BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis 1. Fisiologi dan Fungsi Hati Hati merupakan organ yang sangat sibuk dan bekerja keras. Setiap harinya darah melewati hati dengan rata-rata 1,4 liter per menit. Hati dilindungi oleh tulang rusuk dan terselip disisi kanan perut atas. Hati mempunyai dua bagian antaomi yang disebut cuping; cuping kanan kira-kira enam kali lebih besar daripada cuping kiri. Cuping kanan dan cuping kiri dipisahkan jaringan serat yang dikenal sebagai ligamen Falciform (Cabot, 2007) Hati sangat serbaguna dan memiliki fungsi metabolisme dan regulator. Fungsi hati antara lain: (i) hati merupakan tempat metabolisme karbohidrat; (ii) hati sebagai tempat penyimpanan glikogen, vitamin A, vitamin D, vitamin B komplek, zat besi dan tembaga; (iii) detoksifikasi zat beracun; (iv) tempat metabolisme protein dan lemak; (v) hati bertanggung jawab untuk konugasi bilirubin dan ekskresinya kedalam saluran empedu; (vi) hati mengekskresikan banyak zat hati alamiah dan benda asing kedalam saluran biner; (vii) sel-sel kupffer dalam hati mengambil bagian dalam semua aktivitas sistem retikuloendoteliat (Baron, 1995; Cabot, 2007).
2. Penyakit Sirosis Hati 2.1 Definisi Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difus dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis (Sujono, 1995). Sirosis hati merupakan kelanjutan dari kerusakan hati kronik yang perjalanan penyakitnya membutuhkan waktu. Perubahan histopatologi yang
mula-mula adalah proses fibrosis yang difus dengan diikuti pembentukan nodul-nodul regenerasi yang mempunyai bentuk dan fungsi abnormal. Penderita sirosis hpatis biasanya disertai komplikasi hipertensi portal dan kegagalan fungsi parenkim hati (Bongiovanni, 1998; Sherlock, 1993). Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. 2.2 Epidemilogi Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun. Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1988 di ruangan Ilmu Penyakit Dalam tercatat 162 penderita, 94 orang pria dan 8 orang wanita. 2.3 Etiologi Sirosis hati disebabkan oleh berbagai macam sebab. Perubahan arsitektur hati dapat dilihat pada pemeriksaan histologi jaringan hati yang diperoleh dengan cara melihat gambaran mikroskopi, data epidemiologi penderita dan hasil pemeriksaan laboratorium. Kadang-kadang walaupun sudah dilakukan dengan berbagi cara pemeriksaan seperti diatas penyebab sirosis hati masih juga belum jelas (Adenan, 1996). Berikut ini ada beberapa faktor pencetus timbulnya sirosis hepatis yaitu (i) Virus hepatitis (B,C,dan D); (ii) Alkohol; (iii) Kelainan metabolic berupa hemakhomatosis (kelebihan beban besi), penyakit Wilson (kelebihan beban
tembaga),
defisiensi
Alphal-antitripsin,
glikonosis
type-IV,
galaktosemia, dan tirosinemia; (iv) malnutrisis; (v) toksin dan obat; (vi) sistosomiasis; (vii) obstruksi bilier (intrahepatik, ekstrahepatic); (viii) obstruksi aliran vena; (ix) otoimun (Bongiovanni, 1988; Sherlock, 1997). 2.4 Patogenesis
Hati mempunyai kemampuan regenerasi sedemikian rupa sehingga hilangnya sel hati yang cukup banyak dapat diganti dan arsitektur normal hati dapat dipertahankan. Walaupun demikian, apabila hilangnya sel hepar berlangsung berulang-ulang atau pada kerusakan arsitektur yang berat (seperti pada bridging nekrosis), dapat terjadi sirosis hati. Sirosis hati bukanlah penyakit yang spesifik tetapi merupakan hasil akhir berbagai penyakit yang menyebabkan terjadinya cedera sel hati yang kronis. Kelainan ini merupakan suatu kerusakan arsiterktur sel hati yang irreversible, yang mengenai seluruh hati dengan ditandai dengan fibrosis regenerasi noduler Jumlah jaringan fibrosa yang sangat banyak dibandingkan dengan hati normal dan sel hati tidak lagi membentuk asinus atau lobulus tetapi mengalami regenerasi menjadi pola noduler setelah cedera berkali-kali Regenerasi noduler menyebabkan struktur hepar bentuk lobulus atau asinus menjadi kurang terorganisasi. Perfusi darah terjadi secara sembarangan sehingga hati menjadi tidak efisien serta mudah terjadi gagal hati. (Underwood, 2000). Regenerasi yang timbul akan mengganggu pula susunan jaringan ikat. Keadaan ini yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus yang berhubungan dengan peradangan dan perubahan vaskuler intrahepatik
serta
gangguan
kemampuan
faal
hati,
pada
akhirnya
menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hati ( Noer, 1990 ).
