BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Fisiologi Ginjal Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan Wilson, 2005). Price dan Wilson (2005) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal yaitu : Fungsi Eksresi o Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan mengubah-ubah ekresi air. o Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi natrium. o Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal. o Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat. o Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin). o Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat. Fungsi Non eksresi o Menyintesis dan mengaktifkan hormon Renin
: penting dalam pengaturan tekanan darah
Universitas Sumatera Utara
Eritropoitin
: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat. Prostaglandin
: sebagian besar adalah vasodil;ator bekerja secara lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
Degradasi
hormon
polipeptida,
insulin,
glukagon,
parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal. Sistem eksresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan mikturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2001). Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh jaringan ikat. Nefron ginjal terbagi 2 jenis, nefron kortikal yang lengkung Henlenya hanya sedikit masuk medula dan memiliki kapiler peritubular, dan nefron jukstamedulari yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan memiliki Vasa Recta. Vasa Recta adalah susunan kapiler yang panjang mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks ginjal akan terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara medula akan terlihat bergaris-garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus pengumpul (Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan tubuh (Guyton, 2007).
2.2.
Penyakit ginjal kronik 2.2.1. Batasan dan Definisi Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik (Skorecki, 2005). Kriteria penyakit ginjal kronik adalah (Suwitra, 2006): 1.
Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi klinis : Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Universitas Sumatera Utara
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain (Suwitra, 2006). Secara umum etiologi penyakit ginjal kronik mencakup diabetes melitus, hipertensi, penyakit glomerular non diabetek, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit tubulointerstitial. Diabetes melitus dan hipertensi adalah penyebab yang paling utama (Skorecki, 2005). Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang mengalami hemodialisis di Indonesia adalah glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi, dan sebab lain (Suwitra, 2006).
2.2.2. Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2006).
*pada perempuan dikalikan 0,85
Berdasarkan LFG, penyakit ginjal kronik diklasifikasikan sebagai (Lydia, 2006) : 1. Derajat 1 bila telah terjadi kerusakan ginjal namun nilai LFG masih normal ( ≥ 90 ml/mnt/1,73 m 2).
Universitas Sumatera Utara
2. Derajat 2 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan ( 60-89 ml/mnt/1,73 m2. 3. Derajat 3 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang ( 30-59 ml/mnt/1,73 m2). 4. Derajat 4 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun berat ( 15-29 ml/mnt/1,73 m2). 5. Derajat 5 bila telah terjadi gagal ginjal dengan LFG turun <15 ml/mnt/1,73 m2 atau sudah membutuhkan terapi hemodialisis.
2.2.3.
Patofisiologi Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi. Struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan pada akhirya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal,
ikut
memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
Universitas Sumatera Utara
untuk
terjadinya
sklerosis
dan
fibrosis
glomerulus
maupun
tubulointerstitial (Suwitra, 2006). Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan mana LFG basal masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah mual nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan tetapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2006)
2.2.4
Manifestasi Klinis Suwitra (2006) membagi Gambaran klinis pasien Penyakit Ginjal Kronik menjadi : 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,
Universitas Sumatera Utara
hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. 2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejangkejang sampai koma. 3. Gejala
komplikasinya
antara
lain,
hipertensi,
anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
2.2.5
Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Penatalaksanaan PGK dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah tindakan konservatif, untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif, mencegah dan mengobati komplikasi yang terjadi. Penanganan konservatif PGK meliputi: 1) Pengaturan diet; 2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi berupa pengobatan hipertensi, hiperkalemi,
hiperuresimia, anemia, asidosis, osteodistrofi renal,
neuropati perifer dan infeksi (Price dan Wilson, 2005). Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan
tindakan
memperpanjang
usia
yang
dapat
penderita.
