembakaran batu bata 0,050 mg/m3 dan 0,056 mg/m3 berturut-turut (Nagrale, 2012). Pekerja batu bata merupakan salah satu faktor risiko pekerjaan yang berhubungan dengan pajanan silika. Batas pajanan yang direkomendasikan oleh The Ocupational Safety
and Health Administration (OSHA) saat ini pada lingkungan kerja yang mengandung silika terhirup selama 8 jam adalah rata-rata 10 mg/m3 di dalam udara. Amerika Conference of Industrial Hygienists tahun 2001 mengadopsi nilai ambang batas untuk kristal silika yang terhirup adalah 0.05 mg/m3. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) 2002 Work-Related Lung Disease Surveillance Report melaporkan sejak tahun 1993-1999 sebanyak 16 wilayah mempunyai tingkat kuarsa dapat terhirup nilai ambang yang direkomendasikan 0.05 mg/m3 (Greenberg, 2007). The National Institute of Occupational Safety and Health merekomendasikan penggunaan half-facepiece particulate respirators dengan masker N95 untuk pajanan kristal silika pada konsentrasi 0.05 mg/m3 atau lebih rendah (Leung, 2012). H. Penyakit Paru Kerja Akibat Debu Batu Bata Penyakit paru kerja adalah penyakit paru yang disebabkan oleh debu, asap, dan gas berbahaya yang terhirup oleh pekerja di tempat kerjanya. Beberapa jenis penyakit paru yang terjadi tergantung jenis zat pajanan (Ikhsan M et al., 2009; Djojodibroto RD, 2002). 1.
Asma Asma adalah penyakit yang kompleks. Gangguan inflamasi kronik saluran napas melibatkan banyak sel dan elemenya terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, neutrofil, dan sel epithelial. Asma berhubungan erat dengan faktor genetik, lingkungan, sosial, dan psikogenik. Terdapat beberapa penggolongan asama berdasarkan karakteristik atau fenotip asma yaitu asma alergi, asma non alergi, late onset asma, asma dengan keterbatasan aliran udara yang persisten, dan asma obesitas (GINA, 2015). a. Patogenesis asma Asma merupakan suatu keadaan kompleks yang melibatkan berbagai inflamasi. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran napas. Etiologi asma bersifat multifaktor tetapi inflamasi merupakan dasar penyakit dan dihasilkan dari respons imun yang tidak tepat terhadap berbagai macam antigen pada individu dengan kerentanan genetik (Barnes, 2008). Gambar enam menerangkan proses inflamasi saluran napas pada penyakit asma.
Gambar 6. Sel imun dan sel inflamasi yang berperan pada patogenesis asma. Dikutip dari (Barnes, 2008) Respons inflamasi pada saluran napas penderita asma dimulai ketika antigen inhalasi masuk ke dalam saluran napas kemudian mengaktivasi sel mast dengan cara terikat dengan molekul IgE pada permukaan sel mast sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator bronkokonstriktor yaitu histamin, cysteinyl leukotriene, dan prostaglandin D2(Barnes, 2008). 1.1 Asma Kerja Asma kerja merupakan penyakit paru akibat kerja yang kejadian paling besar pada negara industrilisasi. Terdapat dua kategori asma di tempat kerja yaitu asma kerja (occupational asthma) dan asma diperburuk oleh pajanan di tempat kerja (work excacerbated asthma). Asma kerja adalah penyempitan saluran napas yang disebabkan pajanan di lingkungan tempat kerja oleh debu, gas, dan polusi udara. American Thoracic Society (ATS) definisi lengkap asma kerja adalah penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran jalan napas disebabkan oleh penyebab dan keadaan di lingkungan pekerjaan tertentu dan rangsangan tersebut tidak dijumpai di luar tempat kerja (Susanto AD, 2009). a. Bahan penyebab asma kerja
Jenis pekerjaan dan macam bahan penyebab asma kerja sangat berperan pada asma kerja. Bahan yang dapat menyebabkan asma kerja dibagi menjadi 2 kelompok sesuai dengan berat molekulnya, yaitu bahan dengan berat molekul tinggi (BMT) umumnya adalah protein binatang atau tumbuhan sedangkan bahan dengan berat molekul rendah (BMR) meliputi senyawa organik dan inorganik. Bahan penyebab asma kerja dengan mekanismenya ditunjukkan dalam tabel empat (Susanto AD, 2009). Tabel 4. Bahan penyebab asma kerja dengan mekanisme kerjanya Mekanisme kerja
Bahan
Tanpa sensitisasi Debu kapas Efek endotoksin Pestisida organofosfat Efek antikolesterase Amonia, klorin Respons antiinflamasi Debu, fumes, dingin Respons iritan Dengan sensitisasi Bahan dengan berat molekul Binatang, tanaman, protein bakteri Platina, isosianat, asam plikatik, tinggi Bahan dengan berat molekul asam anhidrida rendah Dikutip dari (Susanto AD, 2009) Asma kerja dapat dibagi menjadi asma kerja imunologis atau sensitizer induced asthma dan asma kerja nonimunologis atau irritant induced asthma. Asma kerja imunologis atau sensitizer induced asthma meliputi: (Yunus F et al., 2009) 1.
Asma kerja yang diakibatkan sebagian besar oleh senyawa dengan berat molekul tinggi dan sebagian oleh senyawa dengan berat molekul rendah sehingga terjadi mekanisme imunologis yang diperantarai oleh Imunoglobulin-E (Ig-E).
2.