2.5 Klasifikasi Menurut Sherlock, secara morfologi ada tiga macam sirosis hati, yaitu sirosis mikronoduler, sirosis makronoduler, dan sirosis campuran 1. Sirosis mikronodular, nodul regeneratif dengan diameter kurang dari 3 mm. Umumnya besarnya sama dan merata pada semua lobus. Septum jaringan ikat biasanya tebal dan teratur
2. Sirosis Makronoduler, nodul regeneratif biasanya tidak sama, dengan diameter lebih dari 3 mm. Daerah portal dapat berunah menjadi sekat jaringan ikat yang tebal mengelilingi nodul dari sel hati 3. Sirosis Campuran, gambaran histologinya merupakan campuran ganbaran sirosis mikronoduler dan makronoduler Secara Fungsional Sirosis hati terbagi atas : 1.
Sirosis hati kompensata, Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Kecurigaan di sirosis ialah bila pada pemeriksaan penderita ditemukan sedikit panas, spider naevi,
eritema palmaris, epistaksis, dan kaki
membengkak. Rasa sedikit sebah dan kembung pada pagi hari merupakan tanda awal dari sirosis alkohol. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening. 2. Sirosis hati dekompensata dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus. Kesehatan umumnya menurun, lemah, mengurus dan berat badan turun. Temperatur badan selalu subfibril (37,5 – 38,5 °C) biasa disebabkan karena bakteri gram negatif.
Tabel 1: Klasifikasi Sirosis Hati menurut Child-pugh: Parameter/ skor
1
2
3
Bilirubin serum (mg%)
< 2,0
2-<3
> 3,0
Albumin serum (g%)
> 3,5
2,8 - < 3,5
< 2,8
Prothrombin time (Quick%)
> 70
40 - < 70
< 40
0
Minimal- sedang
Banyak
Asites
Hepatic enchephalopathy
Tidak ada
( + ) - ( ++ )
( +++ )
Std I dan II
Std III dan IV
2.6 Gejala Klinis Rata-rata 60% penderita sirosis mengeluh dan memeriksakan penyakitnya oleh karena adanya ikterus dan asites, 20% ditemukan sirosis karena memeriksakan penyakit yang tidak berkaitan dengan sirosis, golongan ketiga adalah ditemukan sirosis saat otopsi dan golongan keempat adalah yang diagnosisnya tidak pernah disadari. Apabila sirosis sudah melanjut maka penyebabnya bisa tidak diketahui. Penyebab dari sirosis selalu harus dicari oleh karena prognosis dan penanganannya tergantung pada etiologinya. (Price, 1992) Manifestasi klinis dari sirosis hati disebabkan oleh satu atau lebih hal-hal yang tersebut, antara lain: (i) Kegagalan Parenkim hati; (ii) hipertensi portal; (iii) rasa gatal yang hebat; (iv) ensefalophati hepatitis. Bila secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan oleh sebab-sebab lain dikatakan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan ensefalopati hepatic; (v) gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare; (vi) demam, berat badan turun, lekas lelah; (vii) sites, hidrotoraks dan edema; (viii) perdarahan saluran cerna bagian atas; (ix) ikterus, mata berwarna kuning dan kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan; (x) pada keadaan lanjut dapat dijumpai pasien tidak sadarkan diri (Hepatic Enchephalopathy); (xi) hepatomegali, ( hati dapat megecil karena fibrosis ); (xii) kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolaeral di dinding abdomen dan toraks, kaput medusa, wasir dan varises esophagus; (xiii) jari tabuh (Mansjoer, 1999). Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada hati terjadi gangguan arsitektur hati yang mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan kegagalan perenkim hati yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis berupa : (i) Kegagalan sirosis hati: edema,
ikterus, koma, spider naevi, alopesia
pectoralis, ginekomastia, kerusakan hati, asites, rambut pubis rontok, eritema Palmaris, atropi testis; (ii) kelainan darah (anemia,hematon/mudah terjadi perdaarahan); (iii) hipertensi portal:
varises oesophagus,. spleenomegali,
