BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Permukiman Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman dikatakan bahwa yang dimaksud dengan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. 2.1.1
Pengertian Permukiman Kata permukiman merupakan sebuah istilah yang tidak hanya berasal dari
satu kata saja. Apabila ditinjau dari strutur katanya, kata permukiman terdiri atas dua kata yang mempunyai arti yang berbeda, yaitu (Sastra dan Marlina,2006) : 1. Isi Isi mempunyai implementasi yang menunjuk kepada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya.
9
Universitas Sumatera Utara
2. Wadah Wadah menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Pendapat lain yang berbeda tentang pengertian permukiman adalah menurut Hadi (2001) dalam Usop (2003) permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada di dalamnya. Perumahan merupakan wadah fisik, sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya yakni manusia yang hidup bermasyarakat dengan unsur budaya dan lingkungannya. Permukiman berwawasan lingkungan merupakan permukiman yang mampu mengakomodasikan dan mendorong proses perkembangan kehidupan di dalamnya secara wajar dan seimbang dengan memadukan kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial. 2.1.2
Elemen Pembentuk Permukiman Sebuah rumah atau tempat tinggal merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar bagi manusia. Maslow dalam Sastra dan Marlina (2006) menyebutkan bahwa sesudah manusia terpenuhi kebutuhan jasmaninya yaitu sandang, pangan dan kesehatan, kebutuhan akan rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk pengembangan kehidupan yang lebih tinggi. Tempat tinggal pada dasarnya merupakan wadah bagi manusia atau keluarga dalam melangsungkan kehidupannya. Menurut Maslow dalam Sastra dan Marlina (2006) kebutuhan manusia menunjukan hierarki dari kebutuhan yang paling dasar /pokok hingga kebutuhan
10
Universitas Sumatera Utara
tingkat lanjut. Tingkat kebutuhan manusia terhadap hunian dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Survival Needs → hunian sebagai kebutuhan dasar manusia 2. Safety and Security Needs → hunian sebagai sarana perlindungan dan keselamatan 3. Affiliation Needs → hunian sebagai kebutuhan akan identitas pemiliknya dalam masyarakat 4. Esteem Needs → hunian berfungsi sebagai pengakuan atas jati diri dalam lingkungan masyarakat 5. Cognitive and Aesthetic Needs → hunian bukan sekedar berfungsi sebagai pengakuan atas jati diri pemiliknya tetapi juga sebagai sesuatu yang dapat dinikmati keindahannya bagi lingkungan sekitarnya. Pendapat lain tentang kebutuhan rumah adalah menurut Chander (1979) dalam Komarudin (1997) terdapat lima komponen kebutuhan rumah, yaitu : 1. Jumlah unit yang dibutuhkan untuk menurunkan kepadatan (backlog) 2. Rumah yang harus segera diganti (immediate replacement) 3. Rumah yang harus segera diganti sesuai dengan perencanaan (normal replacement) 4. Rumah yang dibutuhkan karena pertambahan penduduk (new households) 5. Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sejak tahun-tahun sebelumnya (fulfillment of housing deficit). Di dalam Sistem Permukiman, menurut Doxiadis (1968) dalam Goenmiandari, dkk (2010), permukiman adalah paduan antara unsur manusia dan
11
Universitas Sumatera Utara
masyarakatnya, alam dan unsur buatan. Semua unsur pembentuk permukiman tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi serta saling menentukan satu dengan lainnya. Lingkungan permukiman merupakan sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu (Doxiadis,1968 dalam Goenmiandari,dkk, 2010): a. Nature (unsur alam) , mencakup sumber-sumber daya alam seperti geologi, topografi, hidrologi, tanah, iklim, dan unsur hayati seperti vegetasi dan fauna. b. Man (manusia), mencakup segala kebutuhan pribadinya, seperti kebutuhan biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan dan persepsinya. c. Society (masyarakat), manusia sebagai bagian dari masyarakatnya. d. Shell (lindungan), tempat dimana manusia sebagai individu dan kelompok melakukan kegiatan dan kehidupannya. e. Network (jejaring), merupakan sistem alami atau yang dibuat manusia untuk menunjang berfungsinya lingkungan permukimannya, seperti jalan, jaringan air bersih, listrik, telepon, sistem persampahan dan lain sebagainya. Elemen permukiman meliputi manusia serta wadahnya (tempat) maka perlu memahami dengan baik hubungan antara elemen-elemen permukiman dengan manusia, yang saling mempengaruhi keberadaan satu dengan lainnya (Sastra dan Marlina,2006). Menurt Sastra dan Marlina (2006) proses pembentukan suatu permukiman dapat dilihat dari pemahaman tentang adanya realitas hubungan antar masing-
12
Universitas Sumatera Utara
masing tahapan dari proses pembentukan permukiman tersebut. Diagram proses terbentuknya permukiman sebagai berikut : Alam sebagai wadah → ada manusia → membentuk kelompok sosial yang berfungsi sebagai masyarakat. Kelompok sosial membutuhkan perlindungan → membuat bangunan → menjadi lingkungan besar dan kompleks → terbentuk Networks → terbentuk permukiman (Human Settlements).