Asma kerja yang diinduksi oleh senyawa di tempat kerja dengan berat molekul rendah sehingga mekanisme imunologis tidak selalu terjadi. Asma kerja nonimunologis ditandai oleh berkembangnya asma dalam beberapa jam
setelah paparan non spesifik tunggal atau lebih pada konsentrasi tinggi di tempat kerja
tanpa melalui periode laten dan dikenal sebagai reactive airways dysfunction syndrome (RADS) atau irritant-induced asthma. b. Patogenesis Asma kerja Asma kerja yang disebabkan oleh agen ditempat kerja
melalui mekanisme
imunologi dan non imunologi. Mekanisme patogenesis asma kerja hampir sama dengan asma yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. (Tarlo dan Lemiere, 2014). 1. Asma kerja imunologis atau sensitizer induced asthma Patofisiologi asma kerja imunologis umumnya adalah dependent dan kejadiannya tidak berbeda dengan asma alergi yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahan dengan berat molekul tinggi dikenali oleh antigen presenting cell (APC) dan menyebabkan respons Cluster of differentiation (CD)4 tipe 2. Sel – sel inflamasi seperti eosinofil, sel mast dan makrofag akan menyebabkan inflamasi saluran napas yang menandai perubahan fungsi seperti hiperesponsif, penyempitan dan obstruksi saluran napas. Bahan dengan berat molekul rendah juga menginduksi antibodi IgE spesifik, bekerja sebagai hapten dan berikatan dengan protein tubuh membentuk antigen. Respons imun campuran dengan melibatkan CD4 dan CD8. Banyak bahan dengan berat molekul rendah tidak secara konsisten merangsang antibodi IgE spesifik.Kerusakan sel epital bronkus dapat mengaktivasi sel – sel imun (Yunus F dan Rosadi F, 2009; Maestrelli et al., 2006). 2. Asma kerja nonimunologis atau irritant-induced asthma Iritasi menyebabkan kerusakan epitel diikuti oleh aktivasi langsung jalur nonkolinergik, nonadrenergik melalui refleks akson. Aktivasi makrofag spesifik dan degranulasi sel mast juga dapat terjadi (Balmes, 2005). Mekanisme asma kerja berdasarkan bahan dari lingkungan kerja dapat dilihat pada gambar tujuh (Tarlo dan
Lemiere2014).
Gambar 7. Patofisiologi asma kerja berdasarkan bahan dari lingkungan kerja Dikutip dari (Tarlo dan Lemiere, 2014) 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain merokok, polusi udara, pajanan terhadap bahan noxius, dan penggunaan bahan bakar rumah tangga (PDPI, 2011; Barnes 2009). Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun/ berbahaya. Proses inflamasi yang terjadi pada PPOK ditunjukkan gambar delapan (Barnes, 2009).
Gambar 8. Proses inflamasi pada PPOK
Dikutip dari (Barnes, 2009) a. Obstruksi Saluran Napas dan Bronkitis Kronis Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan bronkitis kronis merupakan manifestasi jangka panjang pajanan okupasional oleh lingkungan yang terkontaminasi debu silika dan berkembang dalam individual yang terpajan silika dengan atau tanpa silikosis. Merokok dapat berpotensi dengan efek debu silika dalam menyebabkan terjadinya silikosis (Cowie, 2010; Djojodibroto, 2009). Peningkatan frekuensi bronkitis kronis telah dilaporkan pada penambang batu bara di Amerika serikat, pekerja granit di Indonesia, pekerja batu agate di India, dan kelompok-kelompok lainnya (Seaton, 1984). Studi epidemiologis dan patologis menunjukkan bahwa pajanan debu silika dapat menyebabkan PPOK tanpa adanya gambaran radiologis silikosis. Pemikiran saat ini bahwa inflamasi kronis dan remodeling saluran napas kecil (bronkitis) dan destruksi parenkim paru (emfisema) merupakan suatu reaksi inhalasi dari oksidan yang dihasilkan oleh merokok dan paparan lingkungan lainnya yang menyebabkan PPOK. Sel-sel inflamasi yang dominan ikut terlibat dalam remodeling saluran napas dan destruksi parenkim paru pada PPOK adalah netrofil, makrofag, dan limfosit T (CD8+ dan CD4 +). Mekanisme potensial partikel silika dapat menginisiasi cedera sel pada PPOK termasuk proses sitotoksisitas yang menyebabkan ROS/ RNS, dan sekresi faktor proinflamasi, sitokin, kemokin, elastase, dan faktor fibrogenik (Cowie, 2010; Greenberg, 2007). a.1 Emfisema Mekanisme silika dapat menyebabkan emfisema saat ini belum jelas. Kelainan ini terjadi karena pajanan terhadap silika selama lebih dari 20 tahun. Mekanisme potensial ini dapat menginisiasi perubahan jaringan paru yang menyebabkan obstruksi saluran napas sebagai berikut: (Cowie, 2010; Al-Shamma, 2009). a. Partikel silika dapat menginisiasi toksik dan proses inflamasi pada saluran napas konduksi dan perifer, dan karakter jaringan alveolar yang merangsang mediator menyebabkan meningkatnya produksi oksidan, sitokin, kemokin, dan elastase yang menginduksi inflamasi saluran napas dan emfisema b. Partikel silika dapat menyebabkan sel epitel cidera yang memfasilitasi penetrasi partikel silika melalui dinding saluran napas kecil dan menyebabkan fibrosis. Kelainan restriksi
