4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Singkat Hutan Hujan Tropis Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa, dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem. Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis. Masyarakat hutan terbentuk secara berangsur-angsur melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuh-tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan, penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh, dan stabilisasi. Proses inilah yang disebut suksesi. Secara singkat suksesi adalah suatu proses perubahan komunitas tumbuh-tumbuhan secara teratur mulai dari tingkat pionir sampai pada tingkat klimaks di suatu tempat tertentu. Macam-macam suksesi berdasarkan proses terjadinya terdapat dua macam suksesi yaitu (Soerianegara & Indrawan 2005) : 1. Suksesi primer (prisere) adalah perkembangan vegetasi mulai dari habitat tak bervegetasi hingga mencapai masyarakat yang stabil dan klimaks. Suksesi primer ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan primer. Hutan primer terbentuk dari daratan yang mengalami suksesi yang ideal berkembang mulai dengan masyarakat tumbuh-tumbuhan Cryptogamae (tingkat rendah), tumbuhtumbuhan herba (terna), semak, perdu, dan pohon, hingga tercapai hutan klimaks. 2. Suksesi sekunder adalah suksesi yang terjadi apabila klimaks atau suksesi yang normal terganggu atau dirusak, misalnya oleh kebakaran, perladangan, penebangan, penggembalaan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Suksesi sekunder ini yang akan mengakibatkan terbentuknya hutan sekunder. Contohnya jika hutan hujan tropis mengalami kerusakan oleh alam atau manusia (penebangan atau perladangan) maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya dimulai dengan vegetasi rumput atau semak. Apabila keadaan tanahnya tidak banyak menderita kerusakan oleh erosi, maka sesudah 15–20
5
tahun akan terjadi hutan sekunder muda, dan sesudah 50 tahun akan terjadi hutan sekunder tua yang secara berangsur-angsur akan mencapai klimaks. Letak geografis Indonesia yang berada diantara benua-benua Asia dan Australia, di sekitar khatulistiwa mengakibatkan adanya berbagai macam tipe-tipe hutan, salah satunya hutan hujan tropis (tropical rain forest). Hutan hujan tropis di Indonesia memiliki luas ± 89.000.000 ha, terutama terdapat di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Iklim selalu basah, 2. Tanah kering dan bermacam-macam jenis tanah, 3. Di pedalaman, pada tanah rendah rata atau berbukit (< 1000 m dpl) dan pada tanah tinggi (s/d 4000 m dpl), 4. Dapat dibedakan menjadi tiga zone menurut ketinggiannya yaitu (Soerianegara & Indrawan 2005) : - Hutan hujan bawah 2-1000 m dpl, jenis kayu yang penting antara lain dari genus famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Vatica. Genus-genus lain antaralain Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Gossanepinus, Koompasia, dan Octomeles. - Hutan hujan tengah 1000-3000 m dpl, jenis kayu yang umum terdiri dari famili
Lauraceae,
Fagaceae,
Castanea,
Nothofagus,
Cunoniaceae,
Magnoliaceae, Hammamelidaceae, Ericaceae, dan lain-lain. - Hutan hujan atas 3000-4000 m dpl, jenis kayu utama yaitu Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain. Hutan hujan tropis secara fisiognomi merupakan hutan yang sifatnya menutupi kawasan, dengan keanekaragaman jenis yang paling kaya bila dibandingkan dengan seluruh tipe vegetasi. Hutan hujan tropis juga merupakan hutan tipe kanopi yang evergreen (pohon yang selalu berdaun hijau) dengan ketinggian pohon maksimum rata-rata 30 m, pohon-pohon berasosiasi dengan Herbs, Climbers, Epiphytes, Stranglers, Saprophytes, dan Parasites. Hutan hujan tropis memilki peranan antaralain habitat utama untuk flora dan fauna, sumber daya pembangunan ekonomi, pemeliharaan keseimbangan kondisi iklim lokal dan
6
global, selain itu juga sebagai konservasi tanah, air, nutrisi, dan biodiversitas. (Soerianegara & Indrawan 2005).
