BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Antibiotika di Peternakan Antibiotika adalah senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme, khususnya Streptomyces spp dan jamur (Mutschler, 1999; Salyers dan Whitt, 2005). Antibiotika flurouinqolon dan Tetrasiklin adalah obat yang umum digunakan di peternakan untuk mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri salmonella, E coli, streptococcus, Staphylococcus. Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan ternak. Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika, maka produksinya semakin meningkat (Phillips et al. 2004). Pada industri peternakan, pemberian antibiotika selain untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al. 2005). Terkait dengan pencegahan dan pengendalian residu antibiotika pada pangan asal hewan, khususnya daging hewan yang diharapkan, pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap mutu dan keamanan pangan asal hewan mulai dari peternakan hingga ke konsumen. Penggunaan antibiotika pada hewan ternak seharusnya di bawah pengawasan dokter hewan agar tidak menimbulkan residu antibiotika pada produk pangan asal hewan.
1
Beberapa jenis antibiotika diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti fluorouinolon, Basitracin, Flavomisin, Monensin, Salinomisin, Tilosin, Virginiamisin, Avoprasin, dan Avilamisin. Di Eropa sejak tahun 1999, antibiotika Aolaquinodik, Basitrasin, Tilosin, dan Virginiamisin sudah dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan (Butaye et al. 2003). Berdasarkan Feed Additive Compendium ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan digunakan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan hewan lain, seperti Penisilin, Basitrasin, Streptomisin, Eritromisin, Tilosin, Neomisin, Tetrasiklin, Oksitetrasiklin, Klortetrasiklin, Linkomisin, Piramisin, dan Virginiamisin ( Anonimus, 2002). Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak digunakan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamid pada produk pakan ayam Beberapa peneliti melaporkan bahwa penggunaan antibiotik dalam bidang peternakan sudah sangat meluas, yaitu sebagai terapi, pencegahan, dan sebagai pemacu pertumbuhan. Pada tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton antibiotika untuk pengobatan dan sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada hewan. Sedangkan antibiotika yang digunakan untuk pengobatan pada manusia hanya digunakan 1.300 ton (Phillips et al., 2004).
2
Penggunaan antibiotika secara terus-menerus dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika pada ternak (Butaye et al.,2003). Menurut Barber et al. (2003) berdasarkan laporan World Health Organization menunjukkan bahwa munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen disebabkan oleh pemakaian antimikroba yang salah pada ternak dan pada saat ini resistensi antimikroba pada ternak dan hasil produksinya (susu, daging dan telur) telah menjadi masalah global di seluruh dunia.
2.2. Pengunaan Antibiotika untuk Peningkatan produksi, pencegahan dan pengobatan pada peternakan ayam Saat ini pengunaan antibiotika untuk kontrol terhadap infeksi penyakit pada peternakan unggas sangat diperlukan untuk mencegah penyakit bakteri (Tajick, 2006). Antibiotika dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun berdasarkan target kerjanya pada sel yaitu, broad spectrum yang mempunyai kemampuan membunuh mikroorganisme dari berbagai spesies dan spectrum pendek yang hanya mampu membunuh mikroorganisme secara spesifik (Bezoen et al, 2000; Bill, 1998; Martin, 1992; Tjay dan Raharja, 2005; Nhiem, 2005; Salyers dan Whitt, 2005). Antibiotika broad spectrum mempunyai kekurangan, tidak hanya menyerang bakteri pathogen tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi, 2005). Setiap antibiotika harus mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi oleh saluran pencernaan, sementara masuk
3
ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah otak dalam cairan spinal dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2004; Focosi, 2005).
2.3. Residu Antibiotika Residu Antibiotika
adalah
adanya sejumlah sisa antibiotika di dalam
jaringan daging hewan sebagai hasil dari pengobatan atau pencegahan penyakit hewan. Pada Tahun
1950
Amerika dan Eropa mengizinkan pengunaan
Antibiotika di dalam pakan hewan karena belum ada penelitian tentang dampak bahaya residu antibiotika pada konsumen. Namun laporan hasil penelitian yang didasarkan adanya fenomena penggunaan antibiotika yang tidak memberikan respon sebagaimana mestinya, maka WHO dan codex Alimentarius melarang penggunaan antibiotika dalam produk hewan karena menyebabkan ganguan kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan lingkungan (OIE 2004; WHO FAO, 2006).
2.4. Dampak antiobiotika pada konsumen Adanya residu antibiotika didalam organ hewan atau otot hewan yang dikonsumsi oleh manusia akan mengakibatkan munculnya fenomena resistensi antibiotika. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya antibiotika yang terkonsumsi akan mengakibatkan bakteri yang ada dalam tubuh konsumen akan mengalami resistensi (Kusumaningsih, 2007). Adanya resistensi antibiotika bakteri pada ternak dan manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Phillips et al., 2004; Bahri et al., 2005). Menurut Prescott dan Baggot (1997) dan Mutschler (1999), mekanisme kerja 4
antibiotika dibagi dalam empat kategori, yaitu: menghambat sintesa dinding sel (antibiotika golongan beta-laktam, basitrasin dan vankomisin), menghambat sintesa protein (aminoglikosida, linkosamida, makrolida, pleuromutilin dan tetrasiklin), merusak fungsi membran sel (polimiksin dan polyenes) dan menghambat fungsi asam nukleat (nitroimidazol, nitrofuran, quinolon dan rifampin). Klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, adalah senyawa kristal yang sedikit larut dalam air pada PH 7. Tetrasiklin seperti aminoglikosida, target pada ribosom bakteri dan terikat pada 30 S subunit. Meskipun sebagian besar tetrasiklin tidak diragukan lagi kerjanya mengganggu sintesa protein, beberapa kelompok baru yang ditemukan (selokardin) bekerja dengan cara mengganggu membran bakteri. Tetrasiklin yang digunakan sebagai feed aditif untuk pemacu pertumbuhan pada ternak telah menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika sehinggga penggunaan kelompok tetrasiklin dikurangi (Focosi, 2005).
5
2.5 Antibiotika Fluoroquinolon Menurut Salyers dan Whitt (2005), fluoroquinolon merupakan kelompok antibiotik yang bekerja membunuh sel bakteri dengan menghambat aktivitas replikasi DNA gyrase yang merupakan enzim penting bagi replikasi DNA bakteri. Anggota dari fluoroquinolon terdiri dari enrofloxacin, cifrofloxacin,ofloxacin dan norfloxacin. Fluoroquinone ini memiliki efektifitas terhadap E.coli spp, salmonella spp, Pasteurella multocida, Mycoplasma dan Haemphillus spp yang (Bill, 1998).
2.6. Antibiotika Tetrasiklin Golongan tetrasiklin terdiri dari Klortetrasiklin, oksitetrasiklin, tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin. Tetrasiklin adalah aminoglikosida yang berbentuk merupakan kristal yang sedikit larut dalam air pada pH 7 dan memiliki target pada ribosom bakteri yang terikat pada reseptor subunit 30S.
Tetrasiklin yang
digunakan sebagai feed additive untuk pemacu pertumbuhan pada ternak telah menyebabkan terjadinya resistensi antibiotika sehinggga penggunaan kelompok tetrasiklin dikurangi (Focosi, 2005).
6