Gambar 2.1 Diagram proses pembentukan permukiman Sumber : Sastra dan Marlina, 2006 2.1.3 Pola Permukiman Pola spasial permukiman menurut Wiriaatmadja (1981) dalam Citrayati, dkk, (2008) adalah: a. Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain, terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal ini disebabkan karena belum
13
Universitas Sumatera Utara
ada jalan besar, sedangkan orang-orangnya mempunyai sebidang tanah, yang selama suatu masa tertentu harus diusahakan secara terus menerus b. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, memanjang mengikuti jalan lalu lintas (jalan darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya; c. Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung; dan d. Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya. Sedangkan menurut Putra (2006) permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain: 1. Sub Kelompok Komunitas Pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok hunian. Memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya. Selain itu, pada pola ini berkembang dengan adanya kebutuhan lahan dan penyebaran unit-unit permukiman telah mulai timbul. Kecenderungan pola ini mengarah pada pengelompokkan unit permukiman terhadap suatu yang dianggap memiliki nilai ”penting” atau pengikat kelompok seperti ruang terbuka komunal dalam melakukan aktivitas bersama.
14
Universitas Sumatera Utara
Gambar. 2.2 Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas Sumber : Putra, 2006 2. Face to Face Pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya.
Gambar. 2.3 Pola Permukiman Face to Face Sumber : Putra, 2006 3. Linier Pola permukiman bentuk ini adalah suatu pola sederhana dengan peletakan unit-unit permukiman (rumah, fasum, fasos dan sebagainya) secara terus menerus
15
Universitas Sumatera Utara
pada tepi sungai dan jalan. Pada pola ini kepadatan tinggi, dan kecenderungan ekspansi permukiman dan mixed use function penggunaan lahan beragam.
Gambar. 2.4 Pola Permukiman Linier Sumber : Putra, 2006 Dibawah ini juga dapat dilihat pola dan tata letak pola permukiman dengan gambar-gambar sebagai berikut ( Putra, 2006) : 1. Pola Mengelompok Contoh pola mengelompok ini adalah daerah di tepi pantai atau danau, jarak antara perumahan dan tepi pantai ditanami pohon agar kelestarian lingkungan terjaga. Pada daerah muara, perumahan mengelompok di muara sungai, sedangkan kegiatan MCK terjadi di sepanjang sungai. Adapun arah pengembangannya adalah untuk menghindari pengembangan perumahan ke arah pinggir sungai. Terdapat pohon pelindung untuk menjaga kelestarian sungai, MCK di tarik ke arah darat.
16
Universitas Sumatera Utara
Gambar. 2.5 Pola Permukiman Mengelompok Sumber : Putra, 2006 2. Pola Menyebar Pada pola ini perumahan menyebar jauh dari fasilitas, adapun arah pengembangannya adalah dikelompokkan agar jangkauan fasilitas terpenuhi. Sedangkan pengembangan perumahan cenderung diarahkan ke darat.
Gambar. 2.6 Pola Permukiman Menyebar Sumber : Putra, 2006
17
Universitas Sumatera Utara
3. Pola Memanjang Pola ini menimbulkan gangguan keseimbangan alam. Adapun arah pengembangannya dikelompokkan agar fasilitas umum murah dan terjangkau. Terdapat jarak antara perumahan dengan sungai.
