Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum 2.1.1 Kereta Api Kereta api merupakan sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di rel. Dengan demikian kereta api hanya dapat bergerak/berjalan pada lintasan/jaringan rel yang sesuai dengan peruntukannya, hal ini menjadi keunggulannya karena tidak terganggu dengan lalu lintas lainnya, tetapi dilain pihak menjadikan kereta api menjadi angkutan yang tidak fleksibel karena jaringannya terbatas. (Wikipedia) Kereta api merupakan alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari lokomotif (kendaraan dengan tenaga gerak yang berjalan sendiri) dan rangkaian kereta atau gerbong (dirangkaikan dengan kendaraan lainnya). Rangkaian kereta api atau gerbong tersebut berukuran relatif luas sehingga mampu memuat penumpang maupun barang dalam skala besar. Kereta api merupakan angkutan yang efisien untuk jumlah penumpang yang tinggi sehingga sangat cocok untuk angkutan massal kereta api perkotaan pada koridor yang padat, tetapi juga digunakan untuk angkutan penumpang jarak menengah sampai dengan 3 atau 4 jam perjalanan ataupun untuk angkutan barang dalam jumlah yang besar dalam bentuk curah, seperti untuk angkutan batu bara. Karena sifatnya sebagai angkutan massal efektif, beberapa negara berusaha memanfaatkannya secara maksimal sebagai alat transportasi utama angkutan darat baik di dalam kota, antarkota, maupun antarnegara.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 16
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
2.1.2 Kereta Api Komuter Mass rapid transit adalah layanan transportasi umum dengan jangkauan lokal yang tersedia bagi siapapun yang membayar ongkos yang telah ditentukan dan dirancang untuk memindahkan sejumlah besar penumpang dalam waktu bersamaan (Lloyd Wright and Karl Fjellstrom, 2003). Salah satu bentuk dari mass rapid transit adalah Kereta Api (KA) Komuter, Menurut Vuchic (1981), istilah KA Komuter seharusnya berkaitan dengan pengoperasian kereta api hanya pada awal dan akhir hari kerja, dikhususkan untuk mengangkut konsumen yang hendak menuju ke dan atau meninggalkan pusat kota. Akan tetapi istilah tersebut juga umum dipergunakan bagi semua jenis angkutan kereta api yang tidak termasuk dalam kategori Metro/Heavy Rail Transit (Grava, 2002). KA Komuter memiliki jalur terpisah dengan lalulintas jalan sehingga mampu menyediakan pelayanan lebih baik (waktu tempuh lebih cepat, dapat diandalkan, kapasitas angkut lebih besar) dibandingkan bus kota. Di Inggris pengurangan kemacetan lalulintas diklaim sebagai akibat dari keberhasilan KA Komuter menarik minat para pengguna kendaraan bermotor untuk beralih (Simpson, 1994). Beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kondisi atap/shelter adalah tersedianya fasilitas bagi para pengguna berupa tempat menunggu yang terlindung dari pengaruh cuaca, open space yang memadai, papan informasi, loket tiket, toilet. Selain itu perlu mempertimbangkan keleluasaan area sirkulasi dan tersedianya jarak yang aman antara kereta dengan arus penumpang karena pengguna KA Komuter cenderung terburu-buru (Grava dalam Rudy Setiawan, ST., Mt, 2005). Selain itu ketinggian peron dan jarak antara peron dengan lantai kereta berpengaruh terhadap kenyamanan pada saat naik atau turun dari kereta api.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 17
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
2.1.3 Stasiun Kereta Api Stasiun adalah salah satu penanda penting dalam kemajuan sebuah kota. Sampai sekarang pun, stasiun mempunyai peranan yang sangat penting dalam transportasi kota. “Station” Building, etc, where a services organized; stopping place for train; put something at a certain place (Oxford Learne’s Pocket Dictionary) Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai stasiun yang berarti bangunan yang berfungsi sebagai tempat kereta api berhenti untuk sementara. (Kamus Inggris-Indonesia – Gramedia Jakarta) Dapat ditarik kesimpulan bahwa Stasiun kereta api adalah suatu tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang menggunakan jasa transportasi kereta api. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 2011 tentang persyaratan teknis bangunan stasiun kereta api; Pasal 3 (1) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, terdiri atas: a. emplasemen stasiun; dan b. bangunan stasiun. (2) Emplasemen stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf a terdiri atas : a. jalan rel; b. fasilitas pengoperasian kereta api; dan c. drainase. (3) Bangunan stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), huruf b terdiri atas: a. gedung; b. instalasi pendukung; dan c. peron. Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 18
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
Fasilitas stasiun kereta api 1. Pelataran parkir di muka stasiun 2. Tempat penjualan tiket, dan loket informasi 3. Peron dan ruang tunggu 4. Ruang kepala stasiun, dan 5. Ruang PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) beserta peralatannya, seperti sinyal, wesel
(alat pemindah jalur), telepon, telegraf, dan lain sebagainya.