dikaitkan dengan produksi kolagen dan faktor pertumbuhan fibroblas yang menyebabkan dinding alveolar fibrosis dan akan membentuk nodul silikotik. Kejadian saat ini menunjukkan mekanisme yang sama emfisema akibat asap rokok yang menyebabkan destruksi dari inhibitor α1 protease (α1-AT) oleh oksidan yang dihasilkan sel-sel inflamasi dari debu silika. Emfisema akan dinduksi oleh asap rokok menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan menurunkan aktivitas anti elastase. Debu silika dapat menyebabkan emfisema dengan pelepasan enzim proteolitik dari debu yang membangkitkan sel-sel inflamasi dan inaktivasi oksidatif dari α1-AT dengan oksigen berlebihan bebas radikal dihasilkan oleh partikel silika dan sel inflamasi (Leung, 2012; Cowie, 2010; Hnizdo, 2003). a.2 Bronkitis kronis Definisi bronkitis kronis adalah batuk kronik produktif selama tiga bulan dalam satu tahun. Pajanan debu yang lama dengan konsentrasi tinggi pada pekerja di tempat kerja dapat menyebabkan bronkitis kronis. Pemeriksaan fungsi paru pada tahap awal normal selanjutnya terjadi perlambatan aliran udara yaitu VEP1 yang menetap (Al-Shamma, 2009). Studi epidemiologi menunjukkan prevalensi bronkitis kronis (batuk produktif) meningkat dengan intensitas dan lama pajanan debu silika. Berdasarkan patologi bukti saat ini PPOK menunjukkan mukus yang berasal dari sekresi kelenjar submukosa dan sel goblet pada saluran napas konduksi yang merupakan gejala bronkitis kronis yaitu batuk dan sputum. Inflamasi dan perubahan struktural saluran napas perifer dan parenkim paru sangat penting bagi sebagai hambatan saluran napas pada PPOK. Infiltrasi limfosit T dan makrofag pada dinding subepitel juga terlibat dalam perubahan karakteristik saluran napas konduksi (Cowie, 2010; Hnizdo, 2003). 3.
Silikosis Silikosis adalah penyakit fibrosis paru yang disebabkan oleh kristal bebas silikon
dioksida atau silika yang terhirup (Leung, 2012; Ikhsan, 2009). American Thoracic Society mengeluarkan pernyataan melalui Committee of the Scientific Assembly on Environtmentl and Occupational Health di atas ijin Association Occupational Health Expert Advisory Group menekankan bahwa pentingnya silikosis sebagai penyakit paru yang utama di seluruh dunia dan mengingatkan untuk selalu meningkatkan upaya pencegahan. Silikosis
merupakan penyakit akibat kerja yang menjadi perhatian di negara maju (Leung, 2012; Mercant, 1988). Di Inggris dari tahun 1990-1993 sekitar 6000 pekerja dan Eropa lebih dari 3 juta pekerja terpajan kristal silika. Di Amerika Serikat pada tahun 1995 lebih dari 121000 pekerja terpajan kristal silika dengan konsentrasi sebesar 0,05 mg/m3 (Leung, 2012). Faktor-faktor baik agen, lingkungan maupun individu mempengaruhi timbulnya silikosis pada pekerja yang terpajan silika adalah sebagai berikut: (Faisal, 2009; Ikhsan, 2009). 1. Ukuran partikel debu Partikel debu yang dapat menimbulkan silikosis adalah partikel dengan ukuran diameter kurang dari 5μ. Partikel debu paling berbahaya adalah partikel dengan diameter 1-3μ karena akan tertimbun di alveoli. 2. Jumlah partikel debu dalam udara Fibrosis paru yang bermakna tidak akan terjadi pada seseorang yang terpajan debu dengan jumlah partikel kurang dari 5 juta partikel perkaki kubik udara. 3. Kandungan mineral silika dalam batu-batuan Kwarts mengandung 100% silika bebas, granit mengandung 50-60% silika bebas, dan semen mengandung 6-8% silika bebas. Hanya debu respirabel dengan kadar silika bebas lebih dari 1% bersifat toksis dan dapat menimbulkan silikosis. 4. Lama pajanan Umumnya diperlukan waktu pajanan 10 tahun agar dapat menimbulkan silikosis. 5. Kepekaan seseorang Dalam masa pajanan yang sama ada orang yang tidak menderita sakit tetapi ada pula yang menderita fibrosis paru yang masif. Silikosis adalah sebuah penyakit fibrosis paru yang berpotensi fatal dan berkembang ireversibel setelah menghirup debu silika dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang lama. Gambaran klinis dan patologis menunjukkan perbedaan intensitas pajanan, periode laten, dan riwayat sebelumnya (Petsonk, 2008). Tabel enam menjelaskan perbedaan karakteristik klinis dan patologis silikosis (Mercant, 1988). Silikosis secara gambaran klinis dan patologis terdapat tiga jenis yaitu: A. Silikosis kronik
Silikosis kronik merupakan bentuk yang paling sering ditemukan karena pajanan debu silika dengan konsentrasi rendah selama 15 tahun atau lebih. Karakteristik bentuk silikosis ini adalah pembentukan nodul silikotik pada parenkim paru dan kelenjar getah bening hilus. Fase awal memperlihatkan nodul simpel di paru yang tidak menimbulkan gejala dan tanda. Silikosis kronis dihubungkan dengan perubahan inflamasi kronis di dalam alveoli (Faisal, 2009; Ikhsan, 2009). Mekanisme pasti silikosis kronis ini belum banyak dijabarkan, tetapi diyakini bahwa diawali dari makrofag alveolar memfagosit partikel silika dengan tujuan membersihkan alveoli dari partikel ini. Silika yang baru pecah di dalam makrofag alveolar lebih reaktif dibandingkan silika yang lebih lama. Ketika partikel silika di dalam alveoli tidak dibersihkan oleh makrofag alveolar, maka makrofag alveolar ini akan rusak. Makrofag