Gambar. 2.7 Pola Permukiman Memanjang Sumber : Putra, 2006 2.2 Budaya Bermukim Budaya menurut Rapoport (1969) didefinisikan sebagai cara hidup yang khas, serangkaian simbol dan kerangka pikir, dan cara beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Budaya menurut para antropolog berarti kemanusiaan, selanjutnya menurut Rapoport perubahan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya termasuk agama, pola hubungan kekeluargaan kelompok sosial, cara hidup dan beradaptasi dan hubungan antar individu. Budaya bermukim dapat diartikan sebagai segala kelakukan manusia (pola-pola tingkah laku) yang meliputi daya (cipta, karsa dan rasa) dan aktivitas yang menghubungkan dirinya dengan lingkungan, untuk mengolah dan mengubah
18
Universitas Sumatera Utara
alam dalam bermukim pada suatu lingkungan. Tingkah laku tersebut didasarkan pada pemahaman terhadap apa yang diketahui, dipikirkan, dan dipandang individu tentang dunia dan nilai-nilai yang terbentuk dan berkembang dalam komunitasnya (Sangalang, 2013) . Budaya bermukim adalah proses kehidupan dan artefak yang dihasilkan dalam mendiami suatu tempat dan merupakan ekspresi fisik dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan (Oliver,1987 dalam Sanggalang dan Adji,2014). Budaya bermukim berpengaruh pada cara pandang masyarakat. Rapoport (1969) mengatakan bahwa budaya akan selalu berubah sehingga makna bangunan maupun permukiman juga dapat berubah. Hanya saja perubahan tersebut tidaklah selalu terjadi secara serentak dan pada seluruh elemen ataupun tatanannya, akan tetapi (tetap akan) selalu dijumpai adanya unsur yang berubah dan yang tetap. Berdasarkan pandangan Rapoport (1969) di atas terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya zaman suatu budaya akan mengalami pergeseran, apabila budaya tersebut atau cara pandangan hidup telah berubah, maka berbagai bentuk aspek yang terkait di dalamnya menjadi berubah atau bahkan kehilangan fungsinya dan tidak berarti . Walaupun tidak terjadi perubahan secara keseluruhan dan tetap akan dijumpai berbagai elemen yang masih dipertahankan, hanya pada dasarnya
kecenderungan sifat manusia
untuk berubah lebih kuat dari pada
mempertahankan apa yang ada. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa setiap ada perkembangan selalu diiringin dengan perubahan, namun tetap ada aspek yang bertahan. Budaya berkaitan dengan ruang permukiman, Yi-Fu Tuan (1977) dalam Sasongko (2005) menyatakan untuk menjelaskan makna dari organisasi ruang
19
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks tempat (place) dan ruang (space) harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik, antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat berbeda maknanya. Selanjutnya manusia akan mengekspresikan dirinya pada lingkungan dimana dia hidup, sehingga lingkungan tempat tinggalnya akan diwujudkan dalam berbagai simbolisme sesuai dengan budaya mereka. Bagaimana manusia memilih tempat tertentu dan menggunakan berbagai kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berkomunikasi pada dasarnya merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat dalam kaitan dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan juga merupakan perwujudan budaya mereka (Locher, 1978 dalam Sasongko (2005). Menurut Keesing (1992) dalam Rochgiyanti (2011), budaya
sebagai
sistem adaptif. Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas manusia dengan lingkungan ekologi mereka. Kekerabatan juga dapat menjadi faktor penentu terhadap pembentukan permukiman atau rumah, karena sangat terkait dengan sebuah bentuk ikatan sosial, aturan-aturan yang bernuansa budaya dan religi, serta adanya kegiatan yang bersifat ekonomi (Lowi dalam Mulyati, 1995 dalam Citrayati,dkk, 2008). Hubungan
antara
kekerabatan
dalam
aspek
sosial-kultural
dan
permukiman sebagai perwujudan fisiknya, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut (Citrayati,dkk, 2008):
Kelompok kekerabatan mempengaruhi lokasi dan tata lahan/rumah sesuai dengan prinsip yang dianut
20
Universitas Sumatera Utara
Peran sosial antar kerabat mempengaruhi terbentuknya ruang-ruang yang mempengaruhi terbentuknya ruang-ruang yang menjadi sarana interaksi antar kerabat
2.2.1
Manusia, Kebudayaan, Perilaku dan Lingkungan Binaan Hubungan manusia dengan kebudayaan dapat dilihat dari konsep awal