Adapun salah satu bagian penting dari stasiun kereta api yang perlu diperhatikan dalam stasiun kebayoran ini, yaitu:
2.1.4 Peron Stasiun Peron merupakan fasilitas yang dimiliki stasiun kereta api. Peron adalah bagian dari stasiun yang menyediakan akses ke atau dari kereta api. (Railway Group Standard, 2000). Keberadaan peron menjadi sangat penting karena memudahkan pengguna KA turun dan naik kereta api. Sekarang ada dua macam konstruksi lantai peron di Indonesia:
A. Peron lama atau Peron Rendah (Sebelum Perang Dunia II) Kereta buatan sebelum tahun 1920 umumnya mempunyai tangga untuk turun ke bawah. Sedangkan kereta buatan sebelum tahun 1941 mempunyai tangga di dalam. Karena pada umumnya stasiun didirikan sebelum Perang Dunia II, maka lantai peron sama dengan lantai stasiun.
Akibatnya para penumpang akan sulit turun-naik dari peron lama yang rendah. Sedangkan kereta yang beroperasi kini pada umumnya dibuat setelah tahun 1965 yang berlantai dengan tangga yang tinggi. Pada peron yang lama, para penumpang dengan leluasa menyeberang dan melintas jalur rel, dan hal ini sangat berbahaya sekali bahwa para penumpang menjadi berbaur dengan kereta api. Salah satu yang memiliki jenis kontruksi lantai seperti adalah Stasiun KA Kebayoran.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 19
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
Namun saat ini peron pada stasiun KA Kebayoran mengalami perubahan dengan ditambahnya tangga memanjang sepanjang peron untuk memudahkan pengguna KRL naik ataupun turun dari kereta.
B. Peron Baru atau Peron Tinggi (Setelah Proklamasi) Sebagian dari peron lama kemudian dilakukan penyesuaian tinggi dengan kereta yang baru. Akibatnya terlihat ada dua ketinggian peron dewasa ini di stasiun besar, hal ini karena PT KAI ingin memberi pelayanan yang baik. Pada umumnya peron tinggi dimaksudkan untuk melayani para penumpang kelas Bisnis dan Eksekutif. Sebagai contoh, Stasiun Lempuyangan (Yogyakarta) atau Jebres (Solo) yang melayani kelas ekonomi tidak terdapat lantai tinggi. Namun di stasiun Tugu (Yogyakarta atau Solo Balapan terlihat ada dua macam lantai yang tinggi (modikasi) dan lantai rendah (asli). Karena Stasiun Madiun misalnya melayani semua kelas, maka di sini terdapat 2 macam tinggi lantai peron. Pada stasiun antara Bogor dan Jakarta, yang umumnya dibangun belakang ini sudah mempunyai lantai peron tinggi. Salah satu yang memiliki jenis kontruksi lantai tinggi adalah Stasiun KA Tanah Abang. (Wikipedia) Menurut PT.KAI pada persyaratan Teknis Bangunan Stasiun, peron sekurang-kurangnya dilengkapi dengan: 1. Lampu; 2. Papan petunjuk jalur; 3. Papan petunjuk arah; dan 4. Batas aman peron Pada peraturan Menteri Perhubungan nomor 9 tahun 2011 disebutkan, bahwa sekurang-kurangnya stasiun juga dilengkapi dengan tempat duduk (ruang tunggu). Dalam hal ini stasiun yang terletak di daerah perkotaan, khususnya yang melayani kereta komuter perlu dibangun peron tinggi. Hal ini mengacu pada karakteristik penumpang kereta yang kebanyakan adalah pekerja yang memerlukan efektivitas dalam transportasi.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 20
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
C. Standar Nasional dan Internasional Peron Pendekatan adaptabilitas pengguna KRL pada peron dan fasilitasnya dilakukan dengan menggunakan beberapa standar tertentu dalam perancangan menurut
kebutuhannya.
