BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Pengertian komunikasi massa didefinisikan secara berbeda-beda oleh para sarjana komunikasi, bergantung pada sudut pandang yang dipakai. Dalam bukunya Mass Communication ; An Introduction, Bittner menyatakan bahwa komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang.8 Dalam definisinya Bittner memberikan batasan pada komponen-komponen dari komunikasi massa, yakni diantaranya koran, majalah, TV, radio, dan film. Menurut Metlezke komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan penyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada public yang tersebar.9 Di sini Metlezka memperlihatkan sifat dan ciri komunikasi massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa.
8 9
Sasa Djuarsa Sendjaja; Pengantar Ilmu Komunikasi, Univ. Terbuka Jakarta, 2003 : 7.3 Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama. Bandung: 2004, hal.49
9
10
Defleur dan Dennis mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas dan secara terus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara.10 Sedangkan menurut pakar komunikasi Jalaludin Rakhmat komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak, surat kabar, majalah, elektronik, radio dan televisi. Sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.11
2.1.2 Proses Komunikasi Massa Proses
komunikasi
massa
dalam
model
Schramm
dapat
diilustrasikan sebagai berikut : Media menerima informasi dan berita dari berbagai sumber. Disini tim redaksi berfungsi sebagai penjaga gerbang yang melakukan seleksi terhadap isi pemberitaan yang layak untuk dimuat. Tim redaksi bertugas untuk membaca, menilai dan menyeleksi berita-berita yang masuk dan memutuskan hal-hal yang layak untuk dimuat dan disiarkan media tersebut. Kegiatan selanjutnya adalah menyebarkan dan menyiarkan pesan-pesan media tersebut pada khalayak. Khalayak media terdiri dari individu-individu. Disini kegiatan decoding, interpreting dan enconding 10 11
Sasa Djuarsa Sendjaja, Op. Cit, 7.3 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung, 1994, hal.34
11
juga berlangsung, setiap individu menyeleksi dan menginterprestasikan program dilihat dan didengarnya. Biasanya individu yang menjangkau pesanpesan ini adalah bagian dari suatu kelompok karena, proses komunikasi belangsung satu arah maka umpan balik (Feedback) hanya bersifat dugaan atau tertunda. Dalam pengertian bila seseorang tidak tertarik dengan acara yang disiarkan maka ia akan berhenti melihat acara tersebut.12
2.1.3 Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki karakteristik tersendiri bila dibanding dengan komunikasi antar personal atau komunikasi antar kelompok. Onong Uchjana Efendi menyebutkan sedikitnya ada 4 karakteristik komunikasi massa.13 Diantaranya : a.
Komunikasi massa bersifat umum.
b.
Komunikan bersifat heterogen.
c.
Media massa menimbulkan keserempakan.
d.
Hubungan komunikator dan komunikan bersifat non pribadi. Elvinaro menambahkan bahwa karakteristik komunikasi massa
juga meliputi : a.
12 13
Komunikator terlembagakan.
Sasa Djuarsa Sendjaja, Op. Cit, hal: 7.13 Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti: Bandung 1993, hal.83
12
b.
Komunikasi mengutamakan isi dari pada hubungan.
c.
Bersifat satu arah.
d.
Stimulasi alat indra terbatas.
e.
Umpan balik tertunda.
Media Komunikasi Massa Drs. Elvinaro Ardianto dalam bukunya komunikasi massa suatu pengantar menyebutkan bahwa media komunikasi massa terdiri dari : a.
Surat Kabar
b.
Majalah
c.
Radio Siaran
d.
Televisi
e.
Film
f.
Komputer dan Internet14
Fungsi Komunikasi Massa a.
Fungsi Menyiarkan Informasi Merupakan fungsi utama dari fungsi komunikasi massa. Khalayak pembaca membeli atau berlangganan surat kabar, mendengarkan radio dan menonton televisi karena memerlukan informasi tentang berbagai peristiwa yang terjadi di permukaan bumi.
14
Elvinaro Ardianto, Op. Cit, 97
13
b.
Fungsi Mendidik Sebagai sarana pendidikan massa –mass education- media massa baik cetak maupun elektronik mengandung berbagai pengetahuan yang diperlukan bagi khalayak pembaca.
c.
Fungsi Menghibur Dalam hal ini media massa juga mengandung sesuatu yang jenaka sehingga mampu menghibur khalayak. Bukan hanya berita atau artikel saja yang bersifat formal.
d.
Fungsi Mempengaruhi Fungsi ini kerap disebut sebagai kontrol sosial. Menurut Djafar Assegaf, pers pada hakekatnya dianggap sebagai kekuatan keempat – the fourt estate-, yakni karena menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.
2.2 Film Pertunjukkan film di Indonesia sudah dikenal orang pada tahun 1990, sebab pada tahun itu iklan bioskop sudah termuat di koran-koran. Sedang pembuatan film, baru dikenal tahun 1910an. Itu pun sebatas pada pembuatan film dokumenter, film berita atau film laporan. Pada tahun 1926, barulah dimulai
14
pembuatan film cerita Bandung. Sepanjang perkembangannya, film Indonesia mengalami banyak periode.15
2.2.1 Periode Coba-Coba (1926-1937) Pembuatan film cerita yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan yang amat berat. Sebab, harus berhadapan dengan filmfilm import yang telh lenih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing yang dilakukan secara besar-besaran. Sementara film kita harus merayap-rayap menjamah bioskop pinggiran sambil mencari-cari apa yang sebenarnya diinginkan oleh publik ketika itu. Maka, dicobalah bermacam-macam bentuk dan cerita. Film Nasional mengalami masa kering yang panjang dan penuh pengorbanan.16
2.2.2 Film Bisu (1926-1930) Usaha pembuatan film cerita dimulai (meski masih secara bisu) oleh Kruger dengan judul “Loe-toeng Kasaroeng” (1926), kemudian disusul oleh Carli, keduanya adalah peranakan Belanda: tinggal dan membuka usaha di Bandung. Tahun 1928 di tanah Periangan muncul pula Wong Brother’s asal Shanghai. Permunculan mereka rupanya menarik perhatian para pengusaha Cina lainnya untuk bergerak di bidang industri perfilman. Dan 15 16
Onong Uchjana Efendi, Op. Cit, 201 Onong Uchjana Efendi, Op. Cit, 202
15
pada tahun 1929 berdirilah perusahaan film cerita di Jakarta bernama TAN’S FILM.17
2.2.3 Film Bicara/Bersuara (1931) Tahun 1929, film bicara pertama diputar; itupun film produk Amerika. Dua tahun kemudian, di Indonesia dicoba pembuatan film bersuara oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Tentu saja kualitasnya belum terlalu bagus; namun, barangkali Indonesia lah yang pertama memulai membikin film bersuara di Asia. Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931) film bersuara pertama. Disusul kemudian “Zuzter Theresia” (Bandung 1932). Dengan masuknya suara ke dalam film memberi keuntungan tersendiri bagi penonton serta produser film. Hal itu disebabkan belum adanya penerjemah kata asing dalam film dengan bentuk teks, hingga film Indonesia lebih bisa diterima penonton kita. Penonton jadi lebih tertarik pada film buatan dalam negeri, meski suaranya sedikit berisik. Walau film produk dalam negeri banyak diminati penonton, akan tetapi belum memberi keuntungan yang memadai. Kalaupun ada untung, itupun pendapatannya baru sebatas untuk menutup biaya produksi.18
17 18
Ibid, hal.203 Ibid, hal.204
16
2.2.4 Pengaruh Film Pengaruh film itu besar sekali terhadap jiwa manusia. Penonton tidak hanya terpengaruh sewaktu atau selama duduk di dalam gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama. Yang mudah dan dapat terpengaruh oleh film ialah anak-anak dan pemuda-pemuda. Kita sering menyaksikan mereka yang tingkah laku dan cara berpakaiannya meniru-niru gaya bintang film. Cara bicara, bersiul, duduk, berjalan dan sebagainya meniru-niru gaya bintang film. Kalau saja pengaruh film itu sebatas hanya pada cara berpakaian dan cara bergaya, itu tidaklah menimbulkan efek negatif. Celakanya pengaruh film itu sering menimbulkan akibat yang lebih jauh lagi. Jadi pengaruh film itu bergantung dari film itu sendiri. Jika film yang ditayangkan tersebut mengandung unsur yang memberikan dampak positif seperti pendidikan, motivasi, kerja keras dan sebagainya sudah tentu akan berpengaruh baik kepada masyarakat, begitu pula sebaliknya. Jika film yang ditayangkan tersebut terdapat unsur seksual, tindak kriminal, horor dan sebagainya maka film tersebut pula yang akan memberikan dampak negatif bagi perkembangan jiwa penontonnya.19
19
Ibid, hal.207
17
2.3 Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa Komunikasi massa telah memperlakukan gambar transparan dari realitas atau sebagai sumber stimulus afektif dan emosional. Tapi citra dan gambar biasanya digunakan untuk menyampaikan pesan dengan cara yang lebih kompleks. Teori retorika visual menyatakan bahwa citra dan gambar dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit dan ini menambahkan dimensi kuat pada komunikasi melalui media massa. Sedangkan menurut teori kultivasi, media khususnya televisi, merupakan sarana utama dengan mana anda belajar tentang masyarakat dan kultur. Melalui kontak dengan televisi (dan media lain) anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilainilainya, serta adat kebiasaannya (Severin, 2005). Fokus perhatian ditujukan kepada pesan yang akan dikomunikasikan. Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of message) dan lambang (simbol) untuk mengekspresikannya. Lambang utama pada film dan televisi adalah gambar. Menurut Scoot ada tiga cara berpikir tentang gambar di media massa; yaitu sebagai gambaran nyata dan realitas, sebagai alat pembawa daya tarik efektif atau emosional, sebagai kombinasi simbol-simbol yang rumit untuk menyusun argumentasi (Severin, 2005). Pesan yang disiarkan di media massa bersifat umum, karena memang demmi kepentingan umum. Penataan pesan bergantung pada sifat media yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahan visual bermanfaat untuk mengungkapkan suatu ketertarikan antara objek penelitian dengan peristiwa di masa silam atau peristiwa saat ini. Bahan
18
visual juga memiliki makna secara spesifik terhadap objek atau informan penelitian.20
2.4 Jenis-jenis Film Film digunakan sebagai alat untuk pendidikan kepada masyarakat, untuk penerangan keluar dan kedalam, untuk propaganda meningkatkan perdagangan. Untuk memproduksi sebuah film dibutuhkan biaya, yang besarnya bergantungan dari tujuan pembuatan film tersebut. Karena harus menyusun rencana dengan seksama. Pertama-tama harus ditentukan dahulu apakah film yang akan kita buat itu diputar digedung bioskop umum atau untuk diputar ditempat lain. Dilihat dari sifatnya, film dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:21 a) Film Cerita (Story Film) Film cerita adalah jelas film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dengan dan diperuntukkan semua publik dimana saja. Dan karena barang dagangan maka pengusahanya mengalami banyak saingan. Disebabkan banyak saingan maka masing-masing pihak berusaha keras untuk memproduser film yang sebak-baiknya dan dengan cerita yang sebagusbagusnya.22 20
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/fikom/2008/ Onong Uchjana Efendi, Op. Cit, hal.210 22 Ibid, hal.205 21
19
b) Film Berita (Newsreel) Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita.23 c) Film Dokumenter (Documentary Film) Istilah “documentary” mula-mula dipergunakan oleh seorang sutradara Inggris, John Grierson, untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang dipelopori oleh seorang Amerika bernama Robert Flaberty. d) Film Kartun Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun ini adalah dari para seniman pelukis. Ditemukannya cinemathography ialah menimbulkan gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang mereka lukis, dan dari lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal yang lucu dan menarik, karena dapat memegang peran apa saja yang tidak mungkin diperankan oleh manusia.
2.5 Peran Media Di Tengah Kekuatan Media Pembentukan konstruksi realitas pada media massa sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya. Gebner menggambarkan pola komunikasi massa dalam situasi yang
23
Onong Uchjana Efendi, Op. Cit, hal.206
20
tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari berbagai “kekuatan” luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang ilkan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), pakar, institusi lainnya dan khalayak. Gebner menulis: Meskipun secara analisis berbeda, pada kenyataannya tidak ada satupun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Semua kekuatan tersebut berbaur, tumpang tindih, dan saling mendesak. Akumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya.24 Hubungan organisasi media dengan klien, pemilik dan pemasok. Pengamatan atas permasalahan ini akan menyajikan dua pandangan yang sangat bertentangan: Apakah media harus sepenuhnya mengabdikan diri kepada kepentingan negara atau kelas kapitalis, atau apakah mereka harus diidentifikasi sebagai kelompok yang menjalankan profesi bebas yang berupaya untuk mencapai tujuan komunikiasi yang ideal untuk menanggulangi berbagai hambatan material atau pemberi dana. Tidak ada satupun dari keduanya yang merupakan situasi tipikal.25 Lebih lanjut menurut Mc Quail, situasi demikian dimodifikasi dan diimbangi oleh beberapa faktor lain, yang dapat diringkaskan sebagai berikut : 1. Sumber dana, baik publik maupun pribadi, dapat juga mempunyai tujuantujuan yang tidak untuk mencari untung atau tujuan-tujuan profesional, pula subsidi dari masyarakat. Jika media berhasil menarik publik, maka media pun mampu menarik keuntungan finansial lainnya.