alveolar yang rusak ini akan terstimulasi dan melepaskan ROS, RNS, dan radikal bebas yang berlebihan. Faktor transkripsi (NFKβ dan activator protein-1) dilepaskan dan kemudian memicu produksi dan pelepasan sitokin inflamasi (TNF-α, IL-1β, dan IL-6), protease, dan arachidonic acid metabolites (seperti leukotrien-B4, prostaglandin E2). Ketika makrofag alveolar yang mengandung silika ini mati, makrofag alveolar akan melepaskan partikel silika yang kemudian dimakan kembali oleh makrofag alveolar lainnya sehingga menginduksi siklus injury. Siklus ini diikuti pergerakan netrofil dan limfosit menuju area injury menghasilkan perubahan inflamasi yang lebih lanjut (Djojodibroto, 2009; WHO, 1995). Sitokin inflamasi termasuk interleukin-1 (IL-1), tumor nuclear factor-α (TNF-α), arachidonic acid metabolites (seperti leukotrien-B4), dan kemokin seperti IL-8, macrophage inflammatory protein (MIP-2), MIP-1α, MIP-1β, dan protein kemoatraktan monosit yang ikut terlibat dalam proses inflamasi ini. Faktor fibrogenik turunan makrofag seperti platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF)-α dan TGF–β, epidermal growth factor, dan insulin-like growth factor-1 dilepaskan pada saat tubuh mengalami proses perbaikan (Liu, 1996; Yunus F 2009). Penderita silikosis kronik awalnya mengeluh batuk berdahak dan sesak napas yang disebabkan oleh penyakit yang menyertai seperti bronkitis kronis karena debu lain dan riwayat merokok (Cowie, 2010; Greenberg, 2007; Yunus F, 2009). Karakteristik bentuk silikosis adalah pembentukan nodul silikotik pada parenkim paru dan kelenjar getah bening hilus. Gambaran radiologis silikosis tanpa komplikasi adalah perselubungan lingkar yang
halus di lapangan paru biasanya simetris dan jenis “r” yang sering. Egg-shel calcification adalah gambaran khas yang menyokong diagnosis silikosis (Ikhsan, 2009). Pemeriksaan fungsi paru pada silikosis sangat bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi debu selain silika yang dihirup dan kebiasaan merokok. Gambaran obstruksi biasanya karena inhalasi debu lain atau kebiasaan merokok yang menyebabkan bronkitis kronis. Keadaan fungsi paru tidak sesuai dengan kelainan foto toraks karena faktor-faktor lain yang berperan dan menyebabkan emfisema dan bronkitis. Meluasnya lesi menyebabkan gangguan obstruksi, campuran obstruksi ,dan restriksi atau restriksi saja. Kapasital vital, kapasitas total paru akan menurun tetapi biasanya volume residu dan kapasiti residu fungsional tidak menurun serta kapasiti difusi tidak mengalami gangguan (Yunus F, 2009). Pemeriksaan cairan bronchoalveolar lavage dari orang yang terpapar silika menunjukkan tanda morfologi dari aktivasi makrofag lokal. Aktivasi makrofag ini kemudian memproduksi jaringan kolagen dan mengakibatkan kerusakan parenkim paru (Yunus F, 2009; Liu, 1996). B. Silikosis terakselerasi Silikosis terakselerasi terjadi karena pajanan silika selama 5-10 tahun. Progresivitas terjadi meskipun pekerja telah dihindari dari pajanan. Gejala, gambaran toraks, dan gambaran patologi mirip dengan silikosis kronik tetapi lebih cepat dan progresif perburukannya serta bayangan lesi lebih difus dan fibrosis yang ireguler. Silikosis tipe ini berhubungan dengan penyakit autoimun jaringan seperti scleroderma, rheumatoid arthritis, systemic lupus erythematosus (Selvam, 2015; Nagrale, 2012; Leung, 2012). C. Silikosis akut Bentuk silikosis ini terjadi karena pajanan terhadap silika bebas dengan konsentrasi sangat tinggi dalam waktu singkat yaitu dari beberapa minggu sampai 5 tahun. Beberapa jenis pekerjaan yang dilaporkan dapat menimbulkan silikosis akut adalah pekerja keramik, pekerja tepung silika, dan tambang batu bara terbuka. Silikosis akut melibatkan pembentukan radikal bebas yang berlebihan. Silika yang baru pecah yang mana pecahan partikelnya berlebihan yang mengandung ROS seperti peroksida dan hidroperoksida cenderung terbentuk. Adanya radikal bebas yang berlebihan ini sehingga akan membuat perubahan pada aktivasi faktor transkripsi yang akan membawa kerusakan sel/ DNA (Liu, 1996). Gejala klinis yang khas sesudah pajanan singkat terhadap partikel silika konsentrasi
tinggi yaitu sesak napas progresif, demam, batuk, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron pada paru yang terkena silikosis akut didapatkan sel pneumosit tipe II pada alveoli yang hipertrofi menghasilkan sejumlah bahan protein protein surfaktan sehingga alveoli akan terisi material yang mengandung alveoli. Gambaran radiologis ditandai luasnya lesi, pembesaran, dan progresivitas lesi yang cepat. Perubahan fungsi paru lebih nyata dan lebih cepat disertai perburukan radiologis berupa penurunan fungsi paru, gangguan pertukaran gas, dan kapasitas difusi menurun (Cowie, 2010; Yunus F, 2009; Liu, 1996). D. Fibrosis masif progresif (FMP) Silikosis sederhana dapat menjadi fibrosis masif progresif (FMP) apabila terjadi komplikasi. Pasien FMP akan mengeluhkan gejala yang semakin memberat bahkan sampai terjadi kegagalan kardiorespirasi. Fibrosis massif progresif biasanya berhubungan dengan fungsi dan struktur paru yang menurun sehingga menimbulkan gejala sesak napas dan penurunan fungsi paru. Bentuk silikosis seperti ini ditandai dengan adanya opasitas noduler berdiameter ˃ 1 cm pada foto toraks. Pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya penurunan kapasitas difusi karbon monoksida, reduksi tekanan arterial oksigen saat istirahat dan berolah raga serta restriksi pada spirometri (Cowie, 2010; Yunus F, 2009; Liu, 1996). Tabel lima menjelaskan perbedaan klinis dan patologi silikosis. Tabel 5. Perbedaan karakteristik klinis dan patologi silikosis
