BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus 1. Diabetes Mellitus a. Pengertian
Diabetes Mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, dan multifaktoral yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hiperlipidemia. Gejala yang timbul adalah akibat kurangnya sekresi insulin atau ada insulin yang cukup, tetapi tidak efektif (Baradero, Dayrit, & Siswadi, 2005). Diabetes Mellitus (DM) merupakan kelainan metabolik dengan
etiologi
multifaktorial.
Penyakit
ini
ditandai
oleh
hiperglikemia kronis dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein serta lemak. Penyandang DM
akan ditemukan dengan
berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsi (banyak minum), dan Polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan (Gibney, Margaretts, Kearney, & Arab, 2005). b. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi diabetes mellitus tipe 1 (diabetes mellitus tergantung insulin [Insulin Dependent Diabetes Mellitus]/IDDM) adalah gangguan autoimun dimana terjadi penghancuran sel-sel beta pancreas penghasil insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM) adalah insensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi insulin) dan tidak adekuatnya respon sel beta pankreas
terhadap glukosa plasma yang khas, menyebabkan produksi glukosa hati berlebihan dan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan. Diabetes Gestasional, dimana sebagian besar wanita yang mengalami diabetes saat hamil memiliki homeostasis glukosa yang normal pada paruh pertama kehamilan dan berkembang menjadi defisiensi insulin relative selama paruh kedua, sehingga terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia menghilang pada sebagian besar wanita setelah melahirkan, namun mereka memiliki peningkatan resiko menyandang diabetes tipe 2. Jenis-jenis diabetes spesifik lainnya adalah diabetes sekunder akibat antagonisme hormonal insulin (sindrom cushing, akromegali, feokromositoma, hipertiroidisme, dan yang lebih jarang glukogonoma, somatostatinoma, aldosteronoma), penghancuran pankreas (kanker pancreas, pankreaditis, pankreatektomi, fibrosis kistik, hemokromatis), obat-obatan (diuretic tiazid, interferon alfa, takrohimus, diazoksid), dan infeksi (rubella congenital, CMV) (Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2007). c. Langkah-Langkah Menegakkan Diagnostik Diabetes Mellitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal (Misnadiarly, 2006). 2. Kadar Gula Darah a. Pengertian
Di dalam darah kita didapati zat gula. Gula ini gunanya untuk dibakar agar mendapatkan kalori atau energy. Sebagian gula yang ada dalam darah adalah hasil penyerapan dari usus dan sebagian lagi dari hasil pemecahan simpanan energi dalam jaringan. Gula yang ada di usus bisa berasal dari gula yang kita makan atau bisa juga hasil pemecahan zat tepung yang kita makan dari nasi, ubi, jagung, kentang, roti, dan lain-lain (Djojodibroto, 2001). Gula dalam darah terutama diperoleh dari fraksi karbohidrat yang terdapat dalam makanan. Gugus/molekul gula dalam karbohidrat dibagi menjadi gugus gula tunggal (monosakarida) misalnya glukosa dan fruktosa, dan gugus gula majemuk yang terdiri dari disakarida (sukrosa, laktosa) dan polisakarida (amilum, selulosa, glikogen). Proses penyerapan gula dari makanan melalui dua tahapan yaitu tahap pertama, setelah makanan dikunyah dalam mulut, selanjutnya akan masuk ke saluran pencernaan (lambung dan usus), pada saat itu gugusan gula majemuk diubah menjadi gugusan gula tunggal dan siap diserap oleh tubuh. Tahap kedua yaitu gugusan gula tunggal melalui ribuan pembuluh kecil menembus dinding usus dan masuk ke pembuluh darah (vena porta). Kadar gula dalam darah akan dijaga keseimbangannya oleh hormone insulin yang diproduksi oleh kelenjar beta sel pancreas. Mekanisme kerja homon insulin dalam mengatur keseimbangan kadar gula dalam darah adalah dengan mengubah gugusan gula tunggal menjadi gugusan gula majemuk yang sebagian
besar disimpan dalam hati dan dan sebagian kecil disimpan dalam otak sebagai cadangan pertama. Namun, jika kadar gula dalam darah masih berlebihan, maka hormone insulin akan mengubah kelebihan gula tersebut menjadi lemak dan protein melalui suatu proses kimia dan kemudian menyimpannya sebagai cadangan kedua. Gula setiap saat didistribusikan ke seluruh tubuh sebagai bahan bakar yang digunakan dalam seluruh aktivitas hidup. Jika dalam kondisi puasa sehingga tidak ada makanan yang
masuk, maka
cadangan gugusan gula majemuk dalam hati akan dipecah dan dilepaskan ke dalam aliran darah. Jika ternyata masih diperlukan tambahan gula, maka cadangan kedua berupa lemak dan protein juga akan diuraikan menjadi glukosa (Lanywati, 2001). Nilai normal glukosa dalam darah adalah 3,5-5,5 mmol/L. (James, Baker, & Swain, 2008). Dalam keadaan normal, kadar gula dalam darah saat berpuasa berkisar antara 80 mg%-120 mg%, sedangkan satu jam sesudah makan akan mencapai 170 mg%, dan dua jam sesudah makan akan turun hingga mencapai 140 mg% (Lanywati, 2001). b. Gula darah pada Diabetes Mellitus Tipe 2
Di dalam darah, kadar gula selalu fluktuatif bergantung pada asupan makanan. Kadar paling tinggi tercapai pada satu jam sesudah makan. Satu jam setelah makan, gula di dalam darah akan mencapai kadar paling tinggi, normalnya tidak melebihi 180 mg per 100 cc darah (180 mg/dl). Kadar 180 mg/dl disebut ambang ginjal dimana ginjal bisa menahan gula pada kadar tersebut. Lebih dari angka tersebut ginjal tidak dapat menahan gula dan kelebihan gula akan keluar bersama urin, jadilah kencing yang manis. Pada diabetes terdapat masalah dengan efek kerja insulin dalam hal ini memasukkan gula ke dalam sel tidak sempurna sehingga gula darah tetap tinggi. Hal
ini dapat meracuni dan menyebabkan rasa lemah dan tidak sehat serta menyebabkan komplikasi dan gangguan metabolisme yang lain. Apabila tidak bisa mendapatkan energi yang cukup dari gula, tubuh akan mengolah zat-zat lain di dalam tubuh untuk diubah menjadi energi. Zat-zat itu adalah lemak dan protein. Penggunaan atau penghancuran lemak dan protein menyebabkan turunnya berat badan (Kariadi, 2009). c. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar gula darah
Ada beberapa hal yang menyebabkan gula darah naik, yaitu kurang
berolah
raga,
bertambahnya
jumlah
makanan
yang
dikonsumsi, meningkatnya stress dan faktor emosi, pertambahan berat badan dan usia, serta dampak perawatan dari obat, misalnya steroid (Fox & Kilvert, 2010). 1) Olah raga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin
sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik (sekitar 30 menit/hari) dapat mengurangi resiko diabetes. Olah raga juga dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas. 2)
Asupan makanan terutama melalui makanan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat dan serat yang rendah dapat mengganggu stimulasi sel-sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh juga perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin.
3)
Interaksi antara pituitary, adrenal gland, pancreas dan liver sering terganggu akibat stress dan penggunaan obat-obatan. Gangguan organ-organ tersebut mempengaruhi metabolism ACTH (hormon dari pituitary), kortisol, glucocorticoids (hormon adrenal gland), glucagon merangsang glukoneogenesis di liver yang
akhirnya meningkatkan kadar gula dalam darah (Mahendra, Krisnatuti, Tobing, & Alting, 2008). Kurang tidur bisa memicu produksi hormone kortisol, menurunkan toleransi glukosa, dan mengurangi hormon tiroid. Semua itu menyebabkan resistensi insulin dan memperburuk metabolisme (Vita Health, 2000). Semakin bertambah usia perubahan fisik dan penurunan fungsi
4)
tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi pada usia lanjut sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukan/obesitas yang memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk diabetes mellitus (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2008).
B. Tidur 1. Pengertian
Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Orang mengalami irama siklus sebagai bagian dari kehidupan mereka yang setiap hari. Irama yang paling dikenal adalah siklus 24 jam, siang malam yang dikenal dengan irama diurnal atau sirkardian. Irama sirkardian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung
pada pemeliharaan siklus sirkardian 24 jam.
