BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas), sesuai dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Penduduk usia kerja dikelompokkan menjadi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Dikatakan angkatan kerja adalah penduduk yang termasuk usia kerja yang mempunyai pekerjaan, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja dan yang mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja adalah penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja atau sedang tidak bekerja atau tidak mempunyai pekerjaan karena sekolah, mengurus rumah tangga serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya misal pensiunan. Tenaga kerja adalah salah satu dari faktor produksi yang penting, karena produktivitas dari faktor produksi lain bergantung pada produktivitas tenaga kerja dalam menghasilkan produksi. Selain itu, tenaga kerja adalah penggerak pembangunan. Tenaga kerja diartikan sebagai penduduk usia kerja, yaitu penduduk yang berusia dari 15-64 tahun. Sebelum tahun 1997, definisi tenaga kerja adalah mereka yang berusia 10 tahun ke atas (BPS, 2010).
9
Konsep bekerja menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh dan membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pula kegiatan pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam suatu usaha/kegiatan ekonomi.
Gambar 2.1 Diagram Ketenagakerjaan Sumber : Keadaan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah Kegiatan pemerintah berfungsi untuk menyediakan jasa pelayanan umum bagi masyarakat yang secara ekonomis sulit dinilai, seperti melaksanakan administrasi pemerintah, menjaga kestabilan dan keamanan negara, meningkatkan
10
pendidikan dan kesehatan masyarakat, mengatur kebijaksanaan perekonomian dengan negara lainnya. Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak (Mankiw, 2007).
2.1.3 PDRB Indikator yang sering dipakai untuk menilai kinerja perekonomian suatu negara adalah Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan indikator untuk melihat kinerja ekonomi suatu wilayah dalam suatu negara tertentu digunakan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), yang merupakan keseluruhan nilai tambah yang timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi yang dilakukan dalam
11
suatu wilayah terutama yang dikaitkan dengan kemampuan wilayah tersebut dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Disebut domestik karena menyangkut batas wilayah dan dinamakan bruto karena telah memasukkan komponen penyusutan dalam perhitungannya. PDRB secara umum disebut juga agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu wilayah. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angkaangka agregat ekonomi menurut harga berlaku sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga konstan. Penelitian Okun (1980) dalam Dornbusch (1991) di Amerika Serikat yang dilatarbelakangi anggapan bahwa dari waktu ke waktu angkatan kerja mengalami pertumbuhan sehingga pengangguran akan naik kecuali jika output riil maupun kesempatan kerja mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam bentuk pertumbuhan, Okun membuktikan bahwa tingkat pengangguran akan turun sebesar 0,4 persen setiap laju pertumbuhan PDB riil sebesar 1 persen per tahun. Hukum Okun ini merupakan hasil dari penelitian empiris sehingga hukum tersebut bukan merupakan hukum yang tetap, karena angka estimasi atas hubungan antara trend laju pertumbuhan output dan tingkat pengangguran akan berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat memerlukan tenaga kerja tambahan sebagai faktor produksi untuk memenuhi permintaan agregat yang meningkat. Kondisi seperti ini terutama akan terjadi pada struktur perekonomian
12
yang memiliki corak padat karya (labour intensive). Apabila struktur perekonomian suatu wilayah adalah capital intensive (padat modal), maka pertumbuhan ekonomi hanya akan meningkatkan kebutuhan modal dan tidak akan menyerap banyak tenaga kerja.
2.1.4 Upah Riil Kaum ekonom klasik menyatakan, bahwa tenaga kerja/karyawan mendasarkan penawaran tenaga kerja atas upah riil (W/P). Oleh karena itu, kenaikan upah nominal tidak akan mengubah penawaran tenaga kerja apabila kenaikan upah tersebut disertai dengan kenaikan tingkat harga yang sepadan. Orang yang merasa lebih kaya karena kenaikan upah nominal dan kenaikan tingkat harga yang sama dikatakan terkena money illusion. Orang yang rasional tidak akan mengalami ilusi uang, karena mereka hanya mau mengubah penawaran tenaga kerja apabila terjadi perubahan dalam upah riil. Burtt (1963) dalam bukunya berjudul “Labor Market, Unions and Government Policies” menyatakan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan proses penentuan upah dan faktor-faktor yang mempengaruhi upah pekerja, diantaranya yaitu: 1. Teori Kebutuhan Hidup (Subsistence Theory) Salah satu teori upah yang paling tua adalah teori kebutuhan hidup (Subsistence Theory) yang dikemukakan David Ricardo. Teori ini secara sederhana mengemukakan bahwa tingkat upah yang diterima oleh tenaga kerja yang tidak memiliki keterampilan (unskilled worker) hanya dipengaruhi oleh
13
