BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Status Gizi Gizi lebih adalah suatu keadaan berat badan yang lebih atau diatas normal. Anak
tergolong overweight (berat badan lebih) dan risk of overweight (risiko untuk berat badan lebih) jika berat badan anak diatas normal. Hal tersebut terjadi karena akumulasi lemak yang abnormal yang disebabkan kalori berlebih dan rentan mengalami gangguan kesehatan. Penelitian menyatakan usia prasekolah cenderung terjadi peningkatan obesitas sebesar 31% (Sartika ,2011; Yussac,2007). Dilanjutkan penelitian Freedman et al (1999) menyebutkan bahwa anak yang mengalami obesitas pada usia prasekolah akan tetap mengalami obesitas sebanyak 62,5% pada usia selanjutnya. Dampak obesitas pada usia prasekolah berlanjut sampai dewasa karena anak akan memiliki paling sedikit satu faktor risiko penyakit kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan kolesterol dan peningkatan kadar insulin dan 15% diantaranya memiliki dua faktor risiko penyakit tersebut.
2.2
Pengukuran Status Gizi Untuk mengetahui status gizi seseorang, diperlukan pengukuran tertentu baik
secara langsung maupun tidak. Pengukuran status gizi secara langsung dibagi ke dalam empat penilaian yaitu antopometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilian secara langsung dibagi ke dalam tiga cara penliaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa dkk, 2001)
7
8
Status gizi bisa didapatkan dengan melakukan pengukuran pada dimensi tubuh. Pengukuran dilakukan menggunakan parameter umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak bawah kulit (Anggraeni, 2012). Menurut standar antropometri WHO 2005 dalam Kepmenkes 2010, umur dihitung dalam bulan penuh. Contoh : umur 2 bulan 29 hari dihitung sebagai umur 2 bulan. Berat badan merupakan parameter terpenting dalam antopometri. Berat badan digunakan untuk menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Parameter tinggi badan penting untuk mengetahui gizi masa lalu dan masa sekarang jika umur tidak diketahui secara tepat. Lingkar lengan atas dapat digunakan sebagai salah satu pilihan untuk menilai status gizi. Namun parameter ini tidak bisa dijadikan sebagai pilihan tunggal untuk menilai status gizi seseorang karena tidak dapat mewakili perubahan status gizi seseorang dalam jangka pendek (Supariasa dkk, 2001). Dalam kondisi normal, pengukuran berat badan, tinggi badan dan parameter lain berbeda pelaksanaannya pada bayi, balita, remaja hingga dewasa. Pengukuran berat badan pada anak, remaja ataupun orang dewasa disesuaikan dengan alat dan cara masing –masing. Berat badan diukur menggunakan timbangan bayi, balita menggunakan timbangan dacin, remaja hingga dewasa menggunakan timbangan injak. Pengukuran tinggi badan dan parameter lain juga menyesuaikan dengan kondisi yang ada (Anggraeni, 2012). a. Indeks Antopometri 1. BB/U Berat badan merupakan salah satu parameter yang menggambarkan massa tubuh. Akan tetapi parameter ini sangat labil dan hanya bisa akurat saat tubuh dalam keadaan normal. Jika dalam kondisi abnormal, berat badan bisa berkembang lebih lambat
9
ataupun lebih cepat (Anggraeni, 2012). Kelebihan dari parameter ini adalah mudah diterima oleh masyarakat. Namun, parameter ini juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya sangat sensitif terhadap perubahan, menimbulkan interpretasi status gizi yang salah jika yang diukur mengalami edema, pencatatan umur yang kurang baik misalnya di daerah pedesaan, serta kesalahan pengukuran karena gerakan anak saat penimbangan (Supariasa, dkk 2001). 2. TB/U Tinggi badan adalah parameter yang dapat melihat status gizi sekarang dan masa lampau. Pertumbuhan tinggi badan tidak sesignifikan berat badan serta relative kurang sensitif untuk menilai masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat (Anggraeni, 2012). Beberapa kelebihan dalam indeks TB/U ini antara lain baik untuk menilai status gizi masa lampau dan pengukurannya bisa dibuat sendiri dengan biaya yang murah. Sedangkan kelamhannya adalah kesulitan melakukan pengukuran pada anak afar bisa berdiri tegak dengan tidak banyak gerakan, selain itu pencatatan umur juga sulit didapat (Supariasa dkk, 2001). 3. BB/TB Berat badan mempunyai hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan tinggi badan. Selain itu indeks BB/TB merupakan indeks yang independen terhadap umur (Anggraeni, 2012). Menurut Supariasa dkk tahun 2001, indeks BB/TB tidak memerlukan data umur dan bisa dijadikan proporsi badan. Namun, indeks ini tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut memiliki tinggi badan sesuai umur. Selain itu, sering terjadi kesalahan pengukuran jika dilakukan oleh tenaga non profesional.