dilakukan Hemodialisis
sebagai
upaya
tidak
dapat
menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Sherwood, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Tata laksana PGK Derajat
Rencana tatalaksana
GFR (ml/mt/1,73 m²)
1
> 90
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
perburukan
fungsi
ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskuler 2
60 – 89
Menghambat perburukan fungsi ginjal
3
30 – 89
Evaluasi dan terapi komplikasi
4
15 – 29
Persiapan untuk penggantian ginjal
5
< 15
Terapi pengganti ganja
(Sumber: National Kidney Foundation, 2002)
2.3 Hemodialisis Hemodialisis adalah proses dimana terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainya yaitu cairan dialisat melewati membran semi permeabel dalam dialiser (Price dan Wilson, 2005). Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien PGK dengan End Stage Renal Disease (ESRD). Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme
tubuh,
sehingga
secara
tidak
langsung
bertujuan
untuk
memperpanjang umur pasien (Kallenbach et al, 2005). Walaupun hemodialisis
Universitas Sumatera Utara
berfungsi mirip dengan cara kerja ginjal, tindakan ini hanya mampu menggantikan sekitar 10% kapasitas ginjal normal (Sherwood, 2001). Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin melewati dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat dialirkan secara berlawanan arah dengan kecepatan 500-800mL/min. Darah dan dialisat sendiri hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel (Singh dan Brenner, 2005) Departemen Internal Medicine Lund hospital (2005) mengatakan bahwa prosedur dialisis pertama kali disusun oleh Dr. Willem Kolff pada tahun 1943 dan lalu disempurnakan oleh Dr. Nils Alwall pada tahun 1946. Sampai sekarang , prosedur ini tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage Renal Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik, hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler, asidosis yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang kurang dari 10 mL/min per 1,73 m2 (Singh dan Brenner, 2005). Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran semipermeabel. Cairan dialisat dikondisikan sedemikian sehingga memiliki gradien konsentrasi yang lebih rendah daripada darah sehingga zat-zat sisa akan berdifusi ke dialisat. Kecepat an difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besar gradien konsentrasi, luas membran, dan koefisien transfer dari membran. Berat molekul juga berpengaruh dalam menentukan kecepatan difusi. Selain itu, transfer zat-zat ini juga bisa dibantu dengan tekanan ultrafiltrasi. Sementara air dan larutan lain yang berlebih akan ikut terbuang karena tekanan osmosis (Singh dan Brenner, 2005). Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis, yaitu alat dialyzer, cairan dialisat, dan sistem penghantaran darah. Dialyzer adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompartemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran. Pada pasien
Universitas Sumatera Utara
dewasa, luas permukaan membran ini berkisar antara 0,8-1,2 m2 (Singh dan Brenner, 2005). Dialisat adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien (Hudak dan Gallo, 1999; Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009). Komposisi cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit pasien ESRD. Renal Association (1999) merekomendasikan unit dialisis menggunakan dialisat
bikarbonat
untuk mengurangi komplikasi. Mesin
hemodialisis merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh (Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009). Agar efektifitas hemodialisis tercapai, hemodialisis idealnya dilakukan tiga kali seminggu dengan lama setiap hemodialisis 4-5 jam atau paling sedikit 10-12 jam seminggu (Australia and New Zealand Dialysis and Transplant Registry, 2005; Black dan Hawk, 2005). Variasi waktu tergantung ukuran pasien, tipe dialiser, kecepatan aliran darah, pilihan pasien dan faktor lain (Black dan Hawk, 2005). Hemodialisis di Indonesia biasa dilakukan dua kali seminggu dengan lama 5 jam, ada juga dialisis yang dilakukan tiga kali seminggu dengan lama 4 jam (Raharjo, Susalit dan Suharjono, 2006 dalam Sudoyo, 2006) Sebelum melakukan hemodialisis, perawat melakukan pengkajian pradialisis. Langkah selanjutnya adalah menghubungkan pasien ke mesin hemodialisis dengan memasang blood line dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialiser dan akses untuk masuk darah ke dalam tubuh. Arteri venosa (AV) fistula adalah akses vaskuler yang paling direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman untuk pasien (Thomas dan Smith, 2003 dalam Armiyati, 2009). Setelah blood line dan akses vaskuler terpasang, proses hemodialisis dimulai. Saat hemodialisis, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di dalam dialiser.
