BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sukun (Artocarpus communis) Sukun merupakan suatu jenis tumbuhan yang tumbuh di daerah tropik. Tanaman ini tumbuh baik di daerah basah, tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan ada air tanah dan aerasi tanah yang cukup (Gambar 1). Di musim kering, di saat tanaman lain tidak dapat atau merosot produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat (Anonymous 2007 dalam Ramadhani 2009). Tanaman sukun memiliki khasiat terapeutik pada beberapa bagian diantaranya; bagian bunga dapat digunakan sebagai obat sakit gigi, kulit kayu dapat digunakan untuk mencairkan darah bagi wanita setelah melahirkan, sedangkan pada bagian daun dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit, jantung, ginjal maupun digunakan sebagai obat radang (Heyne 1987 dalam Sulistyaningsih et al. 2009). Kunyahan daun sukun muda, sering digunakan untuk menetralisir kandungan racun dalam makanan (Siemonsma dan Pileuk 1992).
Gambar 1. Pohon, daun dan buah sukun Sumber : www.en.wikipedia.org
5
6
Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) klasifikasi sukun adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Class Ordo Familia Genus Spesies
: Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Urticales : Moraceae : Artocarpus : Artocarpus communis
2.1.1 Morfologi Sukun Artocarpus communis (sukun) adalah tumbuhan dari genus Artocarpus dalam famili Moraceae yang banyak terdapat di kawasan tropik seperti Malaysia dan Indonesia. Ketinggian tanaman ini bisa mencapai 20 meter (Mustafa 1998). Di pulau Jawa tanaman ini dijadikan tanaman budidaya oleh masyarakat. Buahnya terbentuk dari keseluruhan kelopak bunganya, berbentuk bulat atau sedikit bujur dan digunakan sebagai bahan makanan alternatif (Heyne 1987). Kulit buahnya berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak berbentuk poligonal. Segmen poligonal ini dapat menentukan tahap kematangan buah sukun (Mustafa 1998).
2.1.2 Kandungan Kimia Daun Sukun Daun sukun mengandung beberapa zat berkhasiat seperti saponin, polifenol, asam hidrosianat, asetilcolin, tanin, riboflavin, phenol. Daun ini juga mengandung
quercetin,
champorol
dan
artoindonesianin.
Dimana
artoindonesianin dan quercetin adalah kelompok senyawa dari flavonoid (Soemyarso dan Noer 2004 dalam Ramadhani 2009). Daun sukun memiliki kandungan kimia antara lain saponin, polifenol, tanin, asam hidrosianat, asetilkolin, riboflavin sedangkan kulit batangnya mengandung flavonoida. Daun sukun yang telah kuning mengandung fenol, kuersetin dan kamferol (Depkes RI, 1979 dalam Sulistyaningsih et al. 2009). Getah sukun secara tradisional digunakan untuk obat sakit kulit, getah yang dilarutkan dipercaya dapat mengatasi diare. Rebusan daun sukun berkhasiat
7
menurunkan tekanan darah dan mengurangi asma. Air perasan daun sukun untuk obat tetes mata, sedangkan abu daun yang dibakar untuk menyembuhkan infeksi kulit. Jadi, seluruh bagian pohon sukun ada manfaatnya (Widowati 2004). Tanin bekerja dengan mengadakan komplek hidrofobik dengan protein, menginaktivasi adhesin, enzim, dan protein transport dinding sel, sehingga mengganggu pertumbuhan mikroorganisme (Hashem dan El-Kiey 2002). senyawa flavanoid diduga berfungsi sebagai bahan kimia untuk mengatasi serangan penyakit (sebagai antimikroba atau antibakteri) bagi tanaman (Anonymous 2008 dalam Ramadhani 2009).
2.2 Klasifikasi dan Anatomi Ikan Mas Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan memanjang pipih kesamping dan lunak. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920. Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan ikan mas yang dibawa dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten dan Majalaya merupakan hasil seleksi di Indonesia (Gambar 2).
