BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan dunia. Tingkat kegawatan perubahan iklim global ini terendam dalam dokumen Kyoto protocol dan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang menekankan pentingnya usaha kearah pengurangan emisi CO 2 serta penyerapan CO 2 di atmosfer. Demikian halnya dalam konferensi PBB tentang pembangunan dan lingkungan hidup atau United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992 di Rio Janeiro, Brazil, di mana menghasilkan dua deklarasi umum yang salah satu di antaranya juga menekankan bagaimana upaya mengurangi perubahan iklim global (Yusuf, 2008). Di Indonesia, fenomena dampak perubahan iklim dan pemanasan global ditunjukkan dengan adanya berbagai peristiwa bencana alam yang terus meningkat seperti kekeringan, banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, berkurangnya luas areal hutan dan pertanian, pengurangan keanekaragaman hayati, penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya air (Dirjen PHKA BB TNGL, 2007). Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ) dan nitrous oksida (N 2 O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Hairiah dan Rahayu (2007) juga menyebutkan bahwa konsentrasi GRK di atmosfer meningkat karena adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Wetland International (2006) dalam Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa Indonesia berada dibawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai 2 milyar ton CO 2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO 2 di dunia.
2.2. Biomassa Tumbuhan Biomassa tumbuhan merupakan hasil dari proses pertumbuhan tanaman selama periode tertentu pada satuan luas tertentu. Dengan demikian biomassa suatu jenis tanaman dipengaruhi oleh pertumbuhan jenis tanaman tersebut
(Woesono,
2002). Biomassa tanaman merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Hal tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa taksiran biomassa (berat) tanaman relatif mudah diukur dan merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tanaman sebelumnya. Sehingga parameter ini merupakan indikator pertumbuhan yang paling representatif apabila tujuan utamanya
adalah untuk mendapatkan penampilan keseluruhan
pertumbuhan tanaman atau organ tertentu. Berat segar dapat digunakan untuk menggambarkan biomassa tanaman apabila hubungan berat segar dengan berat kering linier. Tetapi karena kandungan air dari suatu jaringan atau keseluruhan tubuh tanaman berubah dengan umur dan dipengaruhi oleh lingkungan yang jarang konstan, suatu hubungan
yang linier di antara kedua bagian ini untuk seluruh massa
pertumbuhan tanaman dapat tidak linier (Sitompul dan Guritno, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Sitompul dan Guritno (1995) menyebutkan bahwa pengukuran biomassa tanaman dapat dilakukan melalui penimbangan bahan tanaman yang sudah dikeringkan. Data biasanya disajikan dalam satuan berat yang akan proporsional dengan biomassa apabila tempat yang sama digunakan selama penimbangan. Pengeringan bahan bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air bahan yang dilaksanakan pada suhu yang relatif tinggi selama jangka waktu tertentu. Untuk mendapatkan berat yang konstan, penimbangan bahan yang sedang dikeringkan perlu dilakukan berulang-ulang secara berkala. Dalam proses pengeringan ukuran bahan harus cukup kecil untuk memudahkan pengeringan. Bahan yang berukuran besar akan mengalami proses pengeringan yang lambat dan tidak merata pada semua bagian bahan. Tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO 2
di udara harus dikendalikan dengan jalan
meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin. Jumlah karbon tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan karbon (Hairiah dan Rahayu, 2007) Cara mudah untuk mereduksi CO 2 di atmosfer adalah dengan menanam dan membangun pohon hutan. Dedaunan pohon hutan mampu menyerap gas CO 2 yang ada di udara melalui proses fotosintesis (Pratisto, 2007). Fotosintesis merupakan proses di mana karbohidrat-karbohidrat dibuat dari karbondioksida di dalam jaringan
Universitas Sumatera Utara
tumbuh-tumbuhan yang mengandung klorofil yang dikenai cahaya matahari (Soetrisno, 1998). Fotosintesis membutuhkan sejumlah besar karbon dioksida yang ada di atmosfer bumi yang harus diambil oleh tanaman. Hutan mengabsorbsi CO 2 selama proses fotosintesis dan menyimpan sebagai materi organik dalam bentuk biomassa tumbuhan (Heriansyah, 2005). Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis berupa sellulosa, lignin, gula, lemak, pati, protein, damar, fenol dan senyawa lainnya. Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah merupakan kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara binatang dan manusia dalam proses kebutuhan CO 2 yang diikat dan O 2 yang dilepas (Arief, 1994). Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam bentuk biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan (Heriansyah, 2005). Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO 2 di atmosfer melalui aktivitas fisiologinya. Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan gas CO 2 dan biomassa yang terkandung pada jenis pohon pada umur tertentu dapat digunakan untuk mengestimasi produktivitas hutan. Pendugaan besarnya biomassa dapat digunakan sebagai dasar perhitungan bagi kegiataan pengelolaan hutan, karena hutan dapat dianggap sebagai sumber (source) dan rosot (sink) dari karbon. (Heriansyah, 2005).