24 25
Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Jakarta, 1996, hal.141 Ibid, hal.153
21
2. Media publik mempunyai posisi yang berbeda-beda tetapi
bisa
memperoleh pengaruh melalui mekanisme politik, walaupun biasanya tidak melupakan untuk memuaskan publik mereka sampai batas-batas tertentu yang bisa dilihat. Hubungan organisasi media dengan sumber berita. Dalam hubungan ini media harus melakukan seleksi terhadap begitu banyak bahan untuk dapat dimasukkan ke saluran yang mempunyai kapasitas terbatas. Sementara itu, pola hubungan antar penyeleksi (selektor) dengan sumber sangat bervariasi, sehingga peran yang berkaitan pun demikian pula adanya.26 Lebih lanjut menurut Mc Quail, beberapa situasi utama dari hal-hal seperti ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Kontak berkesinambungan dengan orang “dalam” yang mengetahui banyak informasi dan para ahli mengenai berbagai berita. 2. Kontak berkesinambungan seperti itu juga diupayakan oleh mereka yang mungkin menjadi sumber berita itu sendiri, dengan maksud untuk memupuk hubungan baik dengan pihak-pihak yang mungkin akan memberikan manfaat. 3. Pengamatan langsung dan pengumpulan informasi yang melaporkan peristiwa sehari-hari, juga merupakan sumber bagi media berita. 4. Memanfaatkan pelayanan badan pemasok berita, terutama badan pemasok berita nasional maupun internasional, agen-agen berita film, pertukaran
26
Ibid, hal.155
22
program televisi juga berbagai badan yang menangani kegiatan para seniman, pengarang atau penulis. Hubungan organisasi media dengan khalayak. Dalam hubungan ini publik memang merupakan klien dan sumber pengaruh paling penting dalam lingkungan
setiap
organisasi
media.
memperlihatkan kecenderungan banyaknya
Namun
banyak
penelitian
komunikator massa tidak
menganggap publik terlalu penting padahal pihak manajemen selalu mengikuti eratnya angka penjualan dan tingkat penawaran publik.27 Fergusen juga melaporkan adanya sikap agak angkuh dari para redaktur wanita terhadap pembaca mereka. Mungkin pula masalah itu bersumber dari kenyataan bahwa komunikator massa harus memberikan
pelayanan
profesional dan menjual produk pada waktu yang bersamaan. Sedangkan kriteria dominan yang seringkali diinginkan oleh pihak organisasi adalah meningkatnya angka penjualan. Menurut Fergusen, para redaktur media komersial semua berpendapat bahwa keberhasilan profesional harus dibuktikan dengan meningkatnya sirkulasi dan pendapatan dari iklan.28 Hubungan organisasi media dengan kelompok penekan, pemerintah dan tekanan sosial politik, dalam hubungan ini mereka merupakan kekuatan sosial budaya yang mempengaruhi organisasi media. Tekanan untuk menuliskan suatu berita oleh kepentingan sosial politik cukup tinggi. Hubungan antara organisasi media dan kekuatan-kekuatan sosial ini tergantung pada tujuan utama dari organisasi media. Tujuan-tujuan utama 27 28
Ibid, hal.160 Ibid, hal.161
23
dari organisasi media khususnya surat kabar menurut Tunstall terbagi menjadi dua, yaitu sasaran-berpendapatan (revenue goal) dan sasaran-tidakberpendapatan (non-revenue goal).29 Sasaran-tidak-berpendapatan mengandung pengertian tujuan yang tanpa aspek keuangan langsung; percakapan prestise; penerapan pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat, dan mencapai tujuan moral tertentu. Sasaranberpendapatan terbagi dua, yaitu sasaran yang bersumber pada pemasang iklan dan berasal dari penjualan. Berbagi isi dan kebijakan pers berkaitan dengam variasi sasaran yang disebutkan tadi. Selanjutnya Tunstall menyatakan bahwa bilamana terjadi konflik sasaran dalam surat kabar, maka sasaran target khalayak (penyenangkan khalayak demi menigkatkan sirkulasi) dapat berfungsi sebagai “sasaran koalisi” kebanyakan orang menyikapi sasaran tersebut. Kesadaran akan kenyataan bahwa media memang memiliki sasaran gabungan sangatlah penting. Dengan demikian, kita dapat memahami media dalam konteks sosialisme dengan beberapa tekanannya.30
2.6 Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Of Construction Reality. Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang 29 30
Ibid, hal.144 Ibid, hal.145
24
diturunkan oleh Tuhan. Tetapi dibentuk dan di konstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwujud ganda/prural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu. Satu kelompok bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tertentu. Tetapi orang dari kelompok sosial yang lain bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, memperjuangkan nasib rakyat dan berjuang tanpa pamrih. Konstruksi yang mereka buat itu dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa apa yang mereka katakan dan mempercayai itu adalah benar adanya, punya dasar yang kuat.31 Lebih lanjut gagasan Berger mengenai konteks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat bagaimana wartawan mengkonstruksi peristiwa dalam pemberitaanya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses
31
Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta 2002, hal.15
25
ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika ini.32 Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan memandang realitas tapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu mempengaruhi cara media massa tersebut mengkonstruksi realitas.33 Menurut Hammad, karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidak berlebihan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan.34 Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, walaupun realitas faktanya sama. Hal mengkonstruksikan realitas fakta ini tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi pada politik media itu. Salah satu cara yang bisa dipahami atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas berita adalah dengan framing.35 Menurut Eriyanto, terdapat dua penekanan karakteristik penting pada pembuatan konstruksi realitas. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan
32
Jurnal MWCC, Op. Cit, Ibnu Hamad, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI, 6 Oktober-November 1999, hal.55 34 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002, hal.98 35 Bimo Nugroho, Eriyanto, F. Surdias, Politik Media Mengemas Media, ISAI, Jakarta, 1999, hal.1 33
26
seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan konstruksi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri
terhadap
suatu
peristiwa
dalam
konteks
pengalaman
dan
pengetahuannya sendiri.36 Kedua karakteristik ini menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana cara makna tersebut ditampilkan, sebab dalam penekanan tersebut produksi pesan tidak dipandang sebagai “mirror reality” yang hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa. Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang
36
Eriyanto, Op. Cit, hal.40
27
akan muncul dibenak khalayak. Bahasa yang dipakai media, ternyata mampu mempengaruhi cara melafalkan (pronounciation), tata bahasa (grammar), susunan kalimat (syntax), perluasan dan modifikasi perbendaharaan kata, dan akhirnya mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language) dan makna (meaning). Menurut De Fleur dan Ball-Rokeach, ada berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna, antara lain : mengembangkan kata-kata baku beserta makna asosiasinya; memperluas makna dan istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama serta istilah dengan makna baru; serta memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Dengan begitu, penggunaan bahasa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya.37
2.7 Homoseksual Homoseksual atau biasa disebut gay adalah hubungan sesama jenis lelaki dengan lelaki, berbeda dengan hubungan sesama jenis wanita dengan wanita itu disebut dengan lesbian. Penyebab seseorang menjadi gay atau homoseksual yaitu dampak dari psikologis yang negatif bisa menyebabkan individu menjadi homoseksual atau lesbian, meskipun ada faktor lain penyebab terjadinya 37
Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Muhammad Qodari, Op. Cit, hal.55
28