kepentingan untuk menutup biaya hidup kebutuhan pekerja dan keluarganya. Keadaan upah di pasar tenaga kerja akan berfluktuasi di sekitar subsistence level. Penawaran tenaga kerja tidak akan meningkat atau menurun dalam hubungan jangka panjang (long run). Jika tingkat upah naik diatas biaya hidup minimum pekerja, maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja dan akan menurunkan tingkat upah. Apabila tingkat upah berada di bawah biaya hidup minimum maka hal ini akan menurunkan kekuatan penawaran tenaga kerja (labor force) dan kemudian tingkat upah akan naik menuju subsistence level kembali. 2. Teori Upah Besi (Iron Wage Theory) Teori ini dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle, yang menyatakan bahwa dengan adanya subsistence theory kepentingan pekerja tidak terlindungi. Oleh karena itu peran serikat pekerja dalam melindungi kepentingan pekerja menjadi hal yang sangat penting. Dengan adanya serikat pekerja tersebut, pekerja akan berusaha menuntut upah yang melebihi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Teori iron wage ini cenderung merugikan kepentingan pengusaha dan pekerja yang belum mendapatkan pekerjaan. Kenaikan upah akibat desakan serikat pekerja akan menurunkan permintaan tenaga kerja sehingga para penganggur akan semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan para pengusaha akan disulitkan dengan kenaikan biaya produksi. 3. Wage Fund Theory Teori upah ini dikemukakan oleh John Stuart Mill. Menurut teori ini tingkat upah tergantung pada permintaan dan penawaran tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja tergantung pada jumlah dana upah yaitu jumlah modal yang
14
disediakan perusahaan untuk pembayaran upah. Peningkatan tabungan akan meningkatkan nilai investasi pada sektor-sektor ekonomi sehingga sektor-sektor ekonomi tersebut berupaya meningkatkan kapasitas produksinya, yaitu dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Peningkatan modal (capital) ini berakibat meningkatnya upah pekerja karena permintaan tenaga kerja semakin meningkat. Teori ini juga menjelaskan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong tingkat upah cenderung turun, karena tidak sebanding antara jumlah tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja. Sehingga menurut teori ini tingkat upah dapat ditingkatkan hanya dengan mengurangi penawaran tenaga kerja dan dengan meningkatkan tabungan. 4. Marginal Productivity Theory Teori ini menyatakan bahwa dalam rangka memaksimumkan keuntungan, tiap-tiap pengusaha menggunakan faktor-faktor produksi sedemikian rupa sehingga tiap faktor produksi yang dipergunakan menerima atau diberi imbalan sebesar nilai pertambahan hasil marginal dari faktor produksi tersebut. Pengusaha mempekerjakan sejumlah karyawan sedemikian rupa sehingga nilai pertambahan hasil marginal seorang pekerja sama dengan upah yang diterima pekerja tersebut. Teori ini menyatakan bahwa karyawan memperoleh upah sesuai dengan produktivitas marginalnya terhadap pengusaha. Kegagalan upah dalam melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya merupakan indikasi adanya kekakuan upah (wage rigidity). Kekakuan upah merupakan salah satu penyebab terjadinya pengangguran. Untuk memahami kekakuan upah dan pengangguran struktural,
15
maka penting untuk memahami mengapa pasar tenaga kerja tidak berada pada tingkat keseimbangan penawaran dan permintaan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan Gambar 2.2, saat upah riil melebihi tingkat ekuilibrium dan penawaran pekerja melebihi permintaannya, maka perusahaan-perusahaan diharapkan akan menurunkan upah yang akan dibayar kepada para pekerja. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Pengangguran struktural kemudian muncul sebagai implikasi karena perusahaan gagal menurunkan upah akibat kelebihan penawaran tenaga kerja (Mankiw 2007).
Gambar 2.2 Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Sumber: Mankiw (2007).
Menurut Mankiw (2007) kekakuan upah riil menyebabkan penjahatan pekerjaan. Jika upah riil tertahan di atas tingkat ekuilibrium (pada W1) maka penawaran tenaga kerja melebihi permintaannya akibatnya adalah pengangguran.
16
Kekakuan upah ini terjadi sebagai akibat dari undang-undang upah minimum atau kekuatan monopoli serikat pekerja. Berbagai faktor tersebut berpotensi menjadikan upah tertahan di atas tingkat upah keseimbangan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan pengangguran. Undang-undang upah minimum menetapkan tingkat upah minimal yang harus dibayar perusahaan kepada para karyawannya. Kebijakan upah minimum ditengarai akan lebih banyak berdampak pada penganggur dengan usia muda (Mankiw 2007). Alasannya yaitu pekerja dengan usia lebih muda termasuk anggota angkatan kerja yang kurang terdidik dan kurang berpengalaman, maka mereka cenderung memilki produktivitas marginal yang rendah.
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Sari (2011), melakukan penelitian mengenai “Pengangguran di Indonesia 1984-2008: Persistensi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya” dengan menggunakan uji panel unit root test. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian antara lain: angkatan kerja, pangsa sektor manufaktur terhadap PDRB, tingkat kepemilikan rumah, upah minimum propinsi, dependency ratio, pangsa sektor pertanian terhadap PDRB, dan PDRB perkapita. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut adalah angkatan kerja dan upah minimum provinsi berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran regional. Faktorfaktor tersebut secara simultan mengarah pada kondisi kekakuan upah yang berkepanjangan dan proses pencarian kerja yang lebih panjang sehingga berdampak pada persistensi pengangguran.