tentang kebudayaan, yakni keseluruhan komplek yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat. Oleh sebab itu manusia disebut sebagai makhluk budaya. Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan rohani. Aktifitas kebudayaan berfungsi untuk memenuhi komplek kebutuhan naluri manusia (Malinowski dalam Koentjaraningrat, 1974 dalam Putra, 2006). Faktor dinamika rona lingkungan dipandang juga berpengaruh pada bentuk dan pola lingkungan binaan (Nurjannah,2008 dalam Andreas,dkk, 2014 ) . Hubungan dapat terjadi antara rona lingkungan dengan bentuk fisik lingkungan binaan, dimana rona lingkungan mempengaruhi bentuk fisik permukiman yang terbentuk oleh kondisi lingkungan serta kelompok masyarakat dengan budayanya (Rapoport,1969). Rapoport (1969) juga menganggap bentuk permukiman bukan merupakan hasil proses yang sederhana dari satu faktor penyebab saja, tetapi lebih merupakan konsekuensi menyeluruh dari faktor sosial budaya. Hubungan ini saling mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga kegiatan manusia dan lingkungannya mempunyai pola-pola yang mengatur keseimbangan alam. Rapoport (1969) menyatakan bahwa lingkungan binaan diciptakan untuk mewadahi perilaku yang diinginkan. Interaksi antar keduanya melahirkan suatu
21
Universitas Sumatera Utara
bentuk aktivitas, aktivitas yang terjadi tersebut dapat mengakibatkan perubahan diantaranya perubahan lingkungan dan perubahan perilaku. Lingkungan permukiman terbentuk bukan hanya dari hasil kekuatan fisik tetapi juga terkait dengan faktor-faktor sosial budaya yang ada di dalamnya. Rapoport (1969) mengemukakan bahwa faktor utama dalam proses terjadinya bentuk adalah budaya sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik dan ekonomi merupakan faktor pengubah (modifiying factor). Jadi dalam hal ini karakteristik lingkungan adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi terbentuknya tata ruang suatu permukiman dan arsitektur permukiman, selain faktor perilaku manusianya. Kawasan permukiman juga akan memiliki keunikan tersendiri yang terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spritualnya yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu daerah atau permukiman (Andreas, dkk, 2014). Pada dasarnya, kerangka pendekatan studi perilaku menekankan bahwa latar belakang manusia seperti pandangan hidup, kepercayaan yang di anut, nilainilai dan norma-norma yang di pegang akan menentukan perilaku seseorang yang antara lain tercemin dalam cara hidup dan peran yang dipilihnya di masyarakat (Rapoport , 1997 dalam Haryadi dan Setiawan, 2010).
22
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Hubungan antara Budaya, Perilaku, Sistem Aktivitas dan Sistem Seting Sumber : Rapoport, 1997 (diterjemahkan oleh Haryadi dan B.Setiawan) Terlihat dari gambar tersebut bahwa kerangka pendekatan ruang dari aspek perilaku menekankan pada faktor human agency, yakni keputusan setiap individu manusia atau sekelompok manusia untuk merumuskan pandangan-pandangannya terhadap dunia, merumuskan nilai-nilai kehidupan yang diyakini bersama, menjabarkan dalam kebiasaan hidup sehari-hari yang tertuang dalam system kegiatan dan wadah ruangnya (sistem seting). Dengan kata lain, motif-motif aktivitas manusia tidak sekedar dapat dipahami secara mekanistis sebagai respons terhadap stimuli-stimuli ekonomis atau biologis saja, melainkan mengandung makna dan symbol yang telah disepakati antar kelompok-kelompok manusia tertentu. Pendekatan ini menegaskan bahwa aspek psikologi manusia dan kultur suatu masyarakat akan menentukan aktivitas dan wadahnya (Sastra dan Marlina,2006).
23
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Pengaruh Budaya Terhadap Bentuk Hunian Menurut Rapoport (1980) dalam Goenmiandari, dkk, (2010) para antropolog setuju bahwa inti dari ‟budaya‟ adalah kemanusiaan. Sedangkan budaya itu sendiri didefinisikannya menjadi 3 maksud : a. Budaya sebagai cara hidup yang khas (a way of life) dari kelompok tertentu. b. Budaya sebagai suatu sistem simbol-simbol, arti dan kerangka pikir yang dikirim melalui kode-kode simbolik. c. Budaya sebagai satu set strategi-strategi beradaptasi untuk bertahan hidup dalam hubungannya dengan ekologi dan sumber daya. Menurut Turner (1990) dalam Usop (2003), fungsi rumah dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Rumah sebagai sebuah benda (House as A Noun) Rumah dilihat sebagai alat yang bisa diperjualbelikan, investasi dan sebagai barang komoditi. 2. Rumah sebagai suatu aktivitas (House as A Verb) Rumah dipandang sebagai tempat berlangsungnya proses bermukim yang terjadi dalam rumah, misalnya ada ayah, ibu, anak, makan, mandi dan lainlain. Jadi rumah tidak hanya dilihat sebagai benda mati (komoditi), namun merupakan proses bermukim, keberadaan manusia dalam menciptakan ruang kehidupan dilingkungan masyarakat dan alam sekitarnya.