perubahan sum-sum tulang, caput meduse, asites, collateral veinhemorrhoid, kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni); (iv) cepat capai dan berat badan menuru; (v) nafsu makan hilang, kembung dan sakit perut; (vi) perdarahan hidung, gusi, kulit dan saluran cerna 2.7 Komplikasi Komplikasi sirosis hepatic adalah akibat dari hipertensi portal dan kegagalan parenkhim hati. Ada 6 macam komplikasi dari sirosis hati, yaitu: 1. Hipertensi Portal, didefinisikan sebagai peningkatan menetap tekanan vena portal diatas tingkat normal 6 -12 cm air. Hal ini terjadi akibat dari peningkatan tahanan aliran darahyang melalui hati. Bila hal ini terus berlanjut maka dapat menyebabkan varises esophagus (Price & Wilson, 1992) 2. Asites, merupakan penimbunan cairan intraperitonal yang mengandung sedikit protein. Adanya asites tanpa komplikasi menyebabkan berat badan bertambah, perut tegang, dan kadang-kadang sesak nafas. (Price & Wilson, 1992; Bongiovanni, 1998) 3. Ensefalopati
Hepatic,
Ensefalopati
hepatic
merupakan
gangguan
pengenalan dan perubahan kesadaran pada penderita penyakit hati yang sudah berat. Kesadaran penderita akan berubah-ubah disertai kelainan neuromuskuler. Perubahan tersebut bisa ringan sampai berat. Gangguan motorika yang khas adalah flapping tremor (Bongiovanni, 1998; Sherlock, 2000; Hawker, 1993) 4. Periotinis Bakterial Spontan (PBS), PBS adalah radang peritoneum akibat dari adanya infeksi pada cairan aites tanpa sebab yang jelas. Penderita biasanya mengeluh perut tegang, asites bertambah demam, hipotensi. 5. Sindrom hepatorenal. Suatu keadaan pada penderita penyakit hati yang berat yang disertai gagal ginjal yang progesif yang tidak diketahui sebabnya. Biasanya penderita mengalami ikterus, asites, dan ensefalopati.
6. Koagulopati, hati merupakan tempat pusat pembuatan semua faktor koagulasi kecuali factor VIII. Begitu pula fungsi trombosit baik kualitatif maupun kuantitatif. Jadi pada penyakit hati bisa terjadi komplikasi yang berupa penjendalan darah atau koagulopati.
3. Pemeriksaan Penunjang Untuk menunjang diagnosa pada penyakit sirosis hati dapat juga dilakukan beberapa pemeriksaan, antara lain: 3.1
Pemeriksaan Jasmani Pemeriksaan jasmani dapat berupa (i) keadaan gizi yang kurang baik akan nampak pada berat badan yang menurun atau berkurangnya massa otot tubuh, terutama di daerah pektoralis (ii) ikterus ditemukan pada keadaan setelah mengalami transformasi keganasan (iii) pada keadaan sirosis hati yang aktif ditemukan tanda-tanda hiperesterogen yaitu perubahan jasmani akibat menurunnya kemampuan perubahan esterogen; (iv) kelainan saluran cerna atas berupa gastritis; (v) asites ditemukan pada sirosis hati yang lebih lanjut; (vi) varises daerah distal esophagus dan kardia lambung; (vii) timbul kolateral pada organ intra abdomen.
3.2
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium dapat berupa (i) darah tepi biasanya kadar hemoglobin
agak
rendah
yang
memberikan
gambaran
morfologi
normokromik, hipokromik mikrositik, dijumpai leukosit dan trombosit yng rendah; (ii) urin umunya normal, pada sirosis hati karena alkohol, ditemukan peninggian urobilinogen; (iii) feses ditemukan tes benzidin yang positif; (iv) biokimia biasanya kolesteol serum darah kurang dari 40%, bilirubin total meningkat, protein total agak merendah, albumin rendah, globulin tinggi, SGOT dan SGPT meningkat, Gama GT mengalami peningkatan, nilai koline esterase atau CHE yang dibawah normal mempunyai prognosis yang kurang baik, pada sirosis hati yang lanjut, kadar gula darah meningkat,
karena berkurangnya kemampuan sel hati untuk membentuk glikogen, pertanda sirosis hepatitis B seperti HbsAg, HbeAg, HBV DNA berguna untuk menentukan hubungan dengan virus hepatitis B sebagai penyebab 3.3
Pemeriksaan Penunjang Lain antara lain (i) scanning dengan menggunakan isotop; (ii) Ultrasonografi; (iii) peritoneoskopi.