17
Kuntoro (2007) dalam penelitiannya mengenai “Hubungan Simultan Antara Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja serta Variabel yang Mempengaruhinya” menggunakan uji regresi data panel dengan model fixed effect. Penelitian dilakukan di 26 provinsi di Indonesia pada periode tahun 19972004. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu pertumbuhan ekonomi dan tingkat perubahan harga signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, adapun investasi fisik tidak signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja. Pada tahun yang sama Nilasari (2007) melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi, dan Upah Minimum Regional Terhadap Kesempatan Kerja di Jawa Barat studi kasus tahun 1986-2005”. Uji dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda model double-log. Kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian tersebut yaitu pengeluaran pemerintah dan upah minimum regional memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja, sedangkan investasi memberikan pengaruh negatif terhadap kesempatan kerja di Jawa Barat. Sitanggang dan Nachrowi (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Struktur Ekonomi pada Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral”. Penelitian dilakukan di 30 provinsi di Indonesia pada kurun waktu 1980-2000. Metode anaisis yang digunakan adalah regresi data panel Generalized Least Squared (GLS) dengan penimbang Cross Section Weights. Kesimpulan yang dihasilkan yaitu adanya peningkatan dan penurunan dalan jumlah penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh perubahan populasi, net migration, output dan juga upah.
18
Lembaga Penelitian Smeru (2004) dalam penelitian “Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja”. Alat analisis yang digunakan yaitu analisis regresi linier berganda. Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi dan upah riil berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pengangguran terbuka. Smeru (2001) juga melakukan penelitian dengan judul “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia”. Uji dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Temuan yang lebih penting lagi dari studi ini adalah bahwa dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja berpendidikan rendah. Downes (1998) melakukan penelitian yang berjudul “An Economic Analysis of Unemployment in Trinidad and Tobago”. Penelitian dilakukan pada periode 1963-1996 dengan menggunakan metode Ordinary least Squares (OLS) dan Error Correction Model. Analisis ekonomi mengenai pengangguran di Trinidad dan Tobago mengindikasikan masalah yang serius. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa variabel-variabel yang dominan mempengaruhi penurunan tingkat pengangguran di Trinidad dan Tobago adalah GDP. Peningkatan upah riil juga berdampak pada tingkat pengangguran terutama pada jangka panjang.
19
2.3 Kerangka Pikir Berdasarkan identifikasi dan tujuan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian ditetapkan variabel-variabel yang dapat mempengaruhi penyerapan tenaga kerja yaitu pengeluaran pemerintah, PDRB, dan upah riil akan dilakukan analisis deskriptif dan inferensia. Gambaran tentang alur pemikiran penulis untuk memberikan jawaban sementara terhadap masalah yang diteliti, dapat digambarkan dalam diagram kerangka berpikir sebagai berikut: RPJMN 2010-2014 MASALAH KETENAGAKERJAAN
PERTUMBUHAN EKONOMI TINGGI TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TINGGI
PENGELUARAN PEMERINTAH
PDRB
PENYERAPAN TENAGA KERJA
ANALISIS REGRESI DATA PANEL BERGANDA
REKOMENDASI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROV. SUMBAR
Gambar 2.3. Kerangka Pikir
UPAH RIIL (UPAH NOMINAL/IHK)
20
2.4 Definisi Operasional Adapun variabel-variabel yang digunakan antara lain: 1. Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dapat terserap dalam kegiatan ekonomi (produksi). Variabel ini didekati dengan jumlah penduduk yang bekerja.
Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan
dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus.
Kegiatan bekerja ini
mencakup orang yang sedang bekerja dan juga punya pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja seperti: cuti, sakit, menunggu panen dan sejenisnya. 2. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan jumlah seluruh pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatannya, yang terdiri dari pembelian barang dan jasa (belanja barang), pembayaran balas jasa pegawai (belanja pegawai), dan penyusutan barang modal, tidak termasuk atau dikurangi dengan hasil penjualan (penerimaan) dari produksi barang dan jasa (output pasar) yang dihasilkan sendiri oleh pemerintah (yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pemerintah) tetapi dikonsumsi oleh masyarakat (bukan oleh pemerintah). Pengeluaran konsumsi pemerintah didasarkan pada realisasi
pengeluaran
pembangunan.
baik
yang berupa pengeluaran rutin
maupun
21
3. PDRB PDRB atas dasar harga konstan (PDRB riil) menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar. 4. Upah riil Upah riil adalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima. Upah Riil dihitung dengan membagi nilai dari upah nominal dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dikali 100. Upah nominal adalah upah yang diterima pekerja secara nominal. Sedangkan Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan salah satu indikator ekonomi untuk megukur tingkat perubahan harga barang-barang secara umum.
2.5 Hipotesis Statistik Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat pengaruh yang positif
antara pengeluaran pemerintah terhadap
penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat. 2. Terdapat pengaruh yang positif antara PDRB terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat. 3. Terdapat pengaruh yang negatif antara upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat.