4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Surian (Toona sinensis Roemor) Surian yang termasuk dalam family Meliaceae adalah jenis kayu yang tergolong light-weight hardwood. Jenis kayu ini dikenal dalam perdagangan di Perancis, Belanda, Jerman dan Spanyol sebagai kayu toona (Pandit & Wibowo 2011). Surian di Jawa dikenal dengan nama Suren sabrang, di Karo dikenal dengan nama Ingul batu dan di Sunda dikenal dengan Surian beureum atau Ki beureum (Heyne 1987). Pohon Surian memiliki ukuran besar, pertumbuhan cepat dan kayunya berkualitas. Hampir keseluruhan bagian dari pohon Surian termasuk biji, kulit batang, kulit akar, tangkai, dan daun memiliki khasiat obat. Pohon Surian secara luas digunakan sebagai obat, kulit batangnya dijadikan obat demam, kencing manis dan penyakit gondok, tepung dari akarnya digunakan sebagai penyegar dan diuretik dan daun mudanya digunakan sebagai obat kembung (Shu 2008 & Sangat et al. 2000). Surian memiliki tinggi hingga 40 m, tinggi bebas cabangnya hingga 20 m, diameter pada dbh (diameter at breast height) mencapai 1,5 m, memiliki banir dan kulit luar berwarna kelabu kemerahan, tidak beralur dan kadang mengelupas kecil (Pandit & Wibowo 2011). Warna teras kayu Surian merah seperti daging sapi muda, kadang merah keunguan sampai coklat, warna gubalnya tidak begitu berbeda dengan terasnya, tetapi gubalnya berwarna lebih terang. Lumen sel pembuluh sering berisi deposit merah kecoklatan (Pandit & Wibowo 2011). Kulit luarnya (outer bark) pecahpecah dan berwarna abu-abu hingga cokelat hitam, kulit dalam (inner bark) memiliki serat dan warnanya jingga hingga merah, kayu gubalnya berserat, warnanya putih kemerahan dan berbau tajam seperti bawang putih dan merica. Gubal kayu Surian berwarna kemerahan, tekstur kayu kasar mempunyai struktur liang bergelang dengan ira yang bersimpul atau beralun (Shu 2008).
5
2.2 Pewarna Makanan Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/88 No. 1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan. Dua jenis zat pewarna makanan berdasarkan sumbernya yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis (Cahyadi 2008). Hasil penelitian Soleh (2003) menunjukan bahwa dari 25 sampel makanan dan minuman yang beredar di Bandung, terdapat lima sampel yang positif mengandung zat pewarna yang dilarang, yaitu rhodamin B. Hasil penelitian Cahyadi (2008) menunjukan dari 251 jenis minuman, sebanyak 14,5 % di Bogor, 17 % di Rangkasbitung, sedangkan kota-kota kecil dan desa-desa 24 % minumannya mengandung rhodamin B. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil (penyumbang warna hijau), mioglobin dan hemoglobin, flavonoid (antosianin, penyumbang warna merah, orange, ungu dan biru), tannin, betalain, quinon dan xanthon, serta karotenoid (penyumbang warna kuning kemerahan, yang larut dalam lemak) (Pitozo & Zumiati 2009). Pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi, seperti karotenoid, riboflavin, kurkumin dan cabalamin (MacDougall 2002). Pigmen antosianin yang tergolong kelompok flavonoid merupakan pigmen yang paling luas dan penting karena banyak tersebar pada berbagai organ tanaman. Antosianin akan berubah warna seiring dengan perubahan nilai pH. Antosianin pada pH tinggi cenderung berwarna biru atau tidak berwarna, kemudian cenderung berwarna merah pada pH rendah (Deman 1997). Senyawa ini merupakan sekelompok zat warna berwarna kemerahan yang larut dalam air. Pigmen yang berwarna kuat ini adalah penyebab hampir semua warna merah, orange, ungu dan biru. Antosianin berperan sebagai pewarna alami makanan dan memiliki kandungan yang mempunyai fungsi fisiologis, yaitu selenium dan iodin sebagai substansi antikanker dan sebagai antioksidan (MacDougall 2002).