irama sirkardian, termasuk siklus tidur-bangun harian, dipengaruhi oleh cahaya dan suhu serta faktor-faktor eksternal seperti aktivitas sosial dan rutinitas pekerjaan (Potter & Perry, 2006). Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik. Dengan tidur maka akan dapat diperoleh kesempatan untuk
beristirahat dan memulihkan kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikis. Tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan bagi tubuh untuk menghindarkan pengaruh-pangaruh yang merugikan kesehatan. Pusat saraf tidur yang terletak di otak, akan mengatur fisiologis tidur yang sangat penting bagi kesehatan. Pada saat tidur, aktivitas saraf parasimpatik akan bertambah dengan efek perlambatan pernafasan (bronchokontriksi) dan turunnya kegiatan jantung serta stimulasi aktivitas saluran pencernaan (peristaltik dan sekresi getah-getah lambung diperkuat), sehingga proses pengumpulan energi dan pemulihan tenaga dalam tubuh dipercepat. Dengan demikian, tidur dapat memberikan kesegaran fisik dan psikis (Lanywati, 2001). 2. Fisiologi tidur
Tidur
melibatkan
suatu
urutan
keadaan
fisiologis
yang
dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf peripheral, endokrin, kardiovaskular, pernafasan, dan muskular. Tiap rangkaian diidentifikasi dengan respon fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur. Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tidur. System aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercaya terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks serebral (mis.proses emosi atau pikiran)
juga menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan katekolamin seperti norepinephrin. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga disebut daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR). Apakah
seseorang
tetap
terjaga
atau
tertidur
tergantung
pada
keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi (mis.pikiran), reseptor sensori perifer (mis.stimulus bunyi atau cahaya) dan system limbic (cahaya). Ketika orang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi SAR selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian, BSR mengambil alih yang menyebabkan tidur (Potter & Perry, 2006). 3. Jenis-jenis Tidur
Pada hakekatnya tidur dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu tidur dengan gerakan bola mata cepat (Rapid Eye Movement-REM), dan tidur dengan gerakan bola mata lambat (Non Rapid Eye Movement-NREM). Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal tersebut berarti tidur REM ini sifatnya nyenyak sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola matanya bersifat sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor, tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung bergerak bolak-balik), sekresi lambung meningkat, ereksi penis pada laki-laki, gerakan otot tidak teratur, kecepatan jantung, dan pernafasan tidak teratur, sering lebih cepat, serta suhu dan metabolisme meningkat. Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam. Pada tidur NREM gelombang otak lebih lambat dibandingkan pada orang yang sadar. Tanda-tandanya yaitu mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan
darah turun, kecepatan pernafasan turun, metabolisme turun, dan gerakan bola mata lambat. Tidur NREM memiliki empat tahap yang masing-masing tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas gelombang otak. Tahap I merupakan tahap transisi dimana seseorang beralih dari sadar menjadi tidur. Tahap ini ditandai dengan seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan ke kanan, kecepatan jantung dan pernafasan turun secara jelas. Seseorang yang tidur pada tahap ini dapat dibangunkan dengan mudah. Tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun. Tahap ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh menurun, tonus otot perlahan-lahan berkurang, serta kecepatan jantung dan pernafasan turun dengan jelas. Tahap II berlangsung sekitar 10-15 menit. Tahap III, keadaan fisik lemah lunglai karena tonus otot lenyap secara menyeluruh. Kecepatan jantung, pernafasan, dan proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi saraf parasimpatis. Seseorang yang tidur pada tahap ini sulit dibangunkan. Tahap IV merupakan tahap tidur dimana seseorang berada dalam keadaan rileks, jarang bergerak karena keadaan fisik yang sudah lemah lunglai dan sulit dibangunkan. Pada tahap ini dapat terjadi mimpi dan dapat memulihkan keadaan tubuh. Selain keempat tahap diatas, ada satu tahap lagi yaitu tahap V. Tahap kelima ini merupakan tahap REM yang ditandai dengan kembali bergeraknya kedua bola mata berkecepatan tinggi dari tahap-tahap sebelumnya (Asmadi, 2008). 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tidur
Pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur setiap orang berbedabeda. Ada yang kebutuhannya terpenuhi dengan baik, ada pula yang mengalami gangguan. Seseorang bisa tidur ataupun tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya status kesehatan, lingkungan, stress
psikologis, diet, gaya hidup, dan obat-obatan. Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang, namun banyak juga keadaan sakit menjadikan pasien kurang tidur. Selain itu keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dapat mempercepat terjadinya proses tidur. Kondisi cemas seseorang dapat meningkatkan
saraf
parasimpatis
sehingga
mengganggu
tidurnya.
Terpenuhinya kebutuhan nutrisi dapat juga mempercepat proses tidur, protein yang tinggi mengandung tryptophan yang merupakan asam amino dari protein. Ada juga obat-obatan yang mempengaruhi proses tidur, misalnya golongan diuretic menyebabkan insomnia, dan antidepressant dapat menekan REM (Asmadi, 2008). Perlu disadari bahwa hidup dengan DM dapat memberikan beban psikososial bagi penderita maupun anggota keluarganya. Respons emosional negatif terhadap diagnosis bahwa seseorang mengidap penyakit ini dapat berupa penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, cemas, marah, merasa berdosa, dan depresi. Respons emosional negative tersebut dapat menghambat upaya penurunan glukosa darah (Djokomoeljanto, 2007). Tidur yang cukup merupakan kunci untuk merasa nyaman dan bahagia. Sebaliknya, kurang tidur mengakibatkan kelelahan dan mudah marah. Sama eratnya hubungan antara stress dan makan, stress dan tidur juga tak terpisahkan. Manakala stress mendera, salah satu bentuk gangguan tidur akan muncul (Khavari, 2006). Stress emosional dapat meningkatkan kadar gula darah dan glukosuria
melalui
peningkatan
stimulus
simptoadrenal.