2.3. Deskripsi Tanaman Pinus Pinus merkusii merupakan satu-satunya pinus yang sebaran alaminya sampai di selatan khatulistiwa. Di Asia Tenggara menyebar di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera) dan Filipina (P. Luzon dan Mindoro). Di
Universitas Sumatera Utara
Jawa dan Sulawesi Selatan (Indonesia) merupakan hasil penanaman. Tumbuh pada ketinggian 30-1800 m dpl, pada berbagai tipe tanah dan iklim. Deskripsi botani pinus pada umumnya pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan muda dapat mencapai tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140 cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar. Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2 jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan berbentuk strobili dengan panjang 2-4 cm (Hidayat dan Hansen, 2001). Pada mulanya penanaman pinus di lahan-lahan hutan khususnya jenis pinus merkusii, bertujuan untuk mempercepat reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kosong dalam kawasan hutan. Pinus merkusii merupakan jenis pionir yang mampu bertahan hidup dan pertumbuhannya sangat cepat serta mampu tumbuh pada kondisi yang sangat sulit. Hutan pinus terbentuk karena kebakaran hutan yang luas pernah terjadi dan hanya pinus jenis pohon yang bertahan hidup. Hutan daun jarum ini umumnya terdapat di daerah beriklim dingin. Pinus merkusii dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, tanah berpasir, dan tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C (Lembaga Biologi Nasional LIPI, 1981).
2.4. Karbon Tersimpan. Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur dalam ekosistem. Mulai dari karbon yang ada di atmosfir berpindah melalui tumbuhan hijau (produsen), konsumen dan organisme pengurai kemudian kembali ke atmosfir dan di atmosfir karbon terikat dalam bentuk senyawa karbon dioksida (Indriyanto, 2006). Tumbuhan memerlukan sinar matahari, air (H 2 O) dan gas asam arang (CO 2 ), melalui proses fotosintasis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses
Universitas Sumatera Utara
penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007). Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C sink ) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu , hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpanan C tertinggi. Hutan juga melepaskan CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau
perkebunan atau ladang
pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Perbedaan peambahan carbon tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kandungan CO 2 di udara. Kandungan karbon di jalur hijau jalan lebih tinggi dibandingkan dengan jalur hijau sungai dan pantai diduga karena tingginya emisi CO 2 dari kenderaan bermotor dan aktifitas manusia lainnya Channel, (1996). Hutan berperan dalam upaya penyerapan CO 2 di mana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklofil mampu menyerap CO 2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosisntasis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomasa yang menjadikan vegetasi tumbuhan menjadi besar dan tinggi (Adinugroho et al., 2009). Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawahpermukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Dampak konversi hutan menjadi lahan pertanian baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya gedung-gedung bertingkat serta bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C (Mg = mega gram = 106 g = ton) yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: cara mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu et al., 2007). Polunin (1997) mengatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai biomasa lazimnya 450 (dengan kisaran 60-800) ton per hektar, tergantung pada tipe vegetasi dan tipe tanah. Kebanyaan biomassa ini terdapat dalam batang – batang pohon. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric equation" berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Secara administratif kawasan Hutan Aek Nauli terletak di lima kecamatan, yaitu Dolok Panribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, Jorlang Hutaran dan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Terletak pada 02o40’00’ – 02o50’00’’ LU dan 98o50’00’’ – 99o10’00’’BT. Dengan luas areal ± 1900 ha. Jarak Aek Nauli ke kota Siantar lebih kurang 33,5 km dan ke kota Parapat lebih kurang 10,5 km dan ke kota Medan lebih kurang 163,5 km yang mana dapat dijangkau dengan transportasi darat dengan menggunakan bus atau angkutan lain selama kurang lebih 5 jam (BKSDA 1 SUMUT, 2003). 2.5.1. Topografi Berdasarkan pengamatan dilapangan, pada umumnya Kawasan Hutan Aek Nauli memiliki topografi yang relatif bergelombang sampai dengan curam dengan ketinggian antara 1200 sampai 1700 m dpl. Jenis tanah di daerah penelitian adalah berliat halus, lempung berpasir, lempung berliat dan lempung halus. Jenis batuan tapanuli, peusangan, sihapas, vulkan tersier dan toba (BKSDA 1 SUMUT, 2003). 2.5.2. Tipe Iklim Kawasan
Hutan
Aek
Nauli
berdasarkan
Schmidt-Ferguson;
(1951)
mempunyai tipe iklim A (sangat basah). Berdasarkan informasi BKSDA 1 SUMUT (2003), diperoleh data curah hujan di Kawasan Hutan Aek Nauli rata-rata ±7200 mm/bulan selama sembilan bulan berturut-turut, kisaran suhu 15-23oC dan kelembaban ±95%. 2.5.3. Vegetasi Hutan Aek Nauli, Sumatera Utara merupakan hutan alam yang memiliki vegetasi yang sangat banyak serta sangat bervariasi dari mulai semak, herba, hingga tumbuhan berkayu. Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe vegetasi merupakan vegetasi dataran tinggi, ditandai dengan pohon-pohon besar yang banyak ditumbuhi lumut. Tumbuhan yang terdapat di Hutan Aek Nauli ini didominansi oleh jenis Pinus, Calamus, Tumbuhan Paku dan Lumut. Banyak juga dijumpai berbagai jenis anggrek pohon, Zingiberaceae, Myrtaceae, dan Arecaceae.
Universitas Sumatera Utara