2.2 Deskripsi Singkat Famili Dipterocarpaceae Menurut Heyne (1987) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri pohonnya besar, tinggi, batangnya lurus, silinder, dan berbanir. Pohon dari famili Dipterocarpaceae ini persebarannya banyak terdapat di Sumatra dan Kalimantan. Pohon-pohon ini tumbuh mulai dari dataran rendah hingga tinggi di pegunungan, namun juga banyak di rawa-rawa gambut. Tingginya biasanya 3040 m dan bagian batangnya yang bebas cabang biasanya 20-25 m panjangnya. Batang-batangnya hampir selalu lurus, tetapi dekat pada tajuknya sering agak bengkok. Menurut Heyne (1987) untuk kualitas kekuatannya jenis-jenis pohon famili Dipterocarpaceae ini dapat digolongkan kedalam kelas II, III, atau IV. Sedangkan menurut kualitas keawetannya kedalam kelas III atau IV. Karena banyak ditemukan dan bentuk batangnya yang baik serta mudah dikerjakan maka kayu ini di Sumatra dan Kalimantan termasuk jenis-jenis yang paling banyak digunakan. Jenis-jenis yang ringan, yang dapat lama bertahan terhadap bubuk namun kurang terhadap pengaruh cuaca, oleh penduduk biasa dipakai untuk papan, kasau pada bangunan rumah, dan untuk sampan. Sementara itu jenis-jenis yang lebih berat, yang lebih kuat, dan lebih awet digunakan untuk gelegar, papan lantai, dan bahkan papan geladak jembatan. Untuk di Eropa yang pada umumnya menuntut syarat-syarat yang lebih berat, biasanya memakai Meranti Merah hanya untuk maksud-maksud semi permanen, untuk dinding hias, dan terutama untuk acuan pada bangunan beton, serta untuk perancah pada bangunan gedung. Tetapi jenis-jenis yang lebih baik konon lambat laun dipakai juga untuk pekerjaan permanen. Meranti adalah jenis kayu perdagangan yang terpenting dari Sumatra dan Kalimantan, terutama di daerah-daerah yang ada kemugkinan pengangkutan di air. Jumlah-jumlah besar diekspor dari Bengkalis, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat dengan tujuan Singapura, Cina, dan Australia. Menurut Samingan (1973) famili Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri umum berbentuk pohon raksasa hingga tinggi 65 m, biasanya berbatang lurus, silindris
7
setinggi 20-40 m. Kulit batang yang halus biasanya mengelupas dalam kepingankepingan tipis yang lebar-lebar. Kayu gubal putih, putih kekuning-kuningan atau coklat muda dan biasanya mengandung banyak sekali resin. Kayu gubal ini jelas beda daripada kayu terasnya yang berwarna merah atau coklat kemerahan. Untuk persebarannya menunjukkan bahwa Sumatra dan Kalimantan bersamasama dengan Semenanjung Malaya serta Filipina merupakan pusat daerah Dipterocarpaceae. Menurut Prawira dan Tantra (1973) Shorea leprosula Miq atau Meranti Tembaga yang termasuk golongan Meranti Merah yang termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini : 1. Habitus
: Pohon tinggi mencapai 50 m, batang bebas cabang 30 m,
diameter mencapai 100 cm atau lebih, banir tinggi 3,5 m. 2. Batang
: Kulit luar tebalnya kira-kira 5 mm, berwarna abu-abu atau
coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar-besar dan tebal. Penampang berwarna coklat muda sampai merah, bagian dalamnya kuning muda. Kayu gubal tebalnya 1-8 cm, berwarna kuning muda sampai kemerahan. Kayu teras berwarna coklat muda sampai merah, peralihannya dari gubal keteras terjadi secara berangsur. 3. Daun
: Rata, hampir menyerupai segiempat memanjang atau bulat telur
terbalik yang memanjang, pangkal daun membulat, ujung runcing, panjangnya rata-rata 3-13 cm, lebar 3-6 cm, permukaan atas helaian daun mengkilat dan permukaan bawah suram. 4. Buah
: Berbentuk bulat telur, ujungnya agak lancip, berbulu halus
berwarna pucat, panjang 1-1,5 cm, diameter kira-kira 1 cm dan sayapsayapnya tipis. 5. Tumbuh
: terdapat banyak di Sumatra dan Kalimantan dalam hutan primer
5-800 m dpl. Pada tanah liat dan berpasir yang selamanya tidak digenangi air, kadang terdapat pula pada pinggir rawa, dan hidup berkelompok. 6. Penggunaan : Kayu mempunyai BJ 0,52 dengan kelas awet III-IV, dipergunakan untuk bangunan rumah, perabot rumah tangga dan perahu. Damarnya dipakai untuk menambal perahu dan lampu.