6
2.3 Zat Ekstraktif dan Senyawa Antioksidan Alami Zat ekstraktif adalah zat hasil metabolisme sekunder. Senyawa fenol yang merupakan salah satu zat ekstraktif kayu ternyata berpotensi untuk digunakan sebagai obat atau untuk pengembangan obat generasi terbaru. Falah et al. (2008) dalam Pratama (2010) menemukan flavonoid yang bersifat antioksidan dari bagian kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla). Antioksidan merupakan satu dari beberapa hal yang penting untuk mencegah atau penghambat dari serangan penyakit berbahaya seperti kanker, liver, katarak dan penyakit lainnya (Omaye 2004). Menurut Indrayanto (2006) dalam Rahmawan (2011), tumbuhan menghasilkan zat ekstraktif yang berpotensi sebagai obat, zat perwarna, penambah aroma makanan, parfum dan insektisida. Sjostrom (1998) menyatakan bahwa zat ekstraktif mudah diekstrak dengan pelarut organik atau air. Senyawa antioksidan alami dapat diperoleh dari berbagai tumbuhan. Sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna umumnya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi. Menurut Charlampos et al. (2008) dalam Pratama (2010), senyawa kimia yang tergolong antioksidan yang berasal dari tumbuhan antara lain dari golongan flavonoid (antosianin), polifenol, vitamin C, vitamin E dan karotenoid. Harbone (1987) menyatakan bahwa flavonoid terdiri dari 10 jenis yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon. Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dan beberapa penelitian menunjukan bahwa antosianin dan klorofil tidak toksik dan aman untuk kesehatan. Penelitian toksisitas oral subkronik sudah dilakukan dan tidak menunjukan sifat berbahaya. Antosianin dan turunan flavonoid memiliki manfaat yang sangat luas dalam bidang kesehatan, seperti antikarsinogenik (antiracun), antiradang, antihepatoxic, antibakteri, antivirus, antialergi, antithrombotik dan antioksidan. Begitu juga klorofil merupakan antitumor, antikanker, antimutagenik yang efektif dan biasa digunakan sebagai suplemen diet (MacDougall 2002). Menurut Cervellati (2008), kandungan antioksidan dari 11 spesies botani digunakan dalam tradisi Sardinia sebagai minuman teh atau sebagai ramuan untuk tujuan pengobatan dievaluasi dengan menggunakan metode in vitro yang berbeda (BR, TEAC, DPPH dan FC). Kintzios et al. (2010) menyelidiki aktivitas
7
antioksidan ekstrak metanol dan air aksesi Slovenia dari empat spesies tanaman obat, yaitu Salvia officinalis, Achillea millefolium, Origanum vulgare subsp. Vulgare dan Gentiana lutea dengan menggunakan metode DPPH. Hasil penelitian Aktumsek et al. (2011) menunjukkan bahwa spesies Centaurea dapat digunakan sebagai sumber baru antioksidan alami dan asam lemak tak jenuh untuk makanan, industri kosmetik dan farmasi.
2.4 Penyulingan Minyak Atsiri Penyulingan minyak atsiri adalah ekstraksi minyak atsiri dari tanaman penghasil minyak atsiri dengan bantuan uap air. Uap yang dihasilkan selanjutnya dikondensasikan sehingga menjadi cairan berair dan minyak atsiri, yang selanjutnya dapat dipisahkan karena keduanya memisah menjadi dua fase yang berbeda pada wadah penampung kondensat, yaitu fase air dan fase minyak. Metode penyulingan minyak atsiri terbagi menjadi metode penyulingan dengan air, metode penyulingan air dan uap, dan metode penyulingan uap. Penerapan penggunaan metode tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti jenis bahan baku tanaman, karakteristik minyak, proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi minyak akibat efek panas, efisiensi produksi dan alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi (Guenther 1988). Penyulingan dengan air dan uap biasa dikenal dengan sistem kukus. Cara ini sebenarnya mirip dengan sistem rebus, hanya saja bahan baku dan air tidak bersinggungan langsung karena dibatasi dengan saringan diatas air. Cara ini adalah yang paling banyak dilakukan pada dunia industri karena cukup membutuhkan sedikit air sehingga dapat mempersingkat waktu proses produksi. Metode kukus ini biasa dilengkapi sistem kohobasi yaitu air kondensat yang keluar dari separator masuk kembali secara otomatis ke dalam ketel agar meminimkan kehilangan air. Bagaimanapun biaya produksi juga diperhitungkan dalam aspek komersial (Agus 2005). Sistem kukus kohobasi lebih menguntungkan oleh karena terbebas dari proses hidrolisa terhadap komponen minyak atsiri dan proses difusi minyak dengan air panas. Selain itu, dekomposisi minyak akibat panas akan lebih baik dibandingkan dengan metode uap langsung (direct steam dstillation). Metode
8
penyulingan dengan sistem kukus ini dapat menghasilkan uap dan panas yang stabil oleh karena tekanan uap yang konstan (Agus 2005).