Diantaranya
standar
internasional
dan
nasional.
Penjelasannya sebagai berikut: Standar ketentuan
Internasional
Sumber
Keterangan
Railway Group Standard, 2000 (London) dan UK
-Tinggi peron 915 mm 25mm)
(+0,-
-Shelter (atap peron) mampu mencegah terjadinya kebocoran di saat hujan turun PT. KAI
Tinggi lantai terendah, minimum 0,5 m di atas batas permukaan tertinggi yang pernah tercatat dan minimum 0,3 m di atas permukaan jalan akses dan plasa stasiun
Nasional
Tabel 2.1 Standar pada Peron Standar Ketentuan Internasional
Sumber Railway Group Standard, 2000 (London) UK
Nasional
PT. KAI Dan Menhub
Fasilitas -Tempat duduk -Papan informasi -Penerangan -Tempat duduk -Tempat sampah -Tanaman -Tempat duduk -Lampu -Papan petunjuk jalur dan Papan petunjuk arah -Batas aman peron
Tabel 2.2 Standar Fasilitas Peron
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 21
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
2.1.5 Jam Sibuk Jam sibuk atau jam puncak adalah bagian hari ketika kemacetan lalu lintas di jalanan dan kepadatan transportasi umum mencapai puncaknya. Secara normal, peristiwa seperti ini terjadi dua kali sehari pagi dan sore, saat-saat ketika sebagian besar orang bepergian ulang alik (Wikipedia). Istilah ini sangat luas namun sering mengarah pada lalu lintas mobil pribadi, bahkan ketika ada sejumlah mobil besar dan sedikit orang di jalanan atau ketika jumlah mobil normal namun terjadi gangguan kecepatan.
2.2 Tinjauan Khusus 2.2.1 Perilaku Tingkah Laku adalah perbuatan – perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat mata) maupun tertutup (tidak kasat mata) (Sarwono, 1992). Perbuatan yang terbuka ini dinamakan juga sebagai overt behavior, yang meliputi segala tingkah laku yang bisa langsung ditangkap oleh indera seperti melempar, memukul, menyapu, mengemudi dan lain sebagainya. Sedangkan tingkah laku yang tidak kasat mata atau covert behavior adalah harus diselidiki dengan metode atau instrument khusus karena tidak bisa langsung ditangkap indera, misalnya motivasi, sikap, berfikir, beremosi dan minat.
Proses Muncul Perilaku Menurut aliran Behaviorisme, Siwi (2000) mengatakan bahwa untuk mengetahui akan suatu pengaruh dapat digunakan Teori Stimulus – Response Dollard – Miller, yang secara sederhana menyebutkan empat komponen, yaitu : a. Drives, adalah kebutuhan yang dapat di bagi dua yaitu primary drives (kebutuhan dasar) yang bersifat fisik ataupun material yang alamiah, dimana tanpa pemenuhan kebutuhan ini maka manusia terganggu, dan kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan sosial yang dipelajari ataupun yang dipunyai oleh seorang manusia.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 22
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
b. Cue, adalah pilihan-pilihan dan target respon yang akan dilakukan oleh seseorang
terhadap
situasi
tertentu.
Kebutuhan
menuntut
manusia
melakukan sesuatu untuk memenuhi ataupun tidak memenuhinya. Cue menentukan kapan, dimana, dan bagaimana respon dilakukan. c. Response, adalah tanggapan seseorang manusia setelah hubungan antara cue – response terjadi. hal ini dimungkinkan karena cue adalah pilihan– pilihan dan target dari respon itu sendiri. Respon dalam hal ini juga bisa dilihat sebagai tindakan yang pada satu kondisi tertentu cenderung untuk melakukan tindakan tertentu dibandingkan tindakan yang lain. d. Reinforcement, adalah perilaku yang berulang dari respon atas stimulus yang sama,
atau
melalui
proses
belajar
sosial,
stimulus
tertentu
akan
menghasilkan perilaku tertentu pula bagi seseorang.
2.2.2 Model Sistem Perilaku Lingkungan dan Atribut J.Weisman (1981) menggambarkan hubungan antara individu (termasuk kumpulan individu-individu yang membentuk kelompok atau kelompok) dan organisasi atau institusi dalam satu sistem interaksi yang mengikut sertakan ruang atau setting kegiatan. Kerangka interaksi tersebut disebut model sistem perilaku lingkungan. Ada tiga komponen yang dapat mempengaruhi interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dintaranya yaitu: 1. Tempat (Setting); 2. Fenomena Perilaku; 3. Kelompok pemakai (Oganisasi individu). Organisasi dapat dipandang sebagai institusi atau pemilik yang mempunyai hubungan dengan setting. Kualitas hubungan antara setting dengan organisasi disebut atribut atau fenomena perilaku. Individu juga dapat dipandang sebagai manusia yang menggunakan setting. Manusia, baik individu maupun kelompok-kelompok berinteraksi di dalam setting. Proses interaksi yang terjadi, tidak hanya antara manusia dengan manusia, tetapi juga antara manusia dengan lingkungan yang disebut dengan konsep antribut.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 23
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
Ada 12 atribut yang muncul dari interaksi manusia dan lingkungan. Yaitu kenyamanan, sosialitas, visibilitas, aksesibilitas, adaptabilitas, rangsangan inderawi, control, aktivitas, kesesakan, privasi, makna, dan legibilitas (Weisman, 1981).
Gambar 2.1 Diagram Teori (Sumber: Weisman dalam Muhammad Sholahuddin, 2007)
Setting fisik disebut lingkungan fisik. Menurut Edward T. Hall (1966) dan Rapoport (1982), Setting fisik dapat dilihat dari dua hal, yaitu komponen dan property. Property adalah karakter atau kualitas dari komponen. Komponen terdiri dari beberapa kategori, diantaranya yaitu: 1. Faktor fixed-feature: merupakan elemen yang pada dasarnya tetap atau perubahannya tidak bisa dihilangkan. Kebanyakan elemen-elemen standar yang digunakan adalah dinding, plafon, shelter (atap), dsb 2. Semi fixed-feature: space: adalah elemen-elemen yang memiliki sifat bebas, merupakan ruang hasil dari perubahan seperti perabot rumah, tirai, dan perlengkapan lainnya. 3. Informal space-nonfixed: adalah elemen yang memiliki sifat bebas yang merupakan ruang hasil dari perubahan, hal ini sangat terikat dengan manusia sebagai pengguna suatu tempat, seperti posisi postur tubuh serta gerak anggota tubuh, pejalan kaki, pergerakan kendaraan, dsb.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 24
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
4. Faktor lingkungan: penghawaan (panas/sejuk), pencahayaan (terang/gelap) dan noise (suara guru mengajar dan suara keras tiba-tiba) yang akan mempengaruhi perilaku adaptasi. Dari pembahasan di atas, hal ini dilakukan untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi adaptabilitas pengguna KRL dan mengidentifikasi faktor-faktor setting ruang dan lingkungan apa saja yang mempengaruhinya. Maka variabel inilah yang akan menjadi variabel x (Independent) untuk setting peron.