Dikutip dari Dikutip dari (Mercant, 1997) Patogenesis patogen dari debu silika tergantung komponen sifat mekanis, fisik, dan kimia dari partikel. Proses dimana silika menyebabkan inflamasi dan fibrogenitas di dalam
paru. Inflamasi diinduksi oleh silika dan fibrosis disebabkan oleh interaksi kompleks antara partikel dengan makrofag paru, sel epitel alveolar, fibroblas, neutrofil, limfosit, dan jaringan kompleks yang menstimulasi produksi oksidan, kemokin, dan sitokin (Cowie et al., 2010; Yunus F et al., 2009; Mossman, 1998; Vanhee et al., 1998). Mekanisme pasti toksisitas silika masih belum jelas, tetapi diduga diperantarai oleh adanya produksi ROS baik dipermukaan silika maupun oleh aktivasi makrofag alveolus. Perjalanan dan perkembangan respons biologis berhubungan dengan intensitas pajanan. Silika yang mengalami pemecahan secara langsung bersifat lebih toksik terhadap makrofag alveolar dibanding silika yang sudah tidak murni (Cowie et al., 2010) Bagian permukaan partikel silika berinteraksi dengan makrofag alveolar, limfosit, dan neutrofil menimbulkan inflamasi, proliferasi fibroblas, dan deposit bahan-bahan matriks jaringan ikat dalam jumlah besar. Respons makrofag alveolar terhadap partikel silika yang terinhalasi berupa aktivasi pelepasan berbagai sitokin dan reaktan (Yunus F et al., 2009). Perlukaan sel epitel alveolar tipe I dianggap sebagai sebuah proses awal pada fibrogenesis yang diikuti dengan hiperplasia dan hipertrofi sel epitel tipe II. Peningkatan proliferasi sel epitel penting untuk regenerasi serta perbaikan dan jika tidak terkendali akan mengalami fibrogenesis dan karsinogenesis. Intensitas pajanan menentukan sifat kerusakan paru. Pajanan dengan intensitas rendah umumnya menghasilkan agregat fibrosis paru yang masih memiliki arsitektur yang baik, tetapi pajanan dengan intensitas tinggi mengakibatkan inflamasi dan deposisi kolagen yang menyeluruh (Djojodibroto RD, 2009; Yunus F et al., 2009; Mossman dan Churg, 1998; Beckett et al., 1997). Skematik kelainan yang terjadi pada paru setelah terpajan partikel mineral fibrogenik ditunjukkan pada gambar delapan (Mossman dan Churg, 1998). Skematik tersebut menggambarkan hubungan antara produksi oksidan, TNF-α, dan IL-1 dengan perkembangan peristiwa selular yang mengakibatkan fibrosis paru. Mediator utama patogenesis tersebut termasuk kemokin, TNF-α, IL-1, interferon-γ (IF-γ), fibronektin, platelet-derived growth factor (PDGF), dan transforming growth factor-β (TGF-β) serta sitokin proinflamatori yang dikenal kemokin, termasuk IL-8, macrophage inflammatory protein (MIP) dan monocyte chemoattractan proteins (MCP) merupakan kunci utama terjadinya respons inflamasi debu fibrogenik (Yunus F et al., 2009; Wynn, 2008; Mossman dan Churg, 1998; Vanhee et al., 1998).
Gambar 9. Skematik kelainan yang terjadi pada paru setelah terpajan partikel
mineral
fibrogenik. Keterangan: AM: alveolar macrophage, IM: interstitial F: fibroblast, ROS: reactive oxygen species, RNS:
macrophage,
reactive
species, TNF: tumor necrosis factor, IL-1:
interleukin-1,
macrophage inflammatory protein, MCP:
macrophage
nitrogen MIP: chemotactic
proteins. Dikutip dari (Mossman dan Churg ,1998) Pajanan debu mineral baik akut atau kronik dapat menyebabkan proses inflamasi dan fibrosis paru. Pajanan debu yang akut akan menyebabkan reaksi inflamasi akibat keterlibatan sel lekosit polymorphonuclear (PMN) dan pajanan debu kronik muncul akibat peran makrofag alveolar terhadap kerusakan paru. Proses inflamasi berulang akan menyebabkan fibrosis paru dan kerusakan epitel paru yang dapat dideteksi oleh NALP3 inflamasi di makrofag. Zat iritan itu akan merangsang pengeluaran ROS, kemokin, dan sitokin. Mediator-mediator inflamasi meningkatkan rekrutmen dan mengaktivasi sel lekosit pada jaringan yang rusak. Sebagai contoh IL-1β aktif menginduksi ROS, mengekspresikan netrofil akibat kerusakan sel epitel. Interleukin-1β juga mempromotori produksi TGF-β1 yang mempunyai peranan penting sebagai sitokin profibrosis, pencetus aktivasi, dan proliferasi fibroblas. Sel epitel merupakan sasaran TGF-β menginduksi extracellular matrix
(ETM) dan pembentukan epithelial mesenchymal transition (ECM) menghasilkan fibroblas dan lebih lanjut akan memperburuk respons inflamasi dengan merangsang diferensiasi sel T helper-17 (Th-17) dan dijelaskan pada gambar sepuluh (Wynn, 2008).