8
Menurut Djamhuri, Hilwan, Istomo, dan Soerianegara (2002) famili Dipterocarpaceae merupakan pohon raksasa, berdamar,
kadang-kadang
berbanir, serta kulit batang mengelupas. Daun tunggal berseling, tetapi rata, berdaun penumpu (besar dan tidak rontok), tulang daun ada yang berbentuk tangga (Scalariform veination). Bunga biseksual, beraturan, tersusun dalam malai, kelopak bunga ada lima helai, bebas atau bersatu di pangkal. Buah berbiji satu, keras tidak pecah dan bersayap, sayap merupakan perkembangan dari kelopak bunga. Famili ini mendominasi hutan hujan dataran rendah dan tersebar di kawasan Tropika Asia (India, Srilangka, Myanmar, Malaysia, Filipina, Indonesia, Cina Selatan, dan Papua Nugini), di Indonesia terbanyak di Kalimantan dan Sumatra. Famili Dipterocarpaceae ini sudah tercatat 512 jenis dalam 16 marga. Di Indonesia sendiri dijumpai sembilan marga, yaitu Shorea (Shorea leprosula, shorea pinanga, shorea multiflora, shorea hopeifolia, shorea polyandra,
shorea
leavifolia),
Dryobalanops
(Dryobalanops
aromatic,
Dryobalanops lanceolata, dan Dryobalanops oblongifolia), Dipterocarpus (Dipterocarpus cornutus, Dipterocarpus crinitus), Hopea (Hopea mengarawan, hopea dryobalanoides), Anisoptera (Anisoptera marginata, Anisoptera costata), Vatica (vatica rassak, Vatica wallichii), Parashorea, Upuna, dan Cotylelobium. Manfaat yang dapat diperoleh dari famili Dipterocarpaceae antaralain sebagai bahan konstruksi, plywood, damar.
Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di Indonesia Marga Jawa 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Shorea Endemik Non endemik Hopea Endemik Non endemik Dryobalanops Endemik Non endemik Vatica Endemik Non endemik Catylelobium Endemik Non endemik Anisoptera Endemik Non endemik
1 0 1 1 0 1 0 0 0 3 1 2 0 0 0 1 0 1
Sumatra 50 3 47 14 3 11 2 0 2 11 4 7 1 0 1 4 0 4
Jumlah jenis (Number of species) Wilayah penyebaran Kalimantan Sulawesi Maluku 127 2 3 82 0 1 45 2 2 42 2 2 22 1 0 20 1 2 7 0 0 5 0 0 2 0 0 35 2 1 23 1 0 12 1 1 3 0 0 1 0 0 2 0 0 5 1 1 2 0 0 3 1 1
Bali
Irian 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 13 11 2 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1
9
Lanjutan Tabel 1 Penyebaran dan jumlah jenis pohon Dipterocarpaceae di Indonesia Marga Jawa 7. Dipterocarpus Endemik Non endemik 8. Parashorea Endemik Non endemik 9. Upuna Endemik Non endemik
4 1 3 0 0 0 0 0 0
Sumatra 25 1 24 3 1 2 0 0 0
Jumlah jenis (Number of species) Wilayah penyebaran Kalimantan Sulawesi Maluku 41 0 0 15 0 0 26 0 0 6 0 0 4 0 0 2 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0
Bali 2 0 2 0 0 0 0 0 0
Irian 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber : Dendrologi, 2002
2.3 Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Menurut Husch (1987) inventarisasi hutan adalah suatu usaha atau kegiatan untuk menyajikan taksiran-taksiran kuantitas kayu di hutan menurut suatu urutan klasifikasi seperti spesies, ukuran, dan kualitas. Menurut Simon (1996) tujuan utama inventarisasi hutan adalah untuk mendapatkan data tentang areal berhutan dan komposisi tegakannya. Kegiatan inventarisasi hutan dapat dilaksanakan dengan pengindraan jauh, pengamatan langsung dilapangan, atau gabungan dari keduanya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT),
diwajibkan
menyusun
Rencana
Kerja
Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK) sepuluh tahunan yang disusun berdasarkan inventarisasi hutan berkala sepuluh tahunan (Departemen Kehutanan Republik Indonesia 2007b). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 34/Menhut-II/2007 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi. Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan secara berkala satu kali dalam sepuluh tahun pada seluruh petak di dalam
10