4. Terapi Diet Pada Sirosis Hati Pada penderita sirosis hati harus diterapkan diet seimbang yang mengandung semua nutrien dalam jumlah yang memadai. Masukan protein sebesar 1 gram/kg berat badan sudah cukup bagi kasus ini. Pada kasus-kasus tertentu, konsumsi protein yang terlalu tinggi dapat mencetuskan keadaan ensrfalopati. Jika penyakit semakin parah sehingga selera makan menurun, sebaiknya penyajian makan harus dalam bentuk yang menarik, tidak terlalu banyak dan mudah dicerna (Bect, 1993). Pada penderita dengan oedema dan asites, cairan dibatasi 1 – 1,5 l/hari sedangkan asupan natrium juga dibatasi sampai 200 mg/hari kecuali digunakan diuretik (Lestiani, 2000). Bila ada pekoma atau koma maka protein harus dikurangi atau jangan diberikan (Knauer & Silverman, 1990)
a. Tujuan diit pada penderita sirosis hati anatara lain untuk memberikan makanan yang secukupnya untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara: (i) meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut dan/ atau meningkatkan fungsi jaringan hati yang tersisa; (ii) mencegah katabolisme protein yang berlebihan; (iii) mencegah penurunan berat badan atau meningkatkan berat badan bila kurang; (iv) mencegah atau mengurangi asites, varsies esofagus, dan hipertensi portal; (v) mencegah koma hepatik (Almatsier Ed, 2005). b. Dari segi penatalaksanaan, diit pada penderita sirosis hati dibedakan menjadi: a) Sirosis hati terkompensasi
Fungsi metabolisme protein, lemak dan karbohidrat masih “normal” untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Karena besarnya kapasitas cadangan parenkim hati, dengan jaringan hati yang masih baik ± 25%, masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Kebutuhan gizi penderita sirosis hati yaitu: (i) Energi diberikan 40 -45 kkal/kg BB/ hari untuk protein sparing efect; (ii) protein diberikan mulai dari 1 g/kg BB/hari. Pasien dengan status giziz kurang dapat diberikan protein lebih tinggi. Berasal dari protein dengan nilai biologi tinggi 60 – 70%; (iii) lemak diberikan 20% dari total kalori; (iv) karbohidrat diberikan ± 60% dari total kalori. b) Sirosis hati dekompensasi (dengan asites dan edema) Fungsi hati untuk mensintesis protein endogenik sangat menurun, sehingga kadar protein darah rendah, berakibat penururnan tekanan osmotik, sehingga memperberat aasites dan edema. Kebutuhan gizi penderita sirosis hati yaitu: (i) Kalori diberikan 40 - 45 kkal/kg BB/hari; (ii) rotein tinggi 1-2g/kg BB/hari; (iii) lemak 20% dari total kalori; (iv) arbohidrat ± 60% dari total kalori; (vii) natrium dibatasi 200 – 500 mg/hari, pasien dengan asites hanya dapat mengekskresi Na 700mg/hari, yaitu melalui air kemih 200mg dan ektrarenal 500 mg. Setiap gram Na akan menambah retensi airan 200 ml; (viii) cairan dibatasi antara ± 1 liter. c) Sirosis hati dengan perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena) Penyebab perdarahan adalah varises esofagus pecah, gastritis erosif dan gastropati hipertensi portal. Pada penderita dengan perdarahan saluran pencernaan akan menyebabkan kenaikan AAA dan AAN dalam serum yang merupakan faktor terjadinya ensefalopati hepatik. d) Sirosis hati dengan ensefalopati hepatik Terjadinya akibat gangguan metabolisme di otak oleh zat toksik (berupa senyawa nitrogen) yang berasal dari usus besar melalui vena porta tanpa dinetralisisr oleh hati. Kebutuhan gizi pasien sirosis hati yaitu: (i) Kalori diberikan 35 – 0 kkal/kg BB/hari; (ii) protein diberikan secara bertahap. Pada keadaan ensefalopati berikan kombinasi parenteral dan enteral. Parenteral berupa dektrose 10%, maltrose 10% sebagai sumber