Stress
meningkatkan produksi hormone hipofisis, katekolamin, kortikosteroid, dan menekan pelepasan insulin sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Putranto & Mudjadid, 2003). Stress emosional pada penderita diabetes mellitus adalah menyangkal, obsesif, marah, dan takut. Banyak orang yang menyangkal
sewaktu
mengetahui
dirinya
menyandang
diabetes,
bahkan
ada
penyangang diabetes yang memerlukan beberapa tahun sampai dia mengubah cara hidupnya. Mereka tidak mau tau bahwa banyaknya makanan dan kelebihan berat badan sangat berhubungan dengan tingginya kadar glukosa darah, dan juga berhubungan dengan gejala-gejala diabetes seperti mudah lelah, mudah infeksi, dan lain-lain. Sedangkan obsesi adalah kebalikan dari sikap penyangkalan terhadap diabetes. Pasien yang terobsesi biasanya sangat memperhatikan tiap hal mengenai diabetesnya. Dia akan melakukan hal sesempurna mungkin, karena yakin dengan demikian diabetesnya dapat dikendalikan dengan sempurna. Tetapi sayangnya manajemen diabetes bukan suatu hal yang sempurna. Sifat selalu ingin sempurna mungkin tidak akan berlangsung lama, sedangkan pengendalian diabetes mellitus harus berlangsung seumur hidup. Suatu ketika sikap obsesif ini mungkin akan menyebabkan kelelahan dan kekecewaan, dan merasa bahwa diabetes telah membatasi segala segi kehidupan. Keadaan emosional yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah marah. Mereka marah karena nerasa hidupnya terganggu/tertekan. Mereka merasa dicabut kebebasannya karena banyak “larangan”
dan
“keharusan”
menyangkut
kehidupannya
sebagai
penyandang diabetes. Mereka tak dapat lagi makan makanan kesukaannya, harus minum obat secara teratur, lengannya harus ditusuk jarum suntik untuk pemeriksaan darah atau suntik insulin, dan lain-lain. Kemarahan ini sering dipicu oleh sikap lingkungannya yang tidak mendukung, misalnya keluarga/teman
bersikap
seperti
polisi
yang
selalu
mengawasi
makanannya, latihan jasmaninya, atau kadar glukosa darahnya. Dia merasa seperti tahanan yang dikelilingi oleh para penjaga, bukan sebagai orang yang disayangi. Penyandang diabetes juga sering merasa frustasi karena setiap hari harus selalu memikirkan diabetesnya. Mereka merasa kebebasannya
terganggu. Kadang-kadang glukosa darah tetap tinggi walaupun dia merasa sudah melakukan segala sesuatu dengan benar. Mereka tak dapat memperkirakan apa yang akan terjadi dikemudian hari akibat diabetesnya. Selain itu banyak hal yang menimbulkan ketakutan pada penyandang diabetes. Mereka akan lebih sering memikirkan kematian bila ada keluarganya yang meninggal akibat komplikasi diabetes. Penyandang diabetes lainnya takut disuntik insulin atau takut mengalami komplikasi diabetes. Juga banyak orang mengatakan dia sedang depresi. Kebanyakan mereka menggunakan istilah “depresi” yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud sebagai depresi dalam klinik. Mungkin maksud mereka hanya bahwa saat itu sedang mengalami kesedihan, dengan suatu sebab yang jelas, biasanya berlangsung beberapa jam atau hari. Berbeda dengan depresi klinik. Biasanya tidak jelas faktor penyebab/pemicunya, kalaupun ada maka respon emosional yang timbul terlalu berlebihan dan berlangsung lama (Semiardji, 2007). Berdasarkan uraian di atas, pendekatan psikosomatis atau pendekatan holistik perlu dilakukan dalam penatalaksanaan stress atau depresi pada pasien diabetes mellitus dengan memperhatikan semua segi, baik fisik, psikis maupun lingkungan penderita. Pendekatan terapi semacam ini diharapkan akan memperbaiki gejala-gejala stress/depresi, mencegah komplikasi lebih lanjut, dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Pengobatan dilakukan dengan memberikan psikoterapi, psikoedukasi, dan psikofarmaka secara serentak. Cognitive Behavioral Theraphy (CBT) sangat bermanfaat diberikan pada pasien dengan stress/depresi dengan diabetes mellitus dan dikombinasikan edukasi diabetes. Teknik terapi perilaku tersebut berupa mengubah perilaku dengan mengembalikan aktivitas fisik dan kehidupan sosial yang menyenangkan pasien, upaya pemecahan
masalah
mengidentifikasi
yang
adanya
dihadapi,
maladaptasi
teknik dan
kognitif
dengan
menggantinya
dengan
pandangan yang akurat, adaptif dan berguna (Mudjadid & Putranto, 2003).