homoseksual. Antara lain : Faktor Biologis (berupa gangguan pada otak), Faktor Psikodinamika (gangguan perkembangan psikoseksual pada masa kecil), Faktor Sosiokultural (keharusan atau kebiasaan budaya setempat), dan Faktor Lingkungan yang mendorong melakukan hubungan homoseksual. Ada banyak cara untuk mengenali seseorang gay atau bukan. Bagi kebanyakan orang, mungkin hal ini menjadi sesuatu yang mustahil dan tidak mudah dilakukan. Akan tetapi bagi seorang gay, akan dapat dengan mudah mengenali komunitasnya. Mereka seolah-olah memiliki antena yang dapat dengan benar mengetahui status seorang pria yang menyukai sejenisnya. Tentunya hal ini butuh keahlian dan trik tersendiri. Mungkin untuk gay dengan gaya dan penampilan yang ekstrem, akan dengan mudah dikenali oleh sekitarnya. Bahkan oleh masyarakat umum sekalipun. Akan tetapi untuk pria gay yang hidden akan sulit dikenali, karena penampilannya layaknya pria kebanyakan. Bahkan akan lebih sulit agi jika pria tersebut sedang bersama wanita. Dari pengakuan sebagian besar gay, mereka mendapatkan keahlian mengenali kawan sejenisnya itu karena jam terbang. Semakin tinggi jam terbang pria gay tersebut, maka semakin besar peluang kebenaran "insting"nya. Berikut adalah ciri-ciri untuk mengetahui pria gay, yaitu : 1. Tatapan. Seorang pria akan menatap pria lain lebih lama dari pria biasa. Biasanya lebih dari 3 detik, dan itu dilakukan berulang-ulang. Tentunya hal ini akan dilakukan terhadap pria yang memang disukainya. Bahkan tatapan ini akan
29
diakhiri dengan senyuman. Bagi sebagian gay mengaku, tatapan mata seorang gay terhadap pria itu sangat dalam dan terasa "menusuk". 2. Wangi parfum lebih mencolok daripada wanita. Contoh parfum yang menjadi favorit kalangan gay: Hugo, Bvlgari, Polo, CK dan parfum branded lainnya. Bahkan jika yidak mendapatkan parfum branded, yang aspal bahkan diembat pula, yang penting baunya mendekati. 3. Cara berpakaian yang lebih dandy, modis, matching dan update. Motif yang dipakai biasanya garis garis lurus dan warnanya adem. Ada juga yang suka tampil dengan warna warana mencolok dan ngejreng. Bahkan untuk kaos, lebih disukai yang ketat, sehingga memperlihatkan lekuk tubuh lebih jelas. Termasuk kemeja juga dipilih ukuran yang lebih ngepas biar kelihatan bentuk tubuhnya, apalagi jika didapatkan dari hasil fitnes. 4. Tata rambut yang lebih klimis dan trendy. Selain penampilan, baju, dan wajah. Tak kalah pentingnya adalah tatanan rambutnya, biasanya pria gay lebih klimis dibanding pria heteroseksual. Umumnya mereka suka memakai produk Gatsby dan HR Suwarno gel yang membuat lebih look weet dan fresh. 5. Cara bicara yang lebih sopan. Umumnya tata bahasa yang dipakai lebih ditata. Bahkan pada kebanyakan gay, cara mereka bicara lebih kental huruf 's' nya, dan parahnya lagi kebanyakan suaranya cempreng. Hal ini akan sangat nampak pada gay yang tingkat femininnya lebih tinggi. Makanya kalo kencan buta via
30
telpon, umumnya dapat dikenali dari suara cempreng dan agak lembut, maka langsung bisa terdeteksi apakah pria itu gay atau bukan. 6. Gesture dan sikap. Pria gay, umumnya lebih menjaga sikap seperti cara berdiri, cara duduk hingga cara berjalan. Ketika duduk, dapat dengan mudah dikenali bagaimana pria gay menaruh tangan dan memposisikan atau menyilangkan kaki. Demikian juga saat jarinya memegang rokok, memegang HP, memegang dompet hingga cara mengambil gelas minuman. Ada perbedaan yang cukup mencolok dibandingkan pria heteroseksual.
2.7.1 Percintaan Dan Hubungan Sesama Jenis Individu-individu
dengan
orientasi
homoseksual
dapat
mengekspresikan seksualitasnya dalam bebagai cara, dan dapat atau dapat tidak muncul didalam perilaku mereka. Beberapa memiliki hubungan seksual dengan individu-individu dengan identitas gender sama, lain gender, biseksual atau dapat juga berselibat. Penelitian menunjukkan banyak pasangan lesbian dan gay yang menginginkan, dan berhasil dalam memiliki komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan bahwa pasangan homoseksual dan heteroseksual setara satu sama lain dalam ukuran kepuasan dan komitmen dalam hubungan percintaan, bahwa usia dan gender lebih dapat diandalkan sebagai alat ukur kepuasan dan
31
komitmen hubungan percintaan, dan bahwa individu heteroseksual atau homoseksual memiliki harapan dan impian hubungan percintaan yang sebanding.