24
Universitas Sumatera Utara
Menurut Rapoport (1969) dalam bukunya House Form and Culture mengatakan bahwa : ”The house, the village, and town express the fact societies share certain generally accepted goals and life values. The environment sought reflects many socio-cultural forces, including religious beliefs, family and clan structure, social organization, way of gaining livelihood, and social relation between individuals” Jadi perubahan rumah dan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya, termasuk agama, pola hubungan kekeluargaan, organisasi/ kelompok social, cara hidup dan beradaptasi sehari-hari dan hubungan sosial antar individu (Goenmiandar, dkk, 2010). Turner (1972) dalam Sanggalang dan Adji (2014) menyatakan bahwa yang terpenting dari hunian bukan wujudnya, melainkan dampak terhadap kehidupan penghuninya. Hunian tidak dapat dilihat sebagai bentuk fisik bangunan menurut standar tertentu (dweling unit), tetapi merupakan proses interaksi hunian dengan penghuni dalam siklus waktu. Konsep interaksi antara hunian dan penghuninya adalah apa yang diberikan hunian kepada penghuni, serta dilakukan penghuni terhadap huniannya. 2.3 Permukiman Bantaran Sungai Permukiman baik di dunia belahan barat maupun di timur kebanyakan bermula dari daerah sekitar air, entah itu sumber air, sungai, danau maupun laut (Mahatmanto, 2008 dalam Sanggalang dan Adji, 2014). Sungai merupakan awal terbentuknya permukiman kolektif dan akhirnya berkembang menjadi sebuah kota. Dalam studi standar spesifikasi teknis yang disusun Ditjen Cipta Karya Departemen PU (1998 : II-2) dalam Usop (2003) definisi permukiman di tepian 25
Universitas Sumatera Utara
sungai, ditinjau dari karakteristik permukiman beserta aspek-aspek yang mempengaruhi dan membentuknya adalah bangunan terapung atau panggung yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga, yang berada di atas badan perairan berupa sungai, danau, rawa ataupun pantai/laut dengan sifat seluruhnya ataupun sebagian selalu atau sewaktu-waktu berada di atas air apabila terjadi luapan air baik dari sungai, danau, dsb. 2.3.1 Peraturan Tentang Bantaran Sungai Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dikatakan bahwa sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan atu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggu sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai. Sedangkan garis sempedan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang di tetapkan sebagai batas pelindungan sungai. Garis sempadan pada sungai bertanggul di kawasana perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai ditentukan paling sedikit berjatak 3 m (tiga meter)
26
Universitas Sumatera Utara
dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m (dua puluh meter). Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d ditentukan paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) daritepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Sedangkan garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 100 m (seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai dan garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud ditentukan paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. 2.3.2 Karakteristik Permukiman Bantaran Sungai Rapoport (1969), dalam bukunya House Form and Culture, menjelaskan pengaruh dari topografi sebagai faktor yang menentukan pembangunan permukiman. Rapoport menyatakan bahwa ada dua pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih tempat permukimannya, yaitu fisik lingkungan alam setempat dan pilihan
sosial-budaya.
Kebudayaan
merupakan
unsur
non
fisik
yang
mempengaruhi wajah suatu kota. Kebudayaan merupakan hasil pemahaman manusia terhadap dirinya dengan unsur-unsur lain di luar dirinya. Rapoport (1969) kembali menegaskan bahwa, perubahan bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor tunggal lainnya, tetapi
27
Universitas Sumatera Utara
merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor budaya yang terlihat dalam pengertian
yang
luas.