Universitas Sumatera Utara
Darah mulai mengalir dibantu oleh pompa darah. Cairan normal salin diletakkan sebelum pompa darah untuk mengantisipasi adanya hipotensi intradialisis. Infus heparin diletakkan baik sebelum atau setelah pompa darah tergantung peralatan yang digunakan (Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009). Darah mengalir dari tubuh melalui akses arterial menuju kedialiser sehingga terjadi pertukaran darah dan zat sisa. Saat hemodialisis, darah sebenarnya tidak mengalir melalui mesin hemodialisis, melainkan melalui selang darah dan dialiser. Proses selanjutnya darah akan meninggalkan dialiser. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detektor udara yang akan menghentikan pompa jika ada udara. Darah yang telah disaring kemudian dialirkan kembali ke dalam tubuh melalui akses venosa atau selang postdialiser (Hudak dan Gallo, 1999 dalam Armiyati, 2009). Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui vena. Dialisis diakhiri dengan menghentikan darah dari pasien, membuka selang normal salin dan membilas selang untuk mengembalikan darah pasien. Pada
akhir
terapi dialisis,
sisa akhir
metabolisme telah dikeluarkan,
keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan buffer system juga telah ,diperbaharui (Smeltzer et al, 2008 dalam Armiyati,2009). Berbagai komplikasi intradialisis dapat dialami oleh pasien saat menjalani hemodialisis. Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi pada saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi yang umum terjadi saat pasien menjalani hemodialisis adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, gatal, demam dan menggigil (Holley et al, 2007; Barkan et al, 2006).
2.4 Pruritus 2.4.1. Definisi dan Fisiologi Pruritus adalah istilah medis untuk gatal. Gatal sendiri merupakan suatu hasil stimulasi gradasi ringan pada serat saraf. Bila gradasi meningkat, maka
Universitas Sumatera Utara
sensasi yang akan timbul adalah nyeri (Djuanda S, 2008). Secara sifat, gatal bisa dibagi menjadi dua, yaitu gatal yang terlokalisasi dan singkat, dan gatal yang tersebar dan sulit terlokalisasi yang akan menyebabkan daerah sekitarnya ikut gatal. Tipe yang pertama disebut gatal spontan, sementara tipe yang kedua disebut gatal kulit. Ada dua jenis teori tentang pruritus. Teori yang pertama menyatakan bahwa pruritus berbeda dari nyeri, sementara teori kedua menyatakan bahwa nyeri adalah rangsang pruritus yang lebih kuat dan berada di bagian kulit yang lebih dalam. Telah terbukti pula bahwa baik rangsang pruritus maupun nyeri sama-sama menggunakan jalur serabut saraf c. Zat-zat kimia yang dapat menimbulkan pruritus mencakup histamin, endopeptida, turunan kina, maupun opioid. Dari semua zat itu, zat stimulan pruritus yang paling umum adalah histamin yang disekresikan oleh sel mast (Sherwood, 2001; Patrick dalam Prasetya, 2009). Tujuan fisiologis dari pruritus sendiri sebenarnya masih belum diketahui dengan pasti, namun beberapa spekulasi mencakup menyingkirkan kotoran yang menempel di kulit atau memberi sinyal adanya reaksi inflamasi. Terlepas dari tujuannya, pruritus sendiri bisa didefinisikan sebagai suatu rasa sakit yang terlalu lemah sehingga tidak menimbulkan inhibisi lateral. Gerakan menggarukakan memperkuat rangsang nyeri ini sehingga rasa pruritus yang awalnya terasa menyebar akan terlokalisasi menjadi tajam karena inhibisi lateral. Sensasi yang baru ini akan diterjemahkan sebagai nyeri yang menyebabkan eliminasi sensasi pruritus (Sherwood, 2001). Di medula spinalis sendiri tidak ditemukan adanya suatu jaras khusus untuk pruritus. Rangsang pruritus yang sampai ke otak umumnya lebih ditentukan oleh kombinasi urutan dan frekuensi rangsang saraf tertentu yang tidak khusus untuk pruritus. Rangsang ini lalu akan diteruskan ke daerah korteks persepsi dan premotor. Korteks akan langsung mengaktifkan refleks ingin menggaruk daerah yang gatal. Refleks menggaruk ini sebenarnya bisa
Universitas Sumatera Utara
juga hanya berupa refleks spinalis saja. Selain itu, rasa ingin menggaruk juga bisa disebabkan adanya rangsang korteks tanpa rangsang pruritus sesungguhnya. Keadaan ini menyebabkan puritus psikologis (Widiana, Lydia, Prodjosudjadi, 2003 dalam Prasetya, 2009 ). Beberapa keadaan patologis yang bisa menyebabkan pruritus mencakup Penyakit Ginjal Kronik, cholestasis, defisiensi besi, penyakit endokrin, keganasan, polisitemia, dermatitis, dan penuaan (Sherwood, 2001; Patrick, 1999 dalam Prasetya, 2009).