2.8 Analisis Framing Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis media. Dimana melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat dan metafora. Dengan melihat struktur kebahasaan tersebut analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dalam suatu teks. Dalam hal ini, metode analisa framing yang digunakan dalam penelitian ini membuka peluang bagi implementasi fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologi, politis dan kultural yang melingkupinya. Termasuk didalamnya media. Dalam hal ini analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara dan ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis framing dapat membuat peneliti lebih sensitif untuk melihat bahasa politik yang digunakan dalam proses penggunaan bahasa politik yaitu statement dari pembuat kabijakana isi media.38
38
Elvinaro Ardianto, Konsturksi, Ideologi dan Politik Media, LkiS Pelangi Aksara: Yogyakarta, hal.3
32
TABEL 2.1 MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI39 MEDIA PACKAGE
CORE FRAME
CONDENSING SYMBOL FRAMING DEVICES
REASONING DEVICES
1. Methapors
1. Roots
2. Exemplaar
2. Appeals
3. Catchphrases
to
Principles
4. Depictions 5. Visual Images
2.8.1 Konsep Framing Analisis framing versi terbaru dari pendekatan wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Dan yang pertama kali melontarkan tentang framing adalah Beterson 1955 (Sudibyo 1999a : 23). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang
39
Ibid, Vol 95, No 1
33
mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Dalam ranah studi komunikasi, mewakili analisis tradisi yang mengedepankan
pendekatan
atau
perspektif
multidisipliner
untuk
menganalisis fenomena atau aktifitas komunikasi. Konsep framing adalah murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi di pinjam oleh ilmu kognitif (psikologi). Dalam praktiknya, analisis framing juga membuka peluang untuk implementasi konsep sosiologi, politik dan cultural untuk menganalisis fenomena komunikasi. Dalam perspektif
komunikasi, framing digunakan untuk
membedah cara atau ideology media saat mengkonstruksi fakta. Dengan kata lain framing di gunakan untuk mengetahui bagaimana cara pandang wartawan dalam menyeleksi isu dan menulis berita. Dalam konsep psikologis, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik. Dalam konsep ilmu lain konsep framing terkesan tumpang tindih, fungsi frame kerap dikatakan sebagai struktur internal dalam pikiran dan perangkat yang dibangun dalam wacana politik.
2.8.2 Proses Framing Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, meskipun realitas faktanya sama. Pengonstruksian fakta tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi politik media. Salah satu cara yang
34
dipakai atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas adalah dengan framing. Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana. Khususnya untuk menganalisa teks media. Analisis framing mewakili
tradisi
yang
mengedepankan
pendekatan
atau
perspektif
multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi. 40 Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana persfektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Gamson
dan
Modigliani,
peneliti
yang
konsisten
mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk 40
Alex Sobur, Op. Cit, hal.161
35
menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan-muatan di balik suatu isu atau peristiwa. Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita. Formula Gamson dan Modigliani menitikberatkan penelitian pada penggunaan bahasa yang dipakai media secara mikro. Formula ini dalam meneliti bahasa melalui dua perangkat, diantaranya pertama, perangkat framing yang terdiri dari methapora, catchphrases, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, perangkat penalaran yang terdiri dari roots, appeals to principle, consequences. Bahasa sangat mempengaruhi konsep framing, karena melalui framing akan ada hal tertentu yang ditonjolkan dan akan ada yang dikaburkan oleh media dalam membentuk realitas media. Proses
pemberitaan
dalam
organisasi
media
akan
sangat
mempengaruhi frame berita yang akan diproduksinya. Frame yang diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang pendidikan wartawan
36
sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga proses framing dalam organisasi media menurut George Junus Adit Jondro. Proses tersebut : 1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspekaspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya. 2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberikan. 3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.
37
2.8.3 Efek Framing Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek. Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh media, bahkan pemaknaan ini bisa jadi sangat berbeda. Realitas sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana,
beraturan
penyederhanaan
atas
dan
memenuhi
kompleksnya
logika
realitas
tertentu. yang
Berdasarkan
disajikan
media,
menimbulkan efek framing, yaitu: Pertama. Framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua. Framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga. Framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi.41
41
Eriyanto, Analisis Framing, LkiS, Yogyakarta, Op. Cit, hal.195