2.2.3 Adaptabilitas Adaptasi adalah kemampuan lingkungan untuk menampung perilaku berbeda yang belum ada sebelumnya. Hal ini dikemukakan oleh Rapoport (1987) bahwa pada setting yang berbeda dan berusaha adaptasi dengan budayanya. Kapasitas lingkungan dapat memberikan peluang atau sebaliknya, membatasi perilaku dari pengalaman sesuai dengan persepsi dan kebutuhan pemakainya. Manusia senantiasa melakukan perubahan pada dirinya atau lingkungannya, sebagai upaya untuk menyesuaikan kapasitas lingkungan menurut kebutuhannya. (Bell et al. 1978; Berry dalam Altman, et. Al. 1980; Sarwono, 1992), manusia memiliki mekanisme adaptasi terhadap lingkungan yaitu: 1. Adaptation by adjustment: tindakan manusia untuk menolak atau melawan lingkungan melalui melakukan perubahan fisik terhadap lingkungan agar terjadi kesesuaian antara manusia dengan lingkungan. 2. Adaptation by reaction: tindakan manusia untuk menolak atau melawan lingkungan melalui merubah perilaku diri agar sesuai dengan lingkungan. 3. Adaptation by withdrawal: tindakan manusia untuk menghindari lingkungan dan ketidakcocokan (ketidaksesuaian) antara manusia dengan lingkungannya melalui cara membiarkan lingkungan dan pindah ke lingkungan lain yang dianggap sesuai. Penyesuaian ditunjukkan oleh pengguna KRL terlihat pada perubahanperubahan pola adaptasi, fungsi bahkan pemanfaatan ruang baik secara fisik maupun secara fungsional. Hal ini tentu saja dapat menjadi masalah dalam
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 25
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
pencapaian tujuan serta manfaat setting peron itu sendiri. Dari adaptasi seseorang yang berada pada setting peron tersebut, maka perlu dianalisa lebih lanjut tentang tingkat adaptasi pengguna KRL pada penggunaan fasilitas pada peron. Adapun tambahan mengenai adaptabilitas dalam penelitian ini, yaitu Learned helplessness. Menurut Abraham et. AL (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) learned helplessness yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada keputusan dari dalam diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi learned helplessness adalah kondisi dimana suatu organisme tidak memiliki kekuatan untuk bertindak dan keluar dari situasi yang menyakitkan ditambah lagi dengan kecenderungan dirinya untuk membuat keputusan pada situasi tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal, permanen dan menyeluruh. Pengguna suatu ruang, akan mendapat stimulus dari susunan benda (susunan property) dalam suatu setting melalui proses penginderaan untuk dimengerti dan dimaknai berdasarkan pengalaman masing-masing pengguna ruang. Hasil dari proses penginderaan adalah makna tentang property yang mampu berpengaruh
sebagai
stimulus
bagi
manusia
pengguna
ruang
tersebut.
Peristiwa/proses demikian dinamakan persepsi terhadap ruang oleh pengguna. Persepsi ini selanjutnya akan menghasilkan reaksi yang berwujud sikap terhadap lingkungannya. Tahap awal hubungan manusia dengan lingkungan adalah berupa kontak fisik antara individu dengan objek (property) di lingkungannya melalui proses penginderaan. Objek (property) tampil dengan kemanfaatan/fungsinya masingmasing, sedangkan individu tampil dengan sifat individualnya. Hasil interaksi antara manusia dengan property yang ada di dalam lingkungan fisik, menghasilkan persepsi terhadap objek tersebut. Jika persepsi terhadap property berada dalam batas optimal, maka dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan homeostatis berusaha untuk dipertahankan, karena memberikan perasaan yang paling menyenangkan. Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 26
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
Sedangkan, apabila property dipersepsikan di luar batas optimal, maka akan memunculkan stress, sehingga manusia dalam keadaan yang demikian perlu melakukan “coping” untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sesuai dengan kondisi dirinya (Bell, 2001).