karbohidrat dan AARC sebagai sumber protein. Enteral berupa makanan cair bebas protein selama 3 – 5 hari atau sampai dengan tanda-tanda ensefalopati hilang. Setelah fase ensefalopati berlalu protein diberikan secara bertahap dimulai dengan 10 – 20 g/hari kemudian dinaikkan lagi menjadi 40 g/hari kemudian dinaikkan lagi sehingga mencapai 70 - 100 g/hari. Pemberian protein diutamakan yang banyak mengandung banyak AARC; (iii) lemak diberikan ± 20% dari total kalori, dianjurkan lemak nabati (Astuti, 1996). c. Macam diit dan indikasi pemberian a) Diit hati I Diberikan pada penderita sirosisi hati dalam keadaan prekoma atau segera sesudah dapat makan kembali. Melihat keadaa pasien makanan diberikan dalam bnetuk cincang atau lunak pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk mudah cerna. Formula eneteral dengan asam amino rantai cabang yaitu leusin, isoleusin, dan valin. Bila ada asites atau diuresis belum sempurna, pemberian cairan maksimal 1 liter/hari. b) Diit hati II Diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati I atau kepada pasien yang nafsu makanya cukup. Menurut keadaan pasien makanan diberikan dalam bentuk lunak atau bias. Protein diberikan 1 g/kg BB dan lemak sedang (20-25% dari total kalori) dalam bentuk mudah cerna. c) Diit hati III Diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati I atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitits Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat menerima protein, dan tidak menunjukan gejala sirosis hati aktif. Makanan diberikan dalam bentuk lunak atau biasa.
5. Kebutuhan Protein Hati merupakan pusat metabolime karbohidrat, lemak dan protein. Kegagalan fungsi hati dapat menyebabkan penurunan sintesis protein dan
pembongkaran protein (katabolisme), sering disertai dengan keadaan anoreksia, penurunan pemasukan makanan yang mengakibatkan terjadinya malnutrisi protein dan energi serta terbatasnya kapasitas untuk regenerasi sel dan perbaikan sel-sel hati. Pada penderita dengan kerusakan masif hati atau adanya portal hipertensi apabila ada pembebanan protein nitrogen pada makanan akan mnyebabkan ensefalopati hepatik, akan tetapi diet dengan restriksi protein yang berlebihan tidak diperbolehkan. Pada penyakit hati kronis dan sirosis hati, kemampuan hati untuk menerima protein akan berkurang (intoleransi protein), kemampuan deaminasi menurun. Sehingga terjadi penurunan kadar Asam Amino Rantai Cabang (AARC), peningkatan kadar Asam Amino Aromatik (AAA), peningkatan metronin serta peningkatan glutamin. Dengan demikian rasio Fischer akan menururn menjadi 1-1,5 dengan AAA meningkat 2-4 kali normal (rasio Fischer = AARC : AAA; normal 3: 3,5). Akibatnya kadar amonia darah meningkat (normal 80 – 110 mg/100 ml), hal ini dapat menyebabkan ensefalopati hepatic (Ratnasari, 2001). Pada asam amino rantai cabang yakni leusin, isoleusin dan valin. Kesemuanya ini adalah asam amino esensial sehingga harus diperoleh dari diit dan lebih banyak dimetabolisme di otot dari pada di hati. Pada pasien sirosis hati kadar AARC menurun dikarenakan
oleh
pengurangan massa otot dan gangguan pengunaan karena hiperinsulinemia. Sebaliknya proses metabolisme asam amino oleh hati akan meningkat pada keadaan sirosis (antara lain terjadi peningkatan AAA) Asam amino rantai cabang akan berkompetisi dengan precursor serotonin yaitu triptofan di sawar darah otak, dan ketidaksimbangan antara keduanya pada sirosis hati mungkin akan mempengaruhi kadar amonia dalam otak baik secara langsung maupun tak langsung. Hal ini dipertimbangkan sebagai mekanisme yang penting yang mendasari terjadinya ensefalopati hepatik, sehingga pembeian AARC akan mengurangi ambilan triptofan oleh otak dan akan memperbaiki ensefalopati.