kawasan hutan produksi setiap wilayah unit pengelolaan/unit managemen. Tujuan dari IHMB tersebut antaralain (Departemen Kehutanan Republik Indonesia 2007a) : 1. Untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan hutan (timber standing stock) secara berkala. 2. Sebagai bahan penyusunan RKUPHHK dalam hutan alam dan atau RKUPHHK dalam hutan tanaman atau KPH sepuluh tahunan. 3. Sebagai bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian sediaan tegakan hutan di areal KPH dan atau IUPHHK. Dalam kegiatan IHMB ini diperlukan alat bantu IHMB yang digunakan untuk memperlancar kegiatan inventarisasi hutan, alat bantu ini terdiri dari : 1. Kurva tinggi yaitu kurva yang memberikan gambaran tentang hubungan diameter dengan tinggi. Hubungan antara diameter dan tinggi dibentuk dengan melalui pengukuran diameter dan tinggi sejumlah individu pohon, kemudian menghubungkan keduanya dengan analisis regresi sehingga bisa dibentuk sebuah persamaan kurva tinggi. 2. Tabel volume yaitu suatu tabel yang disusun untuk memperoleh taksiran volume pohon melalui pengukuran diameter atau beberapa peubah lain penentu volume pohon. Tabel volume yang digunakan adalah tabel volume lokal maupun tabel volume standar. 3. Tabel berat pohon yaitu tabel yang menunjukkan hubungan antara diameter dengan berat segar (fresh weight) pohon. Tabel berat ini penting keberadaannya untuk menduga potensi kayu pulp dalam HTI pulp dan untuk menduga biomassa serta banyaknya unsur karbon dalam hutan alam.
2.4 Volume Pohon Menurut Husch (1963) volume pohon adalah ukuran tiga dimensi, yang tergantung dari lbds (diameter setinggi dada atau diameter pangkal), tinggi atau panjang batang, dan faktor bentuk batang. Menurut Simon (1996) diameter merupakan salah satu parameter pohon yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaan. Diameter setinggi dada diukur pada 1,30 m (4,3
11
feet) di atas pangkal batang (untuk pohon yang berdiri pada lereng, titik pengukuran harus ditentukan pada bagian atas lereng). Simon (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa macam tinggi pohon di dalam inventarisasi hutan yaitu : 1. Tinggi total, yaitu tinggi dari pangkal pohon dipermukaan tanah sampai puncak pohon, 2. Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon dari pangkal batang permukaan tanah sampai cabang pertama untuk jenis daun lebar atau crown point untuk jenis conifer, yang membentuk tajuk, 3. Tinggi batang komersial, yaitu tinggi batang yang pada saat itu laku dijual dalam perdagangan, dan 4. Tinggi tunggak, yaitu tinggi pangkal pohon yang ditinggalkan pada waktu penebangan. Menurut Husch (1963), Penentuan volume suatu benda dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1. Cara langsung, yaitu berdasarkan prinsip perpindahan cairan. Alat yang digunakan disebut Xylometer. Penentuan volume dengan cara ini dilakukan terhadap benda-benda yang bentuknya tidak beraturan, 2. Cara analitik, yaitu penentuan volume dilakukan dengan menggunakan rumusrumus volume. Cara ini dilakukan terhadap benda-benda yang bentuknya beraturan, seperti segi banyak, prisma, piramida, prismoid, dan benda-benda seperti kerucut, silinder, paraboloid, dan neiloid, dan 3. Cara grafik, yaitu cara ini dilakukan untuk penentuan volume berbagai benda putar tanpa memandang ciri-ciri permukaannya. Untuk menentukan volume dolok (sortimen kayu) sebagai bagian dari volume kayu/pohon, telah dikembangkan rumus-rumus matematik (Spurs 1952; Loetsch et al 1973) sebagai berikut : Rumus Smalian
: V = 0,5 x (B + b) x L
Rumus Huber
: V = B1/2 x L
Rumus Brereton
: V = {0,625 x x (D + d)2 x L}
Rumus Newton
: V = {B + (B1/2 x 4) + b} x L x 1/6
Rumus Schiffel
: V = {(0,16 x B) + (0,66 x B1/2) x L
12
Dimana : V
= Volume dolok (logs) atau batang pohon dalam m3
B
= Luas bidang dasar pangkal batang dalam m2
b
= Luas bidang dasar ujung batang pohon dalam m2