Gambar 2.2 Electic Model (Bell 2001) yang menjelaskan proses coping dan adaptasi
Hasil dari penyesuaian manusia dengan lingkungannya ada dua kemungkinan, yaitu: 1. Kegagalan dalam penyesuaian terhadap lingkungan akan menghasilkan stress yang berkelanjutan, yang akan mempengaruhi kondisi dan persepsi individu. 2. Keberhasilan dalam penyesuaian terhadap lingkungan akan menghasilkan adaptasi yaitu penyesuaian diri individu dengan lingkungan. 2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang akan diteliti dan akan dibuktikan
kebenarannya.
Hipotesis
merupakan
hasil
dari
refleksi
peneliti
berdasarkan tinjauan pustaka dan teori-teori yang digunakan sebagai dasar argumentasi. Hipotesis tersebut diuji secara statistik sehingga bentuknya menjadi: Ho :
=0
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 27
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
-
tidak terdapat penaruh yang signifikan antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL.
Ha :
0
-
terdapat pengaruh yang signifikan antara antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL. Dari judul penelitian mengenai pengaruh setting peron terhadap adaptabilitas
pengguna KRL, hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel independent terhadap variabel dependent. Sedangkan hipotesis alternative (Ha) menunjukkan adanya pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependent. Oleh sebab itu peneliti mengajukan sebuah hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut: Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antara setting peron terhadap adaptabilitas pengguna KRL.
Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 28
Laporan Penelitian Pengaruh Setting Peron Terhadap Adaptabilitas Pengguna KRL (Studi kasus: Stasiun Kereta Api Kebayoran Pada Jam Sibuk)
2.4 Studi Banding Penelitian 2.3.1 Studi Literatur topik sejenis A. Pengaruh Setting Ruang dan Lingkungan Terhadap Perilaku Adaptasi Siswa Tunadaksa di SLB NI Bantul, Yogyakarta oleh Estar Putra Akbar B. Setting
Ruang
dan
Pengaruhnya
Terhadap
Aksesibilitas
para
Penyandang Cacat Tubuh di Pusat Rehabilitasi Yakkum Yogyakarta oleh Muhammad Sholahuddin C. Diskusi Pada kedua penelitian tersebut dilakukan dalam setting ruang yang berbeda namun sejenis karena sama-sama untuk mengetahui keberpengaruhan setting ruang terhadap atribut yang dipilih (fenomena perilaku). Penelitian yang dilakukan oleh Estar Putra Akbar menggunakan metode placed centered mapping, person centered mapping, time budget, physical traces dan wawancara temuan hasil penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi setting ruang dan lingkungan didapat dalam Edward T. Hall (1966) dan Rapoport (1982) yaitu setting fisik dapat dilihat dari dua hal, yaitu komponen dan property. Property adalah karakter atau kualitas dari komponen. Komponen terdiri dari (1) Fixed-feature space (2) Semi-fix feature space (3) dan informal space (non-fix). Ketiga faktor tersebut dapat dilihat pengaruhnya terhadap perilaku adaptasi. Ketiga faktor tersebut akan dilihat pengaruhnya terhadap perilaku adaptasi anak tunadaksa yang dibagi dalam empat kelompok perilaku adaptasi (Sonnenfeld 1966; Rapoport. Dkk, 1980; Kaplan, 1989; Seligman, 1975) yaitu adaptation, adjustment, withdrawl, dan learned helplessness/constraint,
dan
faktor
lingkungan
yaitu
penghawaan,
pencahayaan dan noise. Sedangkan pada penelitian Muhammad Sholahuddin menggunakan metode deduktif secara purposive sampling untuk sepuluh ruang berdasarkan jenis alat bantu tersebut. Data dikumpulkan dengan metode trianggulasi yaitu observasi, kuesioner dan dianalisis dengan secara deskriptif. SPSS digunakan aksesibilitas
untuk
mengolah
pada
pusat
data.
Faktor-faktor
rehabilitasi
adalah
yang
furniture
mempengaruhi dan
lay
out,
pencahayaan, dan penghawaan. Program Studi Arsitektur - Universitas Mercu Buana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
| 29