Sebagai tambahan pemberian AARC baik secara enteral maupun perenteral akan memperbaiki perfusi darah ke otak pada paien sirosis hati. AARC yang diberikan secara oral akan memberikan keuntungan pada pasien sirosis. Studi yang lebih besar membuktikan pemberian AARC secara oral selama satu tahun akan memperbaiki skor child, mengurangi rawatan rumah sakit, dan memperpanjang kelangsungan hidup.
6. Asupan Protein Pembatasan protein jangka panjang ternyata dapat mencegah timbulnya ensefalopati. Akan tetapi ada kendala untuk mempertahankan diet oral, oleh karena adanya problema anoreksia (90%), kebingungan, mengantuk (17%), serta sulit menelan (19%). Padahal keadaan ini sering mengakibatkan komplikasi mayor pada sirosis hati (asites, ensefalopati, dan infeksi berat). Perlu dipertimbangkan pemberian protein nabati pada pasien sirosis hati kerana dalam tumbuh-tumbuhan terdapat kandungan asam amino esensial, mengandung sedikit protein non nitrogen serta lebih ditoleransi oleh tubuh dari pada protein hewani (Ratnasari, 2001). Selain itu, Protein nabati memberikan keuntungan karena kandungan serat yang dapat mempercepat pengeluaran amonia melalui feses. Namun, seringkali timbul keluhan berupa ras kembung dan penuh. Diet ini dapat menguangi status ensefalopati, tetapi tidak dapat memperbaiki keseimbangan nitrogen ( Almatsier Ed, 2005 ). Penggunaan bahan makanan berbahna baku kacang kedelai harus diperhatikan. Keracunan alfatoksin (toksin jamur Aspergillus flavus) sering terdapat pada kedelai dan kacang. Kacang kedelai yang tercemar jamur perlu dihindari yaitu dengan memperhatikan penggunaan bahan makanan dari kacangkacangan terutama kedelai. Menurut Hartono (2000), penyakit hati di Indonesia lebih berhubungan dengan masalah infeksi seperti hepatitis B dan keracunan alfatoksin. Setiap diet diusahakan kaya akan AARC (45%) disertai asupan protein ideal (1-1,5 g/kg BB/hari; 100 kal/g protein), minimal pemberian protein 0.5-0.75
g/kg BB/hari jika terdapat ensefalopati. Sedangkan pemberian protein pada keadaan prekoma hepatik (Ensefalopati hepatik III) 0.3-0.8 g/kg (20-30 g/hari), sedangkan Ensefalopati hepatik I – II dianjuran diberikan protein sebesar 40 g/hari. Kebutuhan protein ditingkatkan sesuai dengan kondisi klinisnya (Ratnasari, 2001). Dianjurkan pemberian AARC secara parenteral pada pasien sirosis oleh karena peningkatan total asam amino tetapi AARC menurun. Waktu pemberian AARC pada siang hari akan memperbaiki keseimbangan nitrogen dan rasio Fischer. Kedua-duanya juga akan meningkat secara signifikan pada pemberian malam hari. Tetapi setelah tiga bulan, terjadi peningkatan kadar albumin yang signifikan pada pasien-pasien yang diberikan AARC pada malam hari. Hal ini mungkin terjadi karena pada siang hari AARC lebih banyak digunakan sebagai sumber energi, sedangkan pada malam hari dipergunakan untuk sintesis protein.