4. LLA/U
10
Lingkar Lengan Atas (LLA) dapat memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot di lapisan bawah kulit. LLA biasanya digunakan untuk mengidentifikasi adanya malnutrisi pada anak – anak. (Anggraeni, 2012). Indeks LLA/U mempunyai beberapa keuntungan karena indeks ini merupakan indicator yang baik untuk menilai KEP berat, alat dan digunakan pun murah dan dapat dibuat sendiri. Akan tetapi LLA/U hanya dapat digunakan untuk mendeteksi KEP berat saja (Supariasa dkk, 2001) 5. IMT Batasan berat badan orang dewasa ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) (Anggraeni, 2012). Indeks Massa Tubuh digunakan untuk memantau status gizi orang dewasa namun tidak bisa digunakan unutk mengukur status gizi anak – anak dan remaja. Oleh karena itu anak dan remaja saat ini menggunakan indeks IMT/U. Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2010 memmustuskan bahwa klasifikasi status gizi Balita dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga yang digunakan adalah indeks IMT/U. 6. Tebal Lemak Bawah Kulit Menurut Umur Tebal lemak bawah kulit merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam pengukuran status indeks antopometri untuk mengukur status gizi. Parameter ini digunakan untuk memperkirakan jumlah lemak dalam tubuh. Pengukuran ini disebut juga dengan skinfold (Anggraeni,2012). Pengukuran lemak bawah kulit dilakukan pada beberapa bagian tubuh dan hasilnya dinayatakan dalam persen terhadap tubuh total (Supariasa dkk,2001).
7. Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul
11
Rasio lingkar pinggang dan pinggul adalah cara penilaian obesitas terbaik untuk mengukur risiko serangan jantung. Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengetahui seberapa besar risikp seseorang terhadap penyakit seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung (Anggraeni, 2012). Rasio lingkar pinggang dan pinggul untuk perempuan adalah 0,77 dan 0,90 untuk laki – laki. Penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang berhubungan dengan lingkar pinggang dan pinggul (Supariasa dkk,2001). 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Gizi Lebih Seperti paparan sebelumnya gizi lebih biasa dialami anak-anak siswa Taman Kanak - kanak yang dipengaruhi beberapa faktor baik faktor internal anak yang mengalami kelebihan gizi maupun eksternal yaitu faktor pemengaruh di luar anak tersebut misalnya faktor orang tua. Adapun faktor yang dimaksud adalah jenis kelamin anak, pemberian ASI ekslusif, status gizi ibu, pola konsumsi fastfood pada anak, pola konsumsi makanan kaleng pada anak, pola konsumsi softdrink pada anak, aktivitas fisik anak, sosial ekonomi. Faktor tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut. 1. Faktor karakteristik Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi status gizinya. Karena terkait dengan kondisi tubuh untuk melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Dalam proses ini juga dipengaruhi oleh asupan gizi yang dikonsumsi. Sehingga jika kondisi karakteristik bermasalah, maka berpengaruh pada proses konsumsi gizi.