Pembentukan
lingkungan
permukiman,
Rapoport
membaginya menjadi dua kelompok elemen dasar, yakni elemen fisik, seperti, kondisi iklim, metode konstruksi, material yang tersedia dan teknologi, dan elemen
socio-cultural. Menurut Rapoport
(1969) elemen
socio-cultural
merupakan elemen utama atau prima, sedangkan yang lain adalah elemen sekunder. Menurut Silas (1985) dalam Widyastomo (2011) suatu permukiman hendaknya mengikuti kriteria bagi permukiman yang baik, dengan memenuhi aspek fisik dan aspek nonfisik. Proses bermukim menjadi faktor pengikat antara masa dulu, kini dan masa akan datang dengan tujuan peningkatan kualitas hidup. Aspek fisik dan nonfisik saling mempengaruhi satu dengan yang lain sebagai wujud dari aspek-aspek yang tidak saling terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, kriteria atau karakteristik permukiman yang ideal adalah adanya pemenuhan aspek fisik dan non fisik di dalamnya berupa aspek sosial, budaya, ekologis dan fungisonal yang saling mempengaruhi, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup. 2.3.3 Pola Permukiman Bantaran Sungai Pola permukiman bantaran sungai umumnya adalah pola linier, karena berderet-deret sepanjang pinggiran sungai mengikuti bentuk sungainya. Di kota Banjarmasin pola permukiman pinggir sungainya juga berbentuk linear. Rumahrumah dibangun menghadap ke sungai dan pada tepian sungai terdapat dermaga yang dihubungkan dengan titian. Dermaga digunakan untuk menambatkan perahu
28
Universitas Sumatera Utara
sebagai satu-satunya alat transportasi pada saat itu serta digunakan sebagai sarana dalam memanfaatkan air sungai sebagai sumber air minum dan sanitasi (Daud, 1997 dalam Goenmiandari,dkk,2010). Menurut Iwan Suprijanto dalam Usop (2003) dalam makalah karakteristik spesifik, permasalahan dan potensi pengembangan kawasan permukiman perairan kota di Indonesia, proses pembentukan sebuah kawasan permukiman di awali dari : a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu :
Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu di suatu lokasi, yang kemudian menetap dan berkembang secara turuntemurun membentuk suatu klan/komunitas tertentu serta cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan tradisi dan nilainilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter dan ciri khas permukiman tersebut.
Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan kumuh perkotaan.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di perairan adalah :
Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu kelompok permukiman di atas air.
29
Universitas Sumatera Utara
Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya (kepentingan per- dagangan) maka kawasan perairan merupakan prasarana transportasi, dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang cenderung memanjang di pantai, di sungai, di danau (linier).
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin beragam).
c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata. d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3 (tiga), yaitu :
Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;
Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola grid atau linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai;
Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan perairan.
30
Universitas Sumatera Utara
e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi kegiatan berbasis perairan. Perkembangan selanjutnya orientasi kegiatan ke darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas. f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan atas: - Bangunan di atas tanah; - Bangunan panggung di darat; - Bangunan panggung di atas air; - Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang dijumpai); Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern, sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing. g. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana, tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh angin, tsunami, gempa, dll.
31
Universitas Sumatera Utara
2.4 Diagram Kepustakaan Pengaruh Sungai Terhadap Permukiman
Permukiman Sastra & Marlina, 2006; Abraham Maslow; Doxiadis, 1968; Rapoport, 1969; Habraken, 1978; Wiriaatmajda, 1981; Putra, 2006 Permukiman Bantaran Sungai Mahatmanto, 2008; Sanggalang & Adji, 2014; usop,2003
Karakteristik & Pola Permukiman Bantaran Sungai Rapoport, 1969; Silas, 1985; Rrapoport, 1982; Usop, 2003