2.5 Pruritus yang terjadi akibat Hemodialisis Pruritus merupakan masalah yang paling sering dialami pasien peritoneal dialisis maupun hemodialisis (HD) dan prevalensinya dilaporkan antara 50-90 % mulai dari yang lokal, umum, ringan dan berat (Narita et al, 2008). Pruritus dapat menyebar dan bersifat menetap (Razeghi et al, 2008). Akhyani et al (2005) melaporkan prevalensi pruritus mencapai 41,9% pada suatu penelitian di Iran. Sementara Giovambattitsta (2003) melaporkan prevalensi pruritus sebesar 50% pada pasien penyakit ginjal kronik di sebuah rumah sakit di Italia. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Widiana et al di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 71,4% pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin ternyata mengalami pruritus (Prasetya, 2009). Penilaian pruritus pada pasien penyakit ginjal kronik umumnya dilakukan dengan Visual Analog Scale (VAS), dengan skala 0 tidak ada pruritus, dan 10 adalah pruritus yang sangat berat (Elman et al, 2010). Beberapa faktor telah di duga untuk etiologi dan patogenesisnya, termasuk hipertiroid, hipofosfatemia, dan peningkatan akumulasi dari kalsium dan fosfat di kulit, peningkatan serum level dari histamin dan skin mast cells dan peningkatan opioid reseptor. Tetapi tidak ada studi manapun yang telah menemukan kebenaran faktor mana yang paling menyebabkan pruritus pada pasien HD (Razeghi et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Faktor resiko untuk pruritus sendiri masih belum jelas. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pruritus tidak dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, penyakit ginjal yang mendasari, dan lama HD (Giovambattista, 2003; Kato et al, 2000; Mesic E et al, 2004 ) Walaupun begitu, Kentaro et al (2001) menyatakan sebaliknya. Dugue et al (2006) dalam Prasetya (2009) menyebutkan juga bahwa pruritus dipengaruhi oleh lama HD, di mana lama HD yang semakin lama akan meningkatkan resiko timbulnya pruritus. Beberapa faktor telah diduga untuk etiologi dan patogenesisnya, termasuk hipertiroid, hipofosfatemia, dan peningkatan akumulasi dari kalsium dan fosfat di kulit, peningkatan serum level dari histamin dan skin mast cells dan peningkatan reseptor opioid. Tetapi tidak ada studi manapun yang telah menemukan kebenaran faktor mana yang paling menyebabkan pruritus pada pasien HD (Razeghi et al, 2008). Xerosis kutis biasanya disebabkan karena retensi vitamin A karena berkurangnya fungsi ginjal untuk mengekskresikan zat ini. Maka vitamin A akan menumpuk di jaringan subkutan kulit. Vitamin yang terlalu berlebih ini akan menyebabkan atrofi kalenjar sebasea dan kalenjar keringat sehingga kulit menjadi kering dan gatal (Sherwood, 2001; Akhyani et al, 2005) Beberapa sumber juga menyebutkan adanya peningkatan histamin pada penyakit ginjal kronik, walau mekanismenya belum diketahui pasti. Anemia defisiensi besi juga disebut-sebut sebagai salah satu pencetus pruritus, namun menurut salah satu penelitian dikatakan tidak ada hubungan antara pruritus dengan kadar hemoglobin pasien (Akhyani et al, 2005). Hiperfosfatemia, hiperkalsemia, dan hipermagnesia adalah mekanisme yang banyak diterima sebagai penyebab pruritus. Kalsium dan magnesium darah dalam kadar tinggi akan berikatan dengan fosfat sehingga membentuk kristal. Kristal ini akan terdeposit di kulit dan menimbulkan rangsangan terhadap serabut saraf c yang akan menyebabkan sensasi gatal. (Skorecki, 2005; Giovambattista, 2003). Salah satu literatur menyebutkan bahwa pembentukan kristal kalsium fosfat
Universitas Sumatera Utara
terutama akan terjadi bila perkalian kadar kalsium dan fosfat serum (masingmasing dalam mg/dl) lebih dari 70. Seperti etiologinya, terapi untuk mengatasi pruritus pada pasien penyakit ginjal kronik juga masih belum memiliki standar baku. Cara yang cukup efektif adalah dengan memberikan agen pengikat fosfat oral. Contoh yang sering digunakan adalah kalsium karbonat atau kalsium asetat (Akhyani et al, 2005 ; Skorecki, 2005). Cara lain adalah dengan memberikan obat-obat imunosupresi untuk menekan reaksi gatal (Skorecki, 2005).
Universitas Sumatera Utara