Gambar 10. Mediator proinflamasi dan profibrosis dalam inisiasi terjadinya fibrosis. Keterangan: NALP3: nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oksidase, ECM: extracellular matrix, EMT: epithelial mesenchymal transition, TGF-β: transforming growth factor-β. Dikutip dari (Wynn, 2008) Debu silika yang terhirup akan menyebabkan deposisi di saluran napas distal. Silika dapat menghasilkan ROS secara langsung pada partikel permukaan yang baru dibelah atau secara tidak langsung berpengaruh terhadap sel fagosit (Leung, 2012; Cowie, 2010). Berbagai percobaan in-vitro dan hewan percobaan didapatkan bahwa makrofag alveolar akan berinteraksi dengan partikel silika yang terhirup dan akan menyebabkan efek toksisitas silika pada sel yang diinduksi. Reseptor scavenger atau penerima terutama reseptor makrofag dengan struktur kolagen di dalam makrofag alveolar memiliki peran dalam proses untuk mengenali dan penyerapan partikel silika (Leung, 2012). Peristiwa fagositosis partikel silika yang dilakukan tiga studi in-vitro dan hewan percobaan dijelaskan pada gambar delapan.
Sumber lipopolisakarida priming in vivo tidak diketahui, tetapi dapat menjadi titik potensi interaksi dengan faktor risiko, lingkungan, dan genetik lainnya. Interleukin-1 (IL-1) merupakan jalur sinyal dan sitokin inflamasi lainnya, seperti TNF-α yang memiliki peran penting dalam proses inflamasi dan fibrosis. Proses selanjutnya caspase-1 memodulasi sekresi protein yang konvensional, seperti fibroblast growth factor-2 yang berperan dalam patogenesis ini. Selanjutnya apoptosis yang diinduksi silika akan menyebabkan silika yang tercerna dilepaskan untuk memicu siklus lain dari fagositosis dan inflamasi (Leung, 2012; Mossman, 1998). Dalam respons terhadap silika, sel dendritik menunjukkan aktivasi sel dan bermigrasi disebabkan fibrosis dan inflamasi yang terjadi secara independen dari sel limfosit T, sel limfosit B, dan sel natural killer, tetapi limfosit dapat berperan dalam regulasi silika yang diinduksi melalui modulasi nucleotide-binding domain (NOD)-like receptor protein 3 inflammasome (NALP3). Fagositosis krital silika menyebabkan swelling phagosome yang aktif diikuti oleh distabilitas pagosome melepaskan isinya ke dalam kompartemen sitosolik. Aktivasi dari NOD, leucin-rich diulangi oleh protein NALP3 menyebabkan berhubungan dengan intraseluler apoptosis-assosiated speck-like protein (ASP) adaptor yang berisi domain untuk merekrut caspase kemudian bergabung dan mengaktifkan caspase-1. Hasil enzim komplek yang aktif (NALP3 inflamasi) akan mengaktifkan molekul proinflamasi yang poten seperti IL-1β dan IL-18. Aktivasi NALP3 inflamasi silika juga mengeluarkan generasi ROS oleh oksidase NADPH setelah fagositosis partikel dan mengeluarkan intraseluler ion potassium yang menunjukkan interaksi ikatan silika dengan membran. Sekresi IL-1 pada hewan percobaan tikus atau makrofag manusia yang berespons dengan silika atau asbes secara in-vitro memperlihatkan dua langkah penyebab priming dari liposakarida yang sangat diperlukan. Reseptor scavenger memperlihatkan peranan dalam mengenali dan melakukan proses penyerapan silika (Leung, 2012; Cowie, 2010; Mossman, 1998). Gambar tujuh menjelaskan aktivasi NALP3 inflammasome oleh kristal silika setelah priming awal oleh lipopolisakarida.
Gambar 7. Aktivasi NALP3 inflamasi oleh kristal silika setelah priming awal oleh lipopolisakarida. Keterangan: NADPH oksidase: nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oksidase, NALP3: nucleotide-binding domain (NOD)-like receptor protein 3, ASC: apoptosis-associated speck-like protein containing a caspase recruitment domain, ROS: reactive oxygen species, NF-κβ: nuclear factor-κβ, IL: interleukin. Dikutip dari (Leung, 2012) Studi tentang respons imun yang melibatkan pajanan silika menyebabkan perubahan struktur dan fungsi paru. Sebuah studi baru saat ini mengusulkan bahwa reseptor scavenger sangat penting dalam pengenalan mikroorganisme terhadap kekebalan bawaan yang bertanggung jawab terhadap penyerapan silika, aktivasi, dan jalur kematian sel di makrofag. Partikel silika akan mencapai permukaan sel epitel alveolar akan mengakibatkan perlukaan jaringan, apoptosis, dan menstimulasi makrofag alveolar dan sel epitel kemudian terjadi fibroblas yang akan merangsang beberapa faktor antara lain kemokin, sitokin, metabolisme arachidonat acid (AA), dan oksidan yang akan menarik dan menstimulasi di paru antara lain leukosit, neutrofil, dan limfosit. Aktivasi makrofag alveolar dan produksi neutrofil akan memproduksi oksidan dan protease yang akan mengakibatkan apoptosis dan perlukaan dinding alveolar. Oksidan dapat mengakibatkan kerusakan DNA yang menyebabkan kanker. Leukosit akan menstimulasi growth factors dan sitokin yang akan menstimulasi fibroblas paru untuk proliferasi dan memproduksi protein matrik yang akan menyebabkan jumlah sel mesenkim lebih banyak sehingga terjadi fibrosis paru. Gambar delapan menjelaskan respons imun baru yang mengakibatkan perkembangan silikosis
(Huaux, 2007). Partikel silika memiliki pola molekul patogen yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh bawaan. Macrophage receptor with collagenous structure (MARCO) diekspresikan di permukaan makrofag berfungsi untuk mengenal dan menyerap silika serta mengaktivasi sel kekebalan tubuh. Partikel silika pada proses awal akan mengaktivasi reseptor MARCO yang mengakibatkan perlukaan jaringan, apoptosis maupun mengekspresikan mediator proinflamasi dalam inisiasi mempertahankan proses inflamasi paru akut atau kronik (Huaux, 2007).