B1/2
= Luas bidang dasar bagian tengah batang pohon dalam m2
D
= Diameter pangkal batang pohon dalam meter
d
= Diameter ujung batang pohon dalam meter
L
= Panjang batang pohon
Penentuan volume sortimen (batang pohon) dengan menggunakan rumusrumus diatas, jika makin pendek panjang batang (L) akan menghasilkan volume yang lebih tepat, karena rumus-rumus diatas merupakan perhitungan volume yang mendasarkan kepada bentuk benda teratur, yaitu bentuk silinder, sedangkan bentuk pohon pada umumnya tidak teratur dan lebih kearah bentuk neiloid. Berdasarkan volume sortimen-sortimen kayu yang diukur maka volume pohon dapat diketahui, yaitu merupakan penjumlahan dari volume sortimennya. Rumus Smalian mempunyai ketepatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rumus Huber dan rumus Newton. Namun demikian rumus Smallian banyak digunakan karena cukup praktis dan mudah dalam penerapannya. Rumus Newton memberikan ketelitian yang tinggi dibanding dengan rumus lainnya, namun rumus ini memerlukan pengukuran kedua ujung batang dan tengah batang, sehingga penggunaannya lebih terbatas dan kurang praktis untuk digunakan dilapangan. Menurut Spurr (1952) angka bentuk batang adalah rasio antar volume aktual dengan volume silinder yang berdiameter dan tinggi sama dengan diameter setinggi dada dan tinggi pangkal tajuk pohon tersebut. Menurut Husch (1987) Tabel volume ini merupakan pernyataan sistematik mengenai volume sebatang pohon menurut semua atau sebagian dimensi yang ditentukan dari Dbh, tinggi, dan angka bentuk pohon. Tipe-tipe tabel volume pohon terdiri dari : 1. Tabel volume lokal (local volume tables) Tabel volume lokal menyajikan volume menurut dimensi pohon diameter setinggi dada (Dbh). Tabel volume ini tidak memerlukan pengukuran tinggi
13
pohon, meskipun pada penyusunan aslinya tinggi tetap dihitung, tetapi dihilangkan di dalam bentuk akhirnya. Istilah ”lokal” digunakan karena tabeltabel tipe ini hendaknya hanya dipergunakan untuk wilayah terbatas yang merupakan asal hubungan tinggi dan diameter yang dimanfaatkan kedalam tabelnya. 2. Tabel volume normal (general standard volume tables) Tabel volume standar didasarkan kepada pengukuran diameter setinggi dada (Dbh), maupun tinggi. Tinggi dapat berupa tinggi pohon total atau tinggi kayu perdagangan. Tabel volume standar dapat disusun untuk individu spesies maupun kelompok spesies dari berbagai wilayah-wilayah geografis. 3. Tabel volume kelas bentuk (form class volume tables) Tabel volume kelas bentuk disiapkan untuk menunjukkan volume menurut beberapa ukuran bentuk pohon disamping diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon. Tabel volume ini dapat dipakai bilamana saja bentuk suatu pohon yang bersangkutan secara jelas ditunjukkan oleh karakteristik-karakteristik bentuk yang telah dimasukan dalam penyusunan tabel-tabelnya, tanpa memandang spesies atau tempat. Menurut Spurr (1952) menyatakan bahwa untuk menentukan volume, apabila pengukuran dilakukan hanya pada satu peubah, maka dipakai diameter setinggi dada (Dbh), bila menggunakan dua peubah maka yang diukur adalah diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon tersebut. Sedangkan bila menggunakan tiga peubah selain mengukur diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi pohon ditambahkan juga angka bentuk. Penyusunan tabel volume pohon dimaksudkan untuk memperoleh taksiran volume pohon melalui pengukuran satu atau beberapa peubah penentu volume pohon serta untuk mempermudah kegiatan inventarisasi hutan dalam menduga potensi tegakan. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan, diusahakan dalam penyusunan tabel volume pohon memperkecil jumlah peubah bebas penentu volume pohon dan diberlakukan pada daerah setempat. Tabel yang dimaksud adalah tabel volume pohon lokal atau tarif volume.