a. Jenis kelamin Penelitian Anggraini (2008) pada Taman Kanak – Kanak di kota Bogor menunjukkan siswa laki – laki lebih cenderung terjadi obesitas daripada
12
perempuan dengan perbandingan angka laki – laki 58,7%, perempuan 38,9%. Sedangkan pernyataan lain menyebutkan perempuan lebih berkemungkinan untuk memiliki gizi lebih, karena cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak, karena cenderung mengkonsumsi karbohidrat sebelum masa pubertas. Laki – laki cenderung mengkonsumsi makanan kaya protein (WHO, 2000). b. ASI eklusif Hasil penelitian Saputri (2013) yang dilakukan di TK IT Bina Amal dan TK Negeri Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian obesitas ada anak. Pada penelitian tersebut didapatkan kelompok obesitas sebesar 78,6% tidak ASI eksklusif dan sebesar 21,4% mendapat ASI eksklusif. sedangkan pada kelompok tidak obesitas sebesar 53,6% ASI eksklusif dan 46,4% tidak ASI eksklusif. Sehingga dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian obesitas. Nilai OR (Odds Ratio) dapat diartikan bahwa anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko 4,23 kali lebih besar mengalami obesitas dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif. c. Keturunan Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa anak-anak dari orang tua normal mempunyai peluang 10% menjadi obesitas. Peluang tersebut akan meningkat menjadi 40 – 50%, bila salah satu orangtuanya menderita obesitas dan akan meningkat menjadi 70 – 80% bila kedua orangtuanya menderita obesitas (Wirakusumah, 1997 dalam Simatupang, 2008).
13
Menurut hasil penelitian Simatupang (2008), didapatkan bahwa dari 77 siswa yang memiliki ayah obesitas terdapat 53 (54,1%) siswa yang mengalami obesitas dan 24 (24,5%) siswa yang tidak obesitas. Sedangkang dari 119 siswa yang memiliki ayah tidak obesitas, terdapat 45 (45,9%) siswa mengalami obesitas dan 74 (75,5%) siswa tidak mengalami obesitas. Uji statistik riwayat obesits ibu dan ayah sama – sama memperoleh p < 0,05 artinya ada pengaruh yang bermakna antara siswa yang memiliki ayah/ibu obesitas dengan kejadian obesitas anak. 2. Pola makan Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran berbagai macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap harinya oleh seseorang serta merupakan ciri khas dari kelompok masyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya kebiasaan, kesenangan, budaya, taraf ekonomi, dan lingkungan alam. Fungsi makanan sendiri selain untuk pertumbuhan dan pemenuhan rasa lapar juga dapat dijadikan sebagai lambing kemakmuran, ketentraman dan persahabatan. Pernyataan ini disampaiakan oleh Lie Goan Hong yang dikutip oleh Sri Kardjati, et al. (1985). Menurut Suhardjo (1996), makanan dianggap memenuhi selera maupun tidak bukan hanya dipengaruhi oleh sosial budaya tapi juga dari sifat fisik makanan tersebut. Reaksi indera perasa pada setiap orang berbeda – beda sehingga pola makan setiap orang akan berbeda karena dipengaruhi oleh selera. Selain itu pengaruh media massa juga bisa mengubah kebiasaan makan. Pola makan masyarakat di lingkungan perkotaan dan pesedaan tentu berbeda. Di daerah perkotaan masyarakat mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan lemak serta rendah serat, hal ini memicu peningkatan jumlah penderita kegemukan
14
dan obesitas. Karena alasan kesibukan biasanya masyarakat perkotaan lebih memilih mengkonsumsi makanan yang siap saji dengan alasan lebih praktis (Wahyu, 2007) Dewasa ini anak-anak lebih banyak mengkonsumsi makanan instan, makanan cepat saji, camilan tinggi kalori dan minuman yang mengandung gula tinggi. Pola makanan yang menyebabkan kegemukan adalah pola makan yang tetap makan saat tidak lapar dan makan ketika menonton televisi, membaca dan mengerjakan pekerjaan rumah (Anonymous, 2008). Mudahnya didapat dan diolah membuat makanan cepat saji (fast food) menjadi pilihan asupan dan berkembang menjadi kebiasaan anak-anak mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Menurut penelitian Muliani (2014), perilaku konsumsi makanan cepat saji (fast food) berpengaruh terhadap kejadian obesitas anak-anak Sekolah Dasar Santo Yoseph Denpasar (p=0.001, OR: 7.51). Hasil serupa juga didapatkan dalam penelitian yang menyatakan perilaku konsumsi minuman ringan (soft drink) berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Hasil penelitian Muliani (2014) menyatakan perilaku konsumsi minuman ringan oleh anak-anak Sekolah Dasar Santo Yoseph memengaruhi kejadian obesitas dengan hasil perhitungan (p=0.04, OR: 3.24).