Gambar 8. Respons imun baru yang mengakibatkan perkembangan silikosis. Dikutip dari (Huaux, 2007)
I. Penatalaksanaan Dan Pencegahan Penyakit Paru Kerja Penyakit akibat kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasikannya secara tepat. Pendekatan tersebut disusun menjadi 7 langkah dapat digunakan sebagai pedoman: (Sucipto CD, 2014). a.
Menentukan diagnosis klinisnya
b.
Menentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
c.
Menentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut
d.
Menentukan apakah jumlah pajanan dialami cukup besar untuk mengakibatkan penyakit tersebut
e.
Menentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi
f.
Mencari adanya kemungkinan lain dapat merupakan penyebab penyakit
g.
Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan dapat ditempuh agar pekerja bukan
menjadi lahan untuk menuai penyakit (Sucipto CD, 2014; Kurniawidjaja, 2010) 1.
Pencegahan primer (health promotion) Bertujuan agar pekerja terhindar dari pajanan agent penyebab penyakit dengan cara menghilangkan atau menurunkan kadar hazard kesehatan di lingkungan kerja, perilaku kesehatan, faktor berbahaya ditempat kerja, perilaku kerja yang baik, olah raga, dan gizi.
2.
Pencegahan sekunder (specific protection) Bertujuan menemukan penyakit sedini mungkin bahkan sebelum timbul gejala klinik dan menanganinya segera. Meliputi pengendalian melalui perundang-undangan, pengendalian administratif/organisasi, rotasi/ pembatasan jam kerja, pengendalian teknis: substitusi, isolasi, APD, dan pengendalian jalur kesehatan imunisasi.
3.
Pencegahan tersier Diharapkan melindungi pekerja yang sudah terkena penyakit paru agar dapat kembali kerja dan tidak menjadi cacat, meliputi: pemeriksaan kesehatan pra-kerja, pemeriksaan kesehatan berkala, pemeriksaan lingkungan secara berkala, surveilans, pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja, dan pengendalian segera di tempat kerja.
NF-κB Debu Batu Bata
Total suspended particle Sel Epitel
Sel Dendritik
MHC II TLR TGF-β
Th0
IL-12
IL-4 Th1
Makrofag
IFN-γ
Th2
IL-10
NFKβ
Sitokin
Fibroblast
IL-1β
TNF-α
ROS
IL-8
Netrofil
Hipersekresi mukus Bronkokonstriksi Edema mukosa Permeabilitas vaskuler
Fibrosis
Protease Serin protease Netrofil elastase MMP-9
Destruksi ECM
Gejala klinis,kelainan fungsi dan struktur
Manifestasi klinis: 1. Sesak napas 2. Batuk kronik 3. Berdahak kronik 4. Bronkitis kronik
Kelainan fungsi paru: 1. Restriksi 2. Obstruksi 3. Campuran 4. Normal
Kelainan foto toraks: 1. Fibrosis 2. Corakan bronkovaskular 3. Normal
Gambar 11. Kerangka teori menjelaskan hubungan antara kadar TSP dengan IL-1β serum pada pekerja pembuat batu bata.
Penyakit paru kerja akibat pajanan suatu agen dipengaruhi tiga faktor yaitu host, penyebab penyakit, dan lingkungan (Ikhsan M, 2009). Debu TSP yang terhirup saluran napas akan menimbulkan respons inflamasi. Zat iritan akan merangsang pengeluaran ROS, kemokin, dan sitokin. Mediator inflamasi akan merekrut dan mengaktivasi lekosit jaringan yang rusak. Zat iritan akan mengaktivasi sel penyaji antigen (APC) yaitu sel dendritik dan makrofag alveolar. Sel penyaji antigen akan mencerna antigen dan mengekspresikan peptide antigen pada MHC-II dipermukaan membran sel berikatan dengan TLR sel Th0. Sel Th0 akan kearah Th1 karena pengaruh mediator IL-12 dan sel TCD4 teraktivasi dan mensekresi IFN-ᵧ. Sel APC mensekresi IL-1β, IL-8, dan TNF-α (Suradi, 2007). Beberapa interleukin seperti TNF-α, IL-1β akan menginduksi perlukaan paru secara akut dan berperan dalam perkembangan pembentukan fibrosis. Interleukin-1β aktif menginduksi ROS dan mengekspresikan netrofil mengakibatkan kerusakan sel epitel. Interleukin-1β berperan mempromotori produksi TGF-β1 sebagai sitokin profibrosis, pencetus aktivasi, dan proliferasi fibroblas. (Leung et al., 2012; Wynn, 2008).