2.5 Toksisitas Akut Pengujian toksisitas suatu senyawa dibagi menjadi dua golongan yaitu uji toksisitas umum dan uji toksisitas khusus. Uji toksisitas umum merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas umum meliputi pengujian toksisitas akut, subakut, subkronik dan kronik. Pengujian toksisitas khusus merupakan uji toksisitas yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada hewan uji. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenic, teratogenik, reproduksi, kulit, mata dan tingkah laku (Loomis 1996). Toksisitas yang ditimbulkan dapat bersifat dapat pulih kembali (reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible) (Donatus 2001). Uji toksisitas akut penting dilakukan untuk mengetahui dosis yang aman digunakan oleh manusia. Dosis aman perlu diketahui karena mengingat adanya senyawa toksik pada tumbuhan yang dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi melebihi takaran. Pada dasarnya semua obat dapat bersifat toksik, tergantung besarnya dosis yang diberikan. Efek toksik biasanya tercapai apabila suatu rangsangan mencapai suatu nilai tertentu sehingga timbul mekanisme biologis yang nyata. Menurut Imono (2001), besar rangsangan sebanding dengan besar konsentrasi agen pada receptor site. Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik atau racun yang terdapat dalam suatu sediaan atau campuran bahan. Uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan hanya satu kali (Hodgson et al. 1999). Data yang dikumpulkan dalam uji toksisitas akut adalah data kuantitatif berupa kisaran dosis letal dan data kualitatif yang berupa gejala klinis. Pada dasarnya tidak ada satu hewan pun yang sempurna untuk uji toksisitas akut yang nantinya akan digunakan oleh manusia. Walaupun tidak ada aturan tetap yang mengatur pemilihan spesies hewan coba, yang lazim digunakan pada uji toksisitas
9
akut adalah tikus, mencit, marmut, kelinci, babi, anjing dan monyet. Pada awalnya, pertimbangan dalam memilih hewan coba hanya berdasarkan ketersediaan, harga dan kemudahan dalam perawatan. Namun,
seiring
perkembangan zaman tipe metabolisme, farmakokinetik dan perbandingan catatan atau sejarah avaibilitas juga ikut dipertimbangkan. Hewan yang paling sering digunakan adalah mencit dan tikus (Casarett & Doull’s 1986). Respon berbagai hewan percobaan terhadap uji toksisitas dapat berbeda. Umumnya hal ini disebabkan oleh perbedaan anatomi dan fisiologis, variasi dalam sifat keturunan, umur dan kondisi tubuh. Dosis letal 50 (LD50) adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik untuk menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik pada 50% hewan coba setelah perlakuan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain spesies, galur, jenis kelamin, umur, berat badan, kesehatan nutrisi dan isi perut hewan coba serta lingkungan. Teknis pemberian juga mempengaruhi hasil, yaitu meliputi waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban dan sirkulasi udara. Selain itu, kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Oleh karena itu, faktor-faktor ini harus diperhatikan sebelum penelitian dimulai. Omaye (2004) membagi tingkat ketoksikan akut per oral ke dalam beberapa kelas seperti tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi toksisitas akut Kelas
LD50 (mg/kg BB)
luar biasa toksik
≤1
sangat toksik
5 – 50
cukup toksik
50 – 500
sedikit toksik
500 – 5000
praktis tidak toksik
5000 – 15000
relatif tidak berbahaya
>15000
Sumber : Omaye (2004) Penentuan LD50 dapat dihitung dengan menggunakan cara grafik maupun cara aljabar. Beberapa metode yang umum dipakai untuk menentukan LD50 adalah
10
metode Trevan, metode perhitungan cara Grafik (Graphical Calculation) Miller dan Tainter, metode Aritmatik Reed dan Muench, metode Karber, metode perhitungan secara grafik Litcjfield dan Wilcoxon, dan metode Thomson dan Weil (Manggung 2008). Metode Aritmatik Reed dan Muench menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai adalah bahwa seekor hewan yang mati oleh dosis tertentu akan mati juga oleh dosis yang lebih besar, sedangkan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah.
2.6 Mencit (Mus musculus albinus) Mencit merupakan salah satu hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Mencit dipilih karena dianggap cukup mampu mewakili kelas mamalia, kelas yang termasuk didalamnya yaitu manusia sehingga sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, ekskresi dan lain-lain sudah menyerupai manusia. Jadi, dengan meneliti mencit, anatomi manusia dapat dipahami. Tikus dan mencit dinilai cukup efisien untuk digunakan dalam penentuan LD50 karena murah, mudah didapat, tidak memerlukan tempat yang luas dan mudah ditangani (Lu & Kacew 2006). Selain itu, banyak data toksikologi tentang jenis hewan ini, hal ini mempermudah perbandingan toksisitas zat-zat kimia. Sistem taksonomi mencit menurut Malole et al. (1989) dalam Manggung (2008) adalah :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Sub Spesies
: Mus musculus albinus
11
Menurut Mangkuwidjodjo dan Smith (1988) dalam Manggung (2008), biologis dan fisiologis mencit adalah sebagai berikut : berat dewasa mencit ratarata 18-35 g, berat lahir 0.5-1.0 g, suhu raktal antar 35-39⁰C, pernapasan 140-180 kali/menit, denyut jantung antara 600-650 kali, umur sapih 21 hari, sedangkan umur dewasa 35 hari. 2.7 Tingkat Kesukaan Masyarakat Penilaian dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini banyak disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif. Salah satu uji sensoris yang sering dilakukan adalah uji kesukaan. Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pengujian ini umumnya digunakan untuk mengkaji reaksi konsumen terhadap suatu bahan. Skala nilai yang digunakan dapat berupa nilai numerik dengan keterangan verbalnya, atau keterangan verbalnya saja dengan kolom yang dapat diberi tanda oleh panelis. Skala nilai dapat dinilai dalam arah vertikal atau horizontal (Kartika 1988). Menurut Soekarto (1986), panelis agak terlatih adalah mahasiswa atau staf peneliti sebanyak 15-25 orang yang mengetahui sifat-sifat sensorik dari yang contoh yang dinilai melalui penjelasan sekedarnya.