Gambar 2. Ikan Mas (Cyprinus carpio) Sumber : www.kkp.go.id
Klasifikasi ikan mas menurut Suseno (1994) adalah sebagai berikut : Filum Sub filum Induk kelas Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Pisces : Osteichthyes : Actinopterygii : Cypriniformes : Cyprinoidae : Cyprinidae : Cyprinus : Cyprinus carpio
8
Sampai saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau strain. Terdapat beberapa strain ikan mas Indonesia, namun sejauh ini belum banyak diteliti dan diidentifikasi secara ilmiah (FAO Fishery Statistics 2002). Beberapa strain ikan mas yang dibudidayakan di Indonesia, antara lain ikan mas Punten, ikan mas Majalaya, ikan mas Sinyonya, ikan mas Taiwan dan ikan mas Koi. Perbedaan sifat dan ciri ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warna (Choirul 2008). Ikan mas mempunyai bentuk tubuh yang agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian ujung mulut memiliki dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharyngeal teeth) yang tersusun dari tiga baris gigi geraham. Secara umum, hampir seluruh tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Sisik ikan mas berukuran relatif besar dan digolongkan dalam sisik tipe sikloid (Sudenda 2002). Selain itu, tubuh ikan mas juga dilengkapi dengan sirip. Sirip punggung (dorsal) berukuran relatif panjang dengan bagian belakang berjari-jari keras dan sirip terakhir, yaitu sirip ketiga dan keempat, bergerigi. Letak permukaan sirip punggung berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur (anal) yang terakhir bergerigi. Gurat sisi (Linea lateralis) terletak dipertengahan tubuh, melintang dari tutup insang ke ujung belakang pangkal ekor (Lentera 2002). Ikan mas hidup diperairan tenang, seperti rawa, sungai yang tidak berarus deras, situ, danau dan perairan tenang lainnya. Suhu air yang ideal untuk pertumbuhan ikan mas berkisar 25-280C (Lentera 2002), derajat keasaman (pH) antara 6,5-9 dan kandungan oksigen terlarut > 4mg/L (Boyd dan Claud 1990 dalam Suharni 2006), kadar amoniak kurang dari 0,6 mg/L (Wedemeyer 1996 dalam Hudanullah 2010). Ikan mas dapat mulai dipijahkan pada umur 1,5-3 tahun. Pada induk betina mencapai umur 1,5 tahun atau mencapai bobot 1,5 kg dan induk jantan pada umur lebih dari 6 bulan atau telah mencapai bobot tubuh minimal 2,5 kg. Secara umum ikan mas mempunyai sifat-sifat sebagai hewan air omnivora yang lebih condong
9
ke sifat hewan karnivora (Suseno 1994). Jenis makanan yang dimakan berupa jasad-jasad organik yang berada di dasar permukaan kolam. Berdasarkan kebiasaan makan tersebut ikan mas digolongkan ke dalam “bottom feeder” atau pemakan dasar (Susanto 1987).
2.3 Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Penyakit pada ikan umumnya terjadi setelah ikan mengalami gangguan non parasiter. Gangguan ini biasanya menjadi penyebab primer antara lain kerusakan fisik, kekurangan gizi, berkurangnya kualitas air dan sanitasi lingkungan yang buruk. Faktor-faktor yang dapat mempercepat berjangkitnya suatu wabah penyakit ikan di daerah perikanan diantaranya kondisi tubuh ikan yang lemah akibat kekurangan pakan, pemberian pakan tidak tepat, serta padat penebaran terlalu tinggi. Usaha pertama untuk mencegah serangan hama dan penyakit pada budidaya ikan adalah tetap menjaga ikan berada dalam kondisi sehat (Daelami 2002). Jenis bakteri penyebab penyakit yang sering menimbulkan kerugian dalam usaha budidaya ikan yaitu Aeromonas hydrophila, Aeromonas hydrophila merupakan penyebab penyakit bercak merah atau MAS (Motile Aeromonas Septicemia), ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, lokal hemorhagi atau pendarahan terutama pada insang, borok, abses, exopthalmia dan perut kembung (Austin dan Austin 1993). Sumber penularan bakteri Aeromonas hydrophila adalah ikan, organisme lain, air dan lumpur yang mengandung bakteri ini (Sarono et al. 1993). Selain itu beberapa faktor yang mendorong timbulnya penyakit oleh bakteri ini dan memperparah kondisi antara lain kepadatan ikan, suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, rendahnya oksigen terlarut dalam air sehingga menyebabkan penyakit secara bersama-sama dengan bakteri Aeromonas hydrophila yang lain, misalnya Aeromonas salmonicida. Selain itu ciri-ciri lainnya adalah pendarahan pada tubuh, sisik terkuak, borok, nekrosis, busung, dan juga ikan lemas sering di permukaan atau dasar kolam (Dana dan Angka 1990).