3. Faktor aktivitas fisik anak Aktivitas fisik dikatakan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi gizi lebih karena asupan yang masuk tidak diimbangi aktivitas fisik menyebabkan tidak banyaknya pembakaran kalori. Pernyataan tersebut diperkuat masa pertumbuhan anak pada umur prasekolah (3-5 tahun) yang membutuhkan asupan yang lebih
15
banyak dan bergizi sedangkan pada masa tersebut juga rentan terhadap penimbunan lemak adiposa yang memengaruhi gizi berlebih jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik. Dewasa ini, aktivitas anak yang cenderung pasif seperti menonton tv, duduk di depan komputer dan bermain permainan virtual berjam-jam meningkatkan resiko penimbunan lemak dan memengaruhi pertumbuhan anak dengan gizi berlebih. Menurut penelitian (Putri, 2013) nilai Physical Activity Level (PAL) pada anak usia prasekolah (3-5 tahun) tergolong rendah karena kurangnya aktivitas fisik dan cenderung menghabiskan waktu dengan menonton tv, bermain gadget, berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan, berbeda dengan anak-anak prasekolah yang mengambil kegiatan renang dan futsal yang memanfaatkan pergerakan otot dan membantu pembakaran kalori dan energi sehingga anak-anak tersebut memiliki nilai PAL tinggi. 4. Faktor sosial ekonomi Sosial ekonomi tentu berpengaruh terhadap daya beli keluarga, tersedianya pangan bergizi di rumah, dan perhatian orang tua terhadap status gizi anaknya. Pendidikan orang tua secara tidak langsung memengaruhi status gizi anak karena semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin tinggi perhatian orang tua menjaga kesehatan anaknya, semakin bertambah rasa ingin tahu terhadap kesehatan anak, dan semakin meningkat kreativitas orang tua tersebut dalam pemenuhan kebutuhan anak melalui cara-cara tertentu agar anak terbiasa mengonsumsi makanan dan minuman gizi seimbang dengan pola yang teratur. Sependapat dengan pernyataan tersebut, penelitian Febrianto (2012) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap variabel terikat status gizi, persentasenya adalah 9,115%, dengan nilai korelasi sebesar 0,590.
16
Jika dikatakan pendidikan saja, ketertarikan akan mengkhusus pada orang tua lulusan fakultas kedokteran, kesehatan mayarakat, atau instansi kesehatan terkait saja, tetapi jika ditambah dengan faktor pengetahuan maka semua orang tua yang memiliki keinginan untuk mengetahui informasi-informasi kesehatan khususnya tentang gizi anak maka pengetahuan tersebut bisa menjadi faktor pemengaruh status gizi anak. Faktor pendapatan orang tua merupakan faktor di luar anak tetapi berpengaruh dalam memenuhi asupan gizi pada masa tumbuh kembang anak. Kebutuhan gizi anak salah satunya dipengaruhi asupan makanan dan minuman baik primer maupun sekunder. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi jika pendapatan orang tua bisa memadai. Dengan pendapatan yang memadai maka orang tua akan memfokuskan juga pada asupan anak selain terfokus pada kebutuhan rumah tangga yang memiliki porsi besar dalam pembagian pengeluaran. Dalam penelitian Febrianto (2012) menunjukkan sumbangan tingkat penghasilan orangtua adalah sebesar 42,105% dan nilai korelasi sebesar 0,649 terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman bergizi anak yang memengaruhi status gizi anak. Penelitian tersebut mengatakan semakin tinggi penghasilan orangtua, maka semakin baik pula status gizi anak, begitu sebaliknya.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1
Kerangka Konsep Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, maka disusunlah kerangka konsep
sebagai berikut :
Karakteristik Anak : - Jenis kelamin anak - Pemberian ASI eksklusif Orang tua : - Status gizi ibu