K. Kerangka Konseptual Penelitian Polusi udara dapat langsung bersifat sebagai radikal bebas atau berperan mempermudah dan mempercepat terjadinya reaksi pembentukan radikal bebas. Reactive oxygen spesies (ROS) dapat berasal dari proses dalam tubuh sendiri, polusi udara, radiasi yang berasal dari sinar matahari mengakibatkan kerusakan jaringan dan sel pada saluran napas (Muharom dan Siswandi, 2015; Fubini dan Hubbard, 2003; Liu et al., 1996). Paru mempunyai sistem pertahanan antioksidan ekstraselular yang kuat untuk melindungi terhadap oksidasi yang berlebihan dari sel-sel epitel paru dan semakin besar jangkauan dan konsentrasi pertahanan antioksidan pada permukaan paru, semakin baik tingkat perlindungan terhadap oksidan dari polusi udara (Kelly, 2004; Kelly, 2003). Antioksidan pada paru berfungsi sebagai pertahanan lini pertama dikenal dengan istilah respiratory tract lining fluids (RTLF). Polusi lingkungan (pollutant ambient) pada saat masuk ke paru tidak
langsung berhubungan dengan sel epitel pernapasan, melainkan berhubungan langsung dengan RTFL (Kelly, 2004). Sistem pertahanan tubuh terhadap partikel yang terinhalasi meliputi tiga sistem pertahanan yang saling berkaitan dan bekerjasama yaitu a. garis pertahanan pertama adalah filtrasi mekanik udara inspirasi melalui saluran napas dan keefektivan filtrasi menentukan deposit partikel saluran napas. Reseptor saluran napas berperan dalam menimbulkan konstriksi otot polos bronkus terhadap iritasi kimia dan fisik, menurunkan penetrasi partikel dan gas berbahaya, dan mencetuskan bersin dan batuk. b. garis pertahanan kedua yaitu cairan yang melapisi saluran napas dan alveoli serta mekanisme bersihan silia. Cairan tersebut berfungsi sebagai barrier fisik dan kimia berisi bahan mempunyai sifat bakterisidal dan detoksifikasi. c. garis pertahanan ketiga adalah pertahanan spesifik paru. Proses untuk mengenali dan mengingat benda asing melalui mekanisme respon imun (Eisner dan Balmes, 2010; Djojodibroto RD, 2009) Debu TSP batu bata masuk saluran napas melalui mekanisme mucocilliary clearance yaitu membersihkan partikel-partikel debu yang melibatkan peran silia dan mukus mulai dari laring sampai bronkiolus terminalis. Produksi lendir yang meningkat akan mengganggu sistem transpor yang mengakibatkan penebalan dinding selaput lendir menyebabkan saluran napas terjadi obstruksi. Proses pertama kali terjadinya timbunan debu pada saluran napas ini melibatkan limfonodi dekat bronkiolus, adanya pembentukan antibodi antigen, dan respons sel memori ke paru. Proses selanjutnya terjadi migrasi sel PMN dari pembuluh darah masuk ke saluran napas hingga alveoli kemudian diikuti influx makrofag alveolar (Djojodibroto RD, 2009; Morgan, 1995). Pajanan partikel debu yang berulang terus menerus dan konsentrasi dalam jumlah besar akan direspons oleh sel-sel inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, edema mukosa, hiperaktiviti bronkus, dan peningkatan permeabilitas vaskular serta sekresi mukus sehingga akan mengakibatkan gangguan fungsi dan struktur paru. Berbagai faktor perancu berpengaruh terhadap terjadinya inflamasi pada saluran napas antara lain umur, jenis kelamin, pendidikan, riwayat alergi, status gizi, alat pelindung diri, lama kerja, dan masa kerja. Penambahan umur akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit terutama gangguan saluran napas. Status gizi merupakan keadaan tubuh
akibat konsumsi makanan dan zat gizi. Kekurangan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibodi mengakibatkan mudah terserang infeksi serta kemampuan tubuh akan mengalami penurunan terhadap perlawanan benda asing. Kebiasaan merokok akan mempengaruhi sistem pertahanan saluran napas dan menurunkan fungsi pembersihan terhadap partikel yang masuk ke saluran napas. Tingkat pendidikan mempengaruhi pengertian seseorang tentang kebiasaan hidup sehat seperti kebiasaan tidak merokok dan kebiasaan menggunakan APD untuk mencegah dan menurunkan pajanan debu batu bata. Kerangka konseptual secara ringkas terlihat pada gambar dua belas.
Total suspended particle
Debu batu bata
Penjamu: Umur Status gizi Jenis kelamin Pendidikan Riwayat alergi Kebiasaan merokok Kebiasaan menggunakan APD Masa kerja Lama kerja
Saluran napas Respiratory tract lining fluid Makrofag NF-κB
Reactive oxygen species
Mediator inflamasi IL-1β Gangguan saluran napas: 1. Hipersekresi mukus 2. Bronkokonstriksi 3. Edema mukosa 4. Peningkatan permeabilitas vaskuler Gangguan fungsi Foto toraks
Kelainan klinis: 1. Sesak napas 2. Batuk kronik 3. Berdahak kronik 4. Bronkitis kronik
Kelainan fungsi paru: 1. Restriksi 2. Obstruksi 3. Campuran 4. Normal
Spirometri
Kelainan foto toraks: 1. Fibrosis noduler 2. Corakan bronkovaskular 3. Normal KV KVP VEP1 VEP1/KVP
Gambar 12. Kerangka konseptual hubungan antara kadar TSP dengan kadar IL-1β serum akibat pajanan debu TSP pada pekerja pembuat batu bata. Keterangan: yang diteliti tidak diteliti
L. Hipotesis Ada hubungan pajanan debu TSP dengan kadar IL-1β serum pada pekerja pembuat batu bata.