10
2.3.1 Bakteri Aeromonas hydrophila Aeromonas
hydrophila
menyebakan
penyakit
Motile
Aeromonas
Septicemia (MAS) atau sering disebut juga penyakit bercak merah. Bakteri ini menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy) dan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian tinggi (80-100%) dalam waktu 1-2 minggu (Purwaningsih 2007). Infeksi Aeromonas hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stress, perubahan temperatur, air yang terkontaminasi dan ketika host tersebut telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh karena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley et al. 1985). Klasifikasi Aeromonas hydrophila (Holt et al. 1998) adalah sebagai berikut: Filum : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Pseudanonadeles Famili : Vibrionaceae Genus : Aeromonas Species : Aeromonas hydrophila
Gambar 3. Bakteri Aeromonas hydrophila Sumber: www.articles.latimes.com
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri heterotrof uniselular, tergolong protista prokariot yang dicirikan dengan adanya membran yang memisahkan inti
11
dengan sitoplasma. Bakteri ini biasanya berukuran 0,7-1,8 µm x 1,0-1,5 µm dan bergerak menggunakan sebuah polar flagel (Kabata 1985). Hal ini diperkuat oleh Krieg dan Holt (1984) yang menyatakan bahwa Aeromonas hydrophila bersifat motil dengan flagela tunggal di salah satu ujungnya. Bakteri ini berbentuk batang sampai dengan kokus dengan ujung membulat, fakultatif anaerob, dan bersifat mesofilik dengan suhu optimum 20-300C (Kabata 1985). Aeromonas hydrophila patogen juga memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui aktifitas adhesins (Austin dan Austin 1993). Adhesins ini bersifat sangat selektif, hanya mampu mengenali rantai polimer D-mannosa dan L-sucosa yang terletak pada permukaan sel eukariot. Dengan menempelnya Aeromonas hydrophila pada permukaan sel inang, kemungkinan besar sel inang tersebut akan terinfeksi (Austin dan Austin 1993). Di dalam tubuh hewan seperti ikan, bakteri ini dapat menempel melalui benang-benang sel yang memiliki mukosa penerima. Aeromonas hydrophila yang telah masuk kedalam tubuh ikan akan menjalar ke seluruh tubuh inang melalui aliran darah inangnya. Benang-benang fimbriae (pili), yang dapat membantu bakteri ini masuk kedalam tubuh inangnya. Bakteri ini akan membentuk koloni dalam tubuh inang dan bereproduksi secara aseksual, tetapi bakteri ini tidak dapat mereproduksi spora (Slonczewski 2001 dalam Afizia 2010). Sebagian besar isolat Aeromonas hydrophila mampu tumbuh dan berkembangbiak pada suhu 370C dan tetap motil pada suhu tersebut (Austin dan Austin 1993). Disamping itu, bakteri Aeromonas hydrophila mampu tumbuh pada kisaran pH 4,7-11. Aeromonas hydrophila resisten terhadap chlorine serta suhu yang dingin tetapi setidaknya hanya dalam waktu 1 bulan (Krieg dan Holt 1984). Aeromonas hydrophila hidup pada lingkungan aerob dan anaerob, maupun pada fase fermentasi glukosa. Aeromonas hydrophila dapat mencerna gelatin, hemoglobin dan elastin (Slonczewski 2001 dalam Afizia 2010). Aeromonas hydrophila bersifat gram negatif, oksidasi positif dan katalase positif (Holt et al 1998). Bakteri ini juga mampu memfermentasikan beberapa gula seperti glukosa, fruktosa, maltose dan trehalosa. Hasil fermentasi dapat berupa senyawa asam dengan gas. Aeromonas hydrophila tumbuh baik dalam
12
media agar (nutrien) dan TSA agar dengan suhu optimum pertumbuhannya yaitu 28oC (Popof 1984).
2.4 Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam kegiatan budidaya. Jika kualitas air yang dipakai buruk, hasil yang dicapai tidak maksimal bahkan menyebabkan kematian bagi ikan air tawar (Boyd 1990). Air yang memadai, baik kuantitas maupun kualitas dalam budidaya ikan sangat menentukan keberhasilan budidaya tersebut. Bila kondisi air tidak memenuhi syarat maka akan terdapat sumber penyakit yang paling berbahaya sehingga dapat mengakibatkan kematian bagi ikan air tawar (Effendie 2003). Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas (Rahman 2011). Dalam budidaya, kadar oksigen terlarut dalam perairan minimal 3 mg/L dan optimal 5 mg/L (Boyd 1990). Pengurangan oksigen terlarut di perairan dipengaruhi oleh respirasi organisme dan bakteri aerob sebagai pengurai bahan organik (Boyd 1982). Suhu merupakan salah satu faktor yang penting yaitu sebagai faktor pengontrol yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologis dan kimiawi organisme perairan. Suhu tubuh ikan cenderung mengikuti perubahan suhu lingkungannya (Boyd 1990). Kisaran suhu yang diperlukan dalam pembudidayaan ikan mas adalah antara 25-280C (Lentera 2002). Kecenderungannya menunjukan bahwa suhu yang terlalu dingin beresiko tinggi terhadap berkembangnya berbagai penyakit ikan (Agus 2011). Kondisi suhu akan sangat berpengaruh bagi kesehatan ikan pada saat pengobatan ikan. Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam perairan. Semakin rendah pH, perairan semakin asam, dan tinggi rendahnya pH ditentukan oleh tingkat toksin suatu perairan yang disebabkan beberapa faktor, antara lain hasil ekskresi biologis hewan serta sisa pakan (Khairuman dan Amri 2003). Air yang bersifat asam tidak sesuai untuk pemeliharaan ikan. Derajat keasaman (pH) yang ideal bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,5-8,5 (Boyd 1990).