Budaya Bermukim Rapoport, 1969; Papageorgeou, 1969 Yi-Fu Tuan, 1977; Lowi, 1995 Manusia, Kebudayaan, Perilaku & Lingkungan Binaan Koentjaraningrat, 1974; Rapoport, 1969; Haryadi & Setiawan, 2010 Budaya dan Bentuk Hunian Rapoport, 1980; Rapoport, 1969; Turner, 1972; Turner 1990
Permukiman Masyarakat di Pinggiran Sungai Gambar 2.9 Diagram Kepustakaan (Literature Map) Sumber : Peneliti, 2015 2.5 Studi Kasus Sejenis 2.5.1
Permukiman Tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya ( Noor Hamidah, R. Rijanta, Bakti Setiawan dan Muh. Aris Marfai, 2014) Peranan
sungai
dalam
kehidupan
sehari-hari
terus
berkembang,
pertumbuhan permukiman awal disebut ”kampung” berkembang membentuk kota terletak di sepanjang DAS. Keunikan ”Kampung” di sepanjang DAS merupakan
32
Universitas Sumatera Utara
fokus penelitian, sedangkan Locus penelitian ialah permukiman tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya. Tujuan penelitian ialah melihat model permukiman ”kampung” tepian sungai mampu memberikan ruang hidup bagi mayoritas masyarakat Indonesia di perkotaan, terutama masyarakat yang bermukim di sepanjang tepian sungai. Pendekatan penelitian yaitu pendekatan pola spasial permukiman tepian Sungai Kahayan memiliki keunikan fisik yaitu rumah lanting (Raft House) dan rumah Panggung (Pillar House) berada diatas air, secara umum berbeda dengan topografi rumah yang dibangun diatas tanah, pola sirkulasi (titian kayu), dan dermaga sebagai ruang publik warga. Penghuni permukiman Rumah lanting (Rafting Houses) dan penghuni Rumah Panggung (Pillar houses) merupakan penduduk asli Suku Dayak dan Suku Banjar. Permukiman ini memiliki peranan dalam perkembangan kota, bila dilihat dari pertumbuhan kawasan permukiman di Indonesia kebanyakan kota-kota berlokasi di kawasan tepian sungai. Seiring perkembangan saat ini kota-kota tepian sungai ini cenderung hanya di lihat sebagai kota tua yang tidak tertata dengan baik dalam pembangunan kota. Berdasarkan hasil pengamatan penelitian terdapat dua aspek penting dalam pengembangan bentuk hunian tepian sungai, yaitu: a) aspek fisik; dan b) aspek non fisik pendukung kawasan permukiman. Aspek fisik meliputi: 1. daerah aliran sungai 2. model permukiman kawasan tepian sungai 3. pola sirkulasi Lokal
33
Universitas Sumatera Utara
4. sarana dan prasarana kawasan permukiman tepian sungai Faktor-faktor yang mempengaruhi non fisik kawasan permukiman tepian sungai antara lain: (1) faktor ekonomi; dan (2) faktor sosial; dan (3) faktor budaya sungai.
Gambar 2.10 Struktur dan Pola Kota Tepian Sungai Kalimantan Sumber: Prayitno, 2005
Pola menyebar
Pola Linier Pola
Linier Konfigurasi
Gambar 2.11 Ragam Pola Sirkulasi Pada Objek amatan Sumber : Hamidah, 2013 2.5.2
Perubahan Pola Permukiman Suku Sentani di Pesisir Danau Sentani (Deasy Widyastomo, 2011) Permukiman tradisional suku Sentani terbentuk oleh budaya dan
karakteristisk suku Sentani yang unik. Permukiman Kampung Ifale suku Sentani berada di pesisir Danau Sentani dan berorientasi terhadap danau sebagai eksistensi
34
Universitas Sumatera Utara
kehidupan. Keberadaan masyarakat suku Sentani di Danau Sentani telah melangsungkan kehidupan sejak terjadinya perang suku zaman nenek moyang dan sampai saat ini masih tetap berkehidupan di pesisir Danau Sentani dalam usaha mempertahankan kehidupan yang berkelanjutan. Permukiman dan perumahan suku Ifale Sentani berada di Kampung Hobong yang terbentuk dari kesatuan tiga kelompok kekerabatan yang berbeda yaitu Asei, Ifale dan Ifar Besar. Dalam kehidupan bersama tetap menjaga tradisi yang dilakukan secara turun temurun dengan menyesuaikan kondisi yang baik dirumah maupun di lingkungannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan pola permukiman tradisional suku Sentani di Danau Sentani, dan pengaruhnya terhadap pola hidup masyarakat tradisional. Hasil penelitian menunjukkan analisa kualitas permukiman dan lingkungan, analisa kekhasan fisik permukiman dan analisa perubahan permukiman tradisional mempengaruhi perubahan pola hidup masyarakat ditunjukkan adanya perubahan pola permukiman yang dipengaruhi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang merubah pola hidup masyarakat dari cara hidup komunal menjadi individual dan adanya perubahan permukiman tradisional suku Sentani dari berbentuk linier manjadi menyebar. Perubahan pola hidup dilakukan untuk meningkatkan eksistensi hidup masyarakat suku agar dapat bersaing dalam kehidupan bermasyarakat dan membawa masyarakat menuju kehidupan masyarakat yang berkelanjutan.
35
Universitas Sumatera Utara