7. Kadar Amonia Pada Sirosis Hati Salah satu fungsi hati adalah detoksifikasi zat beracun dimana sel-sel Kupffer atau dengan menambahkan zat kimia pada racun untuk mengurangi atau menonaktifkan racun. Hati memetabolisme atau membiotransformasi obat, hormon, dan sampah tubuh seperti amonia. Amonia dibentuk di tubuh dari penguraian protein. Hati yang sehat bisa menguraikannya menjadi urea, kemudian dibuang lewat ginjal. Sistem enzim yang paling penting dalam proses penetralan racun hati adalah sistem cytochrome P -450- dependent microsomaloxidase. Enzim ini sangat tergantung pada vitamin C dan taurin. Dalam kasus racun berlebihan atau pada kerusakan hati yang parah, hati tidak bisa terus mendetoksifikasi sehingga hati sendirilah yang harus menahan beban terberat dari racun-racun tersebut (Cabot, 2007) Pada umumnya amonia diproduksi di dalam usus halus akibat pemecahan nitrogen dan proses kaatabolisme asam amino sendiri. Sumber amonia lain adalah berasal dari ginjal dan otot rangka. Pada keadaan normal amonia dimetabolisme di hati (dirubah menjadi urea) dan diekskresikan melalui ginjal atau kolon. Selain itu proses detoksifikasi amonia juga melalui pembentukan
glutamin dari glutamat di hati dan otak. Pada gangguan fungsi hati , pintas portosistemik dan pengurangan massa otot yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan dari kadar amonia di dalam darah pada pasien sirosis. Pada pasien sirosis hati terjadi terjadi pengurangan massa otot yang berlebihan sehingga akan menyebabkan peningkataan kadar amonia darah. Selain itu pada sirosis hati juga terjadi kerusakan hati kronis yang mengganggu fungsi ahti merubah amonia menjadi urea sehingga mengakibatkan kadar amonia dalam darah meningkat. Kadar amonia darah pada orang normal adalah 80-110 mg/100ml, sedangkan pada penderita hati terjadi peningkatan kadar amonia darah (DeBruyne, 2008) Amonia akan mempengaruhi fungsi otak. Amonia dapat melalui sawar darah otak dan secara langsung menguragi funsi susunan saraf pusat dengan cara menghambat impuls-impuls post sinaps. Hiperamonia dapat memfasilitasi ambilan triptofan oleh otak, suatu unsur dengan metabolitnya yaitu serotonin. Kelebihan amonia dapat mengurangi kadar ATP di otak sehingga terjadi gangguan energi otak. Metabolisme amonia menjadi glutamin di otak akan meningkatkan
osmolaritas
sel-sel
astrosit,
sehingga
akan
menyebabkan
pembengkakan sel-sel atrosit dan vasodilatasi. Peningkatan hidrasi sel-sel atrosit tanpa kenaikan tekanan intrakarnial dianggap sebagai faktor utama timbulnya komplikasi sirosis yaitu ensefalopati hepatik. Dalam tubuh AARC diperlukan
untuk eliminasi amonia yang
meningkat. Eliminasi amonia menjadi glutamin memerlukan glutamat atau asam glutamik,
sedangkan
AARC
merupakan
prekursor
glutamat.
Ini
akan
menyebabkan makin menurunnya kadar AARC. Di sisi lain, asam amino aromatik (AAA) meningkat karena tidak dimetabolisme oleh sel hati yang rusak. Akibatnya rasio AARC / AAA menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati hepatic sehingga asupan AARC yang adekuat sesuai keadaan pasien sangat dianjurkan.
8. Perkiraan Berat Badan Dalam kondisi tertentu dimana pengukuran berat badan yang aktual mungkin tidak dapat dilakukan, sehingga berat badan pasien tidak dapat
ditentukan contohnya pada pasien dengan edema atau asites dapat digunakan rumus perkiraan berat badan berdasarkan panjang badan pasien, seperti tabel 2.
Tabel 2: Perkiraan Berat Badan Berdasarkan Panjang Badan Bangun Tubuh
Laki-Laki
Wanita
Sedang
48 kg untuk 152 cm yang pertama, selanjutnya tambahkan 2,7 kg untuk setiap 2,5 cm tambahan
45,5 kg untuk 152 cm yang pertama, selanjutnya tambahkan 2,3 kg untuk setiap 2,5 cm tambahan
Kecil
Kurangi 10%
Kurangi 10%
Tambahkan 10%
Tambahkan 10%
Besar ( Hartono,2000 )
9. Status Gizi Status gizi seseorang dapat ditemukan antara lain dengan menggunakan rumus IMT (Indeks Massa Tubuh) yaitu dihitung dengan menggunakan rumus : Berat Badan (kg) IMT= Tinggi Badan 2 (m2) IMT digunakan untuk menentukan status gizi orang dewasa diatas 18 tahun. Dengan klasifikasi seperti yang digambarkan pada tabel 3.
Tabel 3: Kategori Ambang Batas IMT Kategori Kurus
Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan
Normal Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat ( DepKes RI, 1996 ) Gemuk
B. Kerangka Teori
Asupan AARC - Virus hepatic - Alcohol - Kelainan metabolic - Mallnutrisi - Toksin dan obat
Sirosis hati
Ensefalopati Hepatik
Kadar Amonia Darah
Batas Ambang < 17, 0 17, 0 – 18, 5 > 18, 5 – 25, 0 > 25,0 